DRIFTERS.
Cannon-verse.
Drabbles.
HijiAn.
---------------
=
"Alexei," Hijikata membuka suara hati-hati dan menuai perhatian Anastasia seperti yang dia mau, "Apakah itu nama seseorang?"
Anastasia masih memandangnya.
"Kau sering mengucapkannya dalam tidur." Hijikata memberi tambahan sewajarnya.
Ada jeda. Anastasia berusaha menyusun kata-kata untuk menjawab. Bagaimana caranya untuk menjelaskan siapa itu Alexei? Dia lebih dari seorang yang sedarah dengannya. Dia berharga. Dia penghiburan di saat seolah semuanya semu. Dia adik tampan yang memompa semangatnya walau dia sendiri kemudian tak lagi mampu sekedar menggerakkan kaki. Bagaimana menyampaikan itu semua tanpa kehilangan esensi sedikit pun?
Ah...
"Ya," Anastasia menjawab pertanyaan awal Hijikata pelan, kali ini Hijikata yang menoleh padanya. Dan saat tatapan mereka bertemu, Anastasia menyampaikannya, "Dia adik lelakiku."
Tatapan itu tak terputus bahkan setelah hening mengapung. Hijikata sedang menerima informasi yang lebih dari sekedar 4 kata pendek.
Hijikata mengangguk mengerti akhirnya. Dia mengerti makna tersirat ataupun tersuratnya, dan itu cukup.
"Kondou-san."
Udara seperti membeku sesaat ketika Hijikata mendengar lidah Eropa Anastasia berusaha mengucapkannya.
Anastasia membalas sekilas tatapan tajam Hijikata kemudian menjawab, "Kau sering mengigaukan itu saat tidur."
Hijikata merasakan rahangnya kaku.
"Apa itu juga nama seseorang?"
Anastasia menutupnya dengan tatapan mata lurus dan pertanyaan bernada cukup lembut.
Hijikata tidak melepaskan tatapan matanya dari Anastasia. Begitu pun anak perempuan yang menyadari lelaki paruh baya di hadapannya ini sedang berpikir, menyusun kata yang tepat untuk menjawab seperti dirinya tadi.
Jadi ketika Hijikata memulai pendek, "Aa.." Anastasia sudah separuh mengerti, "Dia pemimpinku."
Anastasia sudah menyadari bahwa sebutan itu hanya mewakili segelintir tentang yang sesungguhnya. Mata Hijikata mengatakan semuanya. Bahwa Kondou bukan sekedar pemimpinnya. Dia lebih dari itu. Dia saudara, sahabat, serta lawan latihannya saat mereka baru hanya bisa memegang ranting pohon. Dia separuh nyawanya, arti hidupnya. Kebenarannya.
Mengangguk kecil, Anastasia memutuskan kontak mata, melemparkannya ke petak kecil langit yang terlihat dari jendela batu benteng mereka.
“Apa kalian tinggal di barak tentara bersama-sama?” Pertanyaan ringannya menurunkan tensi di udara.
Hijikata terdiam sejenak memandang tampak samping gadis belia itu sebelum menjawab dengan pandangan mata mengawang ke arah langit yang sama, “Tidak, kami tinggal di rumah sewaan.”
Dia tidak berbohong. Dia ingat jelas bagaimana mereka yang tak berstatus resmi pindah dari satu tempat ke tempat lain dan menjadikan tempat-tempat itu markas mereka. Menjadikan bangunan-bangunan itu tempat mereka kembali berkumpul untuk menertawakan kematian yang tidak jadi menjemput dan untuk bersama-sama merasakan pilu saat seorang teman pergi untuk selamanya.
“Kalian tidur berhimpitan?”
Hijikata menoleh dan mendapati Anastasia bertanya dengan tatapan polos, membuatnya mendenguskan tawa.
“Mungkin agak berbeda denganmu, Tuan Putri. Apa kau terbiasa tidur sendiri di purimu?”
Ada sedikit sarkastik di kalimat itu, Anastasia mengalihkan pandangannya dari tatapan Hijikata.
“Tidak, keluargaku tinggal di rumah kecil di pinggiran kota.”
Itu pun bukan bohong. Dengan menjadi target incaran pemberontak, mereka terbiasa hidup sembunyi-sembunyi. Pindah dari satu tempat ke tempat lain. Status tinggi itu hanya hiasan, saat hidup mereka bahkan tidak lebih dari sekedar tawanan rakyat mereka sendiri.
Percakapan itu berlanjut, mengapung manis seringan gula-gula kapas. Mewarnai siang yang cerah di hari sebelum badai perang menerpa. Memberi tahu sama lain bahwa, ada masa di mana keduanya memiliki rumah dan keluarga untuk kembali pulang. Tapi mengenangnya tak akan mengubah fakta bahwa saat ini keduanya berada di tempat yang sama, sendirian tanpa apa-apa.
=
----