WRONG
Their fault is not forgiven yet...
Sekuel/Chapter 4 of Series One - Broken, Series Two - Faith, and Series Three - Lies
Series Four : RESPECT
Author :
mochiuchi Pairing : Takaki x Yamada, hints of OkaJima
Warning : BoyxBoy
Disclaimer : I just own the plot.
'...' : perkataan dalam hati.
Playlist :
1. Adhitia Sofyan - Blue Sky Collapse
2. Evanescence - My Immortal
~~~
Mungkin apa yang dikatakan orang-orang itu benar. Cinta bisa membuatmu menjadi siapapun, apapun. Dalam satu sisi kau bisa menjadi malaikat yang membawa kebaikan, di satu sisi kau bisa menjadi iblis yang membawa kejahatan, terlebih lagi kau bisa menjadi sesuatu yang sangat hina... pelacur.
Ryosuke memandang kaca besar di depannya, memperhatikan bekas luka di ujung bibirnya. Warnanya telah berubah dari merah darah menjadi ungu kebiruan. Sesekali tangannya mengambil kembali kapas beralkohol yang terletak di meja, lalu menempelkannya kepada bekas luka itu. Tanpa merintih sedikitpun.
Pemuda itu sudah terbiasa dengan rasa sakit. Luka sekecil itu tak akan berpengaruh apa-apa terhadapnya, bahkan ketika luka itu menempel dengan alkohol, ia tetap tak bergeming.
“Bukankah setiap manusia pasti akan merasakan rasa sakit?”
Dalam beberapa detik, kapas itu sudah berpindah kedalam tempat sampah kecil disamping westafel. Mata coklat milik Ryosuke menatap tajam mata coklat milik dirinya sendiri, seakan Ryosuke dan bayangan yang ada di dalam cermin itu adalah individu yang berbeda. Menahan keinginan untuk memukul cermin itu sampai pecah, Ryosuke melangkah keluar dari dalam kamar mandinya.
Sendirian. Ya, dia sendirian. Tanpa teman, orang tua, kekasih... dia memang memilikinya, tapi semuanya terasa begitu blur, seakan semuanya hanyalah fatamorgana. Tapi, dia tak pernah memiliki kekasih kan? Orang yang enam tahun bersamanya itu bahkan tak pantas ia sebut dengan sebutan kekasih.
Bunyi yang menggema nyaring dari arah ruang tamu membuat Ryosuke melangkah dari tempatnya berdiri. Ada satu pesan masuk di teleponnya. Tanpa mendengar suara si pengirim pesan, Ryosuke sudah tahu siapa itu. Beberapa detik kemudian, suara nyaring itu tergantikan oleh suara berat yang sudah hampir sehari ia tidak dengar.
“Ryo-chan, aku tahu ini sangat terlambat, tapi, masih banyak hal yang harus kita bicarakan. Aku juga tahu pintu apartemenmu juga tidak akan terbuka untukku. Tapi tetap saja Ryosuke, masih banyak hal yang harus aku jelaskan. Aku harap kau mengerti dan segera mengabariku... semoga kau baik-baik saja, Ryosuke.”
Suara itu berhenti. Gema hujan kembali terdengar. Ryosuke hanya terdiam, tak berbuat apa-apa. He’s so lifeless, lifeless just by one person. Orang yang telah menyakitinya, seolah ia hanya sebuah boneka yang tak bernyawa. Orang yang ia cintai, bahkan sampai detik ini, ketika ia merasa semua orang di dunia ini telah berpaling darinya.
Pada akhirnya, Ryosuke kembali bergelung di atas ranjangnya, mencoba memejamkan mata dari kelam dan rumit hidup yang ia alami. Selimut coklat merengkuh tubuhnya yang rapuh, jemari berkulit porselen Ryosuke meremas selimut itu pelan, lelah dengan segala sesuatu yang ia alami di dunia ini. Hati kecilnya sedikit berharap, jika ia tidur hari ini, semoga besok ia tak akan bangun lagi, sampai selamanya...
---
Tapi harapan Ryosuke tampaknya belum terkabul saat itu... nyatanya, ia kembali membuka mata keesokan harinya, masih dapat menghirup udara pagi yang masuk dari jendela kamarnya.
Sudah sebulan lebih Ryosuke tidak masuk kuliah, tanpa alasan yang jelas, bahkan ia tidak mengambil cuti dari kuliahnya dengan baik. Yeah, his life is such a mess.
It’s not that his parents will be mad at him. Orangtua-nya tak akan pernah peduli padanya, bagi orangtuanya, Ryosuke hanyalah Ryosuke yang tak bisa mengerjakan apapun dengan benar. Hanya Yue yang ada di dalam pikiran mereka, hanya Yue yang terbaik.
Ryosuke memang membenci orang tuanya, jika bukan karena hal itu, tak mungkin ia mau bersusah payah tinggal sendirian ketika di rumahnya banyak pelayan yang siap memenuhi keinginannya. Tapi ia menyayangi Yue, he’s the best brother in the world.
Ryosuke akhirnya memutuskan untuk segera bersiap-siap untuk mendatangi universitas itu lagi. dengan sedikit harapan dosennya masih memaafkannya dan mengizinkannya untuk melanjutkan kuliah. Ia harus pergi kesana, meskipun ia harus mengambil resiko bertemu dengan Daiki lagi.
Perjalanan menuju universitas tak pernah setegang ini bagi Ryosuke. Apa yang akan Daiki lakukan padanya jika mereka bertemu? Apakah ia akan memanggilnya pelacur lagi? Di depan semua orang?
Menghela nafas, Ryosuke menapaki jalanan yang sudah lama tak pernah ia datangi. Gedung utama universitas yang menjulang tinggi dan megah menyambut Ryosuke ketika ia memasuki gerbang besar itu. Menundukkan kepalanya, ia mempercepat langkahnya menuju gedung besar itu, berharap ia tak bertemu dengan seorang pun yang dikenalnya.
---
“Yamada-kun, bagaimana bisa kau tidak datang ke kuliahmu selama 46 hari? Apakah kau sudah tak berniat melanjutkan kuliahmul lagi?”
Ryosuke menatap cemas pria tua di depannya, ia tahu ia sangat mengecewakan Yasuji-san. Dengan nada pelan Ryosuke menjawab, “A-aku, begitu banyak masalah yang terjadi... aku harap aku diberi kesempatan lagi...”
Yasuji-san menghela nafas dalam. Prestasi Ryosuke selama ini tak pernah mengecewakan, ia heran ketika Ryosuke tiba-tiba absen dalam setiap kuliahnya. Apa masalah yang dapat membuat mahasiswanya yang satu ini bahkan tak memedulikan kuliahnya?
“Baiklah...” Yasuji-san berdehem pelan. “Kau aku izinkan untuk melanjutkan kuliahmu, tapi sepertinya aku harus memberimu banyak tugas untuk membantumu mengejar ketinggalanmu.”
Ryosuke mengangguk dengan cepat, lalu ia berdiri dan membungkukan tubuhnya beberapa kali. “Terima kasih banyak, Yasuji-san!”
---
Tumpukan buku dan kertas telah menemani Ryosuke ketika ia keluar dari gedung utama itu. Saat Yasuji-san berkata kalau ia harus memberikan Ryosuke banyak tugas untuk menyusul ketertinggalannya, he really mean it. Sekarang, yang Ryosuke butuhkan hanyalah tempat yang tepat untuk mengerjakan tugasnya, tanpa gangguan apapun.
“Yama-chan?”
Ryosuke menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Seorang pemuda bertubuh tinggi tampak memperhatikannya dengan seksama, Ryosuke balas memperhatikannya dengan bingung.
“Yama-chan! Sudah lama sekali kita tidak bertemu, ne? Kemana saja kau!” pemuda itu mulai berbicara sambil tersenyum lebar.
Ryosuke menaikan alisnya. Siapa orang ini? Apakah dia mengenalnya?
Pemuda itu tampak memandang Ryosuke yang terdiam dengan kecewa, dengan bibir yang dimajukan ia berkata lagi, “Eh? Kau tak ingat aku? Ini aku, Nakajima Yuto! Kita kan satu fakultas, kau ingat?”
“Nakajima? Yuto?”
...
“Ah, aku ingat! Kau Nakajima Yuto yang itu ya!” Ryosuke mengangguk, lalu tersenyum kecil.
Yuto tersenyum lebar. “Syukurlah kau mengingatku! Ne, kau mau pesan apa, Yama-chan?”
Ryosuke berpikir sesaat, mendapati dirinya berada dalam café dengan nuansa kayu yang terkesan sederhana tapi manis. Lalu matanya beralih pada buku menu yang tercetak dengan indah di depannya. “Aku pesan Chocolate Mint dan Strawberry Cheesecake saja...”
“Oke! Tunggu sebentar ya!” Yuto masih tersenyum, lalu melangkah dengan cepat menuju dapur.
Ryosuke kembali memandang pemandangan di sekitarnya, beberapa orang mahasiswa tampak menikmati makanan yang mereka pesan, mengobrol satu sama lain. Para pelayan yang mengenakan seragam sederhana berwarna biru muda dan putih tampak sibuk melayani pelanggan. Café ini benar-benar tempat yang menyenangkan bagi Ryosuke.
“Dozou!” suara ceria Yuto kembali terdengar. Secangkir hangat berisi Chocolate Mint dan seiris besar Strawberry Cheesecake dengan buah stroberi merah besar menempel di atasnya tersaji di depan Ryosuke.
“Arigatou.” Ryosuke menjawab. Yuto tampak memperhatikannya lagi, membuat Ryosuke sedikit risih dengan tatapannya.
“Ano, Nakajima-kun, bolehkah aku mengerjakan tugasku disini? Aku membutuhkan tempat yang tenang untuk mengerjakan tugasku...” Ryosuke membuka pembicaraan dengan nada sopan, ini lebih baik daripada Nakajima Yuto memandanginya terus seakan ia adalah orang yang baru datang dari planet lain.
“Apa? Tentu saja boleh! Aku bisa menemanimu dan membantumu mengerjakan tugas juga kan?” Yuto tersenyum dengan wajah cerianya.
“Sekali lagi, terima kasih, Nakajima-kun. Tapi, apakah aku tidak mengganggu yang pengunjung atau staff yang lain?” Ryosuke bertanya kembali dengan hati-hati.
“Tentu saja tidak! Aku bos disini! Tunggu sebentar! Aku akan mengambil tugas-tugasku dulu, kita bisa saling membantu kan?”
Belum sempat Ryosuke menjawab, Yuto sudah kembali ke dapur dan keluar dengan membawa tumpukan kertas dan mendudukan dirinya sendiri di depan Ryosuke. Lalu seperti anak kecil yang menunggu ibunya, ia berpangku tangan sambil memandangi Ryosuke, lagi.
“Aku akan menunggumu selesai makan dan kita akan mengerjakan tugas ini bersama, oke?” Yuto membereskan kertas di meja mereka.
Ryosuke mengangguk setuju, lalu dengan segera menghabiskan Strawberry Cheesecake di piringnya. Sesekali Yuto mengajaknya bicara mengenai hal sehari-hari yang membuat Ryosuke sedikit tersenyum karena humor di setiap kalimat yang pemuda itu keluarkan.
Untuk sesaat, Ryosuke bisa melupakan pemuda bernama Takaki Yuya itu...
---
“Konbawa...”
Suara seseorang diiringi dengan pintu yang berdecit membuat Yuto menoleh dan sekejap bangkit dari duduknya. Ryosuke memandang pemuda itu dengan heran. Lalu dengan raut penasaran ia menoleh ke arah pintu masuk.
“Keiti! Aku sedang mengerjakan tugas bersama temanku! Kau bisa bersiap-siap dahulu, tugasnya sebentar lagi selesai!” Yuto tampak berbicara pada pemuda yang baru memasuki café itu,tingginya hampir sama dengan Yuto, dan pemuda itu membawa tas besar yang sepertinya berisi gitar.
Setelah bangkit dari duduknya, Ryosuke membungkukan tubuhnya sedikit dan menarik sudut bibirnya. “Yamada Ryosuke, salam kenal.”
“Okamoto Keito, salam kenal.” pemuda bernama Keito itu balas menunduk. Ryosuke kembali ke tempat duduknya, kembali berkutat dengan tugas yang menumpuk di depannya, sementara salah satu sudut di pikirannya sebenarnya masih ingin mengetahui siapa pemuda itu.
Ryosuke melirik ke arah Keito yang sekarang sedang sibuk memasang gitarnya dan menyambungkan beberapa kabel. Mungkin ia adalah pemusik yang biasa menghibur pengunjung di café itu pada sore hari. Tak menghiraukan pemuda itu lagi, Ryosuke kembali mengerjakan tugasnya.
Beberapa saat kemudian, dentingan halus suara gitar terdengar. Melodi klasik dari iringan gitar yang dimainkan oleh pemuda bernama Okamoto Keito itu Ryosuke akui, memang indah. Beberapa pengunjung wanita bahkan sibuk memandangi Keito dengan guratan merah di pipi mereka.
“Yama-chan, karena jatahku untuk menjadi bos sudah selesai untuk hari ini, bagaimana kalau kita lanjutkan tugas ini besok saja?” Yuto tiba-tiba berbicara, matanya terlihat melihat jam yang melingkar di tangan kanannya.
Ryosuke mengangkat kepalanya. “Memangnya sekarang jam berapa?” ia bertanya.
“Jam lima, sebentar lagi ibuku akan datang untuk mengambil alih jabatanku...” katanya sembari tertawa kecil.
“Ah, souka... kalau begitu besok kita lanjutkan lagi, lagipula tugas ini sudah hampir selesai...” Ryosuke membereskan bukunya.
“Yosh! Besok kita lanjutkan lagi!” Yuto tersenyum, lalu membawa buku-buku dan kertas-kertas tugasnya ke bagian belakang café.
Ryosuke tetap terpaku di mejanya, menonton Keito yang tampak terbiasa memainkan gitarnya. Ketika melihat ke sekeliling, Ryosuke baru menyadari kalau pengunjung di café itu meningkat drastis semenjak Keito datang, sebagian besarnya adalah wanita.
“He’s great, isn’t he?” suara Yuto mengagetkan Ryosuke dari lamunannya. Ia lalu menoleh pada Yuto yang sejak entah kapan sudah kembali duduk di sampingnya.
“Hn, dan sepertinya pengunjung disini menyukainya ya?” Ryosuke menjawab.
“Yap, and he’s my best friend...” Yuto tersenyum.
Ryosuke menoleh dan melihat wajah Yuto yang tampak begitu bahagia. Mungkin pemuda ramah ini menyukai pemuda tampan yang sedang berada di atas panggung itu.
‘Yeah, memang menyenangkan saat kau bisa melihat orang yang kausukai setiap saat...’
“Nakajima-kun, sepertinya aku harus pulang sekarang, terima kasih!” Ryosuke tersenyum kecil sambil membungkukan tubuhnya kembali.
“Kenapa kau harus pulang secepat ini? Padahal kita masih bisa mengobrol kan?” Yuto tampak memperhatikan wajah Ryosuke sesaat sebelum melanjutkan. “Eh, Yama-chan, kenapa bibirmu terluka?”
Ryosuke hanya menggeleng. “Bukan apa-apa,” katanya. “Jaa...” Ryosuke mengangkat sebelah tangannya sebelum keluar dari café itu.
“Jaa...” Yuto membalas, tapi sepertinya Ryosuke tidak mendengarnya. Yuto memang berada di dekat Ryosuke setiap hari, tapi, bagi Yuto, Ryosuke adalah seseorang yang tak tercapai olehnya. Pemuda itu tampak selalu sendirian, hanya sesekali terlihat bersama seorang senior di Universitas dan seorang pria yang ia tak tahu namanya.
Ketika ajakannya untuk mampir ke café miliknya disambut baik oleh Ryosuke, Yuto sedikit terkejut, namun rasa terkejutnya itu tergantikan oleh rasa lega bercampur senang. Yuto tahu Ryosuke pasti memiliki masalah yang sangat besar, itu semua terbaca jelas di raut wajahnya, oleh karena itu, Yuto ingin menjadi teman Ryosuke yang bisa membantu sebisanya.
Semoga saja ia bisa...
---
Ryosuke berlari kecil menuju pintu masuk gedung apartemen. Hujan kembali turun malam itu. Menghela nafas, Ryosuke melepas jaketnya yang sedikit basah, lalu mencari kunci apartemennya di kantung celananya.
“Ryosuke...”
Mata Ryosuke melebar ketika mendengar suara familiar itu. Lehernya segera menoleh ke arah suara tersebut.
“Yu-yuya?” Ryosuke berkata dengan terbata.
Tidak. Ia belum siap untuk bertemu Yuya dalam kondisi seperti ini.
“Yes, It’s me. Bagaimana kabarmu?” Yuya bertanya.
Ya, Takaki Yuya benar-benar muncul di hadapannya, dengan mantel dan rambut yang terlihat basah. Berbicara seakan ia tak memiliki kesalahan apapun.
“Mau apa kau?” Ryosuke bertanya, rasa takut terlihat jelas di wajahnya. Takut pada akhirnya ia akan memaafkan Yuya dan akan membiarkan dirinya mencintai pria itu lagi.
“Kau ingat janjimu kan? Saat aku sudah menyelesaikan semua masalah, aku boleh kembali lagi padamu dan mencoba untuk memperbaiki hubungan kita?” Yuya melangkah, menjadikannya lebih dekat dengan Ryosuke.
Ryosuke tak menjawab, tubuhnya mulai bergetar sedikit. Why this man always hurt him so much till everytime he saw him he will be crying? Ryosuke menggigit bibir bawahnya sebelum mengangguk pelan.
“Aku tahu kau tak akan menjawab panggilanku, oleh karena itu aku menunggu disini sejak pukul tiga tadi,dan tak kusangka kau akan pulang sesore ini...” Yuya kembali melangkah, tubuhnya hampir menekan Ryosuke di dinding. “Aku mencintaimu, Ryosuke... tidak, bahkan lebih dari itu... aku membutuhkanmu. Aku memang kejam, padamu dan juga Daiki, tapi... aku benar-benar menyesal, maukah kau mengizinkanku untuk membangun hubungan ini lagi? I promise I never gonna make you cry anymore... I swear...”
Ryosuke menangis. Ia tak menjawab tapi hanya menangis tersedu. Kenapa pria ini begitu mendominasi hidupnya? Kenapa dengan begitu mudah hatinya bisa memaafkan pemuda ini?
Pelukan Yuya yang tiba-tiba membuat Ryosuke semakin terisak. Ia sudah lama merindukan pelukan hangat ini, merasakannya langsung membuatnya semakin tak mengingat semua hal buruk yang sudah Yuya lakukan padanya.
Mereka bertahan seperti itu selama beberapa menit. Merasakan kehangatan satu sama lain. Merasakan kehadiran satu sama lain yang saling mereka rindukan.
“So, are you forgiving me?” Yuya bertanya, hidungnya menghirup wangi khas rambut Ryosuke. Sesuatu yang sepertinya sudah menjadi candu untuk dirinya, sehingga dalam beberapa hari saja ia tak menciumnya, itu akan membuatnya gila.
Ryosuke mengangguk dalam pelukan Yuya. “Yes...” isak terdengar kembali. “Ya, aku memaafkanmu...”
Yuya menahan nafas sebelum mengeluarkannya perlahan. Ia mengangkat wajah Ryosuke dan mencium setiap jengkal wajahnya yang dibasahi oleh air mata, sebelum mengecup keningnya perlahan.
“Just trust me that I’ll never hurt you again... “
“Yes... just don’t dissapointing me again... I’d suffered so much...”
Dan mereka pun membiarkan bibir mereka bersentuhan.
To be continued...
A/N : Okay, this is FAIL. Saya rada pesimis sama fanfic ini, semua komentar maupun kritik dan saran akan saya terima. Arigatou :)
P.S : Yamada Yue = Yokoyama Yuu, bayangkan saja itu orang yang sama, karena gak akan lucu kalau Yokoyama Yuu jadi Yamada Yuu =.=v