Title: Sweet Temptation
Rate: T
Character(s): Robin v. Persie/Cesc Fabregas
Genre: Romance, Humor, Fluff
Words: 876
Summary: Kata ‘puasa’ terasa amat berat bagi Robin… terutama bila ada Cesc.
Note: Gaje, OOC, abal
***
Suasana kota London di musim panas memang mengasyikkan, dengan matahari yang masih bersinar hingga malam, tentunya musim panas merupakan saat yang paling tepat untuk bersantai. Bila petang menjelang, tentulah tak apa bila anak-anak pulang terlambat. Hari-hari di musim panas adalah salah satu dari sekian banyak hari dalam setahun yang sayang bila dilewatkan.
Sayangnya, itu tak berlaku bagi orang yang sedang menjalankan puasa.
Semua hal yang terjadi di kota itu, sungguh merupakan godaan berat bagi seseorang yang tengah berpuasa. Melihat ke depan, ada godaan. Ke belakang, sama saja. Terlebih lagi bila tengok kanan-kiri, banyak orang London yang tengah makan di pub maupun restoran yang tersebar di jalanan tanpa memedulikan mereka yang tengah berpuasa. Memang benar apa kata orang, terkadang dunia itu kejam.
Oke, cukup basa-basinya. Sebenarnya, ini semua hanya untuk pembuka, sebelum menunjuk pada satu orang yang teramat menderita selama bulan puasa. Siapa lagi kalau bukan Robin van Persie.
Bila saja ia tidak ingat bahwa ini bulan puasa, tentu sedari tadi ia sudah mengutuk Cesc yang justru memintanya datang ke apartemennya. Padahal, sudah jelas sekali bahwa beberapa minggu sebelum bulan puasa dimulai, ia sudah berulang kali memberitahu pacarnya itu mengenai apa saja yang tak bisa ia lakukan saat tengah menjalankan ibadah puasa-dan itu ia lakukan nyaris setiap hari.
Namun, tentu Robin harus ingat, kepada siapa ia berbicara. Ini seorang Francesc Fabregas yang ia ajak berbicara. Apa yang bisa ia harapkan dari itu? Keusilan Cesc tak bisa mereda hanya dalam waktu beberapa minggu. Padahal, pepatah mengatakan tentang tiadanya hal yang mustahil di mata Tuhan-hei, kalau begitu, bisakah Tuhan menghilangkan keusilan (serta sifat manja, suka merajuk, kekanakan, dll) seorang Cesc untuk sebulan ini saja? Tidak bisa, ‘kan? Kalau begitu, pepatah itu salah.
“Hmph!” Robin mendengus kesal saat melihat betapa menjengkelkan ulah sang mate yang kini tengah duduk di sofa yang sama dengannya. Bukannya berusaha membantu agar puasanya makin lancar, eh, malah enak-enakan makan apel dingin! Apa sih maunya Cesc ini?
Lebih parahnya lagi, orangnya sendiri hanya nyengir kuda saat dipelototi oleh Robin. “Ada apa, Rob?” tanyanya tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Bunyi apel renyah yang tengah digigit Cesc terus bergema di pendengarannya. Ia merasakan lapar yang amat sangat, serta tenggorokannya tiba-tiba seolah mengering begitu saja. Ia ingin makan apel dingin-ia ingin makan Cesc.
“Apa?!” jerit Robin panik dalam hati. Apa yang ia pikirkan? Memakan Cesc? Ini memang sudah keterlaluan-Cesc dan semua godaan yang ia berikan, sanggup membuat batin Robin tersiksa sedemikian rupa. Cesc tahu bahwa ia takkan bisa menolak semua permintaan yang dibuat oleh sang pemuda Catalan, dan Cesc pun memanfaatkan hal itu. Sial.
Ia memilih untuk berpura-pura tak melihat Cesc dan apel dinginnya yang makin lama makin terlihat menggoda-dalam dua arti: baik Cesc, maupun apelnya-dan memilih untuk terpaku pada siaran televisi yang tengah menayangkan opera sabun picisan yang ceritanya bahkan terlalu mudah ditebak.
Seketika, tanpa ada kata dan komando terucap, Cesc sudah menyandarkan kepalanya pada pundak Robin. “Aku bosan, Rob. Acara favoritku sudah selesai, dan kau tidak melakukan apa pun hari ini selain duduk diam di sofa. Apa… kau bosan datang ke apartemenku? Kau bosan padaku…?”
Hati Robin seolah tersengat saat mendengar perkataan Cesc yang merajuk. Apakah kelakuannya ini membuat kekasihnya sedih? Padahal, bukan hal yang ia inginkan untuk membuat orang sedih di bulan puasa-terutama sang pacar.
“Err… Bukan begitu, Cesc,” tukas Robin, “Hanya saja… Yah, kau tahu? Ini berat.” Ia menjawab dengan perasaan risih, dengan harapan bahwa kekasihnya yang manja itu mau mengerti akan kesusahannya. Namun, sekali lagi, yang ia hadapi adalah Cesc.
Bukannya tersenyum dan memberikan pengertian, ulah Cesc justru menjadi-jadi. Ia mendekap erat tangan Robin, sembari menggembungkan pipinya. “Robiiiin~~!” rengeknya.
Robin tertawa pelan. “Please, tolong diam, Cesc. Bisakah?” pintanya sembari kembali berharap bahwa Cesc akan mengerti. Walau hal itu terdengar mustahil.
Cesc menggeleng tegas. “Tidak mau.”
Mendesah pasrah. Hanya itulah yang bisa Robin lakukan untuk merespon kemanjaan Cesc. “Terserahlah,” ujarnya. Kemudian, ia diam-diam melihat layar BlackBerry miliknya, mengawasi jam berbuka…
…yang rupanya hanya tinggal dua menit lagi.
“Oke, dua menit,” ujar Robin pada dirinya sendiri. Ia harus tahan dengan segala kelakuan Cesc selama dua menit hingga saat berbuka tiba. Dilihatnya Cesc saat ini, sudah tidak memakan apel dingin seperti tadi, namun justru bermain-main dengan jari tangannya yang lentik. Dasar Cesc.
Robin berusaha diam selama dua menit. Baginya, ini adalah dua menit paling menyiksa batin sepanjang hidupnya. Kelakuan Cesc yang kekanakan persis di bawah batang hidungnya, membuat keinginan Robin untuk menyentuh sang midfielder terus bertambah kuat. Tak ingin hal itu terjadi, yang ia lakukan hanya mengelus dada. “Sabar Rob, sabar,” bisiknya pada diri sendiri.
Saat mendengar bunyi alarm di gadget miliknya, sontak Robin pun berdiri, dan kembali lagi duduk di sofa hanya untuk memberikan pelukan erat pada Cesc. Sang kekasih hanya memasang raut wajah bingung. Namun, Robin hanya mendekatkan mulutnya pada telinga Cesc, dan berbisik. “Hei, apa kau sudah tahu bahwa sebaiknya orang berbuka puasa dengan yang manis?”
Sebelah alis Cesc terangkat; heran. Tetapi ia mengangguk saja. “Ya? Kenapa Robin?"
Sang pemuda Belanda kini tersenyum. Ini mungkin bodoh, tetapi jauh dalam sudut pikirannya, ia terus memikirkan hal ini sedari tadi.
“Boleh aku memakanmu kalau begitu?”
Cesc hanya tersenyum lebar saat mendengar pertanyaan Robin-amat sangat lebar. Terlebih lagi, senyum itu dihiasi dengan tatapan liar yang kedua bola matanya mengarah pada tempat tidur sang pemuda Catalan yang sedari tadi belum terjamah.
-END.