Meja yang mereka pesan letaknya agak jauh, berada di pinggir, dekat kaca besar yang langsung menghadap pemandangan kota. Ayah dan ibunya masing-masing memegang buku menu, dan berbincang singkat ketika mempertimbangkan mana yang bisa mereka pilih. Geunshik sendiri sudah menutup buku menu miliknya, sudah tahu mana yang akan dipesan nanti. Sesekali ia menimpali apa yang dikatakan ayahnya, kemudian tertawa ketika lelaki itu membuat candaan yang sudah dihapal polanya dalam dua puluh tahun terakhir. Tipikal acara makan malam bersama selain di rumah, hanya saja yang membedakan, kali ini adalah perayaan ulang tahun anak tunggal keluarga Park.
Keluarga ini selalu bertiga, dan agaknya akan selalu begitu. Ayah, ibu dan satu anak laki-laki. Tersenyum dan tertawa seperti tidak ada yang dikhawatirkan-dan disela-sela tawa saat pelayan sudah mencatat pesanan mereka, ayahnya mulai terdiam. Memperhatikan anak laki-lakinya yang sedang mencuri pandang lagi ke arah ponselnya di atas meja ketika menimpali pertanyaan ibunya seputar hewan peliharaan mereka.
“Ada sesuatu, Geunshik-ah?” Laki-laki itu bertanya sebelum mengambil gelas berisi air yang disediakan untuk mereka. Geunshik menoleh, kemudian mengerjap beberapa kali, dan mulai tersadar ketika ibunya juga mengatupkan bibir, memperhatikannya lekat-lekat.
“Kenapa? Tidak ada apa-apa.” Geunshik menjawab dengan tawa, dan kedua tangan diletakkan di atas meja. Mencoba untuk menatap balik kedua orangtuanya.
Ibunya tertawa, menopang dagu. Wanita itu cantik, mengenakan setelan, dan rambut yang dipotong rapi, serta tersenyum dengan lesung pipi yang mirip dengan anak laki-lakinya. “Kamu mungkin tidak sadar,” kata ibunya sambil menahan tawa, masih memperhatikan Geunshik dengan tatapan sayang. “Ada yang berbeda darimu.” Kali ini, ibunya tersenyum, dan ayahnya pun tertawa menimpali kata-kata istrinya.
“Berbeda bagaimana?” Geunshik ikut tertawa, walaupun ia belum mengerti juga dengan apa yang sudah dikatakan ibunya tadi. “Aku selalu seperti ini.” Bahunya diangkat, dan ia mengulas senyum tipis, ingin menunjukkan bahwa dia baik-selalu baik, sehingga apa yang selalu ditutupinya tidak pernah diketahui ayah dan ibunya.
“Kelihatan berbeda,” kata ibunya lagi, dan kini diikuti oleh anggukan pelan dari ayahnya. “Mungkin ini kedengaran aneh, tapi kamu lebih sering bicara dan tertawa sekarang.” Seorang pelayan datang, membawakan minuman yang sudah mereka pesan sebelumnya, dan kata-kata ibunya harus terpotong beberapa saat sampai pelayan itu kembali ke belakang. “Ah-sampai mana tadi? Oh, iya, kamu tahu? Katakanlah, insting seorang ibu.” Ibunya terdiam lagi, menyesap minuman hangat yang dipesan, dan kini giliran ayahnya yang mencondongkan tubuh.
“Bukan sesuatu yang buruk, Geunshik-ah, kami senang.” Lelaki itu yang kini berganti bicara kepadanya, dan senyum tipis mengembang di akhir kalimat. “Dan kami akan lebih senang kalau kamu bercerita apa yang membuatmu senang. Yah, kamu tahu-kita jarang bicara panjang lebar kecuali ketika sedang pergi liburan, kan?” Geunshik menunduk, kemudian mengangguk-angguk sambil mengaduk minuman yang sudah dipesannya tadi. Merasa cukup mengerti, tetapi setelah diberitahu seperti itu-rasanya tetap tidak mudah untuk bicara.
“Kamu punya pacar?”
Ibunya berujar agak cepat, dan pemuda ini langsung mengangkat wajah, mengerjap beberapa kali, ingin mengatakan sesuatu, tetapi bibirnya langsung terkatup rapat. “Ah, ya...semacam itu.” Ia hampir menggeleng, mengatakan tidak karena tiba-tiba semuanya terasa aneh untuk mengungkapkan sesuatu yang jarang dibicarakan. Dan Geunshik memutuskan untuk berujar apa adanya. Ia tidak pernah membayangkan bagaimana reaksi orangtuanya, tetapi ketika Geunshik mengangkat wajah, apa yang dilihatnya sekarang-tidak seperti apa yang ada dipikiran buruknya.
“Dia seperti apa?”
Ibunya bertanya lagi, menopang dagu, dan ayahnya hanya tertawa membaca reaksi anak laki-lakinya yang nampak terkejut. “Dia orang yang baik.” Geunshik berujar pelan, dan pandangan matanya tanpa sadar turun, memperhatikan serbet yang disediakan di sebelah minumannya. “Penuh kejutan. Kadang aku tidak tahu apa yang dipikirkan, tapi bukan berarti aku tidak menyukainya-“ sadar dia telah bicara banyak, Geunshik terbungkam lagi, berpikir. “-jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ia menyambungnya lagi dengan senyuman, dan kedua orangtuanya tidak pernah memperhatikannya dengan serius lebih dari ini.
“Wow,” komentar pertama ayahnya membuat Geunshik ingin tertawa. “Tidak terdengar seperti perempuan yang kamu temui di tempat kuliah?”
“Ah, atau dia teman perempuanmu di SMA? Jangan-jangan kalian sudah pacaran sejak SMA?” Ibunya menimpali lagi, dan untuk beberapa saat yang terisi di antara percakapan hanyalah suara ayah dan ibunya yang saling berdiskusi seperi apa seseorang yang dibicarakan anaknya. Mereka bicara dengan suara pelan, tetapi terdengar ramai dengan suara musik yang mengalun malam itu. Dan Geunshik tidak kunjung menjawab.
“Dia-dia bukan perempuan.” Geunshik benar tidak berani untuk mengangkat wajah, dan kini kedua tangannya terkepal erat ketika sudah mengatakan semuanya.
“Maaf...”
Dikatakan setelah ia terdiam agak lama. Diskusi kecil ayah dan ibunya tidak lagi terdengar, dan Geunshik semakin tidak berani untuk melirik, bahkan mengangkat wajah. Geunshik juga tidak tahu bahwa baik ayah dan ibunya sedang saling berpandangan, seakan sedang melempar tatap tentang siapa yang akan bicara terlebih dahulu.
“Kenapa kamu meminta maaf Geunshik-ah?”
Ayahnya yang bicara pertama, memecah hening yang sempat tercipta di meja mereka bertiga, mulai tertawa lagi dan kini ibunya juga ikut tertawa. “Apa ayah dan ibu pernah bertemu dengannya?” Pertanyaan itu dilontarkan dengan lebih hati-hati daripada sebelumnya dengan nada bicara yang lebih lunak.
“Dia bersama denganku tahun baru kemarin.”
“Oh, dia yang menginap di rumah dan mengajakmu pergi tadi pagi?” Pelayan datang lagi, kali ini membawa makanan yang dipesan mereka bertiga. Akan tetapi, tidak kunjung disentuh karena pertanyaan terakhir dari ibunya belum sempat dijawab.
“Ah, iya...dia.”
Geunshik masih menunduk, dan sesekali dia melirik kedua orangtuanya yang ada di seberang meja. Terakhir dia mencuri pandang, ibunya sedang menahan tawa, dan memberikan tanda mata kepada ayahnya untuk segera bicara. Geunshik tidak mengerti, tetapi perlahan-lahan dia mulai mengangkat wajah, ingin mempertanyakan apa yang sedang mereka berdua bicarakan. Dan belum sempat ia bertanya, ayahnya terlebih dahulu membuka suara.
“Kalau begitu, giliran kamu yang beri dia kejutan. Ajak dia ke sini Geunshik-ah.”