HFI SS Fic!

Dec 25, 2009 11:19

Hi all :D
This is a Fic I wrote in Indonesian for Secret Santa Exchange in HetareFansIndo :3
I hope the receiver will enjoy reading it...
If I have more time, I'll try to translate it into English, maybe next year (not sure which month, we cannot be specific about the time)...

Judul: Di Antara Elang dan Merpati
Prompt: US/Police!UK
Penerima: pandakriwilz 
Tokoh: Arthur Kirkland, Alfred F. Jones, Elizabeta Herdevary, (Germania) Beilschmidt, Yekaterina (Ukraina), Kiku Honda (hanya muncul namanya)
Pairing: Alfred/Arthur
Rating: PG
Sinopsis: Patroli biasa di suatu siang membawa Opsir Kirkland pada sebuah peristiwa yang tak biasa, dan pertemuan dengan seseorang yang lebih luar biasa lagi…
Warning: AU, berarti ada nama tempat yang tak pernah ada dan semua imajinasi penulis  yang kacau bercampur dengan kehidupan nyata. Judul yang nggak nyambung, dan penggunaan bahasa yang terlalu kaku.. penulis merasa seperti orang tua kalau dibandingkan dengan kalian di HFI, prompt yang gagal, dan lain-lain OTL



Opsir Arthur Kirkland sedang melakukan patroli hariannya di Jalan Dove. Ia berbagi tugas dengan rekannya, Elizabeta. Saat ini, gadis itu sedang mengawasi Jalan Eagle. Seharusnya begitu, tapi Arthur yakin Eliza hanya nongkrong di depan toko CD langganannya. Suasana kota sangat ramai di jam makan siang seperti ini, jadi ia harus selalu waspada, apalagi di bulan itu mereka mendapat laporan adanya transaksi narkoba dan sebuah percobaan pencurian di lingkungan itu. Kejahatan bisa terjadi kapan saja, begitu moto dari atasannya, Kapten Beilschmidt.

Kembali ke saat sekarang, Arthur berdiri di depan etalase sebuah toko kue, sedang menimbang-nimbang untuk membeli sepotong shortcake strawberry yang terlihat enak untuk menemani acara minum tehnya sore nanti. Pokoknya, siang itu tergolong sebagai hari yang damai sebelum sebuah teriakan bernada tinggi terdengar.

“Pencuri!” Madam Yekaterina, pemilik kios buah, berteriak menunjuk sosok kecil yang berlari. Arthur refleks berlari mengejar anak itu. Dari belakang, ia mengira-ngira usia si pelaku baru sepuluh tahun. Sosok lain berlari mendahuluinya. Kali ini seorang pria berambut pirang yang berbadan lebih tinggi dari Arthur. Ia menghilang ke dalam gang tempat si pencuri berbelok. Arthur mendengar suara benda jatuh dan teriakan yang keras

“Hei!” kemudian, “OUCH!”

Ia menemukan pemuda tadi terduduk di aspal sambil memegangi kepalanya. “Hei, kau baik-baik saja?” Arthur mendekat dengan khawatir.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya dan tertawa, “Anak itu hebat sekali! Dia berhasil menjatuhkanku!”

Arthur terhenyak menatap mata biru jernihnya itu dan mendengar tidak ada ironi dalam suaranya.

“Sayang sekali aku gagal menangkapnya, Pak Polisi. Lain kali kalau melihatnya lagi, aku akan memarahinya, setelah memujinya karena berhasil mengelabuhiku.”

“Tidak apa, terima kasih, “ Arthur hendak mengatakan sesuatu sebelum pemuda tadi memotongnya.

“Tidak usah berterima kasih, sudah tugasku, Alfred F. Jones, sebagai pahlawan, untuk membantu semua orang!” katanya dengan bangga sambil tersenyum lebar.

Arthur menelengkan kepalanya, berharap ia salah mendengar. Dia pikir ini show anak-anak? Pasti orang ini salah satu mahasiswa asing yang belajar di Universitas N. Akhir-akhir ini mereka menerima bermacam-macam orang…

“Kau tidak apa-apa, ‘kan?” ia mengulangi pertanyaannya sambil mengamati Alfred dari dekat. Siapa tahu kepalanya memang terbentur cukup keras…

Pemuda itu berusia awal 20-an, dengan rambut pirang dan mata biru, pandangannya agak nanar, tapi masalah itu terpecahkan ketika ia berkata, “Lihat kacamataku?”

“Oh, erm…” Arthur memungut sebuat kacamata yang tergeletak di dekat kakinya, hampir saja ia menginjaknya. “Ini.”

“Makasih.”

“Hei, kau terluka!” Arthur mengambil saputangan bersih dari kantongnya dan mulai membersihkan darah di kening Alfred.

“Cuma goresan. Sudah kubilang, aku ini pahlawan!”

“Arthur tidak mendengarkannya, “Tidak parah, tapi kau harus memberinya antiseptik.”

“Terima kasih, Bu,” gerutu Alfred. “Aku tidak apa-apa.”

“Aku bukan ibumu,” Arthur merengut, “Ini supaya tidak ada infeksi, dan supaya kau tidak bisa menuntut kami kalau ada apa-apa. Kau terbiasa dirawat oleh ibumu? Dasar anak mama.”

“Ibuku sudah meninggal.”

“Maaf.”

Mungkin Alfred cuma membayangkannya, tapi Arthur kedengarannya tidak menyesal. “Kau tidak serius meminta maaf.”

“Memang tidak,” Arthur melipat saputangannya dan menatap mata Alfred. “Aku juga tidak punya orang tua.”

“Begitu…”

Alfred balas menatap polisi itu. Tapi di balik mata hijau (yang berada di bawah sepasang alis yang sangat tebal!) itu, ia tidak menemukan apa-apa. Seperti dunia yang sangat dingin. Batu emerald yang tidak memiliki perasaan… sekaligus seperti lubang hitam yang menariknya..

Alfred menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus imaji itu dari benaknya. Apa yang ia lakukan? Mau ikut campur dalam urusan orang lain? Apalagi seorang polisi…

“Eh, terima kasih..” ia melirik name tag di seragam polisi itu, “Arthur. Kurasa aku akan melakukan saranmu.”

Arthur mengernyitkan alisnya mendengar panggilan yang terlalu akrab itu. “Baiklah, Jones,” ia mengulurkan tangan, membantunya berdiri. “Lupakan saja soal pencuri kecil tadi, aku yakin Madam Yekaterina akan memaafkannya jika kita mengembalikan buah-buahan itu.” Arthur menunjuk ke arah kantong plastik yang ditinggalkan di tanah, beberapa buah apel menggelinding keluar darinya.

“Sebenarnya bukan soal itu…” Alfred tersenyum lemah. “Begini, anak itu… dia pasti tidak akan menjatuhkan barang curiannya hanya karena dikejar olehku, jadi pasti karena hal lain..”

“Yaitu..?” Arthur melipat kedua tangannya di dada. Apa ini perasaannya saja, atau Alfed sedang menirukan Detektif fiktif terkenal yang muncul di drama TV mingguan?

“Ia mencuri dompetku.”

“APA?????”

“Jangan kuatir,” Alfred mengira Arthur akan memarahinya, tapi ternyata polisi itu malah tertawa terbahak-bahak. Ia menunggu sampai tawa Arthur mereda sambil merengut.

“Maaf tuan pahlawan,” ucap Arthur sambil pura-pura menghapus air mata fiktif. “Harus kau akui itu sangat lucu. Oh, maaf soal dompetmu.”

“Yang penting kau bisa tertawa Arthur,” jawab Alfred sambil nyengir. Dan ia bersungguh-sungguh atas perkataannya itu. “Sebagian besar uang sakuku baru akan dikirimkan minggu depan. Kita tinggal melaporkannya ke kantor polisi dan kalau seseorang menemukannya, ia akan mengembalikannya..”

'Hei, itu seharusnya kalimatku,' pikir Arthur sambil mengurut pelipisnya. Ia belum pernah bertemu orang yang seoptimis ini. “Oke, kurasa kau sebaiknya ikut denganku ke mabes.”

OooO

Setelah mengembalikan buah-buahan itu kepada pemiliknya, Yekaterina memberikan sebutir apel pada masing-masing dari mereka, walaupun Arthur sudah berusaha menolak bagiannya. Alfred langsung menerima apel itu.

“Kapan saja, Ma’am!” senyum cerianya membuat nyonya muda itu tersipu malu. “Enak!” puji Alfred yang menggigit apel itu di tempat.

Arthur dan Alfred menemui Elizabeta yang menunggu di depan mobil patroli di sudut jalan. Mata gadis itu berkilau aneh ketika Arthur menceritakan peristiwa tadi. Pernah mendengar bunyi klik sewaktu kau menyalakan lampu? Nah, seperti itulah tampang Eliza.

“Kau sangat beruntung! Maksudku, sangat tidak beruntung!” ujarnya dengan riang.

“Begitulah,” Alfred mengiyakannya tanpa menangkap maksud tersembunyi Eliza.

“Fufufu… Kiku pasti senang mendengarnya,” kekeh Eliza di luar jangkauan pendengaran kedua pria tadi. Sementara itu, Arthur memutuskan untuk tidak menghiraukan mereka dan memilih untuk memfokuskan perhatiannya pada jalanan sementara ia menyetir.

OooO

“Arthur! Eli! Kau tak apa?” seorang rekan menyapa mereka di tempat parkir mabes.

“Tidak.. Ada apa, Timo?”

“Kudengar ada yang terluka saat Kapten dan beberapa orang menyeregap sebuah gudang di dermaga.”

“Aku baru mendengarnya. Kami tadi bertugas di Dove dan Eagle.”

“Oh, syukurlah.”

“’Ati-‘ati,” tambah Berwald, partner Timo sebelum menggandengnya pergi.

Alfred terdengar sedikit bingung melihat reaksi mereka. "Kau tidak khawatir?"

Eliza mengangkat bahu, "Asalkan tidak ada yang meninggal..."

"Risiko pekerjaan," tambah Arthur.

Setelah urusan mengisi formulir kehilangan dan menghubungi kedutaan besar negaranya selesai, Alfred mencari Arthur untuk berterimakasih.

“Thanks sudah mengantarku.”

Ucapan itu keluar bersamaan dengan bunyi keroncongan dari perut Alfred.

“…”

“…”

“… dengar, perutku juga mengucapkan terima kasih,” Alfred tersenyum bodoh.

Arthur balas tersenyum. Untuk sesaat, Alfred terpana melihatnya, sampai rasa laparnya mengembalikannya ke dunia nyata.

“Wajar saja sih, aku belum sempat makan siang, jadi…”

“Aku akan mentraktirmu.”

“Benarkah? Tapi kenapa?” Alfred mengawasi Arthur yang membereskan berkas-berkas di mejanya. Wajahnya tampak tenang tapi pipinya sedikit bersemu merah. Alfred yakin ia memasang ekspresi yang sama di wajahnya.

“Dompet dan uangmu hilang, ‘kan? Jadi… aku…” ia mengucapkan beberapa patah kata yang sulit didengar. “Ini karena aku butuh teman makan siang, bukan karenamu!”

Alfred tertawa geli melihat wajah Arthur yang kemerahan. Menarik juga melihat hal yang terjadi setiap kali petugas ini mencoba untuk berbohong.

“Oke, Arthur. Ke mana aku harus menemanimu?”

“Tunggu di sini, lima belas menit lagi aku selesai.” Arthur bangkit dari kursinya dan masuk ke ruangan loker.

“Mau ganti baju ya,” pikir Alfred. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya berdiri, seperti ada sepasang -atau beberapa?- mata tajam mengawasinya. Ia menengok ke sekeliling dengan gugup. Tampaknya semua normal. Ha ha ha. Pastilah begitu. Iya ‘kan?

Tidak banyak hal yang bisa dikerjakannya selama 15 menit -di kantor polisi, apa yang bisa kau lakukan di sana? Mereka jelas tidak menyediakan majalah seperti ruang tunggu dokter. Alfred memutuskan untuk duduk di meja Arthur sambil menunggunya, dan menyibukkan diri dengan menata ulang meja yang terlalu rapi itu.

Tepat seperempat jam kemudian, Arthur muncul. Ia mengenakan kemeja putih bersih dan blazer biru tua. Lucu, karena bayangan Alfred tentang polisi berpakaian preman biasanya berarti T-shirt dan jeans.

“Kau mengacak-acak mejaku!” tuduh Arthur begitu ia melihat Alfred menuang semua alat tulisnya di atas meja dan menyusun bentuk-bentuk persegi dengannya. “Kembalikan ke tempatnya. Aku tidak akan bisa menemukan apa-apa kalau berantakan seperti itu,” keluhnya. Arthur memang sering kehilangan barang karena ia begitu pelupa.

“Baik, asal kau jangan marah dan jangan tarik kembali ajakan makan siang tadi.”

“Tidak kok…” bantah Arthur. Ia tidak mau membiarkan orang yang baru ditemuinya ini menyebutnya pemarah -walaupun itu memang benar.

“Oh, tapi dahimu berkerut seperti itu. Hati-hati, nanti kau cepat tua,” goda Alfred.

Arthur mengeluarkan beberapa kata umpatan sementara Alfred mengamatinya dengan gembira. Mungkin mata dingin yang dilihatnya sekilas tadi hanya imajinasinya.

“Burger!” itulah jawaban cepat Alfred saat Arthur menanyakan ia ingin makan apa.

“Fast food?” cela Arthur.

“Kumohon, aku sangat ingin makan burger sejak… sejak burger terakhir kuhabiskan di waktu sarapan.”

Arthur tidak bisa menolak pandangan memohon dari balik kacamata itu. “Baiklah,” jawabnya tak bersemangat.

“Wow, thanks!” dengan reflek Alfred memeluk Arthur. singkat saja, karena itu kebiasaannya pada semua teman dekatnya, tapi hal itu membuat Arthur terkejut.

“Apa…!?”

“Oh, maaf,” jawab Alfred yang tidak terlihat menyesal, “Ayo!!”

“Selamat bersenang-senang!”kata Eliza sambil melambai dengan penuh semangat dari mejanya.

“Apa maksudnya?” tanya Alfred sedikit gugup. Ia jelas mengira kalimat itu berarti sesuatu dalam bahasa sandi polisi.

“Jangan dengarkan dia,” gerutu Arthur. Ia berlalu dengan cepat sebelum Alfred bisa melihat wajahnya yang bersemu merah.

OooO

“Arthur, kenapa kau memilih untuk menjadi polisi?” tanya Alfred.

Mereka sedang berada di sebuah family restaurant pilihan Arthur, tempat yang mengakomodasi keinginan mereka berdua, dengan kata lain, seporsi fish n chips untuk si polisi dan beberapa potong burger untuk si mahasiswa.

“Itu bukan pilihanku. Pendidikan yang kuterima bergantung pada beasiswa dari pemerintah yang jumlahnya terbatas, dan tidak banyak hal lain yang bisa kulakukan,” jawabnya datar.

“Tapi kau senang dengan pekerjaan ini, ‘kan? Pasti hebat, setiap hari menolong orang dan menjadi pahlawan,” kata Alfred di sela-sela kunyahan burgernya.

“Sebenarnya tidak semenarik itu, kota ini cukup aman, jadi kejadian seperti hari ini sangat jarang.”

“Hei, kau tidak menjawab pertanyaanku,” Alfred berpikir sejenak, 'akan kutanyakan lagi lain kali kalau kau tidak mau menjawabnya sekarang.' Tunggu, apa ia baru saja merencanakan untuk bertemu polisi ini lagi? Ia bergerak tidak nyaman di kursinya. Ah, dipikirkan nanti saja.

“Bicara soal pahlawan, kemarin aku menolong seorang nenek menyeberang jalan, tapi ia menginjak kakiku…”

Arthur mendengarkan kicauan antusias Alfred dengan sabar. Peristiwa ini sangat jarang. Ia berbincang (dan mendengarkan) orang lain selama lebih dari 30 menit. Arthur memang tak punya banyak teman dan ia jarang bisa akrab dengan orang lain, tapi ia tak punya kesulitan untuk akrab dengan Alfred walaupun ia baru mengenalnya siang itu.

Tanpa terasa, waktu berlalu dengan cepat, makan siang itu pun berakhir.

Alfred meregangkan badannya di depan restoran. "Kenyangnya!"

"Pasti, kau tadi menghabiskan jatah makan untuk lima orang!" gerutu Arthur. Ia beruntung ada cukup uang di dompetnya untuk membayar makanan mereka.

"Aw, jangan begitu, Art. Aku akan membayarnya besok," kata Alfred. "Lebih baik lagi, bagaimana kalau aku gantian mentraktirmu makan?"

Arthur terkejut mendengar tawaran itu, "Ti.. tidak usah! Ini bukan hutang!"

"Tapi aku mau makan bersamamu lagi!" jawab Alfred riang, pura-pura tidak melihat warna merah di pipi Arthur. "Aku akan menjemputmu di kantor minggu depan ya? Oke?"

Tepat di saat itu ponsel Alfred berbunyi memainkan lagu hip hop yang ribut. "Sial, siapa sih?" gerutu Alfred, ia berbalik untuk menjawab teleponnya, meninggalkan Arthur yang masih terkejut memikirkan ajakan Alfred.

"Arty! Aku harus pergi!" kata Alfred sambil merengut. "Sampai jumpa minggu depan ya!" Dengan kalimat itu ia mengajak Arthur bersalaman dan....menariknya kemudian mencium pipinya.

"See ya!"

Sekali lagi Arthur ditinggalkan.. dalam kondisi yang lebih parah dari sebelumnya. Butuh waktu beberapa menit baginya untuk kembali ke dunia nyata (itu pun setelah seorang pejalan kaki tidak sengaja menyenggolnya).

"Alfred??" Arthur bertanya pada udara kosong di depannya. Setidaknya ia pasti akan bertemu lagi dengannya minggu depan, Arthur yakin pemuda itu akan mereobos masuk ke kantor polisi dengan berisik kemudian menyeretnya pergi, lalu ia bisa menanyakan arti ciuman tadi... apa itu terhitung ciuman?

"Risiko pekerjaan," guman Arthur, sambil menggelengkan kepala...

-----------

Terima kasih sudah membacanya T__T
Penulis punya ide untuk membuat sekuelnya, Y/N?
Tapi seperti yang penulis bilang di awal, kalian harus menanti sangat lama untuk itu D:

Once again, thank u for reading.
Kritik/saran/pujian/lemparan bata??

fanfic, indonesian, hetalia

Previous post Next post
Up