Title : I Will Always (Want You) Part I
Author :
sutradarabukan Genre : Romance, Slice of Life, Incest
Rated : M (For several ChunJoe's sexy time)
A/N : Benar, ini lanjutan dari We Can't Stop
Don't you ever say I just walked away
I will always want you
I can't live a lie, running for my life
I will always want you
Wrecking Ball - Listen to this version >(
http://www.youtube.com/watch?v=w7SmdhfpAX8)
Byunghun tidak dapat membendung perasaan bahagia yang membuncah di dalam dadanya saat matanya menangkap sosok pria berambut pirang (Tuhan, dan disini Byunghun berpikir bahwa ia satu-satunya orang di dunia ini yang tidak akan memirangkan rambutnya!) yang tengah memutar kunci apartemennya dengan tumpukan buku di tangan kirinya.
“Hyung.” Byunghun akhirnya menemukan suaranya-“Chanhee hyung.” Dan memanggil sosok yang amat dirindukannya selama 304 hari lamanya mereka berpisah (Ya, Byunghun menghitungnya, bahkan menandai setiap hari yang terlewat dengan rasa rindu bernanah di dadanya dengan tanda x merah di kalender kamarnya).
Tubuh Chanhee seperti membeku, kunci di gerendel pintu apartemennya jatuh saat ia berbalik dengan mata membelalak karena kaget.
“Byung-Byunghun??!” Ia terperanjat kaget. Dan ekspresi kagetnya itu amat dramatis sampai sampai Byunghun tidak dapat menahan tawanya. “Hei, apa yang kau tertawakan?”
Ia sama sekali tidak berubah, Byunghun berpikir dalam hati saat dirasakannya tinju yang tidak menyakitkan di lengan kirinya itu.
“Wajahmu sangat lucu hyung, hahaha-maaf-“
“Persetan dengan itu, maksudku-“ Tangannya menyisir rambut pirangnya itu dengan kasar, ia terlihat bingung. “Bagaimana bisa kamu ada disini, di Tokyo, dan bukannya di Seoul?” Tawa Byunghun terhenti mendengar nada amarah di dalam pertanyaan hyungnya itu.
“Kamu ingin aku kembali?” Byunghun mengepalkan tangannya dengan perasaan kesal. Ia amat lelah menghabiskan waktu 2 jam dengan perasaan cemas di dalam pesawat dari Seoul menuju Tokyo dimana hyung satu-satunya itu berada-bukan hanya hyung, tapi satu-satunya orang yang amat dicintai Byunghun tanpa henti semenjak ia menginjak pubernya dan menyadari kasih sayang yang ia punya untuk hyung yang lebih tua setahun darinya itu adalah cinta dan bukannya rasa persaudaraan. Dan kini saat akhirnya ia berdiri di hadapan orang yang teramat dirindukannya itu, ia malah diomeli seperti anak kecil yang ketahuan melakukan perbuatan nakal oleh orang tuanya. “Kamu tidak menginginkan keberadaanku sama sekali disini, ya kan Hyung?”
Ada sesuatu di mata Chanhee saat Byunghun menatapnya dengan penuh rasa kesal dan kecewa-rasa bersalahkah itu? Dan disini Byunghun berpikir bahwa Chanhee akan menyambutnya dengan ribuan kecupan di wajahnya dengan bahagia.
“Baiklah, sesuai keinginanmu aku akan pulang! Nikmati harimu dengan buku buku bodohmu itu!!!” Byunghun tidak bermaksud untuk terdengar sekasar itu, ia hanya sedikit kesal akan reaksi Chanhee akan kejutan yang ia siapkan ini tidak seperti perkiraannya. Tapi untung saja sebuah cengkraman di lengan Byunghun cukup cepat untuk menahannya pergi.
“Maafkan aku!” Byunghun mendengar suara Chanhee serak seperti sedang menangis-atau benarkah ia-?
“Hei, kenapa kamu menangis hyung?” Byunghun diguyur rasa bersalah saat ia berbalik dan mendapati Chanhee tengah menangis dengan derasnya. “Hyung, hei-dengar, aku minta maaf oke? Aku tidak bermaksud untuk berteriak padamu-“ Byunghun merangkul hyungnya yang kini tangisnya bertambah deras, Byunghun bisa merasakan kehangatan dari air mata Chanhee meresap ke dalam hoodie yang ia kenakan.
“Maaf hyung, kurasa aku hanya kesal dan lelah.” Byunghun terus mengelus bagian belakang kepala Chanhee, jemarinya bermain dengan rambut pirang Chunji yang sedikit kasar dari yang terakhir ia ingat.
“Dan kurasa karena aku amat merindukanmu juga…” Byunghun menggigit bibirnya. Sekarang matanya yang terasa berat oleh air mata yang menggenang di pelupuk matanya, ia ingin menangis.
“…bodoh…” Byunghun mendengar Chanhee mengumpat dalam pelukannya.
“Huh? Apa katamu?” Baru saja Byunghun hendak protes soal apa yang hyungnya itu ingin katakan, Chanhee mengejutkannya dengan sebuah ciuman di bibirnya yang terbuka-itu memudahkan lidah Chanhee untuk masuk dan menelusuri rongga mulut Byunghun. Dan demi Tuhan, rasa ciuman Chanhee tidak berubah setelah setahun mereka berpisah-rasanya masih sama, membuatnya ingin menyesap rasa itu sampai tetesan terakhir!
“Mhh-ahh! Byunghun stop!” Chanhee berusaha menarik dirinya dari ciuman yang ia mulai sendiri-bukan salah Byunghun yang kini ingin lebih dan mulai mengecup Chanhee mulai dari pipi, dagu, leher dan terus lagi ke- “Byunghun, stop kubilang!!!” Chanhee mendorong tubuh Byunghun sampai terbanting ke pintu apartemen Chanhee di belakangnya. Itu tidak semenyakitkan rasa kehilangan yang Byunghun rasakan akan rasa bibir Chanhee yang memabukkan.
“Kenapa? Kamu yang memulainya, hyung!” Teriak Byunghun kesal.
“Seseorang bisa melihat kita, bodoh! Tidakkah kamu sadar kita masih berada di lorong tepatnya diluar apartemenku?” Wajah Chanhee yang memerah dan tersengal-sengal, membuat Byunghun ingin mengatakan;
“Persetan dengan itu, aku bisa saja menciummu sampai kamu kehabisan nafas di depan ibu jika kamu mau!” Balas Byunghun, melingkarkan tangannya di leher Chanhee kali ini, amat siap untuk menarik Chanhee ke dalam tindakan terlarang yang harusnya kedua saudara kandung seperti mereka tidak lakukan.
“Byunghun, tidak!!!” Chanhee bersikeras, ia mendorong tubuh Byunghun ke pintu apartemennya lagi, tapi kali ini sambil membuka gagang pintu dan membukanya- “Tidak disana.” Tatapan mata Chanhee saat ia memojokkan Byunghun ke arah tembok putih gading apartemennya-Byunghun bersumpah bahwa tatapan itu sama sekali jauh dari kata ‘tidak’.
"Tapi disini..."
“Hyung-“ Belum sempat Byunghun berkomentar bahwa mereka masih berada di lorong pintu masuk dan bukannya di kamar Chanhee seperti yang ia inginkan-Chanhee membungkamnya dengan bibir yang amat berdosa karena sentuhan magis dan menggoda di jawline Byunghun.
“Ah! Hyung!” Byunghun tidak dapat menahan dirinya terlebih lagi saat dirasakannya tangan Chanhee tengah bermain di pinggulnya-di karet boxernya lebih tepatnya-dan tidak ada yang ia ingin lakukan melebihi melepas boxer bodoh itu beserta celana jeansnya yang kini terasa amat sempit (Thanks to that hot lips of Chanhee’s!!!).
“Kamu pikir kamu bisa sebebasnya datang dan pergi setelah apa yang kamu lakukan padaku?” Bisik Chanhee dengan suara rendah di leher Byunghun yang meregang kenikmatan oleh gesekan yang Chanhee buat dari kedua pinggul mereka. Sesuatu yang mengeras terasa amat jelas menempel di paha Byunghun dari balik jeans yang Chanhee kenakan.
“Hyung kamu-“ Wajah Byunghun memanas saat ia menyadari bahwa hyungnya itu sama sama menginginkan satu hal sepertinya.
Tangan Chanhee yang mencengkram kedua pergelangan Byunghun ke tembok, mengisyaratkan bahwa ia akan menerima sesuatu yang lebih menakjubkan dari pada sambutan hangat selamat datang dari Chanhee.
Karena yang Chanhee tawarkan adalah sambutan selamat datang yang amat panas sampai sesuatu dalam diri Byunghun akan meleleh karenanya.
***
Itu adalah hari ke tiga (atau keempat? Byunghun berhenti menghitung waktu setiba kedatangannya ke dalam apartemen Chanhee) nya di Tokyo, namun tak ada yang ia lakukan selain bercinta dan menghabiskan waktu berdua di dalam apartemen Chanhee yang kecil dan rapi (Oh, kini semuanya telah berantakan, jika saja ada yang melihat mungkin mereka pikir ada badai yang menerjang apartemen mungil itu).
Byunghun tidak menyesali apapun, meski begitu.
Siapa yang akan menyesal jika kini ia disuguhi oleh pemandangan indah akan hyungnya yang seksi itu tengah memasak panekuk dengan celemek melingkar ditubuhnya yang tidak mengenakan apa-apa selain boxer kuning stabilo Byunghun.
“Hmm… Baunya enak.” Byunghun melingkarkan tangannya di pinggang ramping itu, menyurukkan wajahnya di rambut pirang acak-acakan milik Chanhee yang kini tengah terkikik geli.
“Hentikan mengendusku seperti anak anjing, Byunghun!” Chanhee menggerakkan bahu telanjangnya, berpikir itu akan mengusir Byunghun pergi, tapi justru itu malah membuat Byunghun mengigiti bahu telanjangnya yang amat menggoda itu.
“Byunghunnieeee!” Chanhee merengek sebal dan mati-matian berusaha untuk menyingkirkan Byunghun yang menempel padanya seperti seekor beruang. “Kamu akan membuatku membakar gosong makan siang kita, kamu tahu itu?!!” Ucapnya dengan alis bertautan kesal. Tapi bukannya takut, Byunghun malah menangkup wajah marah Chanhee dan mengecup amarahnya pergi tepat di dahinya yang mengerut.
“Aku bisa hidup hanya dengan menyantapmu seorang, Channie baby.” Byunghun memberikan cengiran nakalnya itu pada Chanhee yang kini wajahnya berubah menjadi merah padam. Lagipula siapa yang makan panekuk untuk makan siang? Byunghun memutuskan untuk tidak mengatakan hal itu pada Chanhee.
“Tidakkah kamu bosan setelah menyantapku selama 4 hari penuh, Byunghunnie?” Tanyanya sambil mematikan kompor dan memindahkan panekuk yang terlalu kering itu ke piring yang telah ia sediakan.
“Tidak sama sekali!” Byunghun mengikuti Chanhee yang kini menata makanan pertama mereka dimeja setelah seharian tanpa makanan dan hanya memiliki satu sama lain itu. “Kupikir aku tidak akan bosan jika itu kamu, Channie!” Byunghun tidak dapat menahan senyumnya saat dilihatnya wajah kekasihnya itu memerah sampai ke belakang telinganya karena nama panggilan darinya itu. Tidak dapat menahan diri, Byunghun merunduk untuk mengecup Chunji tepat di belakang telinganya yang memerah karena malu.
“Hei! Jangan bilang bahwa kamu akan sungguh-sungguh menyantapku?” Chanhee memukul dada Byunghun yang langsung mencuri panekuk di piring Chanhee; mungkin itu terlalu kering untuk seleranya; tapi ia tetap menghabiskannya seolah itu adalah makanan terlezat yang pernah ia makan.
“Amat lezat, meski terasa seperti creepes dibandingkan panekuk!” Ucap Byunghun sambil menjilati jemarinya dengan suara efek yang dramatis untuk menggoda Chanhee.
“Beraninya kamu!!!” Chanhee bangkit dari kursinya dan mengejar Byunghun yang segera melarikan diri ke ruang santai dan menaiki sofa satu-satunya di apartemen mungil itu untuk lari dari Chanhee yang kini mengancamnya dengan sendok sebagai senjata di tangan kanannya. “Hei, turun dari sofa-ku! Kamu tidak tahu bahwa aku amat menyayangi benda antik satu itu!!!” Chanhee berteriak.
“Bahkan lebih dari rasa sayangmu padaku? Benarkah itu Channie?” Byunghun berkacak pinggang dan enggan turun dari sofa kesayangan Chanhee itu.
“T-tentu saja! Kamu pikir kamu lebih hebat dari sofa itu, huh?” Tantang Chanhee sambil mengayunkan sendoknya di udara.
“Oh ya?” Byunghun menangkap tangan Chanhee dan menariknya hingga ia jatuh keatas sofa miliknya itu, dengan sigap Byunghun langsung duduk diatas perut Chanhee untuk menahannya bergerak dari posisinya. “Tapi itu tidak seperti yang terlihat saat kamu berada di bawahku seperti ini dan memohon padaku untuk segera membiarkanmu cum!” Ejek Byunghun.
“A-aku tidak pernah memohon!!!” Wajah Chanhee yang merona amat cantik, itu membuat Byunghun selalu menikmati membuatnya tersipu geram seperti ini.
“Hmm benarkah itu?” Byunghun merunduk untuk memberikan jilatan di telinga Chanhee-tepat di area sensitive yang amat Byunghun hapal akan membuat Chanhee menyerah dalam tangannya itu.
“B-benar!” Balas Chanhee. “A-aku tidak-ahh! Byunghun!!”
Ia mati-matian untuk menolak namun pada akhirnya dirinya tunduk pada adik yang setahun lebih muda darinya itu.
Mereka bercinta lagi, kali ini diatas sofa kesayangan Chanhee yang menjadi berantakan dan basah oleh perbuatan terlarang mereka itu. Kedua sejoli itu amat terlarut dalam letupan emosi dan nafsu yang kini telah tercampur menjadi satu, meninggalkan satu piring panekuk dingin di atas meja, selagi mereka mengukir cinta ke dalam tubuh satu sama lain.
***
Saat Byunghun terbangun oleh sinar menyilaukan dari jendela apartemen Chanhee yang terbuka lebar, ia sempat bingung dimanakah ia berada. Matanya begitu berat oleh kantuk yang masih belum hilang oleh tidur yang ia nikmati itu, tubuhnya berat-sesuatu menimpa tubuhnya. Atau tepatnya seseorang.
“Chanhee hyung?” Saat ia menyadari bahwa seseorang itu adalah tak lain tak bukan adalah kekasih tercintanya yang tengah tertidur berbantalkan dada telanjangnya yang kurus itulah Chanhee sadar dimana ia kini berada.
“Aku mencintaimu hyung.” Bisik Byunghun saat ia merengkuh tubuh polos Chanhee untuk berada lebih dekat padanya, ia memutuskan untuk memejamkan mata dan menghiraukan mentari yang tengah bersinar begitu terang pagi itu (atau lebih tepat dibilang siang?) ah, lagipula siapa yang perduli.
Byunghun sudah berada di surga, dengan keberadaan Chanhee begini dekat dan nyata di sisinya.
***
Setelah seminggu menjalani kehidupan seperti pasangan pengantin baru yang anti-social, barulah Chanhee mengajak Byunghun untuk keluar.
“Ayolah Byunghun, kita harus membeli sesuatu untuk kita makan! Apa kamu tidak tahu betapa mahalnya makanan jadi di Tokyo?” Chanhee berkacak pinggang, untuk pertama kalinya dalam seminggu di surga itu, Chanhee mengenakan pakaian lengkap seperti manusia pada umumnya.
“Tapi hyung, aku tidak lapar-“ Sebuah suara erangan didalam perutnya memotong kalimat Byunghun tepat sebelum ia dapat menyelesaikannya. Wajah Byunghun merona karena malu, dan Chanhee melemparkan jaket parka miliknya ke wajah Byunghun yang lebih merah dari kepiting rebus itu.
“Pakai itu, dan juga celanamu! Karena kita tidak mau membuat orang-orang diluar sana pingsan karena melihat tubuh telanjangmu yang mengerikan itu kan?” Ujar Chanhee sambil membuka pintu apartemennya.
Byunghun hanya mengenakan celana olahraga dan kaus yang ia temukan tergeletak di lantai (Itu agak berbau, tapi tidak apa-apa karena siapa yang akan mengendus baunya?).
“Oh ya? Lalu siapa yang malam lalu menelusuri tubuh telanjang ini dan mengatakan bahwa aku tumbuh dengan baik dan menjadi pria yang paling memiliki tubuh paling menggoda karena-uphhh!!” Chanhee membungkam mulut Byunghun dengan tangannya dengan mata mengancam dan wajah memerah.
Byunghun melihat seorang wanita paruh baya dengan kantung belanjaan lewat di belakang Chanhee dengan mata menyelidik kearah mereka. Ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa Jepang sambil menggelengkan kepalanya, itu membuat wajah Chanhee merona sebelum ia melepaskan tangannya dari wajah Byunghun dan berjalan menjauh menuju lift.
“Ada apa? Apa yang ahjumma itu bilang?” Tanya Byunghun setelah mereka masuk ke dalam lift yang hanya diisi oleh dirinya dan hyungnya itu.
“Sesuatu yang tidak ingin kamu dengar kurasa.” Chanhee berbatuk sebagai tanda diam saat pintu lift terbuka untuk sepasang suami istri dengan bayi dipelukan ibunya masuk.
“Apa itu hyung?” Byunghun menempel ke belakang Chanhee, berbisik amat dekat bibirnya menempel dengan telinga Chanhee. Chanhee menyikut nya tepat tulang rusuknya, membuat Byunghun meringis kesakitan dan keluarga kecil itu menengok ke arahnya dengan pandangan penuh tanya. Bahkan sang suami menanyai Byunghun sesuatu yang tidak ia mengerti (tentu saja, ia tidak belajar bahasa Jepang sama sekali!), namun Chanhee lah yang membalas pertanyaan itu dengan senyuman kecil dan elusan kecil di kepala Byunghun. Byunghun beramsumsi mungkin pria itu menanyakan apakah Byunghun baik-baik saja, dan Chanhee menjawabnya bahwa ia baik-baik saja. Byunghun lupa bahwa hyungnya itu telah hidup selama hampir setahun di Jepang, tentu saja ia akan fasih berbahasa Jepang!
“Hyung, kamu masih tidak memberi tahuku apa yang dikatakan ahjumma tadi sampai sampai membuatmu terlihat kecewa begitu?” Byunghun bertanya pada Chanhee yang tengah memilah makanan kaleng apa yang harus ia beli sementara Byunghun membawa kantung belanja mereka.
“Chanhee hyung! Kamu telah menghiraukan aku semenjak kita meninggalkan lift dan membuatku membawa kantung belanjaan jelek ini!!! Setidaknya tatap aku!” Rengek Byunghun sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
Chanhee menoleh, matanya menatap mata Byunghun yang berkaca-kaca, ia amat sedih mendapat perlakuan dingin dari hyungnya itu sampai sampai ia ingin menangis karenanya.
“Hyung!” Tapi saat Byunghun pikir bahwa Chanhee akan merubah moodnya, keningnya malah diketuk dengan satu kaleng ikan sarden pedas kesukaannya oleh Chanhee yang kini berbalik badan menuju tempat dimana mereka menjual ikan segar yang masih hidup.
“Lee Chanhee! Apa sesuatu membuatmu kesal? Bukan aku kan?” Tanya Byunghun yang segera menyusul Chanhee. “Jika itu aku, aku minta maaf meski aku tidak tahu salahku apa. Kumohon, katakanlah sesuatu, aku tidak tahan denganmu yang mendiamkanku seperti ini!”
“Menggelikan.” Byunghun yakin itu yang ia dengar keluar dari bibir Chanhee yang tengah berjongkok di depan akuarium dimana ikan ikan hidup itu berenang kesana kemari. “Dia bilang kita menggelikan, Hunnie…” Dan bulir bulir airmata pun jatuh dari sepasang mata cantik milik hyungnya itu.
“Eh?? Hyung? Ke-kenapa kamu menangis?” Panik, Byunghun ikut berjongkok disebelah Chanhee dan menyaksikan hyungnya itu menangis sambil menggigit bibir bawahnya. Hal itu membuat dada Byunghun perih seperti ditancapkan oleh duri.
“Ahjumma itu mengatakan bahwa kita menggelikan, tidak mengertikah kamu akan semua itu Byunghun? Sekarang kamu juga tidak mengerti bahasa korea, huh??!” Chanhee membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangannya.
Byunghun merasa bodoh, karena meski ia mengerti maksud kata-kata dari ahjumma tetangga Chanhee itu, ia tidak mengerti kenapa karenanya Chanhee terlihat begitu kecewa?
“Dasar bodoh, jika aku memperdulikan komentar dari orang asing yang bahkan tidak mengerti apa-apa soal kita berdua seperti itu hyung, aku tidak akan berada disini sekarang.” Byunghun tersenyum sambil menarik tangan Chanhee dan membantunya berdiri.
Wajah sembab Chanhee memandang Byunghun dengan bingung. “Maksudmu?”
“Maksudku…” Byunghun menautkan jemarinya dengan milik Chanhee lalu mengecup punggung tangan milik hyungnya dengan lembut. “Aku mencintaimu melebihi rasa malu dan ego-ku, hyung.” Ucapnya lalu menghapus satu lagi bulir airmata yang jatuh dari mata Chanhee.
“Maaf Byunghun, bukannya aku malu akan hubungan kita, aku hanya khawatir-“
“Ssshh…” Byunghun menempelkan telunjuknya di bibir Chanhee, sambil memberikan senyuman terbaiknya pada Chanhee ia mengatakan. “Kamu tidak perlu khawatir akan apa yang orang lain pikirkan, yang hanya perlu kamu khawatirkan adalah apa kah menu makanan kita malam ini. Oke?”
Chanhee tidak punya pilihan lain selain tersenyum dan mengangguk.
“Bagus, sekarang ayo kita pergi ke bagian daging sapi! Aku amat benci makan ikan!” Byunghun membawa keranjang belanjaan di tangan kirinya, sementara di tangannya yang lain ia menggenggam tangan Chanhee dengan erat.
Mungkin tangan Chanhee berkeringat karena tatapan bingung orang-orang pada tautan tangan mereka sembari mereka berjalan, tapi Byunghun meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya Chanhee yang gugup akan kencan pertama mereka di Tokyo.
Mungkin itu tidak seperti yang Byunghun bayangkan, berkencan seperti pasangan pengantin baru yang berbelanja di supermarket ternyata tidak seromantis yang mereka tunjukkan di televisi.
Tapi paling tidak ia memiliki Chanhee disisinya, yang membalas tautan tangannya tak kalah erat darinya. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk Byunghun.
***
Chanhee memberi tahu Byunghun bahwa ia sedang dalam liburan semester di kampusnya sambil mengupas kulit apel untuk Byunghun yang berbaring di paha hyungnya itu. Itu semua menjawab pertanyaan bagaimana Chanhee tidak pergi untuk kuliah sama sekali setibanya Byunghun di Tokyo.
“Tapi hyung, apa bersekolah di sini menyenangkan? Apa kamu memiliki banyak teman?” Tanya Byunghun dengan mulut menganga menunggu Chanhee menyuapinya apel.
“Ada kesulitan beradaptasi dengan kebiasaan orang Jepang disini, tapi sejauh ini aku baik-baik saja.” Chanhee tersenyum sambil menyuapi Byunghun apel yang segera dikunyahnya dengan bahagia.
“Bagaimana dengan teman-temanmu? Kamu tidak menjawabku soal itu, apakah mereka baik padamu? Apa ada yang berusaha menggodamu? Pasti ada kan? Tunjukkan padaku siapa orangnya, akan kuhajar ia sampai giginya rontok!” Wajah Byunghun berapi api dan Chanhee membungkamnya dengan apel yang lain.
“Berhenti menjadi pencemburu dan makan saja apelmu!” Chanhee menggeram.
“Tapi ini belum dikupas hyung! Menggelikan!” Byunghun hendak memuntahkan potongan apel di mulutnya saat ponsel Chanhee berdering.
Keduanya tertegun, sebelum Byunghun menyikut Chanhee dan memperingatinya bahwa itu ponselnya yang berdering. Byunghun mempersilahkan Chanhee untuk mengambil ponselnya dan melanjutkan aktivitasnya untuk bermalas-malasan di atas sofa sambil memakan apel yang tadi sedang Chanhee kupas.
Setelah beberapa potong apel ia habiskan, akhirnya Chanhee kembali dengan wajah muram. Dahinya mengerut seperti ia sedang menahan amarah di dalam dirinya.
“Byunghun, kupikir kita perlu bicara.” Dan sepertinya sumber amarahnya itu adalah Byunghun.
“Bukankah itu yang sedang kita lakukan hyung?” Byunghun terkekeh, mencoba mencairkan suasana menegangkan diantara mereka. Tapi Byunghun segera menyesalinya saat dilihatnya ekspresi di wajah Chanhee.
“Hyung, apa ada sesuatu yang salah? Kamu terlihat tegang setelah menerima panggilan itu, memang siapa yang menelepon?” Byunghun bertanya dengan perasaan bergemelut ketakutan. Rasanya ia tahu siapa orang di dunia ini yang mampu membuat kekasihnya itu gusar hanya dengan sebuah panggilan telepon.
“Ibu.”
TBC