every little thing

Oct 03, 2021 20:16

Hirano Sho/Kishi Yuta

Idola nasional Hirano Sho dan karyawan biasa Kishi Yuta, menikmati perjalanan mobil tengah malam untuk menghabiskan akhir pekan di luar kota.

Judul gak nyambung, maap lagi mandek banget. Jadi bikin ini setelah VS Damashii yang kishihira nyetir berdua itu. Tapi lagi ga ada ide banget, sampe bikin 3-4 draft sebelum nemu yang saya suka(?). Sudah lama ingin bikin yang AU begini!! Sebenernya lagi sama sekali ga confident sama tulisan sendiri. Tapi yaudahlah. Siapa tau ada yang mau ikutan baca juga biarpun gajelas. Maap jika gajelas karena saya sendiri awalnya bingung ini ceritanya mau dibawa ke mana(?)

.

“Ha~ah…”

“Kishi-kun. Kalau menghela nafas begitu, nanti kebahagiaan akan pergi, lho.”

Kishi hanya menjawab dengan gumaman pelan. Sekali lagi ia menghela nafas panjang, kemudian menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dengan lesu. “Sho…”

Mendengar namanya dipanggil, Sho melirik sejenak ke arah kursi penumpang. Kishi-bahu terkulai, rambut berantakan, mata setengah tertutup-balik menengok ke arahnya. Tadinya Sho ingin tertawa melihat wajah pasrah Kishi, tapi sekarang ia jadi tidak tega karena Kishi benar-benar terlihat lelah.

Jadi Sho mengulurkan tangan kirinya ke arah Kishi-“Jangan bersandar ke jendela, nanti kepalamu terbentur.”-dan menepuk-nepuk kepala Kishi dengan lembut. Ia merasakan Kishi mengangguk, dan kali ini Kishi menyandarkan kepala ke head rest.

Untuk sesaat mereka tidak berbicara apa-apa lagi. Hanya suara samar-samar dari radio yang mengisi keheningan di antara keduanya. Sho mengembalikan konsentrasi ke jalanan, lalu mulai bersenandung rendah mengikuti lagu yang diputar di radio. Ia menarik kembali tangannya dari kepala Kishi untuk mengganti gigi persneling, dan tertawa kecil saat Kishi mengeluarkan suara protes.

“Kishi-kun,” Sho memulai, sekali lagi mengulurkan tangan kiri ke kursi penumpang. Kali ini tangan kanan Kishi langsung menyambutnya, dan keduanya langsung saling menautkan jemari. “Tadi di kantor baik-baik saja? Tidak biasanya kau bekerja sampai hampir tengah malam begitu, kan? Di lobi kantor tadi, kau terlihat seperti zombie, lho.”

“Aduh…” seolah-olah diingatkan akan sesuatu yang tidak enak, Kishi langsung memutar mata. “Akan panjang sekali jika kuceritakan dari awal. Tapi intinya, terjadi kekacauan. Ada yang membuat kesalahan dan berefek kemana-mana. Jadi kita semua harus lembur untuk memperbaikinya. Karena besok hari Sabtu, semua sudah tidak sabar ingin pulang dan beristirahat. Jadi suasananya agak tidak enak karena semua bekerja sambil bersungut-sungut. Lalu…”

Kishi berhenti sejenak. Ia memainkan jemari Sho dengan kedua tangannya, kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih pelan.

“…aku juga sudah tidak sabar bertemu Sho…”

Oke. Itu curang sekali. Karena sedang menyetir, Sho tidak bisa menengok dan memandangi ekspresi malu-malu Kishi. Dan tentu saja ia juga tidak bisa tiba-tiba menginjak rem dan mencium Kishi di tempat. Tiba-tiba mengatakan hal menggemaskan seperti itu tanpa peringatan? Curang sekali, Kishi Yuta.

“Ah! Sho, maaf ya, jadi menunggu lama? Karena lembur sampai malam, aku jadi tidak sempat pulang dan mandi dulu... Sho juga jadi harus mengambil jalan memutar karena menjemputku di kantor, kan?”

“Tidak, tidak. Sama sekali tidak masalah, kok,” jawab Sho sambil tersenyum, meyakinkan Kishi. Awalnya Kishi hanya mengangguk saja. Namun tiba-tiba ia melepaskan tangan Sho, duduk tegak seperti baru teringat sesuatu yang penting

“Hah! Benar juga! Aaah…” Kishi memegang kepala dengan kedua tangan, lalu kembali menyandarkan punggung ke jok dengan sedih. “Padahal Sho rapi dan wangi… Tapi pasti aku jelek sekali sekarang...”

Sho-yang awalnya menengok dengan khawatir saat Kishi melepaskan tangannya-hanya menjawab dengan tawa tertahan.

“Sho! Jangan tertawa! Aku serius!”

“Hahaha! Iya, iya, aku tidak tertawa kok. Pfft-”

“-Sho!!!”

Mendengar nada merajuk Kishi, Sho menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menahan tawa. Kishi-kun menggemaskan sekali.

“Kishi-kun,” kata Sho setelah berhasil mengontrol tawanya sendiri. Kishi masih terlihat merajuk, jadi Sho memutuskan untuk tidak menjahilinya lebih jauh. Tangan kirinya meraih tangan kanan Kishi, menggenggamnya erat-erat. “Kan sudah pernah kubilang, Kishi-kun selalu terlihat manis kapanpun. Dimanapun.”

Sesaat Kishi merasakan wajahnya memanas. Memang benar bahwa Sho tidak pernah ragu untuk mengatakan hal seperti itu. Mungkin karena tuntutan pekerjaan, Sho sudah terbiasa mengatakannya tanpa merasa malu lagi. Tetapi Kishi berbeda. Berapa kalipun mendengarnya, entah mengapa ia tidak pernah merasa terbiasa. Jadi untuk menutupi salah tingkahnya, Kishi memutuskan untuk segera mengalihkan pembicaraan.

“K-kalau Sho sendiri bagaimana? Rekaman hari ini sukses?”

“Hmm,” Sho hanya mengangguk, menyeringai tipis karena berhasil membuat Kishi salah tingkah tadi. “Persiapan konser KING juga sudah dimulai. Mulai hari Senin nanti, aku hampir tak ada libur sampai beberapa minggu ke depan.”

“Oh… Sho juga ada promosi untuk film musim dingin, kan? Berarti Sho akan sibuk muncul di berbagai media… Pasti padat sekali, ya? Jangan lupa makan teratur, minum air putih yang banyak, dan istirahat yang cukup!”

“Terima kasih, Kishi-kun. Kalau nanti ada waktu luang, aku pasti akan menemui Kishi-kun.”

“Jangan, jangan. Kalau ada waktu luang, Sho istirahat saja!”

“Eeh! Padahal bertemu Kishi-kun akan langsung mengisi energiku sampai penuh! Jauh lebih efektif daripada tidur di kamar sendirian!”

Kishi tidak langsung menjawab, hanya menatap Sho dengan tatapan tidak setuju. Sho-yang melirik sepintas ke arah Kishi-meringis pelan melihatnya. “Iya, iya. Aku akan istirahat…”

“Sho…” kali ini Kishi menghela nafas panjang, mengeratkan genggamannya pada tangan Sho. “Jangan memaksakan diri, ya? Kalau ada yang bisa kulakukan untuk meringankan beban Sho, katakan saja!”

“Hahaha! Tak perlu khawatir begitu,” jawab Sho sambil tertawa ringan. “Aku tidak memaksakan diri, kok. Bisa ada bersamamu sekarang-dan menikmati weekend berdua-saja sudah lebih dari cukup bagiku.”

Walaupun masih menatap Sho dengan alis bertaut, Kishi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kalau boleh jujur, rasanya aneh sekali. Jika dipikir baik-baik, Kishi tidak memiliki apapun yang dapat ia berikan untuk Sho.

Hirano Sho, center sekaligus leader dari idol group populer, KING. Idola nasional. Aktor berbakat. Wajahnya menghiasi halaman depan majalah-majalah, dan iklan-iklan yang ia bintangi muncul setiap hari di televisi. Sementara itu, Kishi hanya… Yah, Kishi. Karyawan biasa di perusahan biasa.

Perlahan mata Kishi bergerak, memerhatikan Sho baik-baik. Ramput pirangnya dibiarkan jatuh begitu saja, tetapi tetap terlihat rapi. Tanpa make up, Kishi dapat melihat lingkaran hitam di bawah mata Sho, tetapi ia tetap terlihat tampan. Pandangannya turun-ke jaket hitam yang dikenakan Sho, jam tangan mahal di pergelangan tangannya, celana yang terlihat masih baru... Kishi kini menunduk, menatap pakaiannya sendiri. Setelan kantor yang sudah ia pakai sejak pertama kali bekerja. Dasi yang diturunkan dari ayahnya. (Sho memang pernah menawarkan untuk membelikan setelan kerja baru-namun Kishi menolak) Tanpa bercermin pun, Kishi dapat membayangkan penampilannya sekarang. Ia pasti terlihat menyedihkan sekali duduk berjajar dengan Sho.

Padahal, Sho bisa memiliki apapun yang ia inginkan. Siapapun yang ia inginkan. Dan dari semuanya, ia memilih Kishi.

Jadi… yah. Jika satu-satunya yang dapat Kishi lakukan bagi Sho adalah berada di sana untuknya, maka Kishi akan melakukannya dengan sepenuh hati.

Jam digital di mobil menunjukkan pukul setengah satu malam-sudah saatnya siaran radio berakhir. Sang penyiar mengucapkan kata-kata perpisahan, dan tak lama kemudian semuanya kembali hening.

“Ah, sudah selarut ini ternyata…” Sho melepaskan tangan Kishi sejenak untuk mematikan radio tersebut. Menurut GPS yang terpasang di mobil, masih ada satu jam lagi hingga mereka sampai ke tujuan. “Kalau Kishi-kun lelah, tidur saja duluan. Nanti kubangunkan saat sudah sampai ke hotel.”

Kishi hanya menggeleng, walaupun ia tahu Sho tidak melihatnya. “Sho…”

“Hmm?”

Sesaat Kishi tampak ragu. Mulutnya terbuka seperti hendak berbicara, tetapi lalu Kishi menutupnya kembali. Karena tak kunjung menjawab, Sho menengok dengan sedikit khawatir.

“Kishi-kun?”

Namun akhirnya Kishi hanya menggelengkan kepala, tersenyum pada Sho. “Mm, tidak. Bukan apa-apa.”

Sho tidak terlihat yakin. Ia baru akan bertanya lagi, tetapi Kishi sudah melanjutkan kalimatnya.

“Sho, karena siaran radio juga sudah selesai, aku boleh menyetel CD?”

“CD? Aah, aku punya CD album Kinki Kids kesukaanmu di laci dasbor-“

“Bukan, bukan Kinki Kids.”

Dari ujung matanya, Sho menemukan bahwa Kishi sudah membuka laci dasbor dan mengeluarkan sekeping CD. Walau dalam kegelapan, Sho tetap dapat mengenali kaset tersebut. Kaset putih dengan logo mahkota emas kecil di bagian atas. Di bagian bawah, tulisan ’KING 1st album - Hirano Sho, Nagase Ren, Takahashi Kaito ditulis dengan font elegan. Ia mengerang, menutup wajahnya dengan tangan kiri karena malu.

“Jangan yang itu! Ya ampun, memalukan sekali mendengar suaraku sendiri…”

“Eh? Kenapa?” tanpa menunggu jawaban Sho, Kishi sudah menyetel CD tersebut. Intro lagu pertama mengalir, dilanjutkan oleh suara Sho. “Padahal suara Sho menenangkan sekali. Kalau mendengar nyanyian Sho setelah bekerja seharian, rasanya seperti… apa ya, seperti disegarkan kembali?"

“Kishi-kun, hentikan…” Sho setengah merengek, menepuk paha Kishi dengan sebelah tangannya. “Aah, memalukan sekali.”

Kali ini giliran Kishi yang tertawa. Namun, sesuai permintaan Sho, ia tidak menggoda Sho lebih lanjut. Jadi Kishi meraih tangan Sho, lalu mulai bersenandung mengikuti lagu yang diputar.

Sebenarnya, Sho sudah sering mendengar pujian tersebut. Dari staf. Dari teman-teman satu grupnya. Dari fans. Tetapi saat kata-kata tersebut keluar dari mulut Kishi, entah mengapa rasanya berbeda. Walaupun rasanya malu, tetapi dadanya seolah penuh. Kalau bisa, saat ini juga ia ingin memeluk Kishi erat-erat.

Lagu pertama sudah hampir berakhir ketika Sho melihat papan penunjuk rest area di sisi jalan. Benar juga. Ia sudah menyetir satu setengah jam tanpa berhenti. Mungkin tak ada salahnya ia berhenti sebentar untuk membeli kopi kaleng dan sekadar beristirahat beberapa menit.

“Kishi-kun, kita berhenti di rest area sebentar, ya. Aku mau beli kopi di minimarket.”

“Hm? Oke! Aah, aku juga jadi ingin kopi! Tapi saat lembur tadi aku sudah minum cukup banyak… Apa aku beli onigiri saja, ya?”

“Onigiri dan kopi itu dua hal yang sama sekali berbeda, lho,” balas Sho sambil tertawa kecil. Terbawa reaksi Sho, Kishi juga ikut menertawakan dirinya sendiri. Belokan menuju tempat peristirahatan sudah dekat, dan Sho melepaskan tangan Kishi untuk mengganti gigi persneling.

Kishi masih berbicara-belum memutuskan apa yang ingin ia beli. Sho sesekali menanggapi, sambil memutari tempat peristirahatan untuk mencari tempat parkir. Walaupun sudah lewat tengah malam, entah mengapa tempat peristirahatan tersebut masih ramai. Yah, mungkin banyak orang yang berpikiran sama seperti mereka-menyetir untuk menikmati weekend di luar kota setelah melewati hari kerja yang panjang.

Mereka menemukan tempat parkir di dekat pintu keluar, cukup jauh dari minimarket 24 jam yang menjadi tujuan mereka. Sho baru saja hendak melepas seat belt, ketika tangan Kishi menahannya.

“Sho, aku saja yang turun.”

“Eh? Jangan, jangan, aku saja.”

“Haah…” Kishi melipat tangan di dada, menatap Sho dengan pandangan yang seolah mengatakan ’kau serius?’. “Walaupun mengenakan kacamata hitam dan masker, aura Sho itu berbeda dengan orang biasa, tahu! Nanti repot jika identitasmu ketahuan! Sudah, aku saja yang turun. Sho mau kopi apa?”

Sho menjawab dengan gerutu rendah, tahu bahwa ia tidak mampu membela diri. “Kopi susu kaleng. Yang dingin.”

“Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar, ya.”

Kishi melepas seat belt dan menepuk saku-memastikan bahwa dompetnya ada di sana. Namun saat hendak membuka pintu mobil, ia baru menyadari bahwa Sho belum membuka kuncinya. “Sho-“

“Kishi-kun.”

Walau ruang gerak mereka terbatas, entah bagaimana Sho berhasil melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh Kishi, memeluk Kishi dari belakang. Ia merasakan Sho membenamkan kepala di bahunya, dan wangi parfum yang dikenakan Sho entah mengapa membuat dadanya berdegup sedikit lebih kencang. Dengan agak ragu-ragu ia mengangkat tangan, menyentuh lengan Sho.

“Sho…?”

“Sebentar lagi saja…”

Kishi hanya mengangguk, memperbaiki posisi mereka agar sedikit lebih nyaman. Sambil membisikkan ’terima kasih pelan, Sho mengeratkan pelukan.

Tepat saat itulah, intro dari lagu ’Ai wa Mikata sa’ mengalun dari speaker mobil. Sambil tersenyum kecil, Kishi membuka mulut dan ikut bernyanyi dengan suara pelan. Dulu, Kishi sama sekali tidak memiliki kepercayaan diri untuk menyanyi di depan Sho. Rasanya seperti sedang menyajikan telur goreng biasa pada chef restoran kelas atas.

Tetapi ketika menginap di apartemen Sho untuk pertama kali, Sho memintanya untuk menyanyikan lagu pengantar tidur. Kishi menolak, tentu saja. Namun pada akhirnya, Sho-dengan segala rayuan manisnya-berhasil membujuk Kishi. Dan ekspresi lembut Sho ketika mendengar nyanyian Kishi malam itu, rasanya masih dapat ia ingat sampai sekarang.

Kishi merasakan pelukan Sho mengendur, dan pada saat berikutnya Sho melepaskan pelukan tersebut sambil menghela nafas lega.

“Aah, suara Kishi-kun manis sekali! Aku merasa disembuhkan! Tidak mau mencoba jadi idola saja?”

“Di usia segini?” Kishi menengok ke arah Sho sambil tertawa. “Hmm, tidak! Aku senang, kok, dengan kehidupan sekarang bersama Sho.”

Sekilas Kishi melihat sesuatu melintas pada pandangan mata Sho. Dan saat Sho berbicara lagi, kali ini nadanya sedikit diliputi kekhawatiran. “Walaupun… walaupun kita tidak bisa kencan dengan bebas? Kishi-kun tetap bahagia denganku?”

“Iya, tentu saja.”

“Walaupun kadang aku lambat membalas LINE?”

“Eh, kalau tentang LINE, sepertinya aku yang lebih lambat membalas… Maaf, ya?”

“Walaupun mungkin kita tidak akan bisa menikah?”

Sejujurnya, pertanyaan tersebut di luar ekspektasi Kishi. Jadi Kishi hanya menatap Sho dengan mulut setengah terbuka, sebelum ekspresinya berubah menjadi geli. “Sho bicara apa? Kalaupun Sho orang biasa, kita mungkin tetap tidak akan bisa menikah, kok.”

“Ah, benar juga ya…” Sho menunduk sambil mengerutkan kening, tampak berpikir keras. Ia baru hendak membuka mulut lagi, namun Kishi mendahuluinya.

“Kalau Sho? Apakah bahagia bersama denganku?”

“Tentu saja!”

“Hehe, terima kasih. Aku senang sekali mendengarnya!”

Kishi tersenyum lebar, dan Sho hampir menutup mata saking berkilaunya senyuman tersebut. Aah, Kishi-kun curang sekali. Sho menyentuh pipi Kishi dengan sebelah tangan, lalu mencondongkan tubuh untuk mendaratkan ciuman singkat.

“Oh iya, Sho?”

“Hmm?”

“Masih mau kopinya?”

“Oh-oh, iya. Maaf, jadi menahanmu seperti ini-“ Sho meraba tombol di sisi pintu, membuka kunci pintu mobil agar Kishi bisa keluar. “Hati-hati, jalannya agak gelap.”

Kishi mengangguk sambil tersenyum, lalu memutar tubuh dan membuka pintu. “Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.”

Orang bilang, menjadi idola itu tidak enak. Dituntut untuk memenuhi berbagai ekspektasi yang terdengar mustahil. Tak peduli selelah apa, harus tetap tersenyum di depan kamera. Jam kerja yang tidak tentu. Harus menghadapi berbagai omongan pedas dari orang-orang. Minggu-minggu pertama setelah debut, Sho menangis pada salah satu seniornya. Bagaimana caranya tetap tersenyum di tengah pekerjaan yang penuh tekanan seperti ini? Saat itu, senior tersebut hanya tertawa. ”Kebahagiaan kecil, Sho,” katanya sambil menepuk kepala Sho. ”Kopi yang enak di pagi hari. Berendam air hangat setelah pekerjaan panjang. Atau… senyuman dari orang yang penting bagimu, misalnya.”

Sho menatap Kishi yang menutup pintu dan mulai berjalan menjauh dari mobil. Tanpa dapat ditahan, seulas senyum mengembang pada wajahnya.

Aah.

Ia telah menemukannya.

Kishi Yuta-kebahagiaan kecil, milik Sho sendiri.

.

mon maap jika ga jelas!! mon maap juga kalau ada typo dan ada part yang "???maksudnya apaan?". tadinya ini udah lama banget ga beres-beres, tapi karena di video fc hari ini ada sho nge-backhug kishi jadinya ada semangat(?) untuk ngelanjutin. sekian. terima kasih mon maap.

kishi yuta, ff, hirano sho

Previous post Next post
Up