[Indonesian] Bully

Jun 12, 2016 09:47

Title: Bully
Characters: Tosan Galih & Adinata Adiwangsa
Rating: T (for bullying theme)

A/N: Masih crosspost #NulisRandom2016. Dari dulu saya pengen banget nulis cerita persahabatan dua unlikely besties ini, Tosan sama Nata, anehnya baru lancar sekarang. lol.

Kalau orang yang digencet tidak merasa tergencet, apa itu masih bisa dibilang penggencetan? Di usia empat belas tahun, Tosan tidak bisa mencerna hal membingungkan yang terjadi di kelasnya.

"Gimana, Nat? Bisa nggak kalau misal elo yang sediakan makanan yang kita perlukan?"

Tosan mengerling ke arah anak laki-laki yang dipanggil. Adinata Adiwangsa duduk bersedekap di kursi pojok tengah, memandang malas namun awas pada kegiatan yang terjadi di depan kelas, seolah dia yakin namanya akan dibawa-bawa hingga dia bosan namun berusaha tidak kelihatan lengah ketika namanya dipanggil.

"Mau apa?" tanya Nata dengan suara tidak tertarik. "Kalau semacam ayam tepung, bisa gue usahakan."

Satu kelas mendadak riuh. Kegirangan. Mereka melihat iklan ayam tepung itu di televisi belakangan ini. Restoran dari Amerika yang menyajikan ayam tepung satu paket dengan kentang goreng dan minuman dingin. Tentu saja, belum ada yang pernah mencobanya. Kecuali Nata.

Sebagai ketua kelas, Tosan buru-buru menengahi.

"Teman-teman, kita cuma titip sama Nata," ujarnya. "Itu pun kalau Nata bersedia. Ini acara kelas, uangnya juga harus dari kelas. Kita pakai uang kas, kalau kurang kita patungan. Sekarang, kita tentukan makanannya."

Suasana kelas berubah tidak nyaman, jelas tidak suka dengan saran Tosan, tapi tidak ingin secara terang-terangan menentangnya, karena itu berarti terang-terangan meminta Nata membayari makanan untuk sekelas. Nata mendengus keras dari bangkunya.

"Nggak masalah, lah. Biar gue yang sediakan semuanya. Uang kas pakai untuk beli kenang-kenangan buat Bu Sulis saja. Atau buat apalah yang kurang."

Kelas kembali bersorak ramai, secara ribut mengucapkan terima kasih pada Nata yang hanya mengibaskan tangannya bak raja.

"Naah, rezeki nggak boleh ditolak, Tos."

Tosan merengut tidak setuju, tapi kalau Nata sendiri tidak keberatan, dia tidak bisa bicara apa-apa lagi.

Masalahnya, ini selalu terjadi. Tosan sering melihat Nata dipojokkan oleh beberapa orang--kakak kelas atau teman sebaya--sampai Nata mengeluarkan dompet dan memberi mereka uang. Nata juga tidak pernah melawan. Ekspresinya selalu dingin dan angkuh, kalau bukan mengejek, saat tangannya menyerahkan selembar lima puluh ribu atau seratus ribu kepada mereka.

"Mentang-mentang anak orang kaya, makanya sombong." Tosan sering mendengar hal itu dibicarakan di sekitarnya, dan dia tidak bisa menentukan mana yang lebih dibencinya, sikap Nata yang selalu tak acuh atau sikap teman-teman sekelasnya yang selalu menjelekkan Nata sambil terus menguras dompetnya setiap hari.

Tosan pernah berusaha menghentikan siklus tidak menyenangkan ini, terutama karena selain ketua kelas, dia juga anggota OSIS sekolahnya. Begitu memergoki empat kakak kelas yang memojokkan Nata, Tosan langsung melaporkannya pada guru BP. Hasilnya, bagaimana pun, Tosan jadi bulan-bulanan kelompok kakak kelas itu. Justru Nata yang datang menyelamatkannya--dengan uangnya--lalu, begitu kakak kelas itu pergi, dengan senyum mengejek permanennya, Nata meraih bahu Tosan dan membantingnya ke tanah dengan satu gerakan judo yang mulus.

"Dunia nggak butuh pahlawan yang cuma bisa lihat salah dan benar," ujar Nata seraya menepuk pundak Tosan yang masih tergeletak kaget di tanah. "Apalagi cuma yang benar menurut matanya sendiri."

Tosan tidak pernah merasa begitu dipermalukan seumur hidupnya. Jadi selanjutnya, dia diam.

Tapi kepalanya seolah terus memerintahkannya untuk melakukan sesuatu tiap kali menyaksikan Nata kembali terjerumus ke jurang yang sama.

"Nat, gue bantu, ya, beli makanannya," tawar Tosan setelah rapat kelas usai.

Nata menaikkan alisnya tertarik. "Mau bantu beli makanan? Elo kaya sekarang? Mau bantu sumbang berapa box?"

Wajah Tosan memerah. "Setidaknya gue bisa beli bagian gue sendiri," sergahnya. "Atau bantu bawa makanan ke sekolah."

"Ada supir, kok."

"Tapi, kalau elo ada kesulitan--"

"Kalau elo, Ketua Kelas, ngotot mau bantu, oke," desah Nata lelah. "Bantu gue pesan makanannya. Gue tunggu hari Minggu jam 10 di rumah gue."

Nata memutar bola matanya ketika Tosan mengiyakan dengan semangat. Karena itu, hari Minggu yang dijanjikan, Tosan duduk kaku di teras rumah utama keluarga Adiwangsa, canggung berada di rumah yang besarnya seratus kali rumahnya. Kenapa Nata, dengan segala kemewahan ini, bisa tersangkut di SMP negeri, Tosan tidak pernah habis pikir.

"Maaaas, aku ikuuuut!"

Tosan menengok ketika mendengar suara berderap dari dalam rumah. Nata sedang berjalan cepat ke ruang depan diikuti oleh seorang anak yang kelihatannya masih belajar di kelas menengah sekolah dasar.

"Anak kecil di rumah saja," sergah Nata. "Mas mau pergi buat urusan sekolah."

"Tapi tadi Mas bilang ke Pak Ginan minta diantar ke Kefci!"

"Ya itu buat urusan sekolah."

"Aga ikut! Mau beli waffle yang pakai es krim banyak!"

"Kalau kamu ikut, nanti Alex juga minta ikut. Mas lagi nggak bisa ngurus kalian berdua."

"Lexieeee! Ikut ke Kefci nggaaak?"

"AGA!!"

Tosan tertawa saat sebuah seruan "ikutikutikutikutikut!" terdengar bersamaan dengan derap langkah kaki kecil lain. Kali ini seorang bocah yang lebih kecil--sepertinya masih sekitar lima-enam tahun--datang dengan mata membelalak lebar antusias. Tosan tidak pernah tahu Nata punya adik.

"Izin sama Bunda," putus Nata akhirnya.

"Bunda pergi."

"Telepon Eyang atau Ayah di kantor, kalau begitu."

Aga menatap Nata curiga, lalu menarik Nata bersamanya ke ruang tengah untuk menelepon. "Biar nggak kabur!" alasannya ketika Nata protes ditarik-tarik, si kecil Alex mengikuti di belakang mereka. Beberapa saat kemudian, mereka bertiga muncul kembali. Wajah Aga bersemu bangga, si kecil Alex riang-gembira, Nata seolah baru saja diceburkan ke neraka. Mereka pergi berempat menggunakan mobil keluarga Adiwangsa.

Secara mengejutkan, Aga anak yang ramah dan supel, berbeda jauh dari kakaknya yang angkuh dan seolah menjaga jarak. Putra kedua Adiwangsa itu menempel begitu saja pada Tosan sejak mereka memasuki mobil, bicara tentang teman-teman sekolahnya atau game yang baru dimainkannya bersama Alex. Tentu saja, kadang dari mulutnya meluncur kata-kata yang seolah sombong--seperti, "Harga game watch [yang dimainkan Alex] kata Ayah tiga ratus ribu, jadi mainnya harus hati-hati."--tapi Tosan tahu itu bukan karena dia ingin menyombong, melainkan lebih ke pernyataan tentang apa yang didengarnya dari orangtuanya. Tosan menikmati bicara dengan adik Nata, juga memerhatikan Alex memainkan game-nya dengan terampil.

"Jadi elo ikut nggak sia-sia," ujar Nata selewatan setelah dia mendudukkan kedua adiknya di kursi dengan pesanan mereka dan meninggalkan Tosan begitu saja untuk mengurus keperluan kelas.

Tapi begitu Nata pergi, Aga justru menatapnya tajam. Segala keramahannya di perjalanan hilang tanpa bekas.

"Kakak yang bikin Mas Nata ngompol, ya?" tanya Aga, nada suara dan pandangannya terlalu tajam untuk anak seumurannya.

Tosan mengerjap. "Ya?"

"Kakak teman sekolah Mas Nata, kan? Kakak yang maksa Mas Nata beli semua ini? Yang bikin Mas Nata ngompol tiap hari?"

Bibir Tosan terkatup rapat. Ngompol? Anak laki-laki kelas 1 SMP mengompol rasanya terlalu aneh. Kecuali--

"Kakakmu kenapa ngompol? Ngompol.... pipis? Bau pesing?"

Wajah Aga memberengut, seolah tidak suka Tosan meragukannya. "Iyalah! Ngompol pipis! Tiap malam Mas Nata bakal nangis waktu tidur terus ngompol. Tapi dia selalu minta aku yang mengaku ngompol supaya nggak dimarahi Eyang atau Ayah. Jadinya aku yang dimarahi, padahal bukan aku! Kalau Kakak yang bikin Mas Nata ngompol sampai aku dikira ngompol, kita keluar! Sini lawan Aga! Aga bisa karate!"

"Aga!"

Belum Tosan sempat bereaksi, Nata sudah kembali ada di dekat mereka, wajahnya memerah hingga ke leher. Lalu, dengan dua langkah cepat dia mendatangi adiknya dan menyentil bibirnya keras hingga Aga berteriak.

"Mulutnya dijaga kalau ngomong, Tolol!"

Aga merangsek maju, menyerang, tapi Nata dengan cepat meraih tangan Aga dan mengunci pergerakannya, lalu menenteng adiknya--yang dua kali lebih berat daripada Nata dan berontak heboh--di pinggangnya. Matanya nyalang saat menatap Tosan.

"Bawa Alex dan makanannya. Kita sudah selesai di sini."

Tosan refleks menurut, segera menggandeng tangan Alex dan membawakan kentang gorengnya serta waffle Aga kembali ke mobil. Nata tidak mengizinkan Aga mendapatkan kembali waffle-nya. Dia melakukan adegan dramatis dengan perlahan-lahan menikmati makanan sitaannya sementara Aga meraung tidak terima. Alex seolah tidak peduli dengan keributan kedua kakaknya dan terus bermain game. Tosan menyandar pada bocah itu dan mengintip permainannya.

"Gue nggak akan bilang siapa-siapa," ujar Tosan saat Nata menyorongkan uang padanya. "Elo kira semua bisa selesai sama uang?"

Mata Nata memicing berbahaya, "Elo nggak mau tahu apa yang akan terjadi kalau uang nggak bisa menyelesaikan masalah gue."

"Gue nggak akan bilang ke siapa-siapa," tegas Tosan.

"Kalau begitu, gue traktir sebulan penuh," sahut Nata, lalu menurunkan Tosan di depan rumahnya dan pergi bersama kedua adiknya.

---

Seplastik es campur disorongkan ke hadapan Tosan jam empat sore. Sekolah sudah berakhir sejak jam satu lalu. Tosan baru saja selesai rapat OSIS dan Nata sudah ada di ujung gang dekat ruang sekretariat, mengagetkannya dengan plastik es campur itu.

Tosan menerimanya dengan desahan pelan. Nata begitu persisten soal ini, bahkan ketika dia tahu Tosan tidak akan membocorkan ceracauan adiknya pada satu sekolah.

Begitu Tosan bersandar di dinding di sebelahnya, Nata mengedikkan kepalanya ke arah dalam gang. Tosan mengintip ke dalam melewati Nata, melihat satu orang siswa tengah dipojokkan oleh segerombolan siswa lain, tak jauh ruang OSIS. Nata menahan bahunya saat Tosan ingin melerai mereka.

"Lihat siapa yang mereka gencet," desis Nata.

Tosan memicingkan matanya dan mencari celah untuk melihat korbannya. Rahangnya mengetat ketika dia tahu siapa korbannya. Salah satu anak yang sering meminta uang pada Nata, dikeroyok oleh "preman-preman" Nata lainnya.

"Ini cara elo mengatasi masalah?" desis Tosan. "Dengan mengadu domba mereka pakai uang?"

"Mereka gila uang," balas Nata santai. "Gue cuma sedikit bernegosiasi sama mereka dan mereka menghancurkan temannya sendiri dengan sukarela."

Tosan menggelengkan kepalanya. "Bukan begini caranya menyelesaikan masalah." Didorongnya bahu Nata menjauh. "Tunggu di sini. Gue panggil guru."

Nata tidak ada di tempat kejadian begitu Tosan datang bersama guru-guru, tentu saja. Tapi dia juga tidak menjauh. Dia menunggu Tosan di pos satpam yang berdiri sekitar sepuluh meter dari tempat kejadian.

"Elo bisa hancur sendiri kalau terus naif seperti itu," ujar Nata ketika Tosan mendatanginya, menyeruput es campurnya dengan jumawa.

"Seperti elo yang mengompol tiap malam?" sergah Tosan kesal. Mata Nata berkilat tajam, tapi segera ditutupi oleh ketakacuhan dan keangkuhannya yang biasa. "Elo sebenarnya benci cuma bisa melawan pakai uang begini, kan?"

"Jangan sok tahu," decak Nata. Dipakainya jaket dan tasnya saat dia melihat supirnya datang dan mengetuk jam tangannya. "Kalau mau jadi pahlawan, jadi polisi atau tentara saja. Walau nanti elo pasti sadar juga kalau mereka bukan sepenuhnya pahlawan seperti yang elo bayangkan."

Nata kembali menyorongkan es campur yang tadi diberikannya. Esnya sudah mencair, tapi bungkusnya masih terikat sempurna seperti tadi.

"Tapi dunia butuh satu-dua orang sok pahlawan, gue rasa," gumam Nata sebelum berlalu.

pencarian, orific, friendship, language:indonesian, novel, rating:t

Previous post Next post
Up