[fic]: Unnamed Story (one shot)

Feb 08, 2011 00:14

Douka hidoi yume dato kotaete  hoshii
Dore dake sakebi modae kurushimeba ii
Douka hidoi yume dato oshiete hoshii
Chigiresou na koe de nando mo sakenda
Please answer me it is a horrible dream.
How much should I shout, writhe and suffer?
Please tell me it is a horrible dream.
I shouted many times with losing voice

Dia masih seperti itu. Duduk di sana dengan ekspresi sengsara. Memeluk manekin tanpa kepala. Menatap kosong pada kehampaan. Dan aku masih seperti ini. Duduk di sebelahnya. Menatap iba tanpa tahu harus melakukan apa.

Perlahan, dengan kesadaran yang cuma setengahnya, ia sandarkan kepalanya di bahuku. Bergumam tanpa suara. Dan aku cuma mengelus rambutnya yang memutih.

Usianya baru 20 tahun. Kakak laki-lakiku satu-satunya. Dan ia kehilangan semangat hidupnya sejak tiga minggu yang lalu. Sejak kejadian mengerikan itu terjadi. Tepat di depan matanya. Dan mataku.

Ruangan putih. Denting piano yang memainkan sebuah lagu syahdu. Wangi mawar yang memenuhi udara. Beberapa orang yang hadir tersenyum bahagia. Terutama dia yang berdiri dengan anggun di atas altar.

Dengan baju berwarna putih yang cantik-yang katanya dirancang sendiri oleh sang mempelai wanita-Aniki tampak elegan. Senyum terus menghias wajahnya sepanjang pastor membacakan ikrar.

Hari ini Aniki menikah. Dengan seorang wanita yang dicintainya selama tiga tahun, wali kelasnya di SMA. Tak banyak yang hadir. Hanya empat orang sahabatnya dan aku, adik perempuannya.

Keluarga kedua pihak tak menyetujui pernikahan ini. Hubungan mereka ditentang sejak awal. Guru dan murid tak boleh menjalin kisah cinta, itu peraturannya. Tapi cinta adalah hak semua orang. Benar kan?

Meski orang tua masing-masing tak hadir, senyum tetap saja menghias wajah keduanya. Bagi mereka, hidup selanjutnya adalah milik mereka. Tak ada yang berhak menghalangi.

Wanita yang menjadi istrinya, menurutku tidak terlalu cantik, tapi ia memiliki aura yang membuat semua orang mencintainya. Dialah yang telah membuat Aniki yang pemalu merasa sangat nyaman bersamanya.

Ikrar selesai dibacakan. Aniki memasangkan cincin di jari manis istrinya. Istrinya melakukan hal yang sama padanya. Kemudian mereka berciuman. Dan, dadaku terasa sangat sakit.

“Aakh!” Jeritan tertahan itu mengembalikanku ke sofa tempatku duduk. Aniki mempererat pelukannya pada manekin tanpa kepala. Mengelus punggungnya dengan tangan gemetar.

Menatapnya, kukembangkan senyum pahitku. Tak seharusnya ia seperti ini. Ia tak boleh seperti ini. Kusentuh tangannya yang gemetar. Menggenggamnya erat. “Daijoubu...” bisikku. Dan getaran itu berkurang.

Tepuk tangan memenuhi gereja ketika mereka selesai berciuman. Tapi tepuk tangan itu terhenti ketika seorang pria mabuk masuk. Di tangannya tergenggam sebuah parang. Dan tanpa aba-aba ia menyerang semua orang.

Jeritan. Teriakan panik. Dan ketakutan memenuhi ruangan. Aniki menarik istrinya menjauh dari orang gila berparang itu. Ketika terpojok disimpannya wanita itu di balik tubuhnya. Dan ia menantang pria itu.

Teman-temannya berusaha menyingkirkan orang gila itu. Mereka memukulkan benda apa saja ke punggung pria itu. Tapi ia tak bergeming. Mengangkat parangnya dan mendorong Aniki ke samping. Pastor panik mencari bantuan.

Aku meringkuk di pojok gereja. Menyaksikan kejadian mengerikan itu. Aniki terpuruk di lantai. Tak mampu berdiri. Sepertinya ia dilempar sangat keras. Ia cuma bisa terkapar di lantai, menyaksikan istrinya dibantai.

Mereka tak sempat berbulan madu. Mereka tak sempat melewati hari pertama pernikahan mereka. Mereka tak sempat duduk bersama membicarakan masa depan. Keesokan harinya mereka bertemu di pemakaman.

Aniki masih memakai baju pernikahannya. Baju putih yang sudah ternoda darah di banyak tempat. Baju yang ia kenakan sampai detik ini. Tak ada air di kedua matanya. Sepertinya sudah kering karena semalaman ia terus meratap.

Kisah cinta mereka panjang dan berliku. Tak ada yang setuju dengan hubungan mereka, kecuali empat sahabatnya dan adik perempuannya. Mereka terus berjuang meski dicecar. Tapi harus berakhir semenyedihkan ini.

Orang tua wanita itu marah besar. Katanya, kalau saja mereka berhenti saling mencintai peristiwa mengerikan itu tak kan terjadi. Katanya, semua salah Aniki. Kalau saja ia tak mengajak putri mereka menikah dengannya...

“Sebenarnya siapa yang paling sedih?!” kataku. Kuperlihatkan Aniki yang sedang membanting dirinya ke dinding sambil menjerit menyakitkan, memanggil nama istrinya. Dan dua orang itu terpaku menatapnya.

Papa, sejak dahulu tak akrab dengan Aniki. Mereka selalu saja berselisih jalan. Mereka selalu bertentangan. Mereka jarang menyapa. Dan ketika Aniki menjalin hubungan terlarang itu, mereka semakin tidak akrab.

Tapi, saat dilihatnya putra sulungnya sangat menderita kebapakannya tersentuh. Ia tanggalkan semua keegoisannya, gengsi, dan superioritasnya. Dengan sepenuh hati ia mencoba menolong putranya yang selama bertahun-tahun dimusuhinya.

Seperti saat ini. Tiba-tiba saja Aniki mengamuk. Kasar, ia mendorongku. Lalu membanting manekin yang sejak tadi dipeluknya. Memukul-mukulnya dengan tinjunya yang berdarah. Jeritan menyayat hati keluar dari tenggorokannya.

Papa tergopoh-gopoh keluar dari ruang kerjanya. Diikuti Mama yang menatap panik. Sigap, dipeluknya Aniki. Aniki menolak. Selama beberapa saat mereka bergumul. Aku dan Mama cuma bisa menatap prihatin.

Menit-menit berlalu dalam pergulatan. Aniki terus memukul, menendang, dan mencakar. Juga menjerit tiada henti. Kemudian tertidur karena lelah. Papa membaringkannya di sofa.

Dia kotor. Dia berantakan. Rambut hitamnya memutih karena stres dan depresi. Baju putihnya sudah tak berbentuk. Warna putihnya sudah ternoda merahnya darah dan hitamnya debu.

Papa pernah memaksanya mengganti baju. Dan apa yang terjadi? Ia mengamuk. Memukul-mukul dan membanting dirinya. Berteriak, antara marah dan sedih. Dan kami tak pernah melakukannya lagi.

Perlahan kuhampiri ia yang tertidur. Wajahnya kaku. Tak ada kedamaian di wajah tampannya. Beberapa kerutan terjalin di bawah kelopak matanya dan ujung bibirnya. Padahal ia masih sangat muda.

Sesekali ia mengigau. Mengangkat tangannya sembari menyebut nama istrinya. Kusambut telapaknya yang teracung ke udara. Mencoba memberi tahu bahwa ia tak sendiri. Bahwa ia masih memilikiku.

Tapi rupanya ia hapal genggaman istrinya. Meski tangannya kugenggam erat ia masih juga memanggil istrinya. Berkali-kali. Dan dadaku terasa sakit. Sakit yang amat sangat. Kenapa?

Padahal aku tak menginginkan hal seperti ini. Padahal aku cuma ingin ia kembali padaku. Padahal... Aku tak bermaksud membuatnya semenderita ini. Aku tak bermaksud... Aku tak tahu cintanya pada wanita itu sangat besar.

Aku tak tahu ia akan seterpukul ini kehilangan wanita itu. Aku cuma ingin memisahkan mereka. Aku tak suka wanita itu membawanya. Karena Aniki milikku. Milikku satu-satunya. Dulu, sekarang, dan sampai kapan pun.

Kupikir, ia cuma akan berkabung selama beberapa saat. Kemudian kembali seperti biasa, menjadi Aniki pemalu yang kukenal. Bukan yang seperti ini yang kuinginkan. Bukan Aniki yang kehilangan dirinya yang kuinginkan.

Perlahan kubelai rambut putihnya yang berantakan. Kau milikku. Sampai kapan pun akan tetap jadi milikku. Karenanya, lupakan wanita itu dan lihatlah aku. Aku selalu di sini, menemanimu. Perlahan kuletakkan kepalaku di dadanya.

“Aniki... Kau milikku... Selalu... Selamanya...”

End

Ogawa Sora
23 July 2007

dir en grey fics

Previous post Next post
Up