Judul: Y
Author: Rieyo
Pairing: Yamada Ryosuke x Nakajima Yuto / Nakajima Yuto x Inoo Kei
Rating: PG15
Genre: AU, Comedy, Romance, Friendship
Bersembunyi. Itu saja yang terlintas d benakku sekarang. Aku pasti tak akan selamat kalau dia sampai menemukanku.
"Nakajima-kun?" sebuah suara yang rasanya aku tahu, tapi tak sempat aku cerna, membuat aku menolehkan kepalaku, dan..
BUK!
Sebuah tinju telak mengenai hidungku.
"Aww!!" erangku sambil menyentuh hidung mancungku yang rasanya seperti lepas dari perangkat wajahku. "Kuso!" umpatku sambil melihat pada orang yang sering aku hajar mati2an d otakku itu.
Wajah sinis Yamada memandangku. Ini orang yang dari tadi aku hindari, ketua kelasku yang menyebalkan.
"Apa yang kau lakukan!?" kataku sambil sedikit meringis dan terus memegangi hidungku. Darah segar menetes dari sana. Perih.
"Itu belum seberapa. kau tahu kesalahan mu yang fatal kan, Nakajima-kun?" nada suara Yamada tak kalah sinis dengan tatapannya.
Yea, aku tahu kesalahanku. Tapi tetap, aku tak suka dengan sikap arogan orang ini. Membuatku kesal saja.
"Aku tak mengerti kenapa kau selalu seenaknya memperlakukan orang lain. Mulailah berubah, jangan terus2an bersikap seperti berandalan!" tambah Yamada, kali ini seperti menasehatiku.
"Kau sama sekali tak mengerti masalahnya, Yamada" aku mengerutkan keningku, antara melakukan perlawanan sekaligus menahan sakit.
"Aku tahu. Chinen-kun sudah menceritakan semuanya, dan sebagai ketua kelas, aku kecewa padamu. Kau bisa membuat buruk nama baik kelas kita..."
Sial. Jadi Chinen yang mengadu pada orang ini? Kadang aku terganggu juga dengan sikap patuh sahabatku itu. Apa susahnya dia berbohong untuk melindungiku!?
"Kenapa kita harus membesar-besarkan masalah sepele.."
"Karena ini bukan masalah sepele" Yamada memotong perkataanku. "Kau memukuli anak kelas lain hanya karena dia menempati tempat membolosmu di atap sekolah.. beruntung dia hanya mengadu padaku, bagaimana kalau dia mengadu pada guru? selain kelas kita tercemar, kau juga akan ketahuan memiliki tempat untuk membolos" Lagi, Yamada mengomeliku dan aku hanya bisa diam masih menahan kesal. Chikuso! kata2 dia masuk akal juga, dan aku jadi tak bisa mendebatnya.
"Aku mau kau bertanggung jawab" Yamada berkata lagi. Tampaknya dia tahu kalau aku tak bisa memprotesnya. Dan bagian ini pun yang paling aku benci.. bertanggung jawab. Dia pasti akan menyuruh-nyuruh aku mengerjakan hal yang tak pantas dikerjakan oleh seorang Nakajima Yuto yang tampan.
"Bersihkan seluruh kamar mandi di sekolah"
Benar kan?? dia bertingkah seolah dia pemilik sekolah.. tapi aku tak bisa menolak.
* * *
Dengan sebuah kapas menyumpal darah yang mengalir dari hidungku, aku mengerjakan perintah Yamada Ryosuke, ketua kelasku yang perlu diberitahu rasanya menjadi orang biasa. Dia terlalu arogan, besar kepala dan seolah mampu diandalkan dalam segala hal. Huh, padahal aku juga mampu. Tubuhku lebih tinggi dari dia, aku lebih memiliki banyak teman, aku juga tak kalah populer di kalangan gadis-gadis. Dan aku yakin kalau aku lebih tampan. Hanya saja mungkin aku tak sepintar dia di kelas.. dan tak selihai dia untuk menjilat para guru. Aku menghela napasku kuat-kuat sambil memukulkan alat pel yang kupegang ke lantai. Memikirkan orang itu selalu membuatku ingin menghajarnya.
"Yuto.." seseorang memanggilku. Aku melihat sahabatku- Chinen Yuri berada disana, memandangku dengan tatapan lesu nya.
Aku tak menyahut, hanya meneruskan mengepel lantai kamar mandi itu.
"Kau marah padaku?" tanya Chinen hati-hati. Dia bisa menangkap gelagatku yang jadi dingin padanya. Padahal biasanya aku akan merangkul dan menepuk-nepuk bahu nya.
"Yuto..?"
"Aku tidak marah. Tapi ini.." aku menoleh padanya dengan tiba-tiba dan menunjuk hidungku. "..ini sakit Chii"
"Aaa, Yama-chan memukulmu?!" Chinen tampak terkejut melihat sumpalan kapas di hidungku.
"Yeah, dan dia juga menyuruhku membersihkan semua kamar mandi. Kau tahu? aku belum menyelesaikan satupun, dan sekarang sudah pukul 3 sore.. aku tidak tahu kapan aku menyelesaikannya" ujarku panjang lebar jadi mengeluh padanya.
"Gomen" kata Chiinen pelan. Aku memandangnya. Sahabatku ini sangat baik, bahkan terlalu baik hati. Aku juga kadang heran kenapa dia mau terus berteman denganku? padahal selama ini aku sangat bertentangan dengannya, aku selalu menyusahkannya. Aku hanya anak nakal yang beruntung bisa berteman dengan anak baik-baik sepertinya.
"Ii yo" kataku pendek. Aku tak mungkin tak memaafkannya. Dia memang tak salah apapun. Ah, wajah manis Chinen yang seperti perempuan hanya membuatku meleleh dan pikiranku yang beberapa waktu lalu menyalahkannya, sekarang tidak lagi. Tentu saja aku sendiri penyebab semua kesialan yang menimpaku sekarang.
" Aku benar-benar tak berharap Yama-chan akan memukulmu" katanya dan mulai berani memandangku dengan wajah polosnya.
"Daijobu!" aku mendekatinya dan menepuk-nepuk pundaknya. Membuat dia merasa lebih baik. "Yamada memang menyebalkan. Dia pasti iri dengan ketampananku" kataku seperti biasa, penuh percaya diri. Aku tersenyum pada Chinen, dia membalas dengan tawa kecilnya.
* * *
Pukul 8 malam, aku baru selesai dengan hukumanku. Aku melakukan itu semata-mata bukan karena aku takut pada Yamada, tapi aku takut dia menceritakan semuanya pada Nohara-sensei, wali kelas kami. Aku dipastikan akan mendapat masalah kalau seperti itu. Tapi yang membuatku harus menahan kesal lagi, ternyata setelah tadi Chinen datang dengan wajah sedihnya meminta maaf padaku, dan aku memaafkannya.. dia tetap tidak mungkin bisa membantu pekerjaanku. Dia anak yang sangat patuh dan selalu dikhawatirkan orang tua nya. Dia tak mungkin pulang malam untuk membantuku dulu. Sedangkan teman-temanku yang lain? semuanya tak mau terlibat kalau aku sedang dalam kesulitan, ck!
Aku menyusuri jalan yang biasa aku lewati setiap pulang. Aku tidak takut meski di daerah ini cukup gelap, dan ini juga pertama kalinya setelah di SMU aku pulang malam-malam seperti ini.
BRUK!
Aku tersungkur ketika tiba-tiba ada orang yang menubrukku. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan dan terjerembab. Tubuhku yang kelelahan nyaris tak bisa menahannya. Tapi untung daya reflek ku masih berfungsi dengan baik. Aku memeluk orang itu dengan spontan. Kami saling memandang di bawah cahaya lampu yang temaram.
"Inoo-chan?!" aku langsung mengenali orang itu. Wajah manis senpai sekaligus tetanggaku tampak disana.
"Yuto?" dia balas menyebut namaku. Dengan hati-hati dia melepaskan pelukanku, yang aku sendiri tak sadar kenapa jadi memeluknya seperti itu. Tapi aku juga baru tahu kalau tubuhnya ternyata rapuh juga di pelukanku.
"Ada apa Inoo-chan?" tanyaku, yang penasaran kenapa tadi dia tiba-tiba menubrukku.
"Itu.." Inoo menunjuk ke arah gang dari mana tadi dia muncul. Aku menoleh dan melihat seorang pria setengah baya terkapar disana. Dari perawakannya aku tahu paling dia orang tua yang baru pulang kerja dan mabuk. Di daerah rumah kami memang banyak yang seperti ini. "Dia menggangguku tadi. Jadi aku memukulnya" jelas Inoo lagi.
"Apa yang dia lakukan?"
"Berusaha menciumku"
"EEH!?" aku melihat pada Inoo, shock. Kasian sekali senpai ku ini, memiliki wajah manis dan tubuh yang menggemaskan mungkin bukan perkara mudah untuknya. Padahal dia sudah 19 tahun dan sudah siap untuk tinggal sendiri di tempat yang bisa lebih dekat ke universitasnya. Atau mungkin semakin dewasa, kondisi baginya semakin rawan?
"Kau sendiri Yuto, sedang apa kau malam-malam disini dan masih memakai seragam sekolahmu!?" Inoo cepat mengalihkan pembicaraan.
"Oh, aku terlambat" jawabku tanpa memakai alasan.
Aku tak mau menceritakan padanya kalau aku terlambat pulang karena mendapat hukuman dari ketua kelasku yg menyebalkan itu.
"Sou ka" dan untungnya Inoo seperti tak tertarik untuk menanyaiku lebih jauh. "Kalau begitu, cepatlah pulang.." katanya pula.
"Ou, kenapa kita tidak sama-sama?" ajakku. "Siapa tahu nanti ada yg menggganggumu lagi di depan sana.."
"Lalu?"
"Kalau ada aku, aku bisa melindungimu" kataku tersenyum yakin.
Inoo balas tersenyum tipis, dia pasti menganggapku sok jagoan. Hampir semua orang mengganggapku begitu. Mulai dari ibu ku, adikku, ayahku, teman-temanku, dan mungkin sekarang Inoo-chan ku.. eh? knp aku menambahkan '-ku' jg d belakang namanya? tanpa sadar aku sudah terenyum-senyum sendiri.
"Ikou?" sentuhan tangan Inoo di tanganku menyentakanku dari pikiran-pikiran tak perlu itu.
"Ou" dengan segera aku meraih tangannya, tanpa aku peduli apa sebenarnya dia keberatan atau tidak.
Hubunganku dengan Inoo-chan, sesuatu yang tak bisa aku jelaskan dengan mudah. Terutama dari sudut pandangku. Aku kagum pada laki-laki yang lebih tua 3 tahun dariku ini. Dia tampan- sepertiku dan pintar. Dia berkuliah di universitas Meiji. Wajah manisnya selalu nampak tenang walau kadang terlihat menggoda. Dia juga baik hati- selalu bisa berpikir positif dan selalu tersenyum ramah. Dia seperti malaikat, setidaknya menurutku. Sikapnya yang hangat, terus terang membuatku nyaman, dan mungkin juga orang lain yang dekat dengannya. Aku sudah mengenalnya sejak masih di sekolah dasar. Dia sering menjagaku. Secara tidak sadar, aku menjadikan dia sebagai sosok manusia yang ideal. Aku ingin seperti dia.. atau aku ingin memiliki seseorang seperti dia?? Aku yang masih sangat muda ini belum bisa mengartikannya dengan benar. Yang aku tahu, Inoo Kei satu-satunya orang yang bisa membuat sisi nakalku jadi melembut. Bahkan sahabatku Chinen yang manis pun belum bisa sesukses ini.
"Inoo-chan.." panggilku. Sambil kita terus berjalan, bersampingan.
"Hmm?" sahutnya, menoleh padaku.
"Sebenarnya aku terlambat karena di hukum.." aku berkata jujur juga padanya.
"Eh? kenapa?"
"Masalah kecil.." aku tertawa-tawa malu.
"Memukuli orang lagi?" ah, tebakan dia benar. Aku tertawa-tawa lagi sambil menggoyangkan tangannya yang masih aku pegang. "Ne, jangan kau biasakan Yuto.." katanya menggelengkan kepalanya.
"Hai - hai wakatta!" jawabku dan tersenyum manis padanya. Inoo membalas senyumanku sambil mengulurkan tangannya seperti biasa untuk mengacak rambutku, padahal aku sudah lebih tinggi darinya sekarang.
Kita sampai di depan rumahnya. Aku tinggal berjalan beberapa meter lagi dari sana hingga sampai di rumahku. Rasanya aku ingin memastikan saja kalau dia memang tiba di rumahnya dengan aman.
"Sudah sampai" gumamku, tanpa berniat melepaskan tangannya.
Tiba-tiba aku merasakan jari lentiknya menyentuh hidungku, hidung indahku yang tadi siang dikoyakkan oleh Yamada. "Aww.." aku mengaduh reflek. Memang masih agak sakit, walau sudah tak ada darah yang mengalir lagi.
"Sudah aku duga. Sebenarnya kau memukuli orang, atau kau yang dipukuli?" tanya Inoo, lagi-lagi tepat sasaran.
"Aku memukul orang, tapi ada orang yang balas memukulku" jelasku akhirnya dengan suara yang pelan. Ku lihat Inoo menggelengkan kepalanya, dia lalu mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku celananya "Pakai ini untuk mengompres hidungmu nanti" dia mengulurkan sapu tangan itu padaku, "Kau pasti tak mau ketahuan Okasaan kan? jadi sebaiknya kau lakukan sendiri"
Aku menerima sapu tangan nya. Dia benar-benar hapal dengan kebiasaanku, aku memang tak mau ketahuan. Ibu ku bisa ribut dan membesar-besarkan, belum lagi ditambah omelan-omelan tak jelas. Tak akan ada yang menolongku nanti, bahkan ayah dan adikku. Mereka hanya akan menikmati saat aku di omeli Okaachan sebagai tontonan gratis, huh!
"A-arigatou, Inoo-chan" kataku.
"Zenzen" Inoo tersenyum lalu mulai melepaskan tangannya dari tanganku dan berjalan mendekati depan rumahnya. Rasanya tadi aku sempat seperti tak rela waktu tangannya lepas dari tanganku. Berlebihan, aku memang berlebihan.
"Jaa na, oyasumi" katanya.
Aku mengangguk.
"Jaa. Oyasumi"
Dan setelah dia membuka pintu rumahnya, aku cepat menggerakkan kaki ku menuju rumahku. Aku jadi tak menyesal sudah pulang malam dan kelelahan. Kesialanku tadi siang rupanya menguntungkan juga. Aku bisa pulang bersama Inoo-chan. Senyuman bodoh terukir di wajahku. Ah, ternyata si menyebalkan Yamada bisa membuatku merasa berterima kasih juga. Untung orang tidak punya hati itu menyuruhku membersihkan kamar mandi sekolah. Huh! kali ini kau selamat Yamada sombong! gerutuku dalam hati. Aku sedang senang sekarang...
"YUTO!" suara Mama menarik paksa aku dari dunia kecilku yang tengah berbunga-bunga. "Dari mana saja!? Kenapa kau baru pulang selarut ini?!"
Aku menghela nafas sebelum menghadapi omelan Mama. Sekarang baru pukul 8 malam tapi menurut ibuku sudah larut untuk anak seumuranku. Dan seperti biasa, sekilas aku melihat senyuman puas di wajah ayah dan adikku... errr.
* * *
Aku sedang mengompres hidungku dengan sapu tangan milik Inoo dan air es, ketika adikku- Raiya masuk ke kamar kami. Tadi saat Mama mengomeliku, dengan susah payah aku berhasil menyembunyikan luka ini. Dan seperti yang sudah aku duga juga, adik dan ayahku menjadi backsound nya, tertawa-tawa kecil di belakang ibuku. Aku hanya memberikan mereka tatapan datarku.
"Kenapa hidungmu?" tanyanya, dia mengamati wajahku.
"Luka" jawabku pendek. Kalau dia tak bertanya lebih jauh, aku tak akan menjelaskan apapun.
"Berkelahi?" tebaknya polos. Aku cepat menempelkan jari ke bibirku.
"Sshh.. jangan bilang pada Papa dan Mama, ok?!"
Raiya tersenyum, sambil masuk ke dalam selimut diatas futon nya yang tadi sudah aku bereskan.
"Aku tahu" katanya.
Itu berarti dia memang berada di pihakku. Adikku itu kadang memang menyebalkan apalagi kalau sudah berkomplot dengan ayahku untuk menertawaiku, tapi aku sangat menyayanginya. Dia adikku satu-satunya, dan aku rela melakukan apapun untuknya. Sebenarnya, aku, Raiya dan Papa adalah 3 orang pria yang kompak, biasanya Mama yg akan repot oleh kejahilan-kejahilan kami.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Raiya lagi tampak penasaran.
"Yamada" jawabku pahit. Pelan aku mendengar Raiya tertawa kecil, aku sudah tahu dia akan merasa lucu. Aku sering menceritakan tingkah memuakkan Yamada pada adikku, dan mungkin dia selalu ingat.
"Sepertinya dia hebat sekali, Niichan.."
"Sama sekali tidak!" sambarku cepat.
"Tapi dia berhasil memukulmu"
"Aku sedang lengah tadi" elakku.
Beberapa saat kemudian, aku tak mendengar suara Raiya lagi. Aku menoleh padanya, dan menemukan adikku itu sudah terlelap di balik selimutnya. Mungkin dia lebih memilih tidur daripada harus mendebat aku.
Aku menghela nafasku pelan sambil menekan-nekan sapu tangan Inoo di lukaku. Rasanya jadi lebih enak, sapu tangan ini lembut di kulitku. Dan aromanya.. aku baru sadar kalau ada aroma Inoo disini. Aku simpan mangkuk tempat air es disamping futonku, lalu mulai merebahkan tubuhku, dengan sapu tangan Inoo masih menempel di wajahku. Ah.. kelelahanku hari ini rasanya terbayar sudah.
* * *
Dengan nafas yang tersengal-sengal setelah berlari, akhirnya aku sampai di sekolah. Aku terlambat, gara-gara terlalu kelelahan dan tertidur dengan sangat nyaman tadi malam, hingga Mama kesulitan membangunkanku.
Aku baru akan sampai di kelas, saat aku melihat Nohara-sensei masuk kesana. Ah, yabai! Aku cepat berbalik lagi dan memutuskan untuk ke atap sekolah, tempat membolosku yang kemarin sempat menjadi sengketa itu. Lebih baik aku tidak masuk dulu di jam pertama, pikirku. Tapi..
Aku terpana melihat ada orang lain sudah berada lebih dulu di tempatku itu dan parahnya dia sama sekali bukan orang yang aku harapkan.
"Ohayo Nakajima-kun" sapa orang itu dengan senyuman kecutnya.
Yamada Ryosuke.
"Apa yang kau lakukan disini?!" sahutku cepat, tanpa menjawab sapaannya.
"Menunggumu"
Aku mengerutkan keningku. Apa mau orang ini!? Apa dia belum puas sudah menyusahkanku kemarin!? Kuso!
"Hah? bukankah seharusnya orang penting sepertimu sekarang sudah ada di kelas? pergilah! jangan ganggu aku disini"
"Yuto-kun.." panggil Yamada lagi tiba-tiba dengan sebutan lain. Yang terdengar lebih akrab dan terus terang membuatku jadi agak merinding mendengarnya. Dipanggil seintim itu oleh orang yang selama ini kau anggap musuh, sama sekali tidak bisa menahanmu dari prasangka buruk. Perasaanku jadi tak enak. "Apa kau sibuk akhir minggu ini?" tanyanya masih dengan suara angkuhnya yang menurutku tidak bersahabat itu.
"Untuk apa kau menanyaiku.."
"Aku ingin mengajakmu ke taman bermain"
"HAH??!" aku nyaris melonjak kaget mendengar perkataannya. Apa itu? Kencan? Yamada Ryosuke ketua kelasku yang arogan, menyebalkan, dan orang yang aku anggap musuh bebuyutanku.. sekarang mengajakku kencan!? MAJIKAYO!? apa aku begitu tampan hingga orang sombong ini juga menyukai.. ku??!
"A-apa maksudmu?" kataku lagi hati-hati.
"Aku ingin mengajakmu ke taman bermain akhir minggu ini dengan Suzuki" jelasnya tetap datar dan tenang. Dia tak terpengaruh oleh tingkahku yang sudah terkejut setengah mati dan mungkin juga wajahku sudah memucat.
"EH? Su-Suzu-Suzuki??" aku mengulang nama yang dia sebut dengan terbata-bata. Dadaku tidak lagi berdebar-debar sekeras tadi.
"Un, Suzuki Airi. Kau kenal dia kan?"
Ah.. ternyata memang perempuan dari kelas sebelah itu. Aku pernah dengar kalau katanya Suzuki memang ada hubungan dengan Yamada, tapi aku tidak tahu kalau mereka memang benar-benar.. eh? lalu apa hubungannya denganku? kenapa aku harus pergi dengan mereka?!
"Jangan terlalu banyak berpikir Yuto-kun, aku akan menjemputmu akhir minggu ini.."
Yamada berjalan melewatiku. Dia tahu kalau pikiranku berkecamuk.
"Tu-tunggu.."
"Aku yang akan mengurus Nohara-sensei. Hari ini kau bisa membolos sampai pulang sekolah nanti" katanya, yang sekali lagi hanya membuatku terkesima. Ketua kelas kejam ini menawariku untuk membolos? Ck, aku harap besok pagi matahari masih terbit dari timur. "Tapi kalau kau tidak mau pergi denganku akhir minggu ini, mungkin aku akan mengatakan sesuatu pada Nohara-sensei"
Ha? sekarang dia mengancamku? Yappari.
Yamada terus berjalan melewatiku, seperti tahu kalau aku pasti tak akan bisa memprotesnya.
Sekilas aku melihat senyuman lagi di bibirnya, tapi kali ini aku tak bisa mengartikan senyum itu.
* * *
"Yuto..?" samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil namaku dan mengguncangkan tubuhku, membuat aku membuka mataku yang entah sejak kapan sudah terpejam. Wajah manis Chinen yg menyambutku.
"Chii..?" kataku sambil menggeliat, dan mengerjap-ngerjapkan mataku.
"Aku tahu kau ada disini dari Yama-chan. Aku pikir terjadi sesuatu sampai kau tidak masuk"
Seketika otakku berfungsi lagi, aku melihat ke sekeliling, masih di atap sekolah di tempat membolosku yang nyaman. Aku jadi ingat perjanjianku dengan Yamada tadi, perjanjian sepihak, karena orang itu yang dengan seenaknya memutuskan sendiri hingga aku tak punya pilihan lain.
"Apa yang dia katakan pada Nohara-sensei?" tanyaku ingin tahu.
"Dia bilang kau tidak enak badan, jadi kau tidak masuk hari ini"
Wow, dia benar-benar menepatinya. Berbohong pada guru demi aku? hal yang mestinya tidak akan pernah mungkin dilakukan seorang Yamada. "Ada apa?" tanya Chinen pula.
"Chii, apa kau tahu tentang hubungan Yamada dengan Suzuki?"
"Ehm aku sering mendengar gosip tentang mereka, tapi aku tidak tahu apa mereka sudah berpacaran atau belum.." jelas Chinen.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
"Sepertinya mereka berpacaran" gumamku.
"Benarkah? Kau tahu?"
Aku tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Aku tidak tahu. Aku sendiri juga tidak tahu. Aku belum bisa menangkap maksud dari Yamada yang menginginkan aku agar ikut dengannya hari Minggu nanti.
"Kenapa kau menanyakan itu? apa kau menyukai Suzuki?" tanya Chinen tiba-tiba, terdengar penasaran sekaligus polos.
"Eh? Muri deshou.. aku tak mungkin menyukai yang disukai Yamada. Kalaupun ada yang suka, pasti perempuan itu yang menyukaiku" sangkalku cepat. Seperti biasa Chinen malah tertawa mengira aku sedang membuat lelucon, walau sebenarnya tidak. Aku sungguh penasaran, apa yang sudah direncanakan Yamada hari Minggu nanti.
* * *
Aku sedang mengendap-endap keluar dari sekolah ketika ada orang yang memanggilku.
"Yuto?"
"Ah, Inoo-chan?!" dadaku agak berdebar ketika melihat siapa orang itu. Inoo-chan bersama Yamada dan seseorang yang rasanya aku tahu. "Kau sedang apa disini? bel istirahat baru saja selesai"
"A-ano.." aku mencari alasan, dan mata ku malah tertumbuk pada Yamada yang sedang memandangku dengan tatapan seperti 'bodoh-kenapa-kau-berkeliaran'.
Aku mengacuhkannya.
"Kau belum pulang, Nakajima-kun?" tanya Yamada, sebelum aku baru akan menjawab Inoo.
"Eh, pulang?" Inoo melihatku heran dan mungkin dia langsung percaya karena aku membawa-bawa tas ku.
"Nakajima-kun agak tidak enak badan, ne?" Yamada menyahut lagi, sambil memberikan kode lewat tatapan matanya agar aku cepat mengiyakan saja dan pergi dari sana. Tapi aku tak mau menurut pada orang menyebalkan ini. Apalagi disini ada Inoo, aku tak mau terburu-buru.
"Inoo-chan juga, apa yang kau lakukan disini?" lagi, aku mengacuhkan Yamada dan bertanya pada Inoo. Aku tak mau tahu kalau dia mungkin mengutukiku dalam benaknya.
"Ah aku hanya mengunjungi sensei, sekaligus mengantar Kou-kun menyelesaikan sesuatu" jelas Inoo sambil menunjuk laki-laki satunya yang akhirnya aku ingat adalah Yabu Kota, teman Inoo yang sering aku lihat datang ke rumahnya. Sekarang mereka kuliah di tempat yang sama, pasti mereka lebih akrab lagi daripada saat di sekolah dulu.
Aku menganggukkan kepalaku sopan pada Yabu, bagaimanapun juga dia adalah senpai ku. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu hanya balas tersenyum tipis, kenapa aku merasa dia meremehkanku?
"Ne Yamada, kenapa kau tidak cepat masuk ke kelas?" aku mengalihkan lagi perhatianku pada Yamada. Aku baru sadar kenapa dia harus ada di tengah-tengah kami?
"Aku mengundang Yama-chan untuk datang ke pameran di kampusku nanti" jawab Inoo tiba-tiba.
"Eh? Pameran?" ulangku yang sebenarnya terganggu dengan panggilan akrab Inoo kepada Yamada.
"Un, Yama-chan bilang dia tertarik dengan jurusanku, jadi aku mengundangnya" aku melihat Inoo saling melempar senyum dengan Yamada. Cih, dia mengeluarkan jurus menjilatnya lagi. Dan kali ini Inoo-chan ku.. makhluk ini benar-benar suka sekali mencari masalah denganku.
"Lalu, aku?" tanyaku.
"Kau?"
"Inoo-chan tidak mengundangku?"
"Undangannya hanya untuk dua orang, dan aku memberikan semuanya pada Yama-chan.."
Inoo tampak bersalah saat mengatakannya. Pasti dia tak menyangka aku akan peduli dengan acara-acara seperti itu.. karena aku memang tidak peduli. Aku hanya tak mau melewatkan saat-saat yang memungkinkan aku berduaan dengan Inoo. Tapi begitu mendengar nama Yamada, aku jadi tak tertarik. Aku tak sudi kalau harus membuang-buang waktu ku dengan orang angkuh ini.
"Kalau kau mau, kau bisa datang denganku" tawar Yamada tiba-tiba yang langsung membuatku memutarkan bola mataku. Dia benar-benar cari muka di depan Inoo.
"Kita lihat saja nanti" kataku, sengaja menunjukkan ketidaktertarikanku.
"Baiklah, aku akan senang kalau kalian berdua bisa datang" kata Inoo yang tampaknya tak menyadari atmosfir tidak nyaman antara aku dan Yamada.
"Oh aku harus kembali ke kelas" ujar Yamada.
"Ok, sankyu Yama-chan"
"Ou senpai" Yamada mengangguk sopan pada Inoo dan Yabu. Aku hanya melihat padanya tanpa ekspresi, dan dia balas melihat padaku sekilas. Pandangannya seperti waktu itu lagi, tak bisa aku artikan, dan terus terang membuatku agak berdebar. Argh, tidak penting!
"Kalau begitu Yuto, kau ikut kami saja" ajak Inoo setelah Yamada pergi dari sana. "Kebetulan Kou-kun membawa kendaraan. Kami akan mengantarmu sampai rumah"
"Eh, apa boleh?"
Aku melihat pada Yabu-kun yang hanya mengangguk lalu menarik tangan Inoo, membuatku harus mengikuti mereka seperti orang bodoh. Apa sebaiknya aku tidak ikut? Aku tak enak menolak ajakan Inoo, tapi tak bisa dipungkiri kalau aku merasakan firasat buruk.
...Sesuai dengan firasatku, semuanya memang tidak enak dan terasa buruk. Aku duduk di kursi penumpang belakang di dalam mobil Yabu ini, dan tentu saja mereka berdua di depan mengobrol dengan riang. Sepanjang perjalanan aku merasa Inoo tak memperdulikanku. Dia terlalu sibuk dengan temannya itu, mereka terlalu akrab. Telingaku panas mendengar suara tawa mereka.
"Aku berhenti disini" kata ku ketika mobil melintas di depan toko ramen tempat temanku bekerja. Jangan heran kalau aku memiliki banyak teman yang lebih tua dariku, karena aku memang mudah bergaul.
"Eh? kau tidak pulang" Inoo menengok ke arahku kaget.
"Uhm, aku ada perlu.." aku berbohong, tentu saja. Aku tak mau bilang padanya kalau aku tak mungkin pulang sekarang karena aku sedang membolos dan aku bisa dihajar habis-habisan oleh Mama.
"Bukankah kau tak enak badan?" sekarang Inoo memandangku curiga. Akhirnya dia sadar juga, memangnya dari tadi aku terlihat seperti orang yang tak enak badan? Ah, aku merasa buruk karena sudah mempermainkan Inoo.
"Yea, ano-"
"Baiklah, aku juga berhenti disini. Aku ikut denganmu" potong Inoo, membuatku cukup terkejut.
"Kei?" Yabu menyela dan memandang Inoo sama terkejutnya dengan aku.
"Daijobu.. daijobu.." Inoo tersenyum dan kulihat Yabu tak bisa membujuknya lagi. Akhirnya kami turun disana.
Aku menunggu Inoo yang entah mengobrol apa dulu dengan Yabu setelah kami turun dari mobilnya. Yabu seperti memberinya pesan-pesan atau entahlah. Yang aku lihat dia tampak protektif pada Inoo-chan, dan Inoo sepertinya tidak keberatan.
* * *
Yaotome Ramen House.
Aku dan Inoo telah berada di depan toko ramen dimana teman-temanku bekerja. Dan sebenarnya pemilik toko ramen ini pun adalah temanku. Teman kami. Aku nyaris lupa kalau Inoo juga mengenal mereka.
"Irrashaimase" aku dan Inoo langsung disambut begitu kami masuk. "Ah kalian!" teriak Takaki lagi yang terang-terangan menyuarakan nada kecewa begitu melihat kami. Mungkin dia mengira kami pengunjung. Saat itu mereka memang baru membuka toko nya.
"Ou Takaki-kun!" sapaku.
"Yo Yuto.. Oh Inoo-chan?!"
Inoo pun membalas sapaan Takaki. Rasanya sudah cukup lama kami tak berkumpul lagi seperti ini. Aku berada di sekeliling orang yang biasa menjagaiku.. dulu. Sekarang aku bisa menjaga diriku sendiri dan malah mungkin menjaga mereka.
"Kalian?" sebuah suara lain menginterupsi kami. Ini dia si pemilik toko, Hikaru Yaotome. Dia masih sebaya dengan Inoo dan Takaki, tapi selepas sekolah dia harus meneruskan usaha orangtua nya ini. Jadilah dia bertingkah seperti bos sekarang, dan kadang-kadang aku melihatnya seperti ojisan.
"Hikaru-jisan!" sapaku seenaknya sambil menghambur ke pelukannya yang dengan cepat dia tolak mentah-mentah. Dia menutupi muka ku dengan kain lap yang dipegangnya.
"Jauh-jauh dariku kau anak muda pembolos!" katanya. Inoo dan Takaki menertawakan kami. Aku cepat menyingkirkan kain lap itu dari muka ku, sial.. Hikaru tahu kalau aku suka membolos.
"Aku tidak bolos!" kataku mencoba menyangkal.
"Ohya? Lalu kenapa di jam sekolah seperti ini kau berkeliaran dengan baju seragam, hah?" Hikaru menekankan kain itu sekali lagi ke muka ku. Aku cepat menepisnya.
"Aku-"
"Yuto tidak enak badan, jadi pulang lebih cepat, ne?" Inoo mendahuluiku yang baru akan beralasan. Dia menyelamatkanku, tapi terdengar seperti menyindir juga.
"Jangan percaya pada anak nakal ini" kata Takaki yang dengan enaknya tertawa dan menepuk kepalaku.
"Kau seperti baru kemarin mengenalnya saja, Inoo.." timpal Hikaru pula menggeleng-gelengkan kepalanya. Kulihat Inoo tersenyum dan memandangku,
"Aku hanya ingin lebih percaya padanya" katanya lembut, dan mendadak tubuhku seperti membeku tapi jantungku berdegup keras sekali, lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Yabai..
"Hai, hai.. manjakan saja adik kesayanganmu ini Inoo-chan!" komentar Takaki sambil berlalu untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Yeah, terus saja manjakan dia" tambah Hikaru pula, "Anak ini pasti tak akan dewasa meski badannya lebih tinggi dari kita"
Mereka tertawa. Aku malah diam, sibuk dengan perasaanku sendiri.
* * *
Bunyi nyaring ponselku, membuat aku agak terganggu dari tidurku.
"Niichan~ ponselmu.." samar, kudengar juga suara Raiya yang perlahan berusaha membangunkanku. Aku membuka mataku sedikit dan menggapai-gapaikan tangan meminta ponselku, Raiya yang sedang berada di meja belajar, mengambilkannya untukku.
"Hai?" aku menjawab telepon tanpa melihat caller id-nya terlebih dulu.
"Yuto-kun, aku sudah berada di depan rumahmu.."
EH? Seketika aku membuka mataku lebar-lebar, shock mendengar suara itu.
"Yama- Yamada?" kataku untuk memastikan. Aku melonjak bangun dari futon ku dan menghampiri jendela kamarku yang berada di lantai 2 ini, aku cepat membuka tirainya.. ah, dia benar ada di bawah sana.
"Apa yang kau pikirkan?! Ini masih terlalu pagi untuk pergi ke taman bermain..."
suaraku yang sudah agak meninggi karena ingin memprotesnya langsung menghilang begitu aku melihat jam di meja belajarku, pukul 11 lebih. "..kuso" umpatku akhirnya, setengah berbisik.
"Ini sudah hampir siang" kata Yamada yang aku yakin dia mendengar umpatanku barusan. Dan mungkin dia menertawakanku juga dalam hatinya.
"Aku tahu, kau masuklah. Aku akan bersiap-siap dulu!" tanpa menunggu jawabannya, aku mematikan ponselku, menyimpannya begitu saja di atas meja belajar dan cepat-cepat menuju kamar mandi. Raiya yang sedang mengerjakan PR, hanya memandangku bingung.
* * *
Hal pertama yang aku lihat ketika aku turun dari kamarku dan menuju ruang depan adalah pemandangan ibuku yang sedang mengobrol akrab dengan Yamada. Mama tertawa-tawa dan ramah sekali pada makhluk itu, aku yakin dia mengeluarkan jurus menjilatnya.
"Yuto, kau membuat Ryo-chan menunggu lama" kata ibuku. Aku langsung memandangnya tak percaya, RYO-CHAN? NANDAYO!? panggilan macam apa itu!? Bahkan pada Chinen yang sudah sering kemari, Mama tak pernah memanggilnya seintim itu. Tapi orang ini.. dia baru pertama kali datang- itu pun tidak diharapkan, dengan mudahnya bisa mengambil hati ibuku secepat ini!? kenapa!??
"Ii yo, Okasaan" Yamada menjawab dan sekali lagi aku harus membelalak, OKASAAN? ck, dia pikir dia siapa berani memanggil ibuku seperti itu!? Dia bahkan bukan teman baikku! Chinen saja masih memanggil ibuku dengan sebutan 'Nakajima-san', lalu kenapa dengan orang ini!? Kenapa dengan mereka berdua!?
"Kalau begitu, hati-hatilah kalian" Mama berpesan setelah kami akan pergi.
"Hai" sahut Yamada, sopan. Aku belum bisa berkata-kata, masih terlalu shock. Tapi mereka tampaknya tak menyadari.
* * *
"Kau kenapa?" tanya Yamada ketika kami sampai di halte bus. Dia bilang kami harus menunggu sebentar karena dia dan Suzuki berjanji untuk bertemu disana.
"Aku tidak apa-apa" jawabku monoton. Padahal mungkin dia heran karena sejak keluar dari rumahku tadi, aku belum mengatakan apapun. Kami sama sekali tidak mengobrol.
"Kau belum mengatakan apapun" katanya lagi.
"Aku hanya heran kau selalu cepat akrab dengan orang lain" kata ku akhirnya, jujur.
"Maksudmu Okaasan?" dia langsung mengerti, dan aku mengerutkan keningku mendengar dia memanggil ibuku dengan sebutan itu lagi. "Kau tidak suka aku dekat dengan ibumu? Dia sangat ramah dan menyenangkan.."
"Memang. Tapi setahuku kau dan aku bukan teman baik, Yamada" ujarku agak ketus.
"Kau masih kesal karena aku memukulmu kemarin dulu?" tanyanya. Aku menghela nafasku, sebenarnya bukan itu saja. Memangnya selama ini dia tidak sadar kalau kita tak pernah bisa berteman? Selalu ada saja yang membuat aku dan dia bertentangan. Aku orang yang suka seenaknya sedangkan dia orang yang teratur dan sangat menjaga image. Aku pikir kita sama-sama tahu kalau kita tidak saling menyukai.
"Atau karena yang dulu-dulu? Apa aku terlalu keras padamu?" tambahnya lagi karena aku malah diam. Dan dia memang seperti punya kemampuan untuk membaca pikiran orang.
"Aku pikir kita memang tak pernah berada di jalur yang sama, kau tahu itu" kataku.
"Kau pikir begitu?"
"Memang begitu. Kita ini bersaing"
"Aku tak pernah menganggapmu sainganku" aku melihat Yamada mengerutkan keningnya tak setuju. Dan aku merasa dia melecehkanku sekarang.
"Kau mau bilang kalau aku tak pantas jadi sainganmu!?" aku agak meninggikan suaraku tanpa sadar.
"Karena kita memang bukan saingan"
"Kau selalu menganggapku remeh!"
"Kenapa kita tidak berteman saja?" katanya tiba-tiba. Ini sikap aneh Yamada untuk kesekian kalinya. Setelah dia tiba-tiba mengajakku keluar hari ini, dan rela berbohong pada guru. Apa memang hanya untuk membalas budi karena aku mau ikut dengannya sekarang? Tapi kenapa dia harus menawariku pertemanan?
"Kau tak mau berteman denganku?"
Aku tak bisa berkata apapun. Harga diriku rasanya terlalu tinggi dan aku takut jadi tampak menyerah kalau aku mengiyakan begitu saja.
"Yuto-kun.." dia memandangku, meski tatapan nya sama dengan biasanya, tapi aku seperti membaca makna lain. Dia benar-benar berharap untuk bisa berteman denganku, masaka?!
"Aku-"
"Yama-chan!" suara seorang perempuan menginterupsi kalimat yang akan aku katakan. Suzuki sudah datang.
"Airi-chan" sapa Yamada pula. Aku bisa melihat kalau mereka memang akrab.
"Ah, Nakajima-kun?" Suzuki menyapaku juga, dan rasanya kalau aku tidak salah lihat, sepertinya dia cukup kaget melihatku disini. Tentu saja, perempuan mana yang akan senang kesempatan kencan nya untuk berduaan dengan orang yang dia suka harus diganggu oleh orang ketiga yang tidak diharapkan seperti aku.
"Yo Suzuki" aku balas menyapanya.
Setelah menunggu sebentar lagi sambil mengobrol, bus pun datang. Aku agak terhenyak saat tangan Yamada menarik tanganku dan membiarkan Suzuki mengikuti sendiri. Lagi, di dalam bus pun aku dibuat tak mengerti, kami duduk di bangku berdua, sedangkan Suzuki duduk sendiri di bangku sebelah kami. Huh, apa-apaan ini?! aku ingin sekali memberitahu Yamada, tapi begitu melihat ekspresinya aku jadi hanya bisa memendamnya. Dia terlihat biasa saja, Suzuki pun.. kenapa dia tampak tidak keberatan!? mereka tetap mengobrol seperti tadi walau sekarang lebih berjarak. Ck, pikiranku jadi berkecamuk memikirkan hal tak penting ini. Apa sebenarnya yang mereka mau!?
"Apa kita akan mencoba roller coaster?" tanya Suzuki pada Yamada, setelah dari tadi kami mencoba banyak permainan.
"Bagaimana Yuto-kun?" Yamada malah bertanya lagi padaku.
"Eh?" aku sebenarnya tidak begitu suka naik roller coaster, tapi aku tak mau terlihat bodoh di depan orang angkuh ini. "Ok, kita coba saja"
"Kau berani? sebenarnya aku agak takut" kata Yamada sambil tertawa kecil. Ini pertama kalinya aku melihat dia tertawa malu seperti itu. Aku tak menyangka dia akan mengaku terang-terangan di depan gadis kencannya.. dan di depanku? ah mungkin baginya tidak penting dia terlihat bodoh di depanku, dia tidak menganggapku orang hebat yang harus dia waspadai, sial.
"Kau takut?"
"Aku tidak berani" katanya dan sekali lagi tertawa padaku, kali ini lebih manis..
"Baiklah, kita coba yang lain saja" ajak Suzuki, membuatku harus melepaskan mataku dari wajah manis Yamada.. eh? sejak kapan aku berpikir dia manis!? Kuso!
Sepanjang hari itu pun aku tak berhenti berpikir, apa maksud semua ini?? tapi aku harus mengakui kalau aku menikmatinya. Bermain bertiga rupanya tak seburuk yang aku duga. Aku jadi ikut tertawa-tawa dengan mereka. Aku beberapa kali melihat Yamada tertawa - sungguh pemandangan yang jarang aku lihat. Dan anehnya Yamada juga selalu meminta pendapatku lagi setiap Suzuki mencetuskan sesuatu. Aku benar-benar bingung. Bukankah ini kencan mereka?
Hontou wakaranai~
* * *
Kami berpisah lagi di halte. Suzuki pergi sendiri ke arah yang berlawanan. Aku dan Yamada berjalan bersampingan ke arah tempat tinggalku. Sebenarnya aku tidak tahu kemana arah pulang Yamada, mungkin melewati daerah rumahku?
Lagi,seperti saat berangkat tadi, kami tak banyak bicara. Sampai tiba-tiba aku bersin karena hembusan angin yang menyergap kami, musim gugur memang akan segera tiba dan kadang anginnya tidak menyehatkan.
"Ah itu Inoo-chan?" kataku setelah mencoba merapatkan jaketku. Aku melihat ke jalan, ada Inoo yang sedang masuk ke mobilnya dengan seorang perempuan, yang belum pernah aku tahu. Mungkin teman kuliahnya.
"Dia bersama Miyabi-san" sahut Yamada.
"Miyabi-san?" aku menoleh padanya kaget. Kenapa dia bisa tahu nama perempuan itu? seperti sudah mengenalnya.
"Yea Miyabi-san. Dia pacar Inoo-senpai, kau tidak tahu?" dia bertanya padaku. PACAR? demi tuhan aku tidak tahu kalau Inoo sudah punya pacar! dia tak bercerita apapun padaku! tapi kenapa malah Yamada yang tahu!?
"Benarkah?"
"Iya, aku diberitahu Yabu-kun" rupanya dia tahu dari teman Inoo itu, berarti Inoo memang tidak bercerita pada siapapun lagi.
"Sou ka" gumamku yang mendadak jadi tak bersemangat. Aku sebal karena Inoo tak memberitahuku, tapi aku lebih sebal lagi karena dia.. sudah punya pacar. Entah kenapa aku seperti tak rela.
"Aku tak jadi mengantarmu" suara Yamada membuyarkan aku dari pikiranku.
"Eh?" aku melihat pada Yamada heran. "Memangnya kau mau mengantarku?"
"Tadinya iya" aku menangkap suara Yamada lebih datar daripada biasanya.
"Aku pikir tempat tinggalmu ke arah sini juga.."
"Tidak, aku harus naik bus lagi"
"Hah?" aku nyaris tak percaya mendengarnya. Jadi dari tadi dia.. "Harusnya kau mengantar Suzuki" kataku.
Yamada hanya mengangkat bahunya, entah apa artinya.
"Kalau begitu pulanglah" ujarku lagi. "Sankyu, sudah mengajakku. Tadi menyenangkan" tambahku. Bagaimanapun juga, aku anak yang tahu terima kasih.
Yamada tersenyum tipis,
"Terima kasih juga kau mau pergi denganku"
Aku membalas senyumannya singkat. Hei, aku belum mengiyakan untuk berteman dengannya, tapi kata-kata kami terdengar seperti dua orang yang sudah berteman baik, cih. Aku jadi bingung dengan diriku sendiri.
Kami pun berpisah disana, aku membalikkan tubuhku lebih dulu hingga tiba-tiba Yamada memanggilku lagi. Aku berbalik dan memperhatikan dia menghampiriku sambil melepas scarf berwarna biru yang dari tadi melingkar di lehernya. Perlahan, dia memakaikan scarf itu padaku.
"Kau bisa terkena flu" katanya, yang dengan sukses membuatku terpana.
* * *
TBC