Tittle : Can I write our Reunion into a Song? (2/2)
Author : ritchuuki
Rating : PG
Gendre : Romance, Fluff, Slight Angst
Pairing : Ohmiya
Language : Indonesian
Summary : Walaupun dia hanya seniman jalanan, Nino memiliki seorang penggemar. Paling tidak dia memiliki seorang penggemar. Seseorang yang menyatakan menyukai lagunya....
Desclaimer : Saya tidak memiliki Arashi, mereka hanya seenaknya hidup di pikiran saya.
First Reunion Nino berjalan menggendong gitarnya. Ia segera saja pulang ke apartement boborknya, sebenarnya masih tak bisa mencerna apa yang terjadi siang itu.
Satoshi…? Dia begitu berubah. Aku sudah tidak mengenalnya lagi… Dia begitu berubah. Huh! Hidupnya beruntung sekali.
Satoshi… Satoshi… Satoshi… Nino menutup pintu apartemennya, namun pikirannya masih belum bisa lepas dari kejadian siang itu. Sejenak ia bersandar pada pintu yang ditutupnya. Kejadian siang tadi membuatnya kaget. Ya, Satoshi-nya memang kembali… Tapi mereka berdua sudah bukan bocah belasan tahun lagi. Mereka berdua telah sama-sama berubah.
Dan sekarang, saat ia sudah bertemu dengan orang yang belasan tahun lalu dicarinya setengah mati. Ia tak merasakan sesuatu yang sepesial apapun. Ya, benar. Satoshi sudah lama ia anggap mati. Satoshi sudah lama ia anggap hilang dari hidupnya… Janji mereka untuk selalu bersama sejak mereka masih bocah lugu yang tinggal di panti asuhan itu hanya janji anak-anak saja. Hanya janji tanpa pembuktian. Cuma janji basa-basi saja… Karena persahabatan mereka tidaklah sesepesial itu.
‘Satoshi…’ Sudut matanya lalu tegenangi air mata, Nino berusaha menahannya menetes. Ia menyadari walaupun lidahnya menyangkal, sebenarnya ia sangat lega mengetahui Satoshi baik-baik saja. Masih hidup dan sehat… Setidaknya ia bersyukur untuk itu.
Nino lalu mengusap sudut matanya. Berjalan menuju futon dan merebahkan diri setelah menaruh gitarnya di sudut ruangan. Dia lalu tertidur.
Aku ingin bertemu… Ingin bertemu, bukan di dalam mimpi melainkan bertemu dirimu sesungguhnya…
Esok harinya matahari pagi menyadarkannya, Nino terbangun dengan matanya yang basah. Aku menangis dalam tidur? Nino bertanya pada dirinya sendiri.
Nino tidak ingin beranjak dari futonnya tetapi setelah setengah jam cuma bersembunyi dibalik selimut, ternyata perutnya terasa lapar. Akhirnya terpaksa ia pun berjalan ke konbini terdekat dan membeli sekotak bento dan minuman. Nino bergegas kembali ke rumahnya karena tak ingin bertemu siapapun, tapi begitu sampai di rumah, ia bertemu dengan sekelompok Yakuza yang menunggunya. Yabai! Nino berbalik untuk sembunyi tapi salah satu dari mereka menangkapnya. Seseorang memegang pundaknya dan mengajaknya bicara.
Mereka ternyata tidak datang untuk menagih hutang, hanya untuk memberi bukti pelunasan pada Nino. Dan sepertinya mereka telah dipaksa meminta maaf padanya. Hutangnya 6 juta Yen berikut berapa kali lipat bunganya sudah lunas. Mereka lalu meninggalkan Nino yang tercengang.
Satoshi serius rupanya… Yah, mungkin uang segitu tidak seberapa baginya… Dia kaya, tampan, tak kurang suatu apapun. Dia memiliki segalanya. Bahkan klan Yakuza pun tunduk pada kekuatan group Ohno.
Pikiran Nino kemudian melayang pada kejadian kemarin.
"Sebenarnya sejak dulu―16 tahun yang lalu, aku… Aku mencintaimu. Aku menyukaimu… Dan aku tidak pernah berani mengatakannya. Orang tua angkatku menyadarinya dan mereka mengkhawatirkan keanehanku, mereka mengirimku keluar negeri dan mengisolasiku sampai aku tak bisa berhubungan lagi denganmu. Aku sangat menyesalinya… Aku mencarimu… Tetapi aku tidak pernah menemukanmu."
Mendengar itu dirinya seakan saat itu juga dia bisa memaafkan Satoshi.
Benarkah begitu…? Satoshi menyukaiku…? Pikir Nino. Dia tidak pernah berani melihat Satoshi dari sisi itu… Mencintai…? Berarti yang dimaksud adalah menyukaiku walaupun kami laki-laki…? Nino tidak bisa membayangkan.
Ingin sekali memeluk orang yang paling ia sayangi di dunia. Semua pertemuannya dengan Satoshi di masa lalu seakan berputar kembali di kepalanya. Dia mengenal Satoshi ketika dirinya berumur 7 tahun. Saat ibunya meninggalkannya di panti asuhan. Dia tidak dapat mempunyai teman karena dia selalu dianggap berbohong bahwa Ibunya akan menjemputnya suatu hari. Karena Ibunya berjanji. Dan anak-anak yang lain selalu menertawainya. Hanya Satoshi saja yang mau berteman dengannya. Hanya Satoshi saja yang mau percaya padanya, hanya Satoshi saja yang mau mendengar dalihnya, dan mengatakan dia mengerti. Satoshi yang berumur 10 tahun saat itu sudah seperti saudaranya sendiri. Mereka tumbuh bersama, menjalani kehidupan bersama, merasakan pertalian erat antar manusia untuk yang pertama kali. Sampai suatu ketika saat Satoshi berumur 15 tahun, suatu keluarga mengadopsinya.
“Nino, maafkan aku… Seharusnya aku tak pernah meninggalkanmu. Seharusnya aku tidak membiarkan mereka mengadopsiku untuk memisahkanku darimu, aku menyesal… Aku minta maaf.”
Nino melihat Satoshi hendak memeluknya tapi Nino menepiskannya. “Menyesal…?” Nino mendesis. Nino merasa amarahnya begitu bercamuk tiba-tiba.
Ia bahkan masih ingat jelas bagaimana Satoshi bertanya padanya apakah dia sebaiknya menyetujui adopsi itu. Padahal Satoshi sangat senang ada orang tua yang akan mengadopsinya tapi dia tetap bertanya persetujuan Nino. Satoshi sangat mendambakan keluarga, Satoshi tidak pernah merasakan keluarga, Satoshi tak pernah memiliki perasaan itu. Satoshi pasti sangat amat mendambakan keluarga, seperti dia mengharapkan ibunya kembali menjemputnya. Namun Satoshi selalu mendahulukan perasaan Nino. Takut dirinya kesepian… Satoshi bahkan berkata padanya, bahwa dia rela menunggu dirinya sampai mereka mencapai usia dewasa dan bisa meninggalkan panti asuhan itu… Satoshi bahkan menawarkan untuk tinggal bersama nanti. Karena itu Nino tidak melarangnya pergi, dia ingin membuat Satoshi memiliki kesempatan masa depan. Dan juga merasakan kehangatan keluarga, karena tidak seperti dirinya, Satoshi bahkan berada di panti asuhan sejak lahir… Setidaknya saat bertemu Satoshi, Nino jadi sadar bahwa sebenarnya dirinya beruntung. Karena itu ia ingin Satoshi juga berbahagia dengan merasakan keluarga. Seperti keluarganya saat ia kecil.
Saat itu, ketika mereka berpisah, Satoshi lalu berjanji bahwa ia akan selalu mengirimi kabar setiap bulan. Walaupun kenyataan tak semudah itu. Bahkan sebelum Satoshi berusia 20 tahun, mereka sama sekali sudah kehilanhan kontak. Nino bertanya-tanya mengapa sahabatnya tiba-tiba menghilang… Membuatnya nekat mencari ke Tokyo… Dan nasib tak pernah mempertemukan mereka, hingga saat itu.
Semalam pun setelah mendengar pengakuan Ohno, dia hanya terlalu kaget dan marah, dia kecewa pada Satoshi… dan begitu sadar kakinya sudah melangkah meninggalkan rumah itu.
Apakah dia sudah menyakiti Satoshi? Seharusnya dia menghargai perasaan itu. Dicintai? Nino tidak pernah merasakannya mungkin, karena itu seharusnya ia merasa bersyukur… Satoshi sangat menyayanginya, bahkan terlalu menyayanginya sejak dahulu. Satoshi mencintainya… Satoshi perduli padanya. Setelah sekian lama hidup sendirian tanpa seorangpun yang perduli akan hidup sepertinya, kata-kata seperti itulah yang selama ini dia tunggu, menjadi penyelamat dari kepedihan yang selama ini ia alami.
~*~
Seminggu telah berlalu. Dan bahkan tidak ada kabar dari Ohno Satoshi. Nino sudah tahu bahwa semua ini akan berakhir seperti ini. Satoshi tidak benar-benar membutuhkannya. Sungguh, dia tidak mengarapkan seorang sahabat yang dulu lama menghilang kemudian tiba-tiba muncul dan mengatakan cinta padanya.
Dia tidak butuh semua itu.
Nino lalu membuka case gitarnya, syukurlah ia tidak perlu menjual gitar ini… Karena ini satu-satunya benda berharga yang ia miliki. Teman setia yang tak akan mengkhianatinya.
Nino baru saja akan memetik gitarnya namun dia merasa pintunya diketuk. Nino menunggu pintunya diketuk lagi tapi tidak ada suara dari arah luar. Ya… Ternyata dia memang mengharapkan seseorang datang.
Sudut matanya menjadi basah.
Ohno Satoshi… Benarkah dia sangat merindukan orang itu? Dia tidak ingin mengakui perasaannya. Dia gembira Satoshi mencarinya selama ini. Namun seandainya mereka bisa bertemu lebih cepat, Nino tidak akan sempat membenci Satoshi seperti yang selama bertahun-tahun ini selalu dia lakukan. Satoshi mencintainya? Selama ini ia tidak berani menyebut perasaanya pada Satoshi adalah cinta, semua perhatian dan kasihnya ia atas namakan persahabatan. Nino tidak berani mengakui semua itu adalah cinta walaupun jelas-jelas semua perasaannya pada Satoshi sudah lebih dari sekedar sahabat…
~*~
Malam itu tak ada angin berhembus, bahkan udara terasa panas. Petikan gitar yang kuat memenuhi taman itu, suara yang halus merdu mengiri tiap petikannya. Nino tahu dia hanya dapat mengekspresikan perasaannya lewat lagu. Dia hanya bisa jujur pada gitarnya…
Ia mencintai Satoshi, ia menyayangi Satoshi…
“Kazu…”
Tiba-tiba tangannya berhenti memetik gitar mendengar seseorang memanggilnya, memanggilnya dengan nama ‘Kazu’… Ia tahu benar siapa itu. Dia lalu membuka pintu, seolah-olah menunjukan rasa malasnya.
“Kazu, aku tahu kau membenciku…”
‘Ha? Membenci?’ bathin Nino tanpa menatap mata pria di depannya.
“Aku hanya ingin kau tahu perasaanku… Aku tahu kau tidak akan memaafkaanku, tapi aku selalu memikirkanmu.”
Nino diam saja mendengarkan pria itu, berharap dia mengerti apa yang dirasakannya sekarang.
“Anata no koto daisuki dakara, a-aku…” Suara Ohno bergetar. Lalu setelah berusaha mengucapkan sesuatu namun suaranya tidak keluar ia akhirnya membungkuk dalam pada Nino, lalu berkata “Sayonara”.
Nino mematung melihat itu. Namun tiba-tiba suaranya sendiri didengarnya memanggil pria malang itu.
“Satoshi! Baka ka Omae!? Apakah kau bodoh!? Huuh!! Aku gemas sekali… Sebenarnya untuk apa kau kesini dan menemuiku lagi…!?” teriak Nino.
Ohno berbalik lagi, dan kaget mendengar Nino meneriakinya bodoh.
“Omae sa, apakah kau benar-benar mencintaiku? Aku sudah menunggu untuk bertemu denganmu setelah belasan tahun, dan kalau aku marah dan menyalahkanmu kau akan menerima itu? Kalau aku menolakmu kau akan menerima semua itu begitu saja? Apa kau itu dungu!?” Nino geram. “Dari dulu kau selalu begitu! Aku benci itu!”
“Go-gomen…"
“Kau tahu apa salahmu?”
Ohno lalu menatap Nino, “A-ku terlalu menerima?”
Kau tahu aku bahagia bertemu denganmu lagi, dan aku senang kau sudah jadi orang yang hebat… Aku senang kau memiliki keluarga dan mereka memikirkanmu, aku tidak ingin dengar kau menyesal. Kau ini sungguh bodoh!”
“Maafkan aku…”
“Kau tau apa yang dapat membuatku memaafkanmu?!” tanya Nino kemudian.
“Aku tidak tahu… Ma-maaf,” ucap Ohno benar-benar seperti orang dungu. Dia menerima Nino mempermainkannya, dia pasrah pada apapun yang akan terjadi.
“Huuuuuuuuft… Baiklah, sekarang juga kau harus mengucapkan sesuatu agar aku memaafkanmu. Atau sebaiknya kita tidak saling mengenal!” gemas Nino.
Ohno hanya diam. 5 menit berlalu dan dia tetap diam. Lalu bibirnya menggumamkan sesuatu.
“Apa!? Aku tidak dengar!”
“Kekkon shite kudasai…”
"Eh..??"
"Zutto isshou ni ite kudasai..."
“Aku menunggumu mengucapkan itu,” ucap Nino lalu memeluk Satoshi-nya.
Gerimis turun, tapi mereka berdua sama sekali tidak menghiraukan percikan air menerpa mereka. Mereka hanya sedang bahagia saling mengetahui perasaan masing-masing. Mereka bahagia bisa dipertemukan sekali lagi. Seakan suara iringan hujan gerimis menjadi melodi yang menceritakan pertemuan mereka.
-END-
*Kekkon shite kudasai… = menikahlah denganku
**Zutto isshou ni ite kudasai... = selalu beradalah di sisiku
Sorry for very very late update. Its not looked like a birthday present at all. Aku mencoba menulis fluff dan rasanya aku gagal ;;;A;;;
Maafkan aku minna!
tapi aku senang akhirnya bisa merampungkan ini! tanggunganku hilang satu~ *cium monitor*
Bai bai... sampai jumpa di karya selanjutnya :D Kritik dan saran selalu di tunggu, thankie dah baca fic kiki ^^ Mata!!