Staring: the GazettE, and everyone who shown in this absurd story…
Author: Sa~
Rating: PG 15
Pairing: Reita x Ruki, Tora x Saga
Warning: kisu… nothing else… (maybe)
Disclaimer: I’m not owned anything… khukhukhu… it’s okay, it’s okay… (throw in both of them)
Tentu saja saat itu Reita merasa bingung, karena dia tidak merasa pernah mengirim lamaran ke perusahaan manapun, bahkan ia belum pernah menulis lamaran. Jadi, itu dari siapa? Ia bertanya-tanya.
~†~†~†~
“Reita… aku berangkat dulu ya,” Ruki menenteng tas laptop hitamnya, ia sudah mengenakan kemeja putih lengan panjang dan jubah hitam emas, seragam dari PSC bagi para peneliti. Seragam berupa jubah dan rompi hitam emas adalah seragam bagi para peneliti, sedangkan jubah dan rompi hitam perak adalah seragam bagi para penyerang.
“Tunggu Ruki!” Ruki melihat Reita berlari terburu-buru menuruni tangga sambil membawa tas, mengenakan rompinya yang berwarna hitam perak, diikuti Sabu yang melompat-lompat di belakangnya. Tangan Ruki yang memegang gagang pintu berhenti.
“Eh? Rei-kun? Ada apa?? Kau mau ke mana?” Ruki menatap Reita bingung, sementara Sabu menggigit-gigit ujung celana panjangnya.
“Ya ke PSC, aku ditelepon Miyavi pagi tadi, ia juga mengatakan hal yang sama dengan Hiroto, para penyerang dikumpulkan untuk bertemu dengan Master Black Alice,” mereka berdua terdiam, sementara Sabu bersandar di kaki Ruki.
“Apa yang sebenarnya terjadi ya?” Ruki terdiam dan bersandar di pintu, lupa bahwa pintu itu tidak ditutup.
“Eh?” Ia berseru heran, tubuhnya limbung. Refleks tangan Reita memeluk Ruki untuk menahannya dan mereka berdua terjatuh tepat di depan pintu masuk rumah Ruki. Posisi tubuh Reita berada di atas tubuh Ruki, dan bibirnya mencium leher Ruki yang tidak tertutup kerah kemejanya. Selama beberapa detik mereka tidak bergerak.
“Hei, tidak bisakah kalian bermesraan di dalam kamar saja?” sebuah suara mengagetkan mereka dan Reita maupun Ruki menengok ke atas. Wajah cantik dan rambut sewarna madu, dia…
Uruha? Reita bangun dan membantu Ruki untuk berdiri, wajah mereka berdua bersemu merah, menatap Uruha yang melipat kedua tangannya di dada.
“Kalian berdua ini ya, malah sibuk bermesraan di depan rumah begini. Dan kau Reita, sempat-sempatnya membuat kiss mark di tubuh Ruki,” mata Uruha menelusuri leher Ruki yang terbuka. Tersenyum melihat kiss mark yang memerah dan menyebar di lehernya.
“HAH?” Mereka berdua bingung, Reita memegang kedua pundak Ruki dan memutar badannya menghadap wajahnya. Wajah Ruki tanpa dosa melihat Reita menatapnya dengan wajah yang sangat merah. Uruha hanya menggeleng-geleng dan berdecak, “Ckckck…” menatap Ruki, adik yang disayanginya itu.
“Ada apa Rei-kun?” Reita tersenyum malu dan mengancingkan kemeja Ruki, hingga kiss mark yang dibuatnya tak terlihat.
“Nah, begini lebih baik,” ia mengusap rambut Ruki yang lembut, dan Uruha berdeham.
“Ehem… jangan melupakanku yang ada di sini. Aku datang bukan hanya untuk melihat kemesraan kalian berdua lho…” Reita mengangguk malas dan membersihkan debu yang menempel di jubah Ruki.
“Jadi apa yang mau kau katakan Uru?” tanya Ruki.
“Yeah, aku hanya mau mengatakan, Master akan menunggu jam 6, waktu makan malam, jadi aku hanya ingin memastikan apakah kalian kalian mau berangkat sekarang atau nanti?” Uruha memakai rompinya yang berwarna hitam perak itu.
“Ya, kami baru saja mau berangkat ke sa…” Uruha memotong perkataan Reita, “Lalu kenapa kalian berdua tadi malah bermesraan di luar begini? “ tanya Uruha sambil lalu.
“… kami tidak bermesraan! Tadi itu kami tak sengaja terjatuh tahu!” tukas Ruki cepat, Uruha menaikkan sebelah alisnya, tapi kata-kata dan gerakan mereka berhenti.
Dari kejauhan mereka bertiga bisa mendengar kata-kata sekitar empat orang perempuan yang berisik, “Kyaa… cakepnya…” seru mereka kompak.
“Keren banget!” seru yang lain.
“Ada yang imut lagi, uwah… cantik!” yang lain menimpali.
“Kyaa… senyumnya itu lho… jadi mau peluk!!!” yang lain terlihat lebih ekspresif.
“Ssst ssst… jangan teriak-teriak begitu, nanti terdengar oleh mereka!!!” Sudah jelas suaranya terdengar dan kata-kata itu bisa dipastikan seratus persen ditujukan untuk mereka bertiga. Lalu suara celotehan yang berisik itu melewati mereka dan menghilang di balik tikungan.
“Hhh… selalu saja begitu,” Uruha menghela napas lega, begitu juga Reita dan Ruki. Setiap kali mereka dan semua yang bekerja di PSC turun ke jalan, mereka pasti mendapat banyak lemparan tatapan kagum, dan bisik-bisik akan menyebar.
Mungkin ini dikarenakan daya tarik mereka ynag berbeda pada masing-masing pekerja di PSC, berkharisma, memiliki wajah yang menarik, sifat dan sikap yang membuat orang lain mudah terpikat.
“Kadang aku merasa ini sangat merepotkan… membuatku sedikit risih,” Reita mengingat kembali ke beberapa hari sebelumnya.
Ia sedang duduk menunggu pesanannya datang di sebuah sudut café, waktu itu Ruki belum pulang. Membaca majalah yang baru saja dia beli sambil memutar-mutar kunci dan mendengarkan musik dengan earphone. Tak sadar di sekelilingnya, para perempuan berbisik-bisik dan mengeluarkan tawa, mencoba menarik perhatiannya.
Tapi dasar Reita! Ia tetap sibuk membaca majalah, saat pesanannya datang, waitress tu mencolek tangan Reita dan tersenyum. Reita menengadah dan melepas salah satu earphone-nya, menatap waitress itu. Membuat tangan waitress tersebut menjadi gemetaran saat meletakkan cangkir dan makanan di mejanya.
“I… ini…pe… pesanannya silakan,” ia berkata dengan terbata-bata.
Reita merespon dengan senyum, “Terima kasih…” ia mengangguk dan menghirup kopinya, tapi… DUGH!!!
“Aaaw… sakit…” dengan sukses waitress itu menabrak dinding yang jelas-jelas ada di hadapannya.
“Kamu ngga apa ‘kan?” Reita berdiri dan bersikap gentle, membuat semua perempuan yang dari tadi mencoba menarik perhatiannya jadi melempar tatapan membunuh kepada waitress tersebut.
“Eeh? Iya, saya… aku ngga apa kok…” ia tersenyum malu, namun tetap tak bisa berhenti mengagumi Reita.
“Azuki? Nama yang manis ya… baik-baik ya…” Reita tersenyum lembut dan mengusap kepala waitress yang bernama Azuki itu. Para perempuan yang dari tadi memperhatikan Reita menatap dengan sangat iri.
“Eh? Hah? Bagaimana kau tahu namaku?” Karena bingung, ia melemparkan pertanyaan bodoh, membuat Reita tertawa renyah.
Membuat suasana café itu berisik akan bisik-bisik dan seruan seperti, “Gyaa!!! Aku juga mau seperti itu…” sebuah suara terdengar dari sudut café.
“Aku, aku… ya ampun, senyumnya itu…” sedangkan sang manager café geleng-geleng melihat pengunjung café jadi berisik begitu.
“Tentu saja dari name tag-mu, terimakasih ya…” Reita duduk kembali semantara waitress bernama Azuki itu berjalan dengan wajah berseri-seri, meskipun para perempuan di café itu melempar tatapan iri dan semakin ingin mencekiknya. Reita pun membaca majalahnya kembali, dan memutar kuncinya lagi.
Tetapi kunci yang diputar di jarinya terlepas dan meluncur dengan mulus ke bawah kaki sekelompok siswi SMU yang dari tadi juga memperhatikannya.
‘Ck, cari kerjaan saja…’ pikir Reita dalam hati, mau tak mau ia menutup majalahnya dan beranjak dari kursinya menuju meja itu. Di sana, siswi-siswi itu terdiam lalu salah seorang dari mereka mengambil kunci dari bawah kakinya. Seorang siswi membisikkan sesuatu kepada semuanya dan mereka tertawa-tawa, namun dipotong oleh suara Reita dalam nada halus.
“Maaf…” semua siswi menengok dan langsung terpesona oleh Reita.
“Bisa saya minta kuncinya?” ia menunjuk kunci yang dipegang salah satu anak.
Tapi anak lain menjawab, “Ta… tapi, kalau kami memberikan, kami… kami dapat apa?” ia memberanikan diri.
Reita mengernyitkan dahi bingung, “Memang yang yang mau kau minta, Nona?” ia tersenyum sambil memegang dagu siswi yang protes itu, membuat ia menjadi kaku.
“Eh? a… aku… aku… maukah… maukah jalan-jalan denganku?” kalimat itu meluncur begitu saja mengukirkan senyum di wajah Reita. Reita mendekatkan wajahnya ke wajah siswi tersebut yang semakin merah, pada jarak beberapa cm ia berhenti.
“Nona, aku tidak bisa, aku sedang sibuk…” bisiknya kemudian berbalik badan menatap siswi yang memegang kuncinya itu.
“Terimakasih, Nona…” senyum maut Reita berhasil membuat siswi itu mematung dan dengan mudah Reita mengambil kunci dari tangannya. Ia menuju tempat duduknya, tapi tak lama ia mendengar bunyi sesuatu jatuh dan pecah, disusul dengan teriakan.
Heh? Rupanya siswi yang mematung tadi itu memegang gelas yang kemudian terjatuh karena tangannya masih terasa gemetaran. Reita terdiam dan akhirnya memanggil waitress, lama-lama korbannya bisa bertambah lagi kalau dia terus duduk di sini. Sudah ada yang terbentur dinding, gelas yang pecah…
Lalu nanti apa? Orang terpleset begitu? Ya sudah, karena dia tidak mau ambil risiko, ia minta semua pesanannya dibungkus dan segera membawa barang-barangnya untuk pergi ke taman. Biarlah, daripada ia bisa menambah dosa lagi?
“Rei… Reita… Rei-kun…?” suara Ruki menelusup dan menghentikan lamunan Reita.
“Ya Ru-chan… nani ga?” Reita menjawab dan melihat Uruha dan Ruki menatapnya dengan pandangan aneh.
“Ayo kita berangkat,” Uruha berkata seadanya, membuat Reita mengunci pintu rumah kemudian mengikuti Ruki masuk ke mobil.
“Aku saja yang menyetir Rei-kun…” pinta Ruki, tapi Reita tidak mengizinkannya,
“Jangan, biar aku saja… aku mau berguna untukmu…” ia menyalakan mobil Ruki dan mengikuti mobil hitam bercorak ungu tua milik Uruha. Ruki tersenyum, dan langsung mencium pipi Reita dengan lembut dan singkat.
“Kau tidak perlu jadi berguna, aku senang kau sudah diciptakan untuk menemaniku…” Reita kehilangan kata-kata, dan akhirnya menepikan mobil Ruki.
“Eh… kenapa kita berhenti Rei…” Reita mendorong tubuh Ruki ke jendela dan menciumnya begitu dalam, beberapa detik kemudian Reita melepaskan ciumannya.
“Nah, itu tadi baru ciuman yang kuinginkan,” Reita tersenyum jahil dan menjilati bibirnya, merambatkan rona merah di wajah Ruki.
Mobil pun dijalankan kembali, di dalamnya Ruki sesekali melempar pandangan kepada Reita melalui kaca,. Lalu pura-pura tidak melihat saat Reita menatap balik terhadapnya lewat kaca. Ruki yang malu-malu selalu sukses membuat Reita tersenyum senang.
~†~†~†~
Mobil mereka menikung memasuki sebuah hutan yang daunnya berguguran menerpa kaca mobil. Mobil Uruha yang ada di depan mereka tidak mengelami kesulitan mengarungi tumpukan daun yang memenuhi jalan begitu juga mereka.
Ruki melihat kaca spion dan melihat sebuah mobil berwarna hitam silver melaju di belakang mereka, “Ho… rupanya Kai juga baru datang…” ucapnya.
“Yeah, tapi perjalanan kita masih harus melewati air terjun lho…” Reita membanting stir mobil dan berbelok ke sebuah jalan disamping air terjun setinggi 10 m.
“Hmm… sebentar lagi juga akan terlihat kok, nah… itu dia!” tunjuk Ruki ke sebuah rumah yang lebih tepat disebut dengan kastil tua raksasa yang terlihat terawat sangat baik.
Kastil itu dikelilingi hamparan rumput yang luas dan pepohonan yang memerah daunnya. Berdiri tegak dengan megah di tengah hutan yang berguguran, warnanya putih dan abu-kebiruan, menyambut mobil-mobil yang berdatangan.
Reita memasukkan mobil ke halaman parkir yang lebih tepat disebut padang rumput yang penuh oleh guguran daun yang berwarna kuning dan merah. Mereka menutup pintu mobil dan menyadari, di sekeliling mereka penuh dengan para peneliti dan penyerang yang juga baru turun dari kendaraan mereka.
Aoi turun dari mobilnya, Tora baru saja melepas helm-nya, Nao dan Shou terlihat mengunci mobilnya bersamaan. Saga dari tim penyerang menutup pintu mobilnya, sedangkan Kai tersenyum menyapa Ruki dan Reita. Lalu mereka semua berjalan menuju gerbang dalam yang terbuka secara otomatis.
Dari sana mereka masih harus menelusuri jalan setapak dari batu kasar yang cukup besar, dipagari deretan pohon ginko, momiji dan lainnya. Mereka sampai di tangga pelataran kastil.
Di depan pintu kastil yang tinggi mereka berbaris dan yang belum memakai jubah atau rompi seragam PSC memakainya dengan cepat. Barisan itu dibagi dua, peneliti dan penyerang, masing-masing menempelkan tangan mereka ke alat pemindai sidik jari yang dipasang di dinding sebelah pintu.
Di dalam mereka bertemu dengan para peneliti dan penyerang lainnya yang memakai seragam lengkap, menunggu hal yang sama. Sepuluh menit kemudian, Hiroto dan Miyavi yang memakai jubah berwarna hitam emas dan hitam perak datang dan bertemu di puncak tangga dari arah yang berbeda.
“Selamat datang…” ucap mereka berdua serempak. Para peneliti dan para penyerang yang sudah berkumpul itu mengikuti leader-nya masing-masing. Menaiki tangga yang membagi dua mereka melewati lorong yang berbeda. Di belakang barisan pintu itu menghempas menutup secara otomatis.
Lorong yang dilewati para peneliti itu besar, tinggi dan terang, di dindingnya yang putih bersih, dipasang panel-panel kayu berwarna hitam dan emas. Mereka memasuki sebuah ruangan besar yang terlihat seperti perpustakaan dengan meja yang tersusun seperti bilik-bilik kecil.
Para penyerang mengikuti Miyavi menelusuri lorong dengan barisan jendela di salah satu dindingnya, sedang dinding di sebelahnya berwarna krem dengan panel hitam perak. Mereka memasuki sebuah ruangan yang lowong, berisi sebuah sofa besar, meja kaca, sofa-sofa kecil, meja lagi dan rak-rak buku yang letaknya agak berjauhan.
“Silakan duduk,” mereka semua mengambil tempat duduk di sofa yang tersedia, menatap Miyavi yang tersenyum.
“Masih ada waktu sekitar…” ia melihat jam tangannya, “… sekitar satu jam lagi, jadi saya sebagai leader, akan memberitahu kalian apa yang harus dilakukan dan tak boleh dikatakan nanti. Atau, lebih tepatnya lagi… kita akan lebih banyak diam…”
Tangan Tora mulai jahil dan melingkari pinggang ramping Saga. Mereka berdua memang duduk di sofa untuk dua orang yang memudahkan Tora untuk memeluk Saga.
“Tora jangan!!” Saga mendesis perlahan saat tangan Tora mau membuka rompi Saga, membuat Tora berhenti. Tapi tanpa peringatan, Tora menutup wajah mereka berdua dengan jubahnya dan mencium Saga di baliknya.
Beberapa detik kemudian Saga keluar dari balik jubah Tora dengan wajah yang sangat merah. Tora tersenyum seraya jahil mengelus pipinya, membuat ia sangat malu.
Reita yang melihatnya jadi merindukan Ruki, kulitnya yang putih lembut, lehernya yang indah, matanya yang sendu, bibirnya yang kecil… Reita jadi benar-benar merindukan sosok kecil itu. Tapi ia pasti sedang mengerjakan tugasnya, lalu rambutnya yang pirang kecoklatan itu akan diacak-acak oleh Nao, Ruki pernah bilang Nao dekat dengannya.
“Ya… halo?” ia berlari mengangkat teleponnya, aku menatapnya dengan heran dari atas ranjang. Untuk apa dia terburu-buru berlari dari kamar mandi begitu? Sebegitu pentingnyakah telepon itu? Lalu kulihat ia tersenyum senang, senyum yang selalu kutunggu-tunggu.
“Iya, pastinya, oke… mata ashita,” Ruki mengakhiri teleponnya, membuatku penasaran.
“Telepon dari siapa Ru-chan?” aku bertanya saat Ruki duduk di ranjang dan mengeringkan rambut pirang kecoklatannya dengan handuk.
“Dari Nao, ia memberitahuku tentang pekerjaan,” sejujurnya aku sangat tidak tahan melihat penampilan Ruki yang seperti ini. Baju lengan panjang berwarna putih yang kebesaran dan celana pendek berwarna hitam, membuatnya terlihat rapuh dan manis. Tapi aku berusaha untuk mengorek keterangan lebih lanjut
“Oh, memang kau dekat dengan Nao ya?” kulihat matanya mengerling ke arah lain sekilas, lalu menjawab lagi.
“Iya, kan kami teman…” wajahnya yang manis dan lugu itu tersenyum manis, yeah…teman… Entah mengapa perasaan cemburu selalu timbul saat kulihat Ruki bersama orang lain. Ruki… lalu aku tak mau jika akhirnya melihat malaikat kecilku ini dimiliki orang lain. Ruki, aku mencintaimu, begitu dalam, lebih dari yang kau kira.
To be continue…
~†~†~†~