bagian kedua dari kumpulan fic valentine!!!! Bikin Aran/Ren masa random banget. Semua salah Aran yang tiba-tiba muncul di TV kemaren huhuhu. Awalnya mau dibuat kaya sequel dari
It's A Brew-tiful Day tapi gak jadi. Tapi tetep aja Shinjiro dan Aran sebagai sibling karena seriusan di mata saya sih mereka berdua mirip banget(?). Terus toko bunga Nissy!!! Nissy udah 3 kali pakai setting(?) dia sebagai pemilik toko bunga: MV Happening dan MV MadaKimi, terus di 2nd Live kemaren. Mungkin dia beneran ingin punya toko bunga(?). Jadi begitulah.
.
Abe Aran/Nagase Ren
"Aku agak iri, sebenarnya." | "Dengan... dengan pasangan yang berkencan?"
Empat belas Februari. Hari Valentine. Hari istimewa untuk mengungkapkan rasa sayang dan sebagainya.
Yah-Ren tidak terlalu memikirkannya. Kebetulan saja ia tidak ada kelas pada hari itu, kebetulan saja kedai kopi milik Aran dan kakaknya berada di sana, kebetulan saja ada toko bunga di sebelah kedai kopi tersebut, dan tentu saja kebetulan bahwa ia datang saat jam istirahat makan siang Aran.
Sekali lagi-kebetulan. Tidak, tentu saja ia tidak merencanakannya dengan saksama.
“Apa?” tanya Ren galak ketika mendapati Kishi-pegawai toko bunga-memandangnya dengan tatapan terhibur.
“Ya, ya, tentu saja, semuanya kebetulan,” balas Kishi, senyum senang masih menghiasi wajahnya. Ia merangkai buket bunga yang dipesan Ren dengan cekatan. “Kau tahu? Banyak yang selalu membeli bunga di sini sebelum mampir ke kedai kopi di sebelah. Tak bisa disalahkan, sih, harus kuakui mereka memang tampan.”
Dompet terjatuh dari tangan Ren. “A-apa?”
“Maksudku, kakak-beradik itu-“
“Bukan, bukan,” potong Ren cepat. Ia mengambil kembali dompetnya yang terjatuh, kemudian memegang bahu Kishi dengan kedua tangannya. “Banyak yang selalu membeli bunga untuk Aran?!”
Kishi mengangkat sebelah alisnya sambil menyeringai penuh kemenangan. Sadar telah dipancing, Ren cepat-cepat melepaskan tangannya dari bahu Kishi dan membuang muka, salah tingkah.
“Kebanyakan untuk Shinjiro-san, sebenarnya,” lanjut Kishi, sedikit banyak berhasil menenangkan temannya tersebut. Setelah Ren membayar, Kishi menyerahkan buket bunga yang baru saja dirangkainya dan menepuk bahu Ren dengan senyum lebar. “Traktir aku saat kalian jadian, oke?”
.
Sebenarnya Ren tergoda untuk langsung masuk lewat pintu belakang seperti biasanya. Tetapi, teringat kata-kata Kishi sebelumnya, ia memutuskan masuk melalui pintu depan.
Bunyi gemerincing dan aroma kopi langsung menyambut ketika Ren mendorong pintu kaca kedai tersebut. Siang itu lebih penuh dari biasanya-kebanyakan pasangan yang berkencan pada Hari Valentine. Ren melayangkan pandangannya pada konter tepat saat seorang wanita menyerahkan sebuket bunga pada kakak Aran, Shinjiro. Shinjiro menerimanya dengan senyuman sejuta watt, dan Ren tertegun karena ternyata Kishi tidak berbohong!
“Ren?”
“Aah!!” Ren reflek berteriak kaget. Sebelah tangan memegang dadanya yang terasa mau copot, tangannya yang lain menggenggam buket bunga erat-erat. Ia menengok ke sumber suara, hampir pingsan ketika menemukan Aran berdiri di belakangnya. “A-A-Aran…?”
“Wah?” pandangan Aran langsung tertuju pada buket bunga yang dibawa Ren. Melihat reaksi Ren yang langsung salah tingkah, Aran menjadi semakin percaya diri. “Untukku?”
“E-enak saja!” Ren cepat-cepat menyembunyikan buket tersebut di belakang punggungnya. Entah apa faedahnya-tidak apa-apa, biarkan Ren menenangkan diri sejenak. “Lagipula… kau, bukankah ini jam istirahatmu?”
Belum sempat Aran menjawab, Shinjiro sudah memanggil dari konter. Aran melambaikan tangannya singkat, memberi tanda bahwa ia mendengar.
“Begitulah, aku belum bisa istirahat sekarang,” jawab Aran sambil memandang sekeliling, menunjukkan bahwa masih banyak yang harus ia lakukan. “Tunggulah di ruang istirahat, Ren, aku akan segera ke sana setelah pekerjaanku selesai.”
.
Ren sudah menunggu selama dua puluh menit ketika pintu ruang istirahat perlahan terbuka. Ia langsung duduk dengan tegak, entah kenapa mendadak dadanya berdegup kencang.
“Maaf, maaf, lama menunggu?” tanya Aran, sedikit merasa bersalah. Ia menyerahkan segelas kopi pada Ren (“Terima saja, kakakku memaksa.”) dan membuka bekal makan siangnya. “Apa boleh buat, kami kedatangan lebih banyak pengunjung dari biasanya.”
“Orang-orang berkencan?”
“Ya-ya, karena ini Hari Valentine…” suara Aran sedikit memelan di akhir kalimat, pandangannya menerawang. “Aku agak iri, sebenarnya.”
“Dengan… dengan pasangan yang berkencan?”
Aran tidak menjawab, hanya menaikkan bahunya sambil tersenyum samar pada Ren.
Dan sekarang, terjadi kerusuhan di dalam otak Ren. Apakah yang barusan lampu hijau???!!!!! Setelah selama ini ia tertahan di zona kuning, apakah sekarang saatnya untuk beraksi????? Apakah… apakah… apakah…
“Ngomong-ngomong…” Ternyata Ren tidak perlu berpikir terlalu jauh, karena Aran kini menatapnya dengan kilat penuh kemenangan. “Terima kasih buketnya, Ren.”
“S-sudah kubilang, itu untuk kakakmu!”
“Ooh, masih ingin bersikap sok dingin rupanya,” Aran melipat tangan dan menyandar ke kursinya, jelas-jelas terhibur dengan reaksi Ren. “Baiklah, mungkin sebaiknya aku membatalkan reservasiku di restoran Kikuchi, hm?”
Ren balik menatapnya dengan mulut terbuka lebar, dan Aran semakin menjadi-jadi.
“Padahal aku sudah memesan tempat untuk dua orang malam ini. Tapi, bagaimana ya, mungkin aku bisa mengajak orang lain-“
“-tidak!” potong Ren cepat, setengah panik setengah malu. Ia tak bisa membayangkan Aran makan malam berdua saja dengan orang lain! Tidak, pokoknya tidak!”
“Baik, baik,” Aran mengambil sumpit dan mulai memakan makan siangnya. Namun, sebelum itu, ia mendekat ke arah Ren dan berbisik dengan jelas di telinganya. “Sampai ketemu malam nanti, kalau begitu?”
Oh, Ren sungguh-sungguh harus mentraktir Kishi.
.
Kikuchi Fuma/Kishi Yuta
"Pacarmu sudah menjemput untuk makan malam." | "P-p-pacar?"
Panas. Lelah. Meskipun hari sudah sore, entah kenapa matahari tak juga bersembunyi di balik awan.
Kishi mengelap keringat di dahinya, mengayuh sepeda tanpa berhenti. Lebih cepat kembali ke toko, lebih baik. Setidaknya, di sana ada air dingin dan pendingin ruangan. Ia baru saja mengantarkan beberapa bunga pesanan ke sebuah daerah perkantoran. Orang-orang yang ingin mengejutkan pasangan mereka saat pulang kantor nanti, namun tak punya waktu untuk sungguh-sungguh mengunjungi toko bunga.
Hari Valentine. Kedengarannya romantis, kan? Pemilik toko bunga tempatnya bekerja-Nissy-sangat menyukai hari tersebut. Hari lain yang menjadi kesukaan Nissy adalah white day dan hari Natal. Tentunya karena penjualan bunga mereka naik drastis! Tapi hal itu berarti pekerjaan yang berlipat ganda, dan rasa lelah yang juga berlipat ganda.
Toko sudah terlihat di ujung pandangannya. Kishi menyapa orang-orang yang ia kenal, kemudian menghentikan sepeda di depan toko. Tepat saat itu dilihatnya seorang wanita keluar dari toko dengan sebuket bunga di tangannya, kemudian masuk ke kedai kopi di sebelah toko bunga tersebut.
Ah, benar juga. Kedai kopi itu menjadi salah satu alasan terbesar bunga mereka selalu laku. Mungkin pemilik kedai kopi sebelah-kakak-beradik Shinjiro dan Aran-bisa membuka toko bunga sendiri mengingat jumlah bunga yang mereka dapatkan dari pengunjung setiap harinya.
“Kishi?” suara Nissy membuyarkan lamunan Kishi. Nissy melongok keluar dari pintu toko, heran karena Kishi tak juga masuk. “Semua sudah diantar?”
“Oh! Sudah, sudah,” Kishi turun dari sepedanya, sekarang tak sabar untuk menikmati segelas air dingin. Ia masuk dan mengeluarkan beberapa lembar bukti penerimaan dari kantung celananya. Sudahlah, ia akan membereskan semuanya nanti. Sekarang yang penting adalah segelas air dingin!
Sambil beristirahat sejenak di ruang belakang, Kishi dapat mendengar Nissy berbicara dengan seorang pembeli yang baru datang. Oh, rupanya hanya membeli bunga satuan yang sudah mereka bungkus khusus untuk Hari Valentine ini. Baru saja Kishi hendak beranjak kembali ke toko, Nissy mengetuk pintu ruang belakang.
“Eh-eh, ya?”
“Kishi?” sekali lagi Nissy melongok dari pintu, kali ini dengan senyum jahil menghiasi wajahnya. “Kau sudah boleh pulang.”
“Eh???”
“Tidak apa-apa, semua pesanan sudah diantar dan kurasa aku bisa menangani semuanya sendirian setelah ini,” lanjut Nissy. Kishi masih menatapnya ragu, jadi Nissy memutuskan untuk tidak bertele-tele lagi. “Pacarmu sudah menjemput untuk makan malam.”
“P-p-pacar?!” Kishi mendadak berdiri tegak. Belum sempat Kishi memproses keterkejutannya, Nissy membuka pintu lebih lebar dan menunjukkan Fuma. “Fuma?!!”
“Halo,” sapa Fuma senang, tangannya menggenggam sebatang bunga mawar yang baru saja dibelinya tersebut. “Sudah siap makan malam, sugar?”
Kishi hampir pingsan di tempat.
.
“Yang barusan itu, apa-apaan?” tanya Kishi ketika keduanya meninggalkan toko. Fuma balik menatapnya dengan senyuman lebar.
“Kenapa, kau tidak suka?”
“Maksudku… p-p-pacar?”
“Memang benar, kan? Mulai sekarang, kau pacarku.”
Untuk yang kedua kalinya dalam sepuluh menit terakhir, Kishi hampir pingsan di tempat.
.
Saat Fuma bilang makan malam, sejujurnya Kishi berpikir Fuma akan membawanya ke restoran keluarga miliknya-Kikuchi. Tapi jelas-jelas mereka sekarang sedang menuju arah yang sama sekali berlainan!
“Fuma?” tanya Kishi hati-hati, jantungnya masih dalam mode tidak stabil. “Kita mau ke mana?”
“Hm? Kan sudah kubilang tadi, makan malam.”
“Di Kikuchi?”
“Pfft, tentu saja tidak,” balas Fuma dengan tawa tertahan. “Kau mengenali jalan ini, kan?”
“Tentu saja… Eh! Jangan bilang kalau…”
“Benar,” Fuma menghentikan langkahnya, menatap Kishi dengan seringaian lebar. “Apartemenmu, Kishi.”
.
Rupanya Fuma telah menyiapkan makan malam, lengkap dengan cahaya lilin dan lain-lain. Kishi hampir bertanya bagaimana Fuma dapat melakukan semuanya, sebelum ia ingat bahwa ia pernah memberikan kunci duplikat pada Fuma untuk keadaan darurat.
“Fuma! Ini…”
“Bagaimana menurutmu?”
Kishi kehilangan kata. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, masih tidak memercayai keajaiban bertubi-tubi yang menimpanya hari ini. “Aku… Fuma, aku bahkan tidak menyiapkan cokelat!”
“Tidak masalah,” jawab Fuma santai. “Ini kan hari kasih sayang, jadi aku hanya ingin berbuat sedikit untukmu.”
“Ini sama sekali tidak sedikit!”
“Sekali lagi, tidak masalah. Aku tahu kau lelah hari ini.”
Fuma menarik kursi dari meja makan, mempersilakan Kishi untuk duduk. Masih setengah syok, Kishi duduk dengan patuh.
“Oh, ya, satu lagi,” Fuma menunduk, mendekatkan mulutnya pada telinga Kishi. “Makanan pentupnya… mungkin… aku?"
Ya Tuhan. Kishi hanya berteriak dalam hati, berdoa semoga bumi terbelah agar ia bisa terjun ke dalamnya.
.
Urata Naoya/Atae Shinjiro
Kalau Naoya masih tak mau mengambil langkah maju juga, untuk apa selama ini ia menunggu dengan pasif?
Shinjiro berdiri dengan gelisah. Sekarang masih pukul sembilan pagi, dan ia berada di daerah perkantoran tak jauh dari kedai kopinya. Sebenarnya ia merasa sedikit bersalah meninggalkan Aran dan seorang pekerja paruh waktu lainnya untuk mengurus kedai berdua saja-setidaknya sampai ia kembali sekitar satu jam lagi. Yah, mungkin setelah ini ia harus merekrut lebih banyak pekerja paruh waktu.
Ia berjalan dengan ragu-ragu ke arah sebuah gedung bertingkat, memegang segelas kopi dingin di tangannya dengan lebih erat. Tangannya yang lain menggenggam sebuket bunga. Ah, benar juga, bunga. Nissy menatapnya dengan senyuman jahil ketika Shinjiro membeli buket tersebut tadi pagi. (“Naoya, hm? Aku punya firasat baik.” | “Diam, Nissy.”)
Shinjiro menghentikan langkahnya, menarik nafas dalam-dalam. Sambil menyemangati diri sendiri, Shinjiro mulai melangkah dengan pasti ke dalam gedung tersebut.
Sesuai janji yang telah dibuatnya kemarin malam, Uno Misako-sekretaris Naoya-sudah menunggunya di lobi. Misako menunduk dengan sopan, dan dengan gugup Shinjiro menunduk sedikit lebih dalam.
“Lewat sini,” kata Misako sambil berjalan ke arah elevator. Shinjiro mengikuti di belakangnya tanpa bertanya. Meskipun ini bukan pertama kalinya ia melangkahkan kaki di sini, tetap saja ia tak pernah merasa terbiasa. Perjalanan menuju lantai lima belas pun terasa begitu panjang, apalagi dengan keheningan yang menyelimuti mereka.
Bunyi ‘ding!’ menandakan bahwa elevator telah sampai di lantai tujuan. Pintu elevator terbuka, dan keduanya melangkah keluar. Suara ‘klik klik’ dari sepatu Misako bergema pada lorong yang sepi tersebut.
Sambil berusaha menenangkan dirinya, Shinjiro kembali memastikan semuanya di dalam kepala. Kopi hitam dingin dengan sedikit gula dan sedikit susu. Bunga… Naoya tak akan mempermasalahkan bunga. Standar saja untuk Hari Valentine, sebuket mawar merah. Sempat terpikir bagi Shinjiro untuk membawa cokelat, namun ia teringat bahwa mereka sudah terlalu tua untuk tradisi itu.
Misako berhenti di sebuah pintu yang cukup besar. Ia mengetuk, kemudian membukanya perlahan. Dengan sedikit tidak sabar, Shinjiro mengikuti.
Brak!
Tepat saat itu, Naoya-yang berdiri membelakangi mereka-membanting gagang telepon dan menghela nafas keras. Shinjiro sedikit melompat terkejut, namun Misako bergeming.
“Urata, ada seseorang untukmu.”
Naoya menengok dengan wajah marah, jelas-jelas sedang tidak ingin diganggu. Tetapi ketika dilihatnya sosok Shinjiro yang kini setengah bersembunyi di balik punggung Misako, ekspresinya melunak.
“Shinjiro…” gumam Naoya, tak dapat menyembunyikan rasa sayang yang tersirat dalam suaranya. Ia memberi isyarat agar Misako meninggalkan mereka berdua saja, jadi Misako menunduk sopan dan berjalan keluar, tak lupa menutup pintu setelah kepergiannya. “Ada apa?”
“Ah,” Shinjiro menundukkan kepala, mendadak tidak tahu harus berbuat apa. Jadi pertama-tama, ia menyerahkan segelas kopi dingin di tangan kirinya pada Naoya. Setelah Naoya menerimanya tanpa pertanyaan lebih lanjut, barulah Shinjiro menyerahkan buket bunga di tangan kanannya. “Untukmu, Naoya.”
Naoya tampak sedikit kaget mendengarnya. Ia menatap kedua benda tersebut secara bergantian, kemudian matanya beralih menatap Shinjiro. “Sungguhan untukku?”
“Tentu saja, untuk apa lagi aku kemari,” jawab Shinjiro cepat. Ia mengawali kalimatnya dengan lembut, namun mengakhirinya dengan nada kesal. Sambil melipat tangan di dada, Shinjiro menatap membalas tatapan mata Naoya dengan berani, seolah-olah menantang Naoya untuk protes.
“Tapi… maksudku… ini…” Naoya sedikit terbata-sama sekali tidak sesuai dengan posisinya di perusahan saat ini, sebenarnya. Biasanya ia seorang yang penuh keyakinan dan memiliki pendirian yang kuat. Tapi saat ini, kepalanya dipenuhi keraguan. “Shinjiro… kau sungguh-sungguh…”
Shinjiro memutar matanya. Kalau Naoya masih tak mau mengambil langkah maju juga, untuk apa selama ini ia menunggu dengan pasif?
Menarik dasi Naoya dengan sedikit tidak sabar, Shinjiro mencium bibir Naoya dengan gerakan cepat. Saat Shinjiro menarik tubuhnya mundur, Naoya menatapnya dengan sorot setengah tidak percaya.
“Shin-“
“Kau berniat serius denganku atau tidak?” tanya Shinjiro tegas, tangannya masih menggenggam ujung dasi Naoya.
“T-tentu saja. Tapi… Pikirkan lagi, Shinjiro. Kau masih muda, aku tak ingin kau terjebak dengan-“
Shinjiro kembali menghentikan rentetan kalimat Naoya dengan sebuah ciuman, kali ini sedikit lebih kuat.
Saat keduanya memisahkan diri, entah kenapa Shinjiro mendadak sangat sadar akan apa yang baru saja ia lakukan. Rasa panas menjalar di pipinya, dan Shinjiro cepat-cepat menyembunyikan wajahnya pada dada Naoya.
“Shin-chan?”
“M-Maaf, yang barusan itu-“
“Tidak, tidak, aku yang harusnya minta maaf…” Naoya meletakkan bunga dan kopi dari Shinjiro di meja terdekat, kemudian mengelus rambut Shinjiro dengan lembut. “Maaf membuatmu mengambil inisiatif duluan, pengecut sekali aku.”
Shinjiro hanya menggeleng, masih terlalu malu untuk mengangkat wajahnya.
“Shinjiro…” bujuk Naoya. Kali ini, saat Shinjiro mengangkat wajahnya, giliran Naoya yang menciumnya dengan lembut. “Terima kasih. Aku menyayangimu.”
.
Nishijima Takahiro/Uno Misako
"Aku berniat langsung tidur, sebenarnya." | "Setelah seharian berada di toko? Taka, kau jorok."
Pukul sembilan malam. Nissy mengusap wajahnya dengan lelah, tidak menyangka ia akan tertahan di toko sampai semalam itu. Memang benar bahwa ia menyukai Hari Valentine-penjualan naik drastis, tentunya-namun rasa lelah yang didapatkannya pun ikut naik dengan sebanding.
Kishi meninggalkan toko sekitar pukul setengah enam, dan Nissy sedikit menyesal telah membiarkan Kishi pergi secepat itu. Pekerjaan mereka masih banyak, sebenarnya. Tapi melihat pacar Kishi datang menjemput, mau tak mau ia ikut merasa senang juga.
Masih ada sekitar lima menit sampai ia tiba di apartemennya. Nissy merogoh kantung jaketnya, mengeluarkan kotak rokok dan korek. Sambil memikirkan kesibukan hari itu, ia menyulut api pada rokok dengan gerakan cepat.
Shinjiro. Pagi-pagi sekali datang ke tokonya dan membeli sebuket mawar merah. Tentu saja untuk Urata Naoya. Tetapi, hari sebelumnya, Nissy juga telah menerima pesanan bunga dari Urata-sebuah rangkaian besar yang detail dan kompleks-dan diminta untuk mengantarkannya ke kantor pada Hari Valentine. Kishi yang mengantar bunga tersebut beserta bunga pesanan lainnya, namun Nissy yakin buket bunga tersebut tentunya untuk Shinjiro.
Kishi dan pacarnya, lalu Shinjiro dan Urata. Hari kasih sayang, hm? Nissy mengisap rokoknya dalam-dalam, kemudian mengembuskan asapnya ke samping.
Gedung apartemennya sudah terlihat di ujung jalan. Nissy mempercepat langkah. Ia tidak sabar untuk berada dalam kenyamanan apartemennya sendiri. Rokoknya habis tepat sebelum Nissy menaiki tangga, jadi ia berputar sejenak untuk mencari tempat membuang puntung rokok.
Kamar keempat di lantai dua. Nissy memasukkan kunci dan memutarnya-aah, rasanya ia ingin langsung tidur saja.
“Selamat Hari Valentine, Takahiro!”
Nissy melompat kaget, mendadak otaknya segar kembali. Seorang wanita cantik telah menunggunya dengan sebuket besar bunga di tangan. Senyumannya yang bagaikan malaikat sukses memberikan injeksi energi bagi Nissy.
“Misako…” senyum mengembang pada wajah Nissy. Entah mengapa ia merasa tersentuh. Baru setelah itu pandangannya terfokus pada buket bunga di tangan Misako. “Eh? Sebentar, buket itu-“
“Benar,” Misako balas tersenyum jahil. “Aku membelinya untukmu.”
Hening sejenak.
“EHHHH?!!”
“Kenapa kau kaget, sih?” tanya Misako sambil tertawa. Ia menyerahkan bunga tersebut pada Nissy, yang masih menatapnya dengan raut tidak percaya. “Kau akan tersinggung jika aku membeli dari toko bunga yang lain, kan?”
Buket bunga yang dirangkainya siang tadi. Buket pesanan Urata Naoya. Ternyata Misako-lah yang memesannya!
Misako mengambil kembali buket tersebut dari tangan Nissy, kemudian membantu Nissy menanggalkan jaketnya. Setelah Nissy melepaskan sepatu dan melempar tasnya ke sofa, ia baru melihat bahwa makanan sudah disiapkan di atas meja makan.
“Kau ingin mandi dulu atau makan dulu?” tanya Misako, sekali lagi menyerahkan buket bunganya pada tangan Nissy yang kosong. Nissy tidak langsung menjawab. Ia hanya meminta Misako menyiapkan vas bunga. Bagaimanapun, baginya, menjaga kesegaran bunga-bunga ini lebih penting.
Misako hanya mendengus, namun tak dapat menyembunyikan senyuman penuh sayangnya. Setelah puas dengan hasil pekerjaannya sendiri, barulah Nissy berbalik menatap Misako.
“Aku berniat langsung tidur, sebenarnya.”
“Setelah seharian berada di toko? Taka, kau jorok.”
“Mmhm, rasanya aku mendengar kasur memanggil…”
Berlawanan dengan perkataannya sendiri, Nissy berjalan menuju meja makan. Misako mengikuti di belakang sambil tertawa. Bukan makan malam mewah atau semacamnya, sebenarnya. Sushi-makanan kesukaan Nissy.
“Makan malam, air hangat, bunga… Aku sama sekali tidak berpikir akan mendapatkan semua ini,” kata Nissy pelan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia menarik Misako ke pelukannya, kemudian dengan lembut mencium pelipisnya. “Yah, aku akan berusaha sebisaku untuk white day nanti.”
“Sungguh? Ekspektasiku tinggi, lho,” goda Misako sambil melipat tangan. Ia tersenyum jahil pada Nissy, dan sekali lagi Nissy mencium keningnya.
“Hari ini aku tidak menyiapkan apa-apa, rasanya jadi merasa bersalah…”
“Tidak apa-apa, aku tahu kau sibuk. Nah, duduklah. Kita makan dulu, kalau begitu?”
“Mm, terima kasih, Misako…” Nissy merasakan kehangatan memenuhi dadanya. Misako, yang selama ini selalu menjadi sumber energinya, yang mewarnai harinya, dan membuat hidupnya terasa lengkap. Ia baru saja hendak mengambil sushi pertama sebelum tiba-tiba teringat sesuatu yang penting. “Tunggu sebentar! Jadi, Urata tidak menyiapkan apa-apa untuk Shinjiro? Kupikir, mereka-”
“-aku melihat sesuatu yang sebenarnya tak ingin kulihat, kalau itu yang kau tanyakan,” jawab Misako ringan. “Maksudku… Melakukannya di kantor? Ew, menjijikkan.”
“Jadi… mereka…” melihat anggukan kepala Misako, Nissy menghela nafas lega. “Ah, syukurlah! Aku sudah sangat gemas mendengar curahan hati Shinjiro tentang Urata selama ini.”
“Membawa keberuntungan, kurasa, Hari Valentine ini,” Misako meraih tangan Nissy di atas meja, memandang dari balik bulu matanya yang lentik. “Pasangan yang berbahagia, hm?”
Benar. Kali ini Nissy membalas dengan senyuman tulus, tak mau menyembunyikan kebahagiaan di dadanya. Kishi dan pacarnya, Shinjiro dan Urata, dan sekarang… Ia dan Misako.
.
Begitulah!!! Rada gajetot gimana gitu. tAPI GAPAPA KAN. Sempet kepikir mau bikin wattpad tapi kalau di situ kan ada view coa jADI TAKUT GIMANA NTAR YANG VIEW CUMAN 2: SAYA DAN 1 RANDOM STRANGER YANG KEPENCET VIEW engga. Terus notes akhir: tsun Ren is <3 uhuhu