Title : Clock Strikes
Author :
shinsakuraiRating : PG
Genre : AU, Fluff, Angst
Pair : SakuMoto (JunxSho actually...:p)
Fandom : Arashi
Type : Chapter, 4/?, part2/2
Language : Indonesia
Disclaimer : Arashi kepunyaan eyang Johnny XD dan cast laen masing2 punya jimusho nya~ saya cma modal cerita
Judul diambil dari lagunya One Ok Rock~ ga tw knpa saya pake jdul ini XP
Warning : violence,bad words, slight science-fiction, slight medical-fiction
Kalau tidak ingat dengan janjinya pada keluarga di panti asuhan, Sho benar-benar nekat untuk pulang dan tidak berada di café pagi itu untuk sarapan-tak dapat disangkal perutnya memang lapar.
Satu-satunya yang diinginkannya saat ini adalah menghindari sosok bernama Matsumoto Jun. Tetapi dirinya tidak mau membuat orang-orang terdekatnya kecewa atau bertanya-tanya penyebab kepulangannya. Sho tidak mau bersikap seperti pengecut, apalagi di depan anak-anak.
Tidak seperti yang disangkanya, ternyata beberapa orang masih ada di café. Tiba-tiba ia merindukan Nino, sejak kemarin siang ia tidak melihatnya. Sho butuh teman bicara, dan Nino benar soal Jun.
Sho memandang jam dinding di café itu-jam tangannya tertinggal, ia baru teringat kalau jam di kamarnya setengah jam lebih awal.
Orang itu membuatku lupa banyak hal. Keluh Sho.
Walaupun Sho sudah tenang dan bisa berfikir lebih jernih sekarang, dia masih agak terkejut dan kesal.
Apa-apaan dengannya… confession yang tiba-tiba…
Dan…ciuman itu.
Wajah Sho merah padam mengingatnya.
Jangan bercanda, dia pikir dia siapa, mengacaukan pikiranku-membuatku menangis.
Sho melahap sarapannya sambil melamun sendirian, memandang ke arah jendela kaca, langit tampak cerah hari ini, sangat kontras dengan perasaannya. Tiba-tiba ia ingin hari hujan. “Haaah…”, Sho menghela nafasnya.
Sebenarnya… jujur, Sho sangat menikmati kebersamaannya dengan Jun kemarin. Di luar sifatnya yang cenderung menolak orang lain, Jun sangat perhatian, inosen seperti anak-anak, dan menyenangkan.
Seorang Matsumoto Jun bisa memilih siapa saja di luar sana, kenapa malah dirinya, renung Sho.
Kau sangat tidak beruntung menjadikanku sesuatu yang berharga.
Suara kursi ditarik dan nampan yang ditaruh tepat di mejanya mengalihkan perhatian Sho, membuatnya menengok ke arah sumber suara.
Jun duduk tepat di meja yang sama dengannya, di hadapannya. Sho merasa hampir terjungkal dari kursinya sendiri akibat kaget. Kekagetan Sho segera berubah menjadi kekesalan, membuatnya berdiri seketika dan beralih ke meja lain.
Tak disangka Jun mengikutinya.
“Ada apa denganmu?! Kenapa kau mengikutiku? Banyak meja kosong!”
Jun hanya diam saja, acuh, memandang Sho sebentar, kemudian dengan kasual melahap sarapannya.
Sho tidak percaya dengan sikap Jun. Dia merasa bertambah dongkol, kemudian berpindah meja lagi.
Hal yang sama untuk kedua kalinya dilakukan Jun, ia berpindah meja mengikuti Sho.
“Kau!”
Akhirnya Sho memutuskan untuk mengalah, merasa percuma kalau ia pindah meja lagi. Cepat-cepat ia menghabiskan makanannya. Cara makan Sho yang lucu membuat Jun tertawa tertahan, yang hanya bisa dibalas Sho dengan delikan.
Jun benar-benar mengikuti Sho dari café ke toilet hingga tiba di kantor Prof. Tokui , mereka tidak langsung masuk ke laboratorium karena harus bertemu dengan Prof. Tokui. Hari ini wartawan beserta beberapa orang penting juga datang.
Jun berdiri di samping Sho dengan jarak yang sangat dekat, menunggu kedatangan Prof. Tokui-yang menurut sang asisten, sedang keluar sebentar.
“Kau benar-benar…”, Sho tidak dapat menyelesaikan kalimatnya saking kesalnya. Namun, Jun terlihat tidak peduli, seolah tidak ada kejadian apapun antara mereka tadi pagi. Yang berbeda, Jun sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun.
Sho menghela nafasnya, tangannya memegang dahinya, menyadari sesuatu lagi. Menyadari kenapa Jun tidak berbicara.
Tatapan Jun tiba-tiba berubah khawatir lagi.
“Ck… aku tidak apa-apa, kau yang membuatku pusing dengan sikap anehmu.. kau…”, Sho teringat kejadian di kamarnya, dan langsung memalingkan mukanya lagi dari Jun. “Kau boleh berbicara kalau kau mau, aku tidak benar-benar serius mengatakannya tadi, hanya spontanitas. Ini semua gara-gara tingkahmu sendiri. Aku tidak ingin kau bercanda seperti itu lagi.”
“Aku sedang tidak sedang bercanda, Sho.”
“Kalau begitu, aku ingin kau menarik kata-katamu.”
“Apakah kau menganggapnya sebagai beban? Kau tidak perlu membalas perasaanku kalau tidak mau. Hanya satu yang perlu kau ingat, kau berhadapan dengan Matsumoto Jun, yang tidak pernah menarik kata-katanya. Aku selalu serius dan tidak pernah melakukan apapun setengah-setengah.”
“Kau hanya membuang-buang waktumu… sungguh… kau akan menyesalinya.”
“Kenapa? Sikapmu membuatku semakin ingin tahu dan paranoid. Kau tidak akan pernah mengira hal sejauh apa yang bisa kulakukan untuk melindungi seseorang yang berharga untukku.”, ucap Jun menarik pergelangan tangan Sho, membuatnya menghadap ke arahnya. Dan yang dilihat Jun membuatnya sedikit terkejut, didapatinya mata Sho berkaca-kaca.
“Jangan berkata segampang itu, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan ketika itu di luar batas kemampuan manusia. Aku belajar itu selama bertahun-tahun kehidupanku. Dan kau juga kan? Kau pernah kehilangan dua orang yang berharga untukmu…”, Sho menarik lengannya dari Jun tepat sebelum kedatangan Prof. Tokui ke arah mereka.
“Ah, kalian sudah di sini rupanya… Apa ada masalah?” , ujar Prof. Tokui sambil melirik ke arah mereka berdua.
“Tidak..”, jawab Sho dengan intonasi datar.
“Baguslah kalau begitu, Sakurai-kun, kau ikut denganku. Dan Matsumoto-kun, kau tunggulah Prof. Himura di sini, beliau akan kemari sebentar lagi.”
Apa yang sebenarnya terjadi padamu Sho? Apapun itu, aku berjanji tidak akan pernah menyerah untukmu…
*
Sesuatu menyerupai kristal persegi panjang yang ukurannya tidak melebihi besar lengan orang dewasa terlihat berpendar dengan lima warna dalam tabung kecil yang berisi cairan. Itu adalah hasil kerja keras mereka semua, sebuah reaktor- sebuah prototipe ‘baterai’ yang bisa menghasilkan energi dengan kekuatan luar biasa besar. Jalan baru dalam perindustrian menggantikan bahan bakar dari bumi yang semakin terbatas.
Semua yang hadir bertepuk tangan dalam suara yang riuh ketika presentasi selesai. Prof. Tokui melambaikan tangannya ke hadapan publik dari atas balkon.
“Tidak sia-sia, berkat dua orang anak jenius dan berbakat di hadapan kalian, proyek ini dapat selesai lebih cepat dari dugaan. Perkenalkan Matsumoto Jun -Prof. Tokui menunjuk ke arah Jun yang berada beberapa meter di lantai bawahnya- tentu kalian sudah mengenalnya, penerus tunggal Matsumoto Enterprises, sayang, ayahnya tidak bisa hadir di sini karena ada kesibukan lain.”
Jun hanya mengangguk sambil tersenyum singkat.
“Dan…”, Prof. Tokui merangkul bahu Sho yang berada tepat di kanannya. “Kalian pasti akan terkejut setelah saya memperkenalkannya nanti kepada anda semua.”
Sho melirik bingung ke arah Prof. Tokui, tidak ada yang bisa mengejutkan para hadirin tentang dirinya.
“Oh iya, selain memperkenalkan sosok di samping saya ini, saya juga akan memberi anda bonus. Saya akan mempresentasikan mengenai proyek saya yang lain.”, ujar Prof. Tokui sambil menunjuk ke sebuah arah, pintu metal menyerupai brankas yang masih dalam keadaan tertutup, pada salah satu sisi laboratorium. Bisik-bisik terdengar, semua pikiran yang hadir jelas dipenuhi tanda tanya.
Tiba-tiba perasaan Sho menjadi tidak enak, Prof. Tokui tidak menyebut apapun soal ini. Dan ia sama sekali tidak melihat Nino di dalam laboratorium, serta seseorang yang baru disadarinya-Takeuchi-sensei, dan beberapa ilmuwan lain juga tidak ada. Kenapa?
“Kembali pada topik, saya ulangi dengan singkat saja, kalian tentu sudah mengetahui kalau proyek ‘baterai’ ini telah dirancang sejak 12 tahun yang lalu, dan harus terhenti karena sebuah insiden yang memilukan, yang sempat menyita perhatian. Proyek ini diprakarsai oleh 3 orang sahabat-kalau anda mau menyebutnya begitu.”, ujar Prof. Tokui sambil tersenyum tipis.
“Saya, Tokui Yoshimi, Matsumoto Tsukasa, dan Kamiyama Takuya-yang tanpa anda sekalian sangka, takdir pun telah membawa anaknya untuk bergabung di sini.”
“Ehhhh….”
Keterkejutan terpancar dari semua orang termasuk Jun, mereka menganggap Prof. Tokui sedang mengeluarkan lelucon tidak lucu, karena jelas insiden itu telah menyebabkan satu keluarga terbunuh, termasuk satu-satunya anak keluarga Kamiyama.
Dan pada semua layar monitor presentasi, tiba-tiba terpampang foto yang sangat familiar bagi Sho. Fotonya saat berumur kurang lebih 10 tahun’an, tahun pertamanya di panti asuhan, bersama Aiba Masaki di sampingnya, dan beberapa anak panti asuhan lain.
Sho tidak mengerti arah pembicaraan ini, dipandangnya tajam Prof. Tokui, “Apa maksudnya ini?”
Di sisi lain Jun tidak kalah terkejutnya, matanya berkaca-kaca ketika mengenali salah satu anak di dalam foto itu. “Tidak mungkin, Satoru…”
“Ya, Kamiyama Satoru masih hidup, dan dia berada tepat di samping saya.”, Prof. Tokui merangkul bahu Sho kembali.
“Maaf?”, Sho menaikkan satu alisnya sambil melepaskan diri dari rangkulan Prof. Tokui.
Prof. Tokui dengan santai melanjutkan ceritanya, “Sebuah keajaiban terjadi di hadapan kita, Kamiyama Satoru berhasil selamat dari insiden itu, tumbuh besar di panti asuhan sebagai Sakurai Sho, tanpa ingatan apapun mengenai identitas dirinya yang sebenarnya. Sepertinya trauma yang besar membuatnya menghapus semua memori sebelum dirinya berada di panti asuhan.”
“Anda hanya mengarang indah, Profesor…”, bantah Sho.
“Apa kau tidak pernah merasa penasaran kenapa ingatan pertamamu adalah saat umur 10, terbangun dalam keadaan bingung di sebuah rumah sakit, lalu muncul seorang pria yang sama sekali tidak kau kenal, yang akhirnya membawamu ke panti asuhan? Apa kau tidak penasaran terhadap mimpi-mimpi buruk yan tidak pernah bisa kau ingat?”
“Ke-kenapa anda bisa tahu itu?”, Sho sedikit mundur, melihat sekilas pandangan hadirin yang telah berubah menjadi penasaran kepadanya. Dan Sho benar-benar benci itu.
“TOKUI!! APA MAKSUDNYA INI?! JANGAN BERCANDA!”, Jun tiba-tiba berteriak dari bawah.
“Ahh… MatsuJun, apa kau tidak percaya? Kau seharusnya senang karena teman kesayanganmu masih hidup, aku masih ingat kalian selalu bermain bersama dulu.”, Prof. Tokui menyeringai kecil dari sudut bibirnya.
Jun mematung, perasaannya pun bercampur antara marah, bingung, kesedihan lama yang muncul, dan rasa ingin tahu yang besar apakah Sho memang benar Satoru-seorang sahabat yang pernah ia punya, sahabat yang telah membuat hari-harinya yang kelam ketika ditinggalkan selamanya oleh sang ibu, sesaat menjadi terang kembali sebelum akhirnya dia pun pergi.
“Saat menginjak umur 15, akhirnya disadari ada sesuatu yang tidak beres dengan kepalanya-”, lanjut Prof. Tokui kembali.
“Jangan bicara lagi!”, Sho melangkah maju dengan cepat ke arah Prof. Tokui dan mencengkeram kerah jas laboratoriumnya. “Kenapa anda melakukan ini? Jangan sampai saya memukul-”
“Tidak penting bagimu apa tujuanku melakukan ini. Yang perlu kau urusi adalah fakta bahwa aku tahu semuanya tentangmu, bahkan hal-hal yang kau sendiri pun tidak tahu…”, Prof. Tokui berkata sangat lirih, yang hanya bisa didengar Sho.
Sho memandang dengan nanar tanpa bisa membantah banyak, ”Aku merasa tidak perlu mendengar apapun dari mulutmu.”
Layar proyektor berganti gambar kembali, sebuah CT-Scan tengkorak kepala manusia.
Cengkeraman Sho pada Prof. Tokui merosot, terkejut melihat gambar yang tertera pada monitor.
“Keajaiban dia bisa selamat, keajaiban dia masih hidup sampai sekarang. Dengan kemungkinan keberhasilan operasi hanya 2%, sepertinya dia memilih untuk mempertaruhkan sisa keberuntungannya dengan membiarkan sebuah peluru berada di dalam otaknya hingga saat ini. Pendarahan di otaknya bisa menyebabkan fungsi otaknya berhenti secara tiba-tiba. Jalan apapun yang dipilihnya hanya akan berakhir dengan kematian. Kau tahu kalau kau bisa mati kapan saja kan, Satoru-chan? Kau ingat, aku biasa memanggilmu dengan sebutan itu...”
“CUKUP!”, teriak Sho mencengkeram kembali Prof. Tokui.
“Bisa kubayangkan betapa hidupnya dipenuhi ketakutan dan kebingungan, karena ada bom waktu yang terus berdetik dalam kepalanya tanpa tahu kenapa itu bisa terjadi.”, Prof. Tokui balas menatap ke dalam mata Sho sambil tertawa seperti seorang psikopat berdarah dingin. “Kau tidak mau orang lain melihatmu lemah, tetapi kau juga takut mati dalam kesendirian… kasihan…”
“Jangan sok tahu tentang apa yang kurasakan, brengsek!”, amarah yang sudah begitu mendidih membuatnya ingin menangis walaupun tidak ada air mata yang bisa keluar, membuat sakit kepalanya semakin menjadi.
Sho mengepalkan tinjunya ke arah Prof. Tokui sebelum dicegah oleh dua orang asistennya.
“Lepaskan aku! Sialan!”.
Teriakan Sho menusuk hatinya. Hati Jun mencelos mendengar kata-kata Tokui, ia sama marahnya, tetapi terlalu speechless. Dia tidak menyangka soal Satoru, dia tidak menyangka kenyataan seburuk ini yang terjadi pada kehidupannya yang kedua sebagai seseorang bernama Sho, seseorang yang ia cintai kini. Air mata mengalir di pipi Jun, sungguh, dia akan melakukan apa saja untuk bisa menghapus penderitaannya.
“Apakah tidak sebaiknya kau mendengarkan dengan tenang. Karena sebuah video yang menarik akan segera diputar.”, Tokui kembali berbicara tetap dengan nada yang memuakkan.
“Aku tahu kau sebenarnya penasaran. Ahh, mungkin kau akan bisa mengingatnya sendiri nanti. Kudoakan semoga ingatanmu kembali. Coba tebaklah, siapa yang menembakkan peluru itu ke kepalamu...”, lanjut Prof. Tokui sambil menaruh telunjuknya di dahi Sho, menirukan bentuk pistol.
Sho membeku, ketakutan perlahan merayapinya, dia tidak tahu kebenaran apa yang menanti di depannya.
Prof. Tokui berjalan sambil tertawa geli sendiri menuju tepi balkon yang berpagar kaca bening setinggi pinggang, “Untuk semua orang yang hadir di sini, pejabat, ilmuwan, pers… saksikanlah video rekaman insiden 12 tahun lalu, hanya segelintir orang yang tahu, karena beberapa pihak memang melarang ini dipublikasikan. Insiden pembantaian masal yang menewaskan belasan ilmuwan dan sebuah keluarga…”
Semua orang memberikan reaksi yang berbeda, beberapa penasaran, beberapa mengeluarkan erangan tidak setuju karena topik yang sudah melenceng jauh, dan sisanya mulai menganggap Prof. Tokui sudah gila.
Jun tahu seberapa mengerikan rekaman video itu saat dirinya tidak sengaja melihat rekaman itu ketika kecil, dan kalau Sho memang benar Satoru yang kehilangan ingatannya, maka lebih baik ia tidak pernah melihat apalagi mengingat apapun soal insiden itu.
“Hentikan, Tokui! Aku benar-benar akan membunuhmu kalau kau memutar video itu!”,tiba-tiba Jun seperti kehilangan kendali, dia berusaha menaiki tangga menuju balkon, memukul beberapa ilmuwan-sepertinya anak buah Tokui, yang berusaha menghalanginya.
Beberapa hadirin mulai ricuh, akhirnya terprovokasi oleh tindakan Jun. Mereka mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sini, karena membicarakan tentang insiden 12 tahun lalu sesungguhnya hal tabu.
Tetapi Jun tahu ia terlalu terlambat. Tepat saat dirinya sampai di atas, yang didapatinya adalah Sho yang berdiri dengan tatapan setengah hampa menatap monitor, tanpa ekspresi.
Sho dapat mendengar suara pistol dengan jelas ditembakkan beberapa kali, teriakan seorang wanita yang menyebut nama anaknya untuk yang terakhir.
‘Satoru, lari!’
Beberapa detik kemudian, dilihatnya tubuh wanita itu tak bergerak lagi, berlumuran darah. Sedangkan tepat di sampingnya, berdiri seorang pria dengan tatapan seperti tanpa jiwa, wajah dan pakaian yang penuh percikan darah, mengarahkan pistol yang dipegangnya dari arah sang wanita kepada seorang anak kecil-dirinya yang ketakutan.
Dirasakan sekelilingnya berputar, seiring memori yang perlahan kembali. Sakit kepalanya yang menjadi dua kali lipat serta air mata mengaburkan penglihatannya.
Sho dapat mengingat ruang keluarga yang dipenuhi bau mesiu dan darah. Perasaan shock, sedih, putus asa, dan ketakutan luar biasa yang merasuki pikiran 10 tahunnya. Ayahnya yang selalu baik kepada mereka berdua, yang selalu menjadi idolanya, tiba-tiba berubah hari itu.
Ayah telah membunuh ibu, dan kini akan membunuhnya juga, anak kandungnya sendiri. Teriakan memohonnya sama sekali tak dipedulikan, Sho berlari sekuat tenaga di koridor mencari pintu keluar.
Namun, suara tembakan tetap terdengar dari arah belakang, sebuah peluru tiba-tiba melesat menggores pipinya, sebelum akhirnya memecahkan vas bunga di depannya.
Dan kemudian hal terakhir yang diingatnya adalah suara letupan kedua, lantai berkarpet yang ternoda oleh darahnya sendiri, sebuah suara letupan pistol lagi-entah mengarah ke mana, yang kemudian ditutup dengan kegelapan yang menyelimutinya.
Sho berteriak keras sambil menutup telinga dengan kedua tangannya sendiri, dan jatuh terpuruk ke lantai-yang dirasakannya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar.
Satu-satunya hal yang diinginkannya sekarang adalah mati.
~tbc~
saya bukan org sains, juga bukan orang kedokteran~ smua hanya piksi belaka, maap bila ada salah-salah XD
Hal2 di dalemnya keinspirasi dr pelem yang saya tonton… smcm good will hunting, iron man, kamen rider… dan mungkin telenopela ahaha
Base cerita di kepala saya agak ruwet, smoga bsa tertuang dg cukup baik.. thx for reading >///<