[non English] True Blue

Jan 21, 2010 10:02

True Blue
Author : mizuno_hikaru
Pairing : Akame
Rating : PG15
Genre : non-English fanfic.
Summary : Laut… dan dia teringat lagi akan memori yang terkubur dalam dirinya. Aroma garam asin yang lembab dan basah, deburan ombak yang membasuh pantai, teriakan khas burung - burung camar, pasir yang berdesir, perahu bercat pudar dengan layar lusuh… dan tiba - tiba, setelah lima tahun, dia ingin pulang.
A/N : I miss to write in bahasa. Gotten used to write in English, and I haven’t write in such a long time, so I guess I must practice my own language again in fanfiction. Sorry for the unsual naration of this story. Read too many ‘heavy literature’ novels and apparetly it affects my writing XDXD

Kadang ingatan seseorang bisa mengingat semuanya dengan baik-sampai ke setiap detil remeh yang mungkin terlalu emosional dan tidak penting. Dan sore itu jelas membayang dalam memorinya : awan gelap, hujan, dengan bau kampung halaman yang khas berupa aroma garam asin yang lembab dan basah.

Dia berdiri di sana, dekat tebing; rintik hujan mendera tubuhnya tanpa ampun. Dia ingat dirinya tersenyum sinis, menunding sosok di hadapannya dan mencemooh dengan nada sarkastik.

Aku akan pergi dari sini. Aku akan menjadi bintang, dan aku akan melupakan semua jelaga yang tertinggal di tempat muram ini. Aku akan menjadi diriku yang baru, tanpa masa lalu, dan aku takkan pulang.

Sosok itu berusaha membujuknya untuk tinggal, tapi dia menepis lengan itu dan bertolak pinggang dengan mata tajam : Dan membuang seluruh hidupku tenggelam di tempat ini ? Jangan bercanda.

Sepasang manik gelap itu menatapnya putus asa, dan dia tahu sosok itu masih tidak merelakannya pergi. Tapi dia tidak peduli, dia tidak pernah peduli. Sebelum fajar menyingsing, dia telah mengepak seluruh barangnya dan pergi dengan kereta pertama. Ke kota impiannya; mengejar mimpi, karir dan masa depan.

Sejak usia dua belas tahun, dia tahu apa yang dia inginkan : menjadi seorang bintang. Dia dilahirkan untuk menjadi sosok terkenal yang dipuja banyak orang. Dan setelah banyak perselisihan, perang mulut dan pertengkaran tiada akhir : Jika kau pergi, kau bukan anakku lagi. Aku tidak mau punya anak pemberontak sepertimu-dia masih kukuh.

Pada usia delapan belas tahun dia siap untuk semua rancangannya sendiri. Dua tahun pertamanya berat, tapi dia bertahan. Orang - orang mulai mengenalnya, dan dengan puas dia melihat wajahnya menghiasi sudut - sudut kota sebagai hasilnya : Kamenashi Kazuya, bintang baru yang bersinar.

Dia tampil di berbagai pagelaran fashion, sebagai model pria paling terkenal saat itu. Majalah berlomba memajang wajahnya sebagai cover, perancang berebut untuk mengontraknya. Dan lima tahun berlalu sejak dia pergi.

Di sinilah dia sekarang ; kilatan blitz menghujani tubuhnya, membasuh tiap inchi kulitnya dengan cahaya tajam yang kontras dan menyilaukan. KLIK KLIK KLIK. Bunyi shutter bergema seperti ketukan irama tanpa akhir, dan dia menutup matanya sedetik, sebelum kembali menatap lensa kamera dengan ekspresi khasnya : dingin, angkuh, tapi dipuja.

Semua itu telah menjadi sebuah rutinitas; lingkaran setan yang terus berulang tanpa henti, dan dia puas dengan kenyataan itu. Ini merupakan apa yang selalu dia impikan : kaya, terkenal, berada di puncak ketenaran. Namun kadang dia merasa jenuh. Semuanya terasa palsu dan menghimpit.

“ Kopi ? “ Salah seorang staf menawarkan secara halus : menunjuk pada mug di meja riasnya, seraya mengangkat teko kopi yang masih mengepul. Kazuya menggeleng, “ Tidak usah “

Managernya datang dan mengusir staf tadi, menyerahkan lembaran jadwalnya dan dengan nada memuakkan membacakan susunan ketat jadwal yang penuh dengan pekerjaan itu. Kazuya menghela nafas dan membuka jendela kaca dekat sudut ruangan, membiarkan angin sore mengipasi dirinya dengan lembut; mengacuhkan perkataan managernya.

Di ujung horizon, dia melihat laut biru-setengah tersembunyi di antara rimbunnya pepohonan. Laut… dan dia teringat lagi akan memori yang terkubur dalam dirinya. Aroma garam asin yang lembab dan basah, deburan ombak yang membasuh pantai, teriakan khas burung - burung camar, pasir yang berdesir, perahu bercat pudar dengan layar lusuh… dan tiba - tiba, setelah lima tahun, dia ingin pulang.

“ Kazuya ? “

Managernya menatapnya dengan was - was. Kazuya berbalik dan menatap managernya, ekspresi wajahnya dingin. “ Batalkan semuanya “

“ Apa katamu ? “ Wajah managernya berubah pucat, dengan ekspresi tolong-jangan-bercanda-sekarang-kita-sedang-sibuk. Namun Kazuya mengulangi perkataannya dengan nada tajam, “ Batalkan. Semuanya “

“ Kau gila ? Ini kontrak besar…! Perlu waktu lama untuk meyakinkan Pure Black untuk memakaimu sebagai model mereka. Jangan hancurkan karirmu dengan bertindak bodoh “

“ Karirku ? Maksudmu tumpukan pekerjaan yang terus kau berikan kepadaku tanpa mengkonfirmasiku dulu ? Dengar… “ Mata Kazuya menyipit, nada suaranya meninggi, “ Aku bekerja nyaris 24 jam sehari, setiap harinya dalam seminggu, dan hari liburku dalam satu tahun dapat dihitung dengan jari. Aku manusia biasa, dan aku butuh liburan “

“ Tapi tidak bisa sekarang… Kau harus… “

“ Menyelesaikan seluruh pekerjaanku dulu ? Dengan jadwal yang sudah kau susun sampai tiga tahun ke depan ?! Dengar, aku tidak peduli. Itu masalahmu. Batalkan semuanya. Karena aku tidak akan melakukannya “

Dia pergi tanpa menoleh lagi dan membanting pintu dengan bunyi bedebam. Diraihnya kunci mobilnya dan memacu Mazda hitamnya dengan kecepatan tinggi. Dia tidak mau berpikir, dan secara naluriah memilih jalur pada setiap persimpangan tol. Ke mana dia pergi, dia tidak peduli. Dia tidak mau tahu. Dia hanya perlu pergi. Sendiri. Menghindari hidup yang dikejarnya selama ini.

***

Langit gelap ketika dia menepikan mobilnya di sisi jalan tol. Bulan tidak tampak malam itu, tersaput awan tebal yang bergulung - gulung. Satu - satunya sumber penerangan hanyalah lampu jalan yang bersinar redup menerangi satu titik fokus pada permukaan aspal.

Bensin mobilnya hampir habis, dan Kazuya mengerutu pelan seraya mematikan mesin mobilnya. Hanya dengan selapis pakaian tipis, dia keluar dan menyalakan rokoknya. Udara berbau garam, dan bunyi ombak menyadarkannya bahwa dia berada di tepi pantai.

Bertahun - tahun dia menghindari laut, dan kini tanpa sadar dia kembali ke laut. Ironi yang menyedihkan. Dihisapnya rokoknya dalam tarikan panjang, asapnya membumbung tinggi, menari mengikuti tiupan angin.


Haruskah kau pergi, Kazuya ? Apa menjadi bintang adalah segalanya bagimu ?

Kau bercanda ? Kau tahu aku benci tempat ini, benar - benar benci. Suram, dengan rutinitas yang sama. Dengan segala bau amis dan lembab garamnya, dengan orang - orang kolot yang menganggap hidup adalah terus bekerja sampai kau sakit dan mati. Kau tahu aku tidak mau terjebak di sini dengan semua hal itu.

Apa aku tidak cukup untuk membuatmu bertahan ?

Kau ? Kau…? Hahahaha, jangan bercanda. Aku tidak akan mengorbankan mimpi seumur hidupku. Apalagi hanya demi kau. Dengar, aku akan pergi dari sini. Aku akan menjadi bintang, dan aku akan melupakan semua jelaga yang tertinggal di tempat muram ini. Aku akan menjadi diriku yang baru, tanpa masa lalu, dan aku takkan pulang.

Tapi kukira kau mencintaiku. Kukira kita saling mencintai…

Aku memang mencintaimu, tapi apa kau sadar cinta kita tidak punya masa depan ? Orang - orang di sini kolot, kau tahu itu. Kita sama - sama pria, dan kita takkan pernah bisa bersama. Dalam beberapa tahun kita akan terus melaut sampai kita lelah dan pesimis, letih akan hidup, lalu menikahi gadis - gadis lokal dan terikat pada anak istri yang tidak pernah kita benar - benar sayangi. Kau mau aku melupakan impianku, heh ? Dan membuang seluruh hidupku tenggelam di tempat ini ? Jangan bercanda.


Kazuya menjentikkan abu rokoknya dan menghela nafas. Bertopang dagu, dia meruntuki dirinya sendiri yang terlena mengingat masa lalu. Tanpa minat dia meraih handphonenya yang terus bergetar dari tadi, karena dia mengesetnya dalam mode silent. Semuanya dari managernya. Dia sudah tahu isi semua SMS dan pesan - pesan di voicemailnya tanpa perlu membukanya : managernya mencarinya setengah mati, memohon - mohon dirinya untuk kembali dan menyelesaikan pekerjaannya.

Disimpannya handphonenya, dan dia berdiri bersandar pada tembok batu yang memagari sisi - sisi pantai. Berapa banyak yang telah dia korbankan selama ini ? Dalam waktu lima tahun, dia mengorbankan kehidupan pribadinya. Semuanya demi kerja. Kerja, kerja, kerja, dan kerja. Terus tanpa henti. Dia tidak tertarik pada gadis - gadis bermake up tebal dan cat kuku tebal yang selalu mencoba menggodanya, tidak tertarik dengan bisingnya musik klub, seperti halnya dia selalu mengeluh akan pesta - pesta membosankan para selebritis yang terlalu dangkal.

Memang, dia punya segalanya saat ini-apa yang diinginkannya bertahun - tahun lalu : dia seorang bintang, dengan nama, uang, dan kesuksesan yang membuat iri banyak orang. Tapi dia ragu apakah dia bahagia. Sejak dia meninggalkan rumah, dia tidak pernah lagi berhubungan dengan orang tuanya. Bahkan saat berita ayahnya meninggal dikirimkan lewat telegram, dia tetap acuh dan pergi ke acara penghargaan yang dimenangkannya.

Rokoknya habis dalam satu hisapan panjang, dan dia membuang puntungnya ke tanah-menginjak bara apinya sampai padam. Laut dan debur ombaknya mengambil alih pikirannya, dan tanpa sadar Kazuya telah melepaskan alas kakinya; berjalan di pesisir pantai, membiarkan air laut membasuh kakinya yang telanjang.

Dan dia teringat lagi pada sosok itu.

Kazuya terdiam, menutup kedua matanya, dan mebiarkan semua kenangan yang dia kubur rapat - rapat selama ini menyeruak keluar. Dia mencintai sosok itu, bahkan sampai sekarang. Sosok yang selalu bersamanya sejak kanak - kanak, yang selalu melindunginya, yang selalu membelanya, yang mendengarkan mimpi - mimpinya tanpa celaan, yang dengan lembut berbisik bahwa dia mencintainya sepenuh hati… sekaligus sosok yang berdiri termangu di hadapannya di hari hujan di tebing itu, dengan ekspresi terluka namun pasrah. Semuanya demi ego dan kepuasan diri, dan dia menahan dirinya untuk tidak menyesali keputusannya lima tahun yang lalu.

“ Kazuya ? “

Kazuya tersentak, spontan menutupi kedua matanya dari cahaya senter yang diarahkan padanya. Tapi dia kenal suara itu. Diturunkannya kedua tangannya dan dia menyipitkan matanya, menerka sosok itu dengan suara lirih, “ Jin “

Senter dimatikan, dan cahaya bulan menerangi sosok yang terpaut beberapa meter darinya itu. Sosok yang sama dengan sosok yang barusan dipikirkannya, hanya lima tahun lebih tua. Dia masih sama seperti dulu, hanya saja dengan tambahan tempaan kedewasaan yang pahit dan satir. Kazuya tidak dapat membaca ekspresi wajahnya, tapi dia melangkah maju dan bergumam, “ Jadi aku kembali ke sini ? “

Alis Jin berhenyit, tapi dia tidak mempertanyakan ucapan Kazuya yang aneh. “ Selamat datang kembali “

Kazuya terdiam sejenak, “ …aku pulang… Jin “

***

Kampung halamannya adalah sebuah desa nelayan di tepi pantai. Bahkan saat musim panas sekalipun, tempat itu tetap sepi karena tidak adanya pantai yang memadai maupun fasilitas penginapan. Para turis lebih memilih untuk mengunjungi pantai lain yang letaknya lumayan jauh, dengan pasir putih dan lautan biru yang jernih; dilengkapi dengan penginapan dan café - café pinggir pantai.

Di desa mereka, pasir yang kecoklatan dipenuhi dengan tumpukan ikan yang dijemur atau diasinkan, lengkap dengan wajah - wajah masam meneliti jala mereka-menambal kerusakan yang tidak ada habisnya. Udara selalu dipenuhi dengan bau lembab laut dan amis ikan. Kazuya benci itu semua. Dia benci tempat itu sama seperti dia membenci orang - orangnya yang terlalu suka ikut campur dan gemar bergunjing, akibat minimnya hiburan di tempat itu. Berita sekecil apa pun akan menyebar cepat, dan setiap aib yang ada tidak akan hilang walaupun sudah bertahun - tahun berlalu.

“ Silakan tehnya “ Jin mengusurkan cangkir teh kecil ke arahnya, dan Kazuya melipat kakinya di atas lembaran tatami usang, mencoba mengacuhkan retakan - retakan kecil yang ada di sudut tembok.

Kontras dengan segala keadaan itu, Jin masih tampak menonjol. Matanya yang berbentuk almond bermanik cokelat gelap, dengan hidung mancung, bibir penuh dan garis rahang yang tajam. Dia terlalu tampan untuk menjadi seorang nelayan, dan Kazuya selalu menganggap bahwa Jin salah tempat dilahirkan di tempat ini.

“ Kau bahkan lebih tampan dari kebanyakkan model di tempatku bekerja “ Kazuya berkomentar tanpa menyuarakan pikiran sebelumnya, namun Jin dapat mengerti arah pembicaraan itu, “ Aku tidak berbakat menjadi artis “

“ Dengan suara yang lebih layak didengar daripada penyanyi - penyanyi idola sekarang ? “
Jin sering bernyanyi untuk Kazuya di masa lalu, dengan gitar yang dimenangkannya dalam sebuah kontes menulis lagu. Mereka biasa duduk di atas batu karang dekat garis pantai, menikmati suara musik yang melebur dalam melodi ombak, menghabiskan waktu berjam - jam samapi matahari terbenam. Kazuya selalu menganggap Jin berbakat, bahkan sampai sekarang.

“ Aku tidak berminat “ Jawaban Jin membuat Kazuya menghenyitkan alisnya. “ Jadi apa yang menarik minatmu ? Melaut sampai mati ? Gadis lokal dengan tubuh gemuk, rambut kaku dan bertangan kasar…? “

“ Kau masih sarkastik, seperti dulu “

Kazuya mendegus, “ Aku bukannya sarkastik. Aku hanya realistik. Apa yang menarik dari tempat ini, lagipula ? “

“ Kau masih membenci tempat ini “ Jin bergumam, nadanya bukan nada pertanyaan. Itu merupakan nada pernyataan, dan Kazuya menatap sepasang manik cokelat itu dengan cibiran, “ Tentu saja. Selamanya, aku membenci tempat ini “

“ Lalu, kenapa kau kembali…? “

Sejenak, Kazuya terdiam. Jin memandangnya lurus, menuntut jawaban. Kazuya menghela nafas dan bergumam lirih, “ Aku tidak tahu “

Aku tidak tahu kenapa aku kembali ke tempat ini, tempat yang paling kubenci seumur hidupku. Mungkin karena aku merasa jenuh. Mungkin murni karena kebetulan. Mungkin karena tanpa sadar aku merindukanmu. Mungkin karena aku masih mencintaimu, begitu dalam dan kuat sampai hatiku terasa sakit karenanya.

“ Kau sudah makan ? “ Suara Jin melunak, dan Kazuya menggeleng. Belum, seharian dia belum makan. Bahkan dia tidak ingat apakah tadi malam dia sempat makan malam. Jin beringsut ke ruang sebelah, yang diingat Kazuya sebagai dapur. Pria yang lebih tua itu kembali dengan membawa sebuah nampan berisi semangkuk nasi putih, semangkuk sup miso, dan asinan lobak.

“ Maaf, hanya ini yang kupunya “

Kazuya tersenyum dan meraih sumpitnya tanpa mencela. Menu itu merupakan menu paling dasar di sini, dengan kemiskinan yang membayang kuat. Setiap suapan yang masuk ke mulutnya membawa semua memori masa lalu, ke masa - masa di mana dia besar di tempat ini.

“ Kau sudah menikah… Jin ? “ Kazuya tiba - tiba bertanya saat Jin mengangkat nampan dan meletakkannya di bak cuci piring, walaupun dia sudah mengira jawabannya. Rumah gubuk itu kecil, dan dia tahu tidak ada siapa - siapa lagi di sana selain mereka berdua. Tapi siapa tahu…? Berapa usia Jin sekarang…? Dua puluh lima…? Usia umum untuk mempunyai istri dan anak - anak di kampung halamannya ini.

“ Aku tidak menikah “

Kazuya tergegun. Jin tidak menggunakan kata ‘belum’. Dia menjawab dengan kata ‘tidak’, dan perbedaan kata itu memiliki makna yang sangat besar. Kazuya meletakkan sumpitnya perlahan, “ Maksudmu ? “

“ Aku sudah memberi tahu keluargaku, bahwa aku tidak mau menikah dengan gadis mana pun “

“ Kenapa…? “

Jin tidak menjawab. Namun Kazuya ingat apa yang dikatakan olehnya pada malam perpisahan mereka :

Orang - orang di sini kolot, kau tahu itu. Kita sama - sama pria, dan kita takkan pernah bisa bersama. Dalam beberapa tahun kita akan terus melaut sampai kita lelah dan pesimis, letih akan hidup, lalu menikahi gadis - gadis lokal dan terikat pada anak istri yang tidak pernah kita benar - benar sayangi.

Jadi ini cara Jin membuktikan kesungguhannya. Kazuya merasa jantungnya berdebar kencang, “ Obasan tidak berbuat apa - apa ? “

“ Aku bilang pada ibuku, bahwa aku tidak bisa mencintai perempuan “ Jin menjawab, dan debaran jantung Kazuya semakin keras, “ Kukatakan bahwa apa pun yang beliau katakan, semuanya percuma. Aku tidak akan merubah pendirianku, dan aku tidak mau merusak hidup seorang wanita dengan menikahinya hanya di atas kertas dan menjadi bahan gunjingan “

“ Jin “ Kazuya memanggil setengah berbisik, “ Apakah kau… masih mencintaiku…? “

Jin menatapnya dengan mata yang sama dengan mata lima tahun yang lalu, dan Kazuya merasakan darahnya berdesir-pipinya memerah ketika Jin beringsut mendekatinya dan meraih wajahnya dalam kedua belah tangannya yang besar dan hangat.

“ Kau tahu jawabannya, Kazu “ Sepasang manik itu menatapnya dalam, “ Aku tidak pernah berhenti mencintaimu “

“ Setelah semua yang kukatakan dan kulakukan…? “

“ Aku tidak bisa, tidak pernah bisa untuk berhenti mencintaimu. Ketika kau pergi malam itu, kau membawa pergi hatiku bersamamu, dan perasaanku tidak akan pernah berubah “

Air mata Kazuya menitik jatuh, dan dia menyerahkan dirinya dalam pelukan Jin; memeluk pria yang lebih tua darinya itu dengan erat, menikmati kehangatan yang terpancar dari tubuh Jin-terasa begitu khas dan familiar : dengan aroma garam asin yang lembab dan basah, deburan ombak yang membasuh pantai, teriakan khas burung - burung camar, pasir yang berdesir… tempatnya untuk kembali. Rumahnya, tempat perlindungannya.

“ Jin, kalau kukatakan padamu… bahwa aku juga tidak pernah bisa berhenti mencintaimu selama ini… bahwa aku kadang merasa hidupku kosong tanpa dirimu dalam perwujudan mimpi - mimpiku… bahwa sesungguhnya aku menginginkan kau ikut pergi bersamaku malam itu… apa kau akan tertawa ? “

“ Kenapa aku harus tertawa ? “

“ Karena aku bodoh. Aku meninggalkanmu demi mimpiku, tanpa menyadari bahwa semua itu tidak berarti tanpa kau di sisiku “

Jin membalas pelukan Kazuya, merengkuhnya mendekat. Mereka duduk bertopang pada dinding, Kazuya bergelung seperti kucing dalam pelukan Jin, dan menceritakan semua kisah hidupnya dalam lima tahun ini dengan nada lirih. “…aku rindu padamu “

“ Aku tahu “

Mereka berdua tertidur dalam posisi itu, berselimutkan selimut perca yang tadinya teronggok dekat lemari geser. Angin menderu - deru, membuat dinding ruangan yang tipis itu berderak sesekali, namun Kazuya tertidur nyenyak untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun belakangan ini.

***

Ketika dia terbangun pagi itu, Jin sudah tidak ada di sisinya. Kazuya melipat selimut perca itu perlahan, mengucek matanya yang masih terasa sedikit berat, dan menguap lebar saat dia mengeliat untuk merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku karena tidak mengubah posisi tidurnya.

Jendela telah dibuka, membawa masuk angin laut dan deru ombak, teriakan camar terdengar melengking mengisi langit. Langit baru saja beranjak terang, dan Kazuya tahu dari arah anginnya, saat ini bukan merupakan musim nelayan melaut. Para nelayan di desanya baru akan bangun beberapa jam lagi, mengeluarkan jala mereka dan menisik kekoyakkannya; sementara istri - istri mereka mencuci beras dan memasak ikan yang sama seperti yang mereka makan setiap harinya.

Kazuya melangkah keluar, dan bersyukur dalam hati karena rumah Jin terletak jauh di utara desa : lokasi yang tidak mau ditinggali oleh penduduk lain karena lokasinya tidak rata dan terletak menanjak ke arah tebing curam-bukan tempat ideal bagi keluarga dengan anak - anak, serta jauh dari pusat kegiatan mereka.

Kazuya tidak yakin apakah dia harus memberikan salam kepada ibu Jin, namun kembalinya dia ke desa ini hanya akan membawa hiruk pikuk dan gunjingan baru, serta omongan tidak enak pada Jin yang membiarkannya menginap di tempatnya.

Dia memutuskan bahwa lebih baik tidak ada penduduk desa yang melihatnya, lagipula keluarganya sudah tidak lagi tinggal di sana. Kakak tertuanya memboyong ibu dan sisa anggota keluarganya ke desa sebelah, tidak tahan dengan gunjingan tetangga : salah satu putra mereka meninggalkan rumah, menjadi artis, dan mencampakkan mereka setelahnya, berperilaku seolah tidak mengenal mereka lagi. Anak durhaka itu bahkan tidak pulang saat ayahnya meninggal. Siapa yang tahu apa yang dilakukannya untuk memperoleh semua kesuksesannya itu ? Berapa banyak petinggi perusahaan yang dirayunya ? Berapa model yang ditidurinya ? Gosip - gosip murahan itu terus berdengung tanpa henti, terlalu menggiurkan untuk dilupakan.

Kazuya menyipitkan matanya, memandang horizon yang menyilaukan, mencoba menerka di mana Jin berada saat ini. Kazuya membuka flip handphonenya dan menemukan puluhan SMS dan miss call, lagi - lagi semua dari managernya. Dia tidak punya teman di dunia entertainmentnya, karena semuanya hanya rekan kerja semata yang tidak pernah ditemuinya dalam kehidupan pribadi.

“ Moshi - moshi “ Akhirnya dia menjawab saat managernya kembali menelepon. Managernya itu terdengar histeris, “ Kazuya ?! Di mana kau..? Kembali sekarang juga…!! “

“ Bukan urusanmu “

“ Kembali, Kazuya ! Kita punya janji dengan Pure Black malam ini. Kau mau menghancurkan semua kerja kerasmu selama ini ?! “

“ Aku tidak peduli “

“ Kazuya… “ Suara managernya berubah, menjadi lunak dan membujuk, “ Aku tahu aku keterlaluan. Kembalilah sekarang… Aku janji aku akan melonggarkan jadwalmu. Aku akan memberimu waktu libur dua minggu sekali, bagaimana…? Dan pada jangka waktu tertentu, aku akan memberikanmu liburan penuh… Tapi kembalilah dan tanda tangani kontrakmu dengan Pure Black “

“ Aku sudah bilang, aku tidak peduli “

“ Kazuya…!! “

“ Bye “

BIP. Dimatikannya handphonenya, dan dengan gerakan cepat, Kazuya mengeluarkan baterainya sebelum memasukkan benda kecil itu ke kantong celananya. Persetan dengan semuanya.

***

Jin kembali tak lama kemudian, saat Kazuya baru saja selesai menjerang air untuk membuat teh. Tidak ada banyak bahan makanan yang bisa ditemukannya di dapur itu, tapi dia sempat menanak nasi, walaupun tidak tahu harus menyiapkan lauk apa.

Kazuya merasa dirinya seperti seorang istri pengantin baru yang menyambut pulang suaminya, malu setengah mati saat melihat raut wajah Jin yang menahan senyum melihatnya memakai celemek putih kebesaran seperti yang dipakai oleh ibu - ibu di kantin.

“ Aku sudah mengisi bensin mobilmu “ Jin meletakkan jerigen kosong yang dibawanya di sisi pintu, “ Kau bisa pergi kapan pun kau siap “

Senyum Kazuya menghilang. “ Kau ingin aku pergi ? “ Tanyanya dengan suara tercekik, “ Sebegitu mengganggunyakah aku bagimu…? “

Jin meraih lengan Kazuya, “ Kazu ! Bukan begitu… “

“ Lepaskan tanganku…! “

“ Kazu…!! “ Jin mencengkram kedua bahu Kazuya dan mengguncangnya keras, “ Dengarkan aku… Aku bukan bermaksud mengusirmu atau apa pun… Tapi bukankah ini mimpimu selama ini…? Menjadi seorang bintang ? Kau menghabiskan waktu selama lima tahun ini untuk mencapai hari ini, apa kau akan menghancurkan semuanya begitu saja…? “

Kazuya terdiam sejenak sebelum tertawa dengan nada parau, “ Kenapa ? “

“ Eh ? “

“ Kenapa kau mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan oleh managerku ? Kenapa kau tidak peduli akan perasaanku… bahkan setelah kukatakan bahwa mimpiku kosong tanpa dirimu di sisiku…? “

“ Aku akan ada di sisimu “ Jin memotong dengan nada tegas, “ Tapi bukan hari ini. Pergilah, Kazuya. Jadilah bintang, dan suatu saat nanti, aku akan menyusulmu. Aku akan berusaha dengan usahaku sendiri, dan aku akan membuktikan bahwa aku layak berdiri di sampingmu. Tapi bukan hari ini… Jadi, tunggulah aku dan jangan berhenti berusaha “

Kazuya tidak tahu apakah dia harus tertawa atau menangis mendengar jawaban kekasihnya. Dia membiarkan Jin memeluknya, dan mengubur wajahnya dalam ceruk leher pemuda yang lebih tua, membaui aroma laut dan garam, aroma khas akan rumah dan kampung halaman-dan dia merasa damai.

“ Aku akan menunggumu “

***

Surat Jin datang satu bulan kemudian, dan dengan gemetar, Kazuya merobek amplop yang beralamat pengirim di Tokyo itu. Tokyo, bukan daerah kampung halamannya lagi. Jin menepati janjinya untuk menyusul Kazuya, dan dalam suratnya Jin menjelaskan bahwa dia diterima di sebuah perusahaan musik yang cukup besar, untuk menulis lagu dan mengurus konsep pembuatan promotion video.

…aku sudah memulai langkah pertamaku. Kuharap belum terlambat untuk memulainya pada usia seperempat abad. Mungkin jalanku masih jauh untuk mencapai dirimu saat ini, tapi aku akan terus berusaha. Kau benar, aku memang memiliki bakat dalam bidang ini. Kadang, aku heran kenapa kita terlahir di desa nelayan sementara bakat yang kita miliki sebenarnya berada di bidang lain.

Selamat atas kontrakmu dengan Pure Black. Kau luar biasa, Kazu, karena kau tahu apa yang kau inginkan sejak dulu : menjadi seorang bintang. Karena itu, teruslah berusaha, jangan menyerah. Jika kau merasa letih, kesepian dan putus asa, hubungi aku. Ingat, aku akan selalu ada untukmu, dan aku akan berjuang sekuat tenaga sampai saatnya aku bisa berdiri bangga di sisimu.

P.S.
Apa benar bahwa aku lebih tampan dari kebanyakkan model di tempatmu ? Mereka terus membujukku untuk menjadi artis, tapi aku tidak mau. Aku punya impian lain saat ini. Mungkin akan makan waktu lebih dari dua tiga tahun, tapi suatu saat nanti, aku akan mengkontrakmu. Aku akan menulis lagu, khusus untukmu, lagu yang hanya kau yang bisa menyanyikannya, dan aku yang akan merekam PVnya. Aku janji.

-A.J.-

Kazuya melipat surat itu dan tersenyum keluar jendela, memandang langit biru tanpa awan yang membentang luas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia melihat langit yang begitu biru-indah, seperti keajaiban.

-end-

fanfic: one-shot, one shot

Previous post Next post
Up