Manajemen Mimpi dan Realita

Oct 24, 2014 22:25

Sudah tiga bulanan saya nggak mengisi blog ini, ya. Banyak deadline di depan mata yang membuat saya bahkan nggak sempat melakukan apa pun selain mengejarnya. Salah satunya adalah deadline pengerjaan novel solo terbaru saya, Shamrock & Raven.

Lho, lho, proyek baru lagi? Haha. Iya. Jadi sebenarnya sekitar enam bulan lalu saya melihat adanya lowongan(?) pengajuan proposal naskah novel dengan tema yang ditentukan oleh penerbit. Iseng-iseng saya bikin outline naskah dan memasukkan proposal naskah saya. Eh, nggak tahunya dua bulan kemudian ada email masuk yang menyatakan bahwa proposal naskah saya diterima dan saya hanya diberi waktu empat bulan untuk mengerjakan naskahnya. Saya jelas kelabakan. Proposal itu saya buat dengan sunguh-sungguh iseng, hanya garis besar cerita tanpa tahu bagaimana detilnya kemudian--saya bahkan sama sekali belum riset!

Bersamaan dengan pengumuman itu, saya sebenarnya juga tengah mengerjakan skripsi. Kelabakan saya makin parah. Saya jelas nggak akan bisa mengerjakan keduanya sekaligus, menulis skripsi itu tidak mudah, begitu juga menulis novel 180-200 halaman plus riset dalam waktu empat bulan. Orang umum mungkin sudah jelas akan mendahulukan yang mana: skripsi, yang ada hubungannya dengan kelulusan dan kesempatan pekerjaan di masa depan. Tapi menjadi penulis published adalah mimpi saya sejak lama. Jadi, tentu prioritas saya agak berbeda.

Banyak teman yang menegur, tentu, atas pilihan prioritas yang menyimpang ini. Saya sendiri paham niat mereka, tapi kadang yang saya sedihkan adalah bahwa mereka jarang ada yang bisa memahami niat saya, bahkan mereka yang tahu mimpi saya. Yang mereka tidak bisa paham adalah bahwa bagi saya, mimpi punya tanggal kadaluarsa. Ketika tanggal itu terlewati, mimpi saya pun akan membusuk dan mati, lalu saya harus kembali ke realita. Saya punya tenggat waktu untuk bermimpi, dan setelah dipertimbangkan, tidak akan bisa mengambil jalan memutar. Kalau tidak dimulai dari sekarang, mimpi saya akan mati. Semudah itu. Dan sekarang saya sedang berada pada detik-detik terakhir batas kadaluarsa mimpi saya--batas yang menentukan apakah saya harus membunuh atau terus mengembangkan mimpi. Jadi, tentu ketika ada penawaran, saya langsung menangkapnya sepenuh hati. This is my last chance. If this failed, I would stop dreaming altogether.

Tapi memang bukan mimpi kalau perjuangannya bisa dengan mudah dipercaya orang lain, kan?

Dan akhirnya, naskah itu sekarang berhasil saya selesaikan dalam waktu empat bulan bimbingan dengan editor senior, menjadi naskah Shamrock & Raven setebal 180-an halaman. Tinggal revisi dan serahkan pada pihak penilai naskah untuk ditentukan kelayakan terbitnya. I hope this would end well.

For now, in my dying time, I would still hold on my dream.

novel, writing, writing project

Previous post Next post
Up