Sang Pengabdi Nada

Jun 06, 2009 19:50



SANG PENGABDI NADA



Aku jarang memperhatikan penonton kami. Tapi yang satu ini tidak bisa tidak akhirnya tertangkap mataku. Tentu saja. Penonton kami sedikit. Dan yang satu ini, harus kuakui, luar biasa. Dia selalu ada di barisan depan, dari awal sampai akhir. Dari sejak kami disewa untuk manggung di kafe ini, sampai kami diusir dan pindah ke kafe lain, dan diusir lagi. Dia selalu ada. Selalu di baris terdepan.


Memang bukan aku yang pertama kali menyadari itu. Teman-temanku yang bilang padaku. Aku mulanya tak percaya. "Pantas kalau kamu nggak tahu. Kalau nggak merem, lihat sepatu, lihat senar, apa lagi sih yang kamu lihat?" begitu komentar mereka.

Kata mereka, dia selalu tersenyum balik pada mereka setiap mereka menatapnya. Dia tak pernah salah menangkap atmosfer nada. Dia ikut mengangguk-angguk jika nada menghentak, terpejam dan seolah hilang di awang-awang jika nada menggantung, dan seketika matanya terbuka lebar dan hidup jika nada menukik dan menghempas. Tapi sebagus apapun apresiasinya pada musik kami, tak ada temanku yang datang padanya dan mengucap terima kasih. Dia pun tidak pernah menyambangi kami dan melontarkan komentar. Sampai suatu saat aku menghampirinya.

Kami ngobrol lama di malam itu. Dia mentraktirku makan, dan aku tak menolak ajakan itu. Kami saling bertukar cerita. Lebih tepatnya, dia bicara sedikit dan aku mengobral kisah hidupku dan perjalanan band kami yang tidak maju-maju. Tapi dia sama sekali tidak tampak bosan dengan ceritaku. Dia bahkan memaksa untuk mentraktirku lagi besok malamnya. Ah, itu tidak tepat juga. Mana mungkin aku menolak ajakan makan gratis, apalagi dari penggemar. Ya, karena memang kami jarang mendapat penggemar.

Hampir setiap malam setelah kami manggung, dia selalu mentraktirku makan. Dan hanya aku. Teman-teman enggan mendekati dia, dan dia pun sepertinya tak berminat pada mereka. Mungkin karena mereka laki-laki semua, dan dia wanita cukup berumur. Ah, sebetulnya dia belum tua. Mungkin kehidupan yang membuatnya tampak sepuluh tahun lebih tua. Entahlah. Aku juga tak banyak tahu tentang dia.

Yang kutahu, namanya Asih. Welas Asih. Seperti namanya, dia memang penuh belas kasih. Tapi teman-temanku tertawa waktu aku katakan itu. Entah kenapa, mereka tak pernah bilang sebabnya. Ah, sudahlah. Itu tak penting. Yang penting, aku menemukan teman untuk ngobrol soal musik yang aku sukai, hidupku yang begitu-begitu saja, kota yang membosankan ini, hal-hal seputar cewek yang dianggap kuno oleh cewek gaul jaman sekarang, sekaligus dianggap remeh oleh cowok, dan tentu saja, jaminan makan malam gratis.

Meskipun dia hampir delapan tahun lebih tua. Dan beranak dua. Dan aku sering nggak nyambung kalau dia tahu-tahu ngomong soal keluarganya.

Abaikan itu semua. Tidak ada teman yang sempurna. Bahwa dia tak pernah bosan mentraktirku makan dan suka musik yang oleh banyak orang di kota ini disebut aneh dan bikin pusing, itu sudah lebih dari cukup untuk menambal beda usia dan status di antara kami.

Aku tidak butuh lebih dari itu.

Aku pun tidak memberi lebih dari itu. Tidak juga senyum ringan saat aku memetik gitar, atau tatapan panjang padanya saat aku menyanyi. Tidak ada yang berubah. Dan memang tak ada yang perlu berubah. Dia tetap duduk di bangku terdepan, hanyut dalam lagu apapun yang kami mainkan, mentraktirku makan malam dan memancingku masuk ke obrolan panjang yang nyaris selalu diawali dengan, “Musikmu memang luar biasa.”

Dan saat aku mulai bosan dengan prolognya itu, dia akan mulai berkomentar panjang. Kadang aku ingin merekamnya, menulisnya, lalu mengirimnya ke kolom review musik di koran kota kecil ini. Sayangnya tidak ada koran yang mengulas musik yang kami mainkan, apalagi sampai pernah mendengar nama band kami.

Saat itulah aku kembali ke kenyataan, menjadi pendengar setia bagi penggemar setia band kami.

“Musikmu begitu hidup. Tangan-tangannya merayap masuk ke gendang telingaku, menerobos ke otak, mencengkeramnya. Lembut awalnya. Makin lama makin kuat, mendekap erat, lalu menembus masuk. Mencengkeram dari dalam. Membawanya meluncur, turun melewati jalur spiral panjang tak berujung.”

Atau begini, “intro lagu kedua itu seperti peluru meluncur, menembus masuk ke dalam paru-paruku. Di sana dia tidak menyebar panas, tapi meledakkan udara begitu banyak sehingga aku tak perlu lagi bernafas. Dia juga menyerap bobot daging tubuhku sehingga aku menjadi sangat ringan. Aku melayang pelan, naik terus naik ke angkasa hitam. Tak bisa berhenti. Aku tak lagi punya kendali atas tubuhku.”

Oke, kuralat. Komentar dia mungkin lebih cocok masuk ke kolom cerpen. Kadang aku merasa komentarnya itu lebih mirip karya prosais yang terengah-engah mencari uang untuk menyambung hidup.

Dan itu deskripsi yang lebih tepat untuk mewakili kehidupan sebagian dari kami. Ya, aku termasuk di dalamnya. Aku memutuskan cuti kuliah untuk berfokus di musik yang tidak menghasilkan uang ini. Keputusan yang dianggap drastis sekaligus bodoh oleh keluargaku. Drastis karena seharusnya aku bisa lulus 1-2 tahun lagi. Bodoh karena banyak perempuan seumurku yang tidak boleh kuliah, karena kawin atau menjadi TKW itu dianggap lebih realistis dan menguntungkan. Setidaknya itu yang lazim di kota kami. Aku menolak disebut bodoh. Maka keputusan drastis berikutnya pun muncul.

Aku pindah. Aku menolak menjadi parasit. Aku menyewa kamar kos sempit yang awalnya kuanggap murah. Siang hari, aku kerja di toko buku yang sepi pembeli. Malamnya band-ku memainkan musik yang membuat Asih melayang-layang, tapi tidak disukai orang. Itupun kalau ada yang membayar kami. Atau kami menyewa studio untuk latihan. Lama-lama kami jadi jarang menyewa studio lagi, karena kami kehabisan uang. Dan sebagai gantinya, kami latihan memainkan lagu yang setengah jadi di panggung.

Di saat-saat itulah Asih muncul.

Dia pernah minta diajak nonton kami latihan. Aku menolak dan membeberkan cerita itu. Dia menawarkan diri untuk membayar sewa studio latihan. Aku menolak. Aku lupa alasan penolakanku, meskipun tawaran itu tidak cuma datang sekali. Aku lebih suka mengajaknya tenggelam dalam obrolan musik space rock, mengenang era psychedelic sound dan kejayaan band-band maestronya di Eropa, serta sesekali mengeluhkan minat musik orang-orang di kota ini yang melulu mengincar goyangan pinggul dan dada. Dan selera mereka pun tak jauh dari urusan pinggang ke bawah.

“Makanya musikmu bikin pusing,” kelakarnya.

“Dan bikin pingin bunuh diri,” sambungku.

Lalu kami tertawa berderai-derai. Tapi sempat kulihat matanya berkata lain. Ada kekosongan di sana. Apa dia pernah pusing dengan kehidupan rumah tangganya? Pernah ingin bunuh diri karena suami dan anak-anaknya yang ‘baik-baik saja’?

Aku tak pernah berani bertanya. Sudah kubilang kan, aku sering nggak nyambung dengan topik kehidupan rumah tangga. Setidaknya aku tahu, bukan musik kami yang bikin dia pusing dan ingin bunuh diri.

Malam-malam penuh obrolan space rock dan traktiran makan berlalu baik-baik saja sebelum datang ide dari Alan, bassist kami. Dia usul untuk merekam lagu-lagu kami ke dalam CD dan menyerahkannya ke panitia festival band indie. Jika kami lolos sebagai finalis, maka nama band dan kota kami akan mampir dalam peta musik Indonesia. Bukan ide yang luar biasa, cemerlang atau bahkan sekedar kreatif. Aku dan Rian, si keyboardist, tahu pasti kenapa ide itu tak pernah kami ucapkan. Tapi saat itu, mereka bertiga menganggapnya ide brilian. Aku belum tahu persis kenapa, bahkan saat Zaki, drummer kami, bertanya padaku,

“Pacarmu itu mau jadi… eh, apa istilahnya? Maecenas?”

Aku tahu arti Maecenas, tapi tak tahu arti ‘pacarmu’.

“Pasti mau. Kalau dia, apa sih yang enggak buat Maya? Tul nggak?” Rian ikut menimpali sambil tersenyum aneh.

“Makan dibayarin, pulang ditemenin. Eh, apa lagi yang belum kusebutin, May?”

Aku tak banyak bicara waktu itu. Kepalaku tiba-tiba berdenyut-denyut di sekitar mata kanan, seperti yang sering terjadi menjelang menstruasi. Padahal masa menstruasiku bulan ini sudah lewat.

.

Malam sesudah kami manggung, seperti biasa Asih mentraktirku makan. Tidak seperti biasanya, aku menolak. Aku ingin langsung pulang dan rebahan di kasur. “Tapi kau harus tetap makan,” bujuknya. Lalu dia membeli dua porsi mie goreng dan mengantarku pulang.

Aku tidak langsung tidur. Di atas sepetak lantai antara kasur dan pintu, Asih membuka bungkusan mie goreng. Kami berdua lalu makan dan ngobrol seperti biasa. Awalnya kami ngobrol soal celana sempit, ibu kos, dan entah bagaimana sampai ke Broken Horizon , lagu terbaru bandku. Dia tak percaya waktu kubilang bahwa lagu itu belum selesai. Katanya, itu lagu kami yang paling sederhana, tapi manis. Dia bahkan menyebutnya lagu kami yang paling optimis. Aku tertawa mendengarnya. Lalu tahu-tahu dari bibirku meluncur cerita tentang ide Alan, festival band indie, latihan intensif di studio, keyboard yang lebih bagus, rekaman, dan duit. Entah sadar atau tidak, aku selalu menyebut angka setelah menjelaskan tiap proses itu. Dan aku baru ingat sekarang, dia terus memencet tombol-tombol hp-nya sewaktu aku bicara. Dia tak mengeluarkan sepatah kata pun sampai aku benar-benar selesai bicara. Kata-kata yang dia ucapkan kemudian sama sekali tidak ada hubungannya dengan cerita panjang yang barusan kusampaikan.

“May, kau punya rekening bank kan?”

Aku mengangguk. Dan ketika dia menanyakan nomornya, aku asal menunjuk lemari tempat aku menyimpan benda-bendaku yang tak seberapa itu. Aku sibuk menghabiskan mie goreng yang tiba-tiba terasa luar biasa lezat, jadi aku tidak tahu apa yang dia lakukan waktu itu.

Yang aku tahu, dia sudah duduk di sampingku tepat saat aku menyuapkan satu sendok terakhir mie ke dalam mulutku. Aku merasakan sentuhan lembut di rambutku. Aku menoleh padanya, dan dia bilang,

“Ada mie di pipimu.”

“Sebelah mana?” tanyaku.

“Sebelah sini,” jawabnya. Jari telunjuk dan jempolnya menjumput potongan mie itu dari pipi kananku, lalu menaruhnya di antara bibirku. Gurih micin dan harum bawang putih menyeruak masuk ke mulut.

Tangannya tidak ditarik ketika aku mengunyah potongan mie yang melarikan diri dari sendok tadi. Ujung-ujung bibirnya sedikit terangkat, memaksa bulatan daging terkumpul di pipi. Tidak halus seperti tomat. Tapi segar berisi seperti mempelam yang matang di pohon. Kerut di bawah matanya adalah tekstur unik yang belum pernah kusadari sebelumnya. Tekstur yang membentuk harmoni dengan coklat tua pupil. Dan matanya adalah bayangan teduh di bawah pohon randu pada sore hari. Entah sudah berapa tahun aku tak melihat ada mata seteduh itu memandang ke dalam mataku.

Dia memang seperti namanya, penuh belas kasih.

Lampu di kamar sempitku terasa semakin temaram ketika ada bibir menyentuh bibirku. Menyapu lembut bekas gurih micin dengan gurih yang sama.

Dan malam itu, kami berbuat lebih dari itu. Jauh lebih dari itu.

.

Sudah seminggu dia pergi. “Aku dan anak-anak ikut bapaknya pindah tugas ke luar kota,” katanya waktu itu. Sampai kapan, dia tidak tahu.

Kami diam. Aku menekuri pola karpet plastik yang monoton. Aku berharap dia bicara, terserah mau bicara apa. Tapi dia tidak ngomong apa-apa. Mungkin dia menunggu aku bicara. Aku juga tidak tahu mau ngomong apa. Bunyi tik tok tik tok jarum jam jelas seribu kali lebih cerdas daripada kami berdua.

Aku harus mencuri kecerdasannya saat itu juga.

Tapi bunyi itu mengikatku. Aku dibawanya pergi dari pola karpet plastik yang monoton dan dari kamar kos sempit itu. Aku dibawa ke labirin panjang dan kosong. Tidak kosong, tapi lebih tepat disebut penuh. Penuh oleh bunyi tik tok tik tok. Labirin panjang, berkelok-kelok dan turun. Turun terus, dan entah di mana dasarnya. Semakin turun, semakin aku merasa tubuhku diregangkan seperti kawat spiral ditarik. Aku tahu tubuhku tak selentur itu. Aku pasti akan tercerai-berai entah menjadi berapa bagian.

“May…”

Sesuatu di pundakku. Sebuah tangan. Tangan Asih.

Aku telah kembali ke kamarku.

“Kapan kita bertemu lagi?” tanyaku. Aku baru sadar, kami tak pernah bertukar nomor telepon. Tentu saja, aku kan tak punya hp. Dan aku tak pernah menanyakan nomor hp-nya.

Dia tersenyum lembut. Senyum yang penuh belas kasih. Seperti namanya.

“Aku akan menemukanmu.”

Dia tidak bilang bagaimana dia akan menemukanku. Dia tidak pernah bilang pamit padaku. Aku pun tidak pernah bilang selamat jalan, sampai ketemu lagi. Tidak pernah ada kata-kata itu.

Yang ada hanya ciuman panjang dan dalam.

.

Dia memang menemukanku. Lebih tepatnya, delapan digit transfer di saldo rekeningku itu yang menemukanku. Dua kali aku bertanya pada gadis cantik di balik meja Customer Service di bank itu. Dua kali pula dia membaca nama pengirim yang tertera di layar komputernya: Welas Asih. Tanggal pengiriman, dua hari setelah malam itu. Malam ketika dia menghilangkan jejak mie goreng di pipi kananku.

Teman-temanku tak pernah bertanya dari mana aku dapat uang sebanyak itu. Mereka seperti mendadak dapat suntikan energi baru. Kami habiskan hampir sebulan untuk latihan intensif, meneliti setiap ketukan lagu, mengaransir ulang lagu-lagu kami, terutama Broken Horizon. Kami bahkan membeli keyboard baru yang bisa memberi kekayaan sound lebih. Merancang desain album demo CD. Bolak-balik mencetak dan merancang ulang sampai menemukan desain paling pas. Menyewa studio rekaman setengah hari. Rekaman kami berjalan mulus dan cepat. Tinggal mendaftar dan menyerahkan demo CD ke panitia.

Proses yang detil, panjang, melelahkan, tapi hasilnya sempurna. Termasuk jumlah hari aku bolos kerja.

Sebetulnya itu tidak jadi masalah besar buat pemilik toko. Justru masalah besarnya datang padaku. Toko itu sering tutup. Dan persis pada hari ketika band kami mendapat jadwal manggung untuk babak kualifikasi, toko buku itu dinyatakan tutup untuk selamanya. “Maaf, kami tidak bisa memberi pesangon. Mbak Maya sendiri lihat kondisi keuangan kami, kan?” kata lelaki berusia 60-an itu dengan sedih. Dengan tertatih, dia mengajakku masuk ke gudang.

“Saya tidak bisa memberi apa-apa. Cuma buku-buku ini,” tangannya gemetar ketika menunjuk tumpukan buku dagangannya, “Mbak Maya bisa pilih sendiri, berapa saja.”

Dia telah tiga puluh tahun lebih menjalankan toko buku ini. Dia selalu ramah pada pembeli. Selalu bersemangat menerangkan isi buku. Meskipun pengunjung tidak jadi membeli, dia tetap tersenyum ramah pada mereka. Bahkan sering ada orangtua yang menyicil pembayaran buku pelajaran anaknya. Kadang dia menegurku kalau aku menagih pada mereka. Kasihan, katanya. Mbak Maya tahu, apa pekerjaan dia? Lalu dia bercerita tentang para pengutang yang memang benar-benar miskin itu. Aku sering merasa dia mengenal baik semua pembelinya, bahkan seluruh orang di kota ini.

Betapa kecil kota ini. Betapa besar hatinya.

Aku hanya menggeleng pada tawarannya. Aku tak tahu lagi harus berkata apa.

.

Hampir sebulan berlalu sejak babak penyisihan festival band indie berakhir. Dan lebih dari sebulan kami kehabisan uang lagi setelah uang delapan digit melayang untuk latihan intensif, merekam demo dan tetek bengek pendaftaran festival. Persiapan berminggu-minggu yang akhirnya hancur dalam setengah menit. Ya, band kami langsung tumbang sejak intro berakhir. Aku tahu itu dari mata juri dan penonton. Entah mereka tidak suka musik yang kami pilih, atau tidak suka lagu kami. Atau kami memang bermain jelek. Yang jelas harapan untuk dikenal, meski sekilas, di peta musik Indonesia pupus sudah. “Masih ada tahun depan,” kata Alan menyemangati.

Tapi aku tidak termotivasi. Aku sudah bisa menebak ke mana dua cowok kaya seperti Alan dan Zaki tahun depan. Zaki akan berada di kota lain untuk kuliah, mungkin di kota yang ada universitas internasionalnya. Dan Alan akan mencari kerja di kota lain, atau kembali ke pangkuan perusahaan kertas milik keluarga besarnya.

Dan mereka akan menemukan musisi yang lebih baik daripada aku. Atau yang tidak repot mencari uang susu buat bayinya seperti Rian.

Kami berempat bermusik karena cinta. Tapi mereka lain. Buat mereka, bermusik adalah hobi. Buat kami, bermusik adalah nasi. Adalah susu formula buat bayi Rian yang datang terlalu cepat. Adalah minyak tanah buat istri Rian. Adalah sewa kamar kos, rekening listrik dan ongkos naik angkot. Buat aku dan Rian, bermusik adalah hal-hal yang datang dengan sendirinya buat Alan dan Zaki.

Dan sekarang, aku berada di titik nadir. Tanpa kerja, tak ada yang menyewa kami. Tidak ada yang bisa kujual untuk menyambung hidup. Pulang ke rumah orangtua? Aku belum berminat alih profesi menjadi parasit.

Bagaimana kalau mengamen? Tapi mengamen pakai gitar listrik itu ribet dan boros.

“May…”

Tidak. Menjual gitarku satu-satunya adalah lebih buruk daripada bunuh diri.

“Mayaa...”

Aku tidak akan menjual gitarku meskipun teman-temanku meninggalkan aku sendiri. Meskipun tidak ada lagi penonton yang mau bertahan sampai aku menyelesaikan satu lagu. Meskipun aku tidak pernah lagi menemukan penonton yang seperti Asih.

Untunglah dia tidak tahu kegagalan band kami. Setidaknya sampai empat bulan lagi, saat semua finalis tersaring dan masuk studio rekaman. Saat mereka menggantungkan harapan pada satu-dua lagu di album kompilasi itu. Saat yang tidak akan pernah tiba buat kami.

Entah di mana dia akan mencari CD album band-band finalis dan tidak menemukan nama band kami di sana. Entah di mana dia akan menemukan aku setelah ini.

Ingin aku tunjukkan padanya demo CD kami. Desain sampulnya yang surealis. Logonya yang simple dan menipu. Kata-kata pengantarnya yang puitis. Tiga lagunya yang menjadi album konsep, meskipun mini. Melodinya yang rapi. Ritmenya yang terjaga. Liriknya yang kontemplatif.

Tapi sanggupkah itu membayar kegagalan kami di festival? Sanggupkah itu mengobati harapannya yang tercabik-cabik hanya dalam setengah menit?

Sanggupkah itu menghapus apa yang terjadi di malam itu?

“May!” bahuku diguncangkan. Aku menoleh ke tangan si pengguncang. Tangan Alan. “Ngelamun melulu dari tadi,” komentarnya.

Aku memaksakan senyum.

“Ya iyalah ngelamun. Kangen berat,” kata Zaki. “Udah berapa minggu dia nggak datang?”

Entah dia bertanya pada siapa.

“Siapa yang nggak datang-datang?” Rian balik tanya pada Zaki.

“Pacarmu itu,” jawab Zaki sambil menyenggol pundakku. “Siapa namanya? As… Asih?”

Aku ingin menonjok mulutnya. Sungguh.

.

--- dua tahun kemudian ---

.

Maya memasukkan gitar listrik ke dalam tas hitam yang warnanya masih agak mengkilat. Bukan cuma tasnya. Gitar listrik itu masih berkilat. Masih baru. Dia memang disuruh mengganti gitar lamanya yang kusam. Tidak, bukan sekedar mengecat gitar yang lama. Ganti gitar baru. Terserah merek apa dan mau dikasih effect apa. Kenapa, tanya Maya waktu itu. Karena kau punya banyak uang sekarang, itu jawabnya. Maya tidak berkomentar. Tapi wajahnya semakin muram di balik riasan tebal itu.

Dia bukan lagi Maya yang tampil di panggung tanpa riasan. Dia juga tidak lagi ditonton satu-dua orang yang kemudian meninggalkannya di lagu kedua. Kini petikan gitarnya dijawab dengan suitan, tepukan dan goyangan. Tapi tak satupun penonton meneriakkan namanya. Mereka meneriakkan nama penyanyi utama yang menggetarkan pinggul dan pantatnya. Atau penyanyi utama yang mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, meminta penonton bernyanyi bersamanya. Melantunkan lirik-lirik cinta yang mendayu-dayu. Atau makian kasar buat pesaing cinta. Atau ajakan untuk berselingkuh.

Maya tidak terlalu peduli siapa penyanyinya, atau apa yang dinyanyikannya. Dia hanya tahu bahwa dia harus memetik 3 atau 4 kunci yang diulang-ulang, dan berusaha tuli pada musik yang dimainkannya. Musik yang dibencinya. Musik yang memberinya makan, uang kuliah, baju, sepatu, alat rias dan parfum yang layak untuk mendampingi penyanyi utama yang dipuja-puja.

Dia tidak lagi tinggal di kamar kos sempit. Dia kembali ke rumah orang tuanya, ikut membayari rekening listrik dan telepon hanya karena dia tidak ingin numpang gratis. Dia kembali kuliah. Kadang dia harus bolos kuliah karena manggung di luar kota atau jadwal latihan molor karena artis utama telat datang. Tapi kuliahnya lancar. Keluarganya kadang menyebut “Maya nggak bisa ikut, Tante. Dia sedang show bareng artis X,” sekedar untuk menyombongkan kesuksesannya. Maya yang sekarang adalah anak yang dibanggakan dan saudara sedarah yang disayang. Masa depan cerah terbentang di depan Maya.

Tak ada yang peduli mengapa Maya semakin jarang bicara. Semua menganggap Maya yang sekarang lebih serius dan sibuk, sehingga tidak sempat bicara banyak. Semua, kecuali Rian. Hanya Rian yang melihat mata kosong di bawah sorot lampu dan jerit penonton. Hanya dia yang tahu sebabnya.

Kadang di balik panggung, saat penonton masih riuh menjeritkan nama artis utama dan terdengar suara cempreng MC yang melontarkan lelucon konyol, dia mendekati Maya. Di sela gaung musik yang dianggap kacangan oleh Maya, Rian memasangkan iPod ke telinganya. Dia senang melihat perubahan raut muka Maya ketika musik dari iPod itu merayap ke telinga dan jiwanya. Dia tidak canggung memeluk gadis itu dan mencuri dengar suara yang bocor dari earphone. Membiarkan mereka berdua larut dalam kenangan musik yang mereka cintai sepenuh hati, tapi tidak membalas mereka dengan cinta yang cukup.

Dan hanya Rian yang tahu apa yang Maya lakukan pada bunga-bunga yang dikirim untuknya. Bunga mawar hitam. Tidak ada tumbuhan mawar hitam. Warna hitam sengaja dipoleskan sesuai permintaan pengirimnya.

“Itu tanda cinta yang tidak pudar sampai kematian memisahkan,” kata Rian sok tahu.

Tapi Maya tahu maksud si pengirim bunga. Dia selalu menyimpan kartu ucapan di saku bajunya, dan bunga-bunga itu di kotak khusus yang selalu dibawanya ke mana-mana. Sudah puluhan mawar hitam bertumpuk di kotak itu. Bunga yang layu ditumpuk dengan bunga segar yang baru datang. Kartu ucapan ditumpuk di kotak khusus yang juga selalu dibawa ke mana-mana dalam tasnya. Isi ucapan hampir selalu sama. Nama pengirimnya pun sama, hanya inisial WA atau A saja.

Maya tak perlu membaca kartu itu. Dia sudah tahu siapa pengirimnya. Dia sudah tahu artinya, lebih daripada yang ditulis di sana. Karena hitam sudah cukup mengatakan segalanya. Dan karena mawar adalah tanda cinta.

Maya menatap wajah Rian yang tidak tampak bertambah tua. Wajah itu selalu riang dan ramah. Sejak dulu ketika dia pontang-panting mencarikan uang buat membeli susu bayinya, hingga sekarang dia bisa membelikan anaknya rumah boneka seharga jutaan rupiah yang rusak dibanting dalam tempo kurang dari durasi satu lagu.

“Rian,” katanya pelan. “Kau menganggap dirimu pemusik?”

“Aku dapat uang dari bermain musik,” jawab Rian. “Ya, aku pemusik.”

Dia menatap wajah Maya yang muram, “kenapa tiba-tiba nanya, May?”

Tepat setelah kata May terucap, telepon genggam Maya berdering. Sebuah pesan singkat masuk.

“Kau sendiri gimana, May? Kau menganggap kamu pemusik?” lanjut Rian.

Maya menaruh telepon genggamnya begitu saja setelah selesai membaca SMS. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Rian.

Dia membiarkan dirinya terbaring di lantai dan matanya menatap pola kosong eternit. Dia tidak sadar Rian mengambil telepon genggamnya dan membaca layar berisi SMS yang belum ditutup. “MATI AJA KAU! PERUSAK MUSIK! BAJINGAN KAU! MEMBUSUKLAH DI NERAKA! BAWA MATI MUSIKMU ITU! DASAR LON-“

“Aku--” Maya menjawab. Rian menutup SMS itu, tidak tega dengan isinya. Dia curiga itu bukan pesan pertama yang diterima Maya. Dia mulai menduga-duga Maya kenal pengirimnya.

“Aku adalah… “ kata Maya lirih, “…pelacur.”

.

~ selesai ~

.

Fiksi ini didedikasikan untuk para idealis yang setia.

fic, psychedelic, shoujo-ai, space rock

Previous post Next post
Up