[Click to read...]Kereta yang kunaiki sekarang sepi. Suatu anugrah untuk sepasang kakiku yang sudah mulai protes sejak sore tadi. Hari ini seharusnya menjadi hari liburku yang tenang (baca: membosankan). Namun berkat temanku yang bernama Kazu, aku jadi bisa bersenang-senang siang tadi. Tanpa memberi tahu apapun sebelumnya, Kazu memaksaku pergi ke Akihabara dengannya. Ternyata dia membawaku pergi menonton performance AKB48 karena dia berhasil mendapatkan tiket couple.
Teman bodohku itu sekarang tertidur sambil tersenyum lebar di sebelahku. Kepalanya nyaris tersandar di pundakku, dan rambut pirang sebahunya menggelitik leherku. Aku berharap semoga ia tidak mengeluarkan air liur, seperti yang biasanya ia lakukan bila tertidur pulas.
Aku menggerakkan bahu kiriku naik turun untuk membangunkan Kazu, karena sebentar lagi kereta akan tiba di stasiun pemberhentiannya. Kazu terhenyak dan mengusap-usap lehernya yang sepertinya sakit akibat posisi tidurnya yang kurang nyaman.
“Hah? Cepat sekali perjalanannya!” ucap Kazu sambil menguap. Aku menyikut lengannya. “Kamu tidur sih sejak tadi!” “Gomen, aku benar-benar capek.” Kazu menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya. “Santai saja Kazu! Malah aku berterima kasih karena kamu sudah ajak aku lihat performance AKB!” aku melambaikan tanganku yang masih mengenakan wristband dari show AKB48 siang tadi. “Iie, aku yang senang karena kamu mau temani aku nonton. Aku pikir kamu hanya suka Arashi saja.” Kazu tertawa saat mengucapkan kata Arashi tadi. Pipiku memerah. “Sudah, jangan mulai bahas hal itu!” seruku. Kazu tertawa sambil menepuk kepalaku. “Justru karena hal itu kita bisa jadi saling kenal kan?” Aku mencibir. Kazu bangkit untuk bersiap turun di pemberhentiannya. “Jya ne, Azuki chan!” Katanya sambil kembali menepuk kepalaku. “Ayo, tersenyum!” perintahnya sambil berlalu.
Kini setelah Kazu turun dari kereta, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menghabiskan waktu. Baterai handphoneku sedang berjuang di ambang batas kematiannya, dan aku lupa membawa buku bacaan. Akhirnya aku kembali mengenang kejadian saat pertama kali bertemu dengan Kazu.
Setengah tahun yang lalu aku tiba di negara ini untuk melanjutkan studi Magister. Saat ini aku sedang belajar bahasa Jepang secara intensif di sebuah lembaga bahasa. Di sanalah aku bertemu dengan seorang pria keturunan Jepang-Amerika yang tidak bisa berbahasa Jepang. Yah, sebenarnya dia mengerti dan bisa berbicara dalam bahasa Jepang, namun dengan levelnya ia takkan bisa mendaftar di universitas. Ia lahir dan tumbuh besar di Amerika. Ibunya seorang warga negara Jepang, dan ayahnya seorang warga negara Amerika berdarah campuran Jepang-Amerika. Kami duduk bersebelahan di kelas. Saat ia memperkenalkan diri ke seluruh kelas, aku berteriak kaget karena mendengar namanya: Kazunari Spencer. Ia memiliki nama kecil yang sama dengan idola terbesarku, Kazunari Ninomiya. Sejak saat itu aku dan Kazunari, atau yang biasa dipanggil Kazu, menjadi tak terpisahkan.
Lamunanku dibuyarkan oleh suara decakan lidah perempuan yang duduk di sebelahku. Ia terlihat sangat serius memainkan sesuatu di handphonenya. Perempuan itu terlihat seperti berusia 20-an awal. Tapi entahlah, semenjak aku menginjakkan kaki di negara ini, aku tidak pernah bisa menebak usia orang lain karena mereka terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Perempuan itu berambut hitam dan panjang, dan ia mengenakan make-up yang sangat natural. Ia terlihat sangat cantik.
Lagi-lagi perempuan itu mendecakkan lidahnya. Penasaran, aku melirik ke arahnya dan melihat game apa yang sedang dimainkannya. Tanpa sadar aku tertawa kecil saat melihatnya. Ia memainkan game yang bernama Onet, sebuah puzzle game yang memang agak tricky untuk dimainkan.
Perempuan itu menoleh kepadaku. “Gomen ne, permainan ini sulit sekali.” Katanya sambil memperlihatkan handphonenya kepadaku. “Ah, tidak! Maaf aku nggak bermaksud melihat.” Ujarku malu. Perempuan itu tertawa. “Nggak apa-apa. Kamu mau lihat?” tanyanya masih sambil menyodorkan handphonenya. Aku menggeleng. “Uun, daijoubu. Aku tau permainan itu dan sering main.” “Ah, berarti kamu jago dong? Tolong bantu ya, pikiranku sudah buntu!” dia memberikan handphonenya kepadaku tanpa memberikan waktu untuk menolak. Dalam sekali lihat aku sudah tau bagaimana cara menyelesaikannya, dan dengan segera aku menyelesaikan level tersebut.
Perempuan itu menatapku dengan penuh rasa kagum. “Kamu hebat sekali! Kamu gamer?” Aku menggeleng cepat. Bagiku disebut sebagai gamer di Jepang itu seperti disebut otaku oleh mereka. “Bukan, aku hanya main kalau sedang tidak ada kerjaan.” Perempuan itu menepukkan tangannya senang. “Ah, kamu sama seperti adik perempuanku! Dia gamer juga! Aku bahkan baru saja beli game ini untuk dia di Akiba tadi!” dia menunjuk tas belanjaan di pangkuannya. “Seperti yang kubilang, aku bukan gamer,” bantahku. Perempuan ini sepertinya adalah tipe orang yang menentukan segala hal sesuka hatinya.
Kami mengobrol banyak setelahnya. Dia ternyata sudah menikah dan memiliki dua anak berusia lima dan enam tahun. Dia bertanya dari mana asalku dan apa yang kulakukan di negara ini. Dia juga bertanya mengenai Kazu dan hubunganku dengannya. Dia terlihat senang saat aku menjawab bahwa Kazu hanyalah teman dekatku. Dia juga bertanya apakah benar kalau aku menyukai Arashi. Ternyata perempuan itu juga sangat menyukai Arashi, dan ichibannya adalah Masaki Aiba.
Sebentar lagi aku akan sampai di stasiun tujuanku. Aku menghela nafas membayangkan bahwa aku akan tiba di apartmentku degan basah kuyup karena kehujanan, karena dengan pintarnya aku lupa membawa payung ataupun jaket. Tiba-tiba ada sebuah payung lipat berwarna pink diletakkan di pangkuanku.
“Pakai itu,” ujarnya. “Ah, tidak perlu! Aku bisa berteduh dulu di stasiun nanti,” tolakku sambil mengembalikan payung tersebut. Perempuan itu kembali menaruh payung pink itu ke atas pangkuanku. “Sebagai balasan atas Onet tadi!” dia bersikeras. “Baiklah,” aku mengalah. “Tapi aku akan mengembalikannya nanti.” Perempuan itu menepukkan tangannya senang. “Oke, nanti kita janjian bertemu saja ya!” “Oke!” aku mengangguk. “Kamu pakai Whatsapp?” Dia terlihat berpikir sebentar, kemudian mengangguk. “Ada. Catat ya nomor teleponku.” “Ah, handphoneku habis baterainya.” Dengan semangat ia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan pena, lalu menuliskan nomor teleponnya di sebuah kertas dan memberikannya kepadaku. “Omong-omong, aku Minori.” “Oiya, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Azuki.” Kataku sambil mengambil kertas tersebut. “Yoroshiku ne, Azuki chan!” katanya riang. “Yoroshiku ne, Minori san.” Balasku.
Aku tak pernah menyangka bahwa dari pertemuan biasa seperti tadi, aku akan mengalami kejadian yang tidak biasa…
* * * T o B e C o n t i n u e d * * *
PS: Dear nino1711azuki chan, lanjutannya sebentar lagi yaaa :D.