“Aku bilang jangan pesan yang ekstra keju, kan?”
Ini adalah Sabtu malam yang tenang di musim panas. Pendingin ruangan di apartemen Lee Junghan dinyalakan untuk mengurangi gerahnya udara meskipun di malam hari. Pemuda ini duduk bersila di depan meja kecil yang kini diisi dengan dua boks pizza ukuran sedang, beberapa kaleng kola, dan keripik kentang yang isinya tinggal setengah. Tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ujung kukunya yang dipotong pendek dan rapi. Napasnya dihela pelan, menatap pemuda yang satunya yang ada di ruangan yang sama.
“Kapan Junghannie bilang?!”
“Aku bilang tepat sebelum kamu memesan, dan sebelum aku pergi beli kola.”
Hening sejenak, yang bisa terdengar samar adalah suara pendingan ruangan, dan jam dinding yang suaranya pelan-terdengar teratur. Chae Ryujoon duduk tepat di hadapannya, memandang Junghan sejenak kemudian beralih ke dua boks pizza yang ada di atas meja. “Kayaknya aku lupa...” Pemuda itu berujar, dengan suara yang dipelankan daripada sebelumnya. Junghan bisa merasakannya dengan jelas, dari volume suara yang dipelankan berarti Ryujoon menyadari penyebab dari situasi mereka sekarang.
Sepele. Sangat sepele sampai kau akan merasa yang “diributkan” sebenarnya tidak penting. Bermula ketika Lee Junghan bilang bahwa, ia tidak ingin salah satu pizza yang akan mereka pesan dengan ekstra keju. Ryujoon tadi yang memesan, dan akhir dari pizza yang datang kemudian tidak sesuai dengan harapan Junghan. Ini hal sepele, sangat-sangat sepele-bahkan anak-anak juga tahu, tetapi Junghan bisa mengerang tidak senang karena hal ini. Namun, yang dilakukannya sedari tadi hanya diam, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung kuku.
“Junghannie, makan yuk...” Nada bicara pemuda yang satunya terdengar seperti sedang merajuk (atau mungkin memang). Akan tetapi, yang menjadi lawan bicara hanya menggeleng kemudian mengambil kaleng kola yang sudah terbuka dan menyesapnya sebentar. “Aku sudah bilang kan kalau aku nggak bisa makan yang ekstra keju? Kalau kamu mau makan, makan saja.” Respon itu singkat dan jelas, tetapi Junghan yakin sudah mengatakannya dengan begitu hati-hati.
“Jangan marah.”
“Aku nggak marah.”
“Kelihatan di mukanya Junghannie.”
“Mukaku memang begini.”
Hening lagi, dan masih sama. Hanya suara pendingin udara yang membelah sunyi dan detik jam dinding yang temponya belum berubah sama sekali. Lee Junghan mengangkat kaleng kolanya lagi, baru kemudian menyesap isinya untuk kesekian kalinya dalam malam ini. Oh, dia hampir menghabiskan satu kaleng, mungkin akan berlanjut ke kaleng ke dua dan biarkan ia memenuhi makan malamnya dengan kola dan keripik kentang.
“Tapi aku suka sama mukanya Junghannie yang begitu kok!”
Lee Junghan, berhasil nyembur kola yang sedang diminum, terima kasih.
Junghan terbatuk sebentar karena kola yang sedang diminum memenuhi tempat yang tidak seharusnya. Serasa naik ke hidung, ia rasa. Kaget, karena perih dari minuman karbonasi itu sesungguhnya seperti bakal tinggal selama sepuluh atau dua puluh ke depan. Ryujoon yang berhasil mengatakannya dengan penuh percaya diri dengan kata-katanya tadi, kini berpindah ke sebelahnya, mengusap-usap punggung dan menepuk-nepuknya pelan. “J-junghannie nggak apa-apa, kan? A-apa perlu panggil ambulans?” Pemuda yang satunya bertanya dengn nada khawatir, sedangkan tempo usapan di punggung semakin lama semakin terasa memelan. Junghan kemudian menggeleng, sedikit kuat, ia merasa baik-baik saja meskipun sebenarnya menyakitkan.
“Sakit ya?” Ryujoon bertanya, untuk selanjutnya mengambil tissu dan membersihkan kekacauan yang sudah Junghan-ah, tidak, mereka berdua-buat sebelumnya.
“Menurutmu saja.”
“Aku mau bilang biar Junghannie jangan marah, tapi jawaban Junghannie pasti, aku nggak marah.” Lembaran tissu yang digunakan untuk membersihkan meja tadi diremas dan dimasukkan ke dalam kantung plastik yang tidak terpakai. Kemudian Ryujoon kembali menghadapnya sekali lagi, kali ini menatapnya lurus-lurus, tepat pada mata. “Junghannie kalau betulan marah bilang ya.” Pergelangan tangannya digenggam, erat, untuk kemudian genggaman itu berpindah ke telapak tangannya. “Aku nggak keberatan kok kalau Junghannie beneran marah.” Ibu jari si pemuda Chae mengusap-usap punggung tangannya pelan dengan tempo yang sedikit-banyak membuatnya tenang.
“Yakin?”
“Yakin.”
Junghan menahan napasnya sebetar, kemudian mengeratkan genggaman di salah satu tangannya. “Aku marah. Kita pisah saja ya.”
Hening itu muncul untuk kesekian kalinya dalam malam ini, dan sukses disponsori oleh Chae Ryujoon yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya. “...jangan bercanda deh.” Dan dari frasa sederhana itu, Junghan mulai mengerti ada keseriusan yang terselip. Silakan juga menghitung biner yang memandangnya lurus dengan kilat yang berbeda, dan bibir yang tidak menampilkan kurva jenaka sama sekali seperti biasanya. Seperti bukan Chae Ryujoon.
Dan untuk pertama kalinya dalam malam ini, Lee Junghan kemudian tertawa, sedikit keras. Menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bagaimana matanya semakin menyipit mengikuti tulang pipinya yang tertarik ketika tertawa. “Aku bercanda kok, oke?” Ia masih tertawa, bahkan setelah punggungnya menyentuh karpet karena Ryujoon mendorong bahunya, dan kesal dengan caranya bercanda untuk kemudian menggelitik pinggangnya dengan jemarinya yang panjang. Mereka berdua menertawai diri masing-masing sebelum pada akhirnya memutuskan untuk menghabiskan makan malam yang sama sekali belum disentuh tadi.