Tittle : Memories (For Yamada Ryosuke’s birthday)
Cast : Yamada Ryosuke, Tanaka Airi (OC), Nakajima Yuto
Type : One-shot fanfic
Genre : Romance, Angst
Rating : G
Disclaimer : I don't own anything, but the story
A/N : mm.... Gomen ne, if my story is bad :D
###################################################################
Ryosuke duduk di pinggir sungai. Sembari memeluk kakinya, Ryosuke menatap langit. Langit hitam tanpa adanya taburan bintang. Kemana mereka semua? Apa bintang - bintang itu bersembunyi? Lupa untuk bersinar? Atau yang lebih parah, menghilang dan tak dapat terlihat lagi?
....................
14 April 1998
Ryosuke dan Airi sedang bermain di padang rumput. Mereka berlari - lari gembira. Tawa riang terdengar dari mulut mungil mereka.
“Ryo kun, kejar Ai kalau bisa,” Airi tertawa - tawa sambil berlari menjauhi Ryosuke
“Pasti akan kukejar, dan pasti akan terkejar! Tunggu saja, Airi,” Ryosuke mempercepat langkah kakinya. Dan akhirnya, “Kena kau, Ai chan!”
Ryosuke menubruk tubuh mungil Airi dan akhirnya mereka berdua terjatuh di padang rumput. Tawa mereka tidak hilang, bahkan tawa Airi semakin menjadi saat Ryosuke menggelitik tubuhnya
“Ampun, ampun. Ii jan, Ryo kun. Hahaha,” Airi tertawa keras dan berusaha menyingkirkan Ryosuke dari atas tubuhnya. Namun sia - sia saja, karena walaupun masih berumur 5 tahun, Ryosuke lebih besar dari dirinya
“Tidak mau. Sebelum kau bilang akan membelikanku pocky stroberi,” Ryosuke terus menggelitik Airi
“Tidak akan! Hahaha, Yamette, Ryo kun!”
....................
Seusai pesta kecil untuk merayakan ulang tahun Ryosuke yang ketujuh, Ryosuke pergi menuju sungai kecil dekat hutan yang terletak agak jauh dari rumahnya. Ryosuke meminta Airi untuk pergi ke sana jika sudah pulang dari pestanya, dan Ryosuke akan menyusul.
Saat tiba di sana, terlihat Airi sedang duduk di tengah jembatan. Wajahnya terlihat cemberut, mungkin karena terlalu lama menunggu Ryosuke. Ryosuke berjalan mengendap - endap di belakang Airi dan,
“BA!”
Ryosuke dengan cepat dan keras memegang pundak Airi. Airi yang tidak menyadari datangnya Ryosuke tentu kaget. Bahkan dia sampai mengeluarkan latah yang ada sejak kecilnya karena sudah sering dikagetkan oleh Ryosuke (“E, ayam ayam”). Setelah itu Airi pasti langsung memukul lengan Ryosuke dengan seluruh kekuatannya.
“Ryo kun jahat! Bikin Airi jadi kaget,” Airi memukul lengan Ryosuke dengan seluruh kekuatan yang dia punya
“Hehehe, Ai chan lucu lho. Kagetnya Ai chan lucu. Ryo suka,” Ryosuke langsung mencubit kedua pipi Airi
“Eeeh, yamette yo. Kalau tidak dilepas akan aku panggilkan hantu,” Airi berusaha menepis tangan Ryosuke
“Tidak takut. Kan aku bisa melihat mereka. Weeek,” Ryosuke menjulurkan lidah dan terus mencubit pipi Airi
“Ryo kun, yamette yo,” Airi memohon dengan putus asa dan akhirnya Ryosuke melepaskan tangannya. “Kenapa Ryo kun suruh Ai kesini? Doushitano?” Airi menatap Ryosuke dengan tatapan polos
“Ryo cuma mau tanya. Kalau sudah besar, Ai chan mau jadi pacar Ryo tidak?” suara Ryosuke yang masih terlihat polos berkata
“Pacar? Koibito? Nani?” Airi terlihat kebingungan
“Airi jadi milik Ryo. Ryo jadi milik Airi. Soalnya Ryo sayang Airi. Ai chan sayang Ryo kan?” tatapan polos Ryosuke memancar
“Un. Ai sayang Ryo kun,” Airi langsung mengangguk
“Tapi kata neechan, kalau masih kecil tidak boleh pacaran. Jadi tunggu kalau kita sudah besar. Ai chan mau kan?” Ryosuke memandang Airi penuh harap
“Un, mochiron. Ai pasti akan tunggu Ryo sampai kita boleh pacaran,” Airi tersenyum, senyum polos seorang anak usia 6 tahun
Ryosuke dan Airi pun menautkan kelingking mereka seraya tertawa bersama. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka yang masih polos. Apakah mereka paham apa yang mereka bicarakan? Apakah janji itu akan terkenang, walau telah jauh waktu yang terlewati? Janji, janji yang diucapkan oleh anak yang baru berumur 7 tahun, dan seorang anak yang masih berumur 6 tahun. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa arti cinta sebenarnya.
....................
Waktunya darmawisata ke daerah pantai. Anak - anak kelas 4 SD pergi mengunjungi pantai di Sendai. Mereka terlihat gembira. Selama di perjalanan, mereka bernyanyi - nyanyi riang.
Sesampai di sana, mereka semua berlari menuju pantai. Wajah mereka terlihat sangat bahagia. Masing - masing berpencar dengan temannya sendiri - sendiri. Tidak ada yang berhenti untuk mendengarkan peringatan sensei (“anak - anak, jangan terlalu dekat dengan laut!”)
Airi dan Ryosuke bermain bersama. Pertama mereka bermain pasir. Mereka membuat istana pasir (walau hasilnya sama sekali tidak kelihatan seperti istana), mencari kerang, dan membuat tulisan di pasir menggunakan ranting. Mereka juga sempat berkejaran. Guru - guru sedang sibuk menjaga murid - murid lainnya yang, bisa dibilang, nakal. Airi dan Ryosuke berkejaran menuju laut, dan tanpa sadar kaki Airi telah menginjak laut, tanpa Airi sadar bahwa dia terus mengarah ke tengah. Tiba - tiba kaki Airi terseret ombak. Tubuhnya yang kecil itu dengan mudah diseret ombak. Dan sayangnya lagi, Airi tidak bisa berenang.
“Tasukete! Tasukete!” Airi timbul-tenggelam di dalam air
Ryosuke segera berlari ke laut, sementara guru - guru baru sadar bahwa ada suatu peristiwa. Dengan susah payah, Ryosuke menyeret tubuh kecil Airi ke bibir pantai. Dibaringkannya Airi yang pingsan di pasir. Guru - guru masih berlari dari segala arah. Tanpa pikir panjang lagi, Ryosuke melakukan tindakan penyelamatan yang sering ia lihat di televisi. Nafas buatan. Selagi memberikan nafas buatan, Ryosuke juga menekan dada Airi. Setelah beberapa kali diberi nafas buatan, Airi tersedak dan memuntahkan air dari mulutnya. Kelopak mata Airi terbuka perlahan.
“Ryo kun....” kata Airi lirih dan Ryosuke langsung memeluk tubuh Airi
“Ya ampun, Airi. Kau pasti tidak mendengarkan sensei,” Haruna-sensei, guru nihon-go, terus merepet di samping Ryosuke. Sementara Airi hanya tersenyum lemah
“Ryo tidak akan membiarkan Ai chan dalam bahaya,” Ryosuke mendekap tubuh kecil Airi
Sepanjang perjalanan pulang, Airi tertidur di pundak Ryosuke. Sementara topik pembicaraan yang hangat diperbincangakan di antara guru dan murid adalah tindakan penyelamatan Ryosuke terhadap Airi. Topik ini bertahan hingga 2 minggu lamanya.
...............
“Otanjoubi omedetou, Ryo kun,”
Airi dan Ryosuke sedang ada di lapangan berumput di pinggir sungai. Di kejauhan terdengar suara kereta melintas di atas sungai. Hari ini, tanggal 9 Mei, Ryosuke berulang tahun yang kesepuluh.
“Ryo kun, kore. Anata no purezento. Douzo,”
Airi menyerahkan sebuah bungkusan kecil berwarna biru, warna favorit Airi. Ryosuke menerima bungkusan itu dan membukanya. Diangkatnya sebuah kalung berbentuk bintang di dalam bulan sabit. Di bagian belakang, terukir huruf “R”. Rona bahagia terpancar dari wajah Ryosuke. Matanya berbinar.
“Arigatou, Ai chan,”
Ryosuke langsung memakai kalung itu, lalu mengacak - acak rambut Airi. Airi dengan senyum polosnya, menjawab “Doitashimashite,”
“Ryo kun, main tebak awan lagi yuk,” Airi segera berbaring di rerumputan
“Tebak awan? Ikou,” Ryosuke menyusul Airi berbaring di rerumputan
Ryosuke dan Airi bergantian menunjuk angkasa. Terkadang disela oleh pertanyaan seperti “Doko?”, “Kare?”, “Hontou desu ka?”, dan “Chigau,”. Burung - burung melintas di atas mereka. Beberapa kali kereta melintas di kejauhan.
“Wah, itu mirip hati,” Airi menjulurkan tangannya dan menunjuk ke atas
“Doko?” Ryosuke memicingkan mata mencari ke arah yang ditunjuk Airi
“Kare, kare,” Airi terus menunjuk
“Ho, chigau. Kokoro janai yo,” Ryosuke mengerucutkan bibir
“Eh? Chigau? Itu hati kok. Kalau bukan, nani?” Airi menolehkan kepala ke arah Ryosuke
“Waru,”
“Sama aja, Ryo kun!” Airi memukul lengan Ryosuke, sementara sang target hanya tertawa
................
~~6 tahun kemudian~~
Gadis itu memegang kepalanya. Terasa sangat berat dan pusing. Gadis itu tidak dapat berkonsentrasi terhadap sekitarnya. Dan dalam gerakan lambat, gadis tersebut terjatuh di dalam kamarnya. Kepalanya membentur lantai.
“Rika?”
Pintu kamar terbuka. Tampak seorang wanita berumur melongok ke dalam kamar. Wanita itu terbelalak melihat gadis yang dipanggilnya Rika sudah berada di lantai. Dengan gerakan cepat, wanita itu memindahkan Rika ke atas ranjang. Diambilnya sebuah botol minyak dan diusapkan di bawah hidungRika. Beberapa waktu setelah itu, Rika membuka matanya.
“Kepalamu pusing lagi?” Wanita itu menanyai Rika
“Hai. Pusing sekali,” Rika memegang kepalanya
“Jangan terlalu capai. Aku tahu kau bekerja keras untuk kompetensi basket minggu depan. Tapi lihatlah kondisimu saat ini sedang tidak bagus,” Wanita itu membelai kepala Rika
“Hai. Arigatou, okaasan,” Rika tersenyum
..............
“Ohayou!” seorang anak laki - laki masuk ke dalam ruang kelas
“Kau itu, Yuto. Kenapa selalu ribut sewaktu masuk kelas,” Ryosuke tidak mengalihkan pandangan dari pemandangan di luar jendela. Pagi yang cerah.
“Kan seru, Yama chan,” Yuto duduk di bangku tepat di belakang bangku Ryosuke
“Tapi ramai jadinya,” Ryosuke memandang ke langit
“Daripada itu yang kita bicarakan, kau sudah membuat PR sains?”
“Sudah,” Ryosuke menjawab dengan tenang
“Sudah? Waaa, pinjam!” Yuto segera menyerbu ke tas Ryosuke, sementara sang pemilik tas hanya membiarkan Yuto. Sudah biasa.
Pukul 5 sore adalah waktu dimana jam sekolah telah habis. Anak - anak bersorak bahagia sambil meregangkan tangan mereka yang pegal karena menulis seharian. Yuto dan Ryosuke menuruni tangga. Saat melewati ruang olahraga, Ryosuke melihat seorang gadis memegang bola basket di tangan kirinya. Namun tangan kanan gadis itu memegang kepalanya. Beberapa saat kemudian gadis itu terjatuh dan bola basket terlepas dari tangannya.
Ryosuke menarik tangan Yuto ke dalam ruang olahraga dan menghampiri gadis tersebut. Ryosuke mencoba mengguncang pundak gadis itu, namun tidak berhasil. Gadis itu masih pingsan. Ryosuke segera menggendong gadis itu dan berlari ke ruang kesehatan yang tidak jauh dari situ. Yuto mengikuti dari belakang.
Ruang kesehatan kosong. Tidak ada orang. Ryosuke segera menurunkan gadis yang pingsan ke atas ranjang. Diambilnya minyak di meja dan mengoleskannya di bawah hidung gadis itu. Perlu beberapa waktu hingga akhirnya kelopak matanya terbuka perlahan.
“Ittai,” Gadis tadi langsung mencengkeram kepalanya
“Minumlah dulu, douzo,” Yuto menawarkan segelas teh, yang diterima gadis itu. Diminumnya teh itu sampai sisa setengah
“Apa kondisimu sedang tidak bagus?” tanya Ryosuke
“Begitu kata ibu. Dalam seminggu ini sudah terhitung tiga kali aku seperti ini,” Gadis tersebut masing memegang kepalanya
“Kalau begitu kami akan mengantarkanmu pulang. Jangan - jangan kau pingsan saat di dalam kereta atau mungkin di jalan,” kata Yuto
“Arigatou. Tapi aku takut merepotkan kalian. Tidak perlu,” tolak gadis itu
“Tidak. Sama sekali tidak. Ne, Yuto? Asalkan rumahmu tidak di Sapporo. Nah itu kami tidak mau mengantarkan,” Ryosuke memasang wajah serius
“Mana mungkin sampai ke Sapporo. Ini Tokyo, yama chan. Kita sudah kelas 2 SMA. Pasti kau tidak memperhatikan pelajaran,” Yuto geleng - geleng kepala
“Hei, aku kan cuma bercanda. Kau itu,” Ryosuke menendang kaki Yuto
“Arigatou. Kalian baik sekali,” gadis itu tersenyum
Mereka sampai di rumah sang gadis. Rumah mungil dengan tanaman yang berjejer rapi.
“Arigatou, telah mengantarkanku,” sang gadis membungkuk
“Oh, di sini rumahmu ya,” Yuto mengangguk - angguk
“Hai. Kalau begitu, aku masuk dulu ya,” gadis itu berjalan ke arah rumahnya
“O namae wa?” tanya Ryosuke
“Rika. Kawashima Rika,” Rika menoleh, dan kembali berjalan menuju rumahnya
..............
2 Bulan berlalu semenjak pertemuan itu. Ryosuke, Yuto, dan Rika menjadi sahabat dekat. Bila tidak di perpustakaan, mereka akan bersama di kantin, atap sekolah, atau ruang olahraga. Dan bila sudah terlalu capek, Rika bisa tiba - tiba pingsan dan Ryosuke serta Yuto dengan sigap membawanya ke ruang kesehatan.
“Yes! Aku cetak poin lagi. Hahaha, kau kalah, Yamada!” Rika melompat - lompat saat dia berhasil mencetak angka lagi
“Curang. Kau kan memang pintar basket. Coba saja tanding sepak bola, pasti aku yang menang,” Ryosuke terduduk di lantai
“Hahaha, mengaku kalah saja. Toh kau memang lebih banyak kalah daripada menang,” Rika menjulurkan lidah
“Kesini kau!”
Ryosuke tiba - tiba berlari mengejar Rika dan menubruknya hingga jatuh. Rika masih saja tertawa, karena Ryosuke menggelitiki tubuh Rika. Ryosuke baru berhenti saat Rika sudah memohon - mohon ampun kepadanya. Ryosuke dan Rika duduk di lantai dengan nafas memburu. Sialnya diantara mereka tidak ada yang membawa minuman. Biasanya Yuto yang membawa minuman, tapi hari ini Yuto sakit sehingga tidak masuk sekolah.
“Rika chan, aku ingin tahu. Apa kau punya pengalaman buruk saat kecil?” Ryosuke menoleh ke arah Rika
“Saat... kecil?” Rika terlihat berpikir dan menutup mata. Tapi beberapa saat kemudian Rika mengaduh kesakitan
“Doushitano, Rika? Sakit lagi seperti biasanya?” Ryosuke memegang pundak Rika
“Ii ya. Saat aku mencoba mengingat masa kecilku... Semua buram. Aku hanya menangkap beberapa suara. Dan kepalaku langsung sakit,” Rika memejamkan mata
“Ah, gomen. Ore no sei. Gomen ne,” Ryosuke membelai kepala Rika
“Iie. Bukan salah Yama. Ini hanya karena aku terlalu lemah,” Rika menyunggingkan senyum kecil
...............
Rika sedang berjalan - jalan, baru saja selesai berkutat di pameran buku. Kakinya melangkah sepanjang jalan. Rika sangat senang, karena akhirnya mendapatkan buku karangan Akutagawa Ryunosuke, seorang sastrawan yang telah meninggal karena bunuh diri.
Sinar matahari terus bersinar lembut. Angin bertiup sejuk. Langkah kaki Rika menjadi ringan. Rika terus tersenyum, setidaknya hingga ia melewati sebuah taman.
Ryosuke sedang duduk di bangku bersama dengan seorang perempuan. Umurnya tampak lebih muda dari Ryosuke. Ryosuke dan perempuan itu tampak tertawa, sambil memakan sesuatu. Dan dalam jarak pandangan sejauh 12 meter, Rika melihat. Ryosuke merangkul dan membelai kepala perempuan yang ada di sebelahnya.
Hati Rika terasa seberat batu. Seperti ada sesuatu yang mengaduk - aduk isi perutnya. Sinar matahari yang semula terasa lembut, berubah dirasakannya menjadi kejam. Rika langsung meninggalkan tempat itu. Ia berjalan dengan langkah cepat. Matanya menjadi panas.
Sesampai di rumah, Rika langsung naik ke kamarnya di lantai dua dan mengabaikan panggilan ibunya yang menyuruhnya makan. Rika menutup pintu perlahan, lalu berjalan menuju meja belajar. Diraihnya boneka yang ada di atas meja dan memeluknya. Rika membenamkan wajahnya ke dalam boneka itu.
“Nande... Kenapa hatiku sakit melihat Ryosuke dan perempuan tadi... Ryosuke hanya temanku. Dia hanya temanku. Kenapa rasanya aku tidak rela melihat dia dengan perempuan tadi...” Rika kembali membenamkan wajahnya ke boneka yang dipeluknya. Tanpa diperintah, sebutir air mata bening menetes membasahi pipi Rika.
“Ayah! Ayah!” seorang perempuan berteriak di dalam mobil
“Aku tidak bisa mengendalikannya! Kita pecah ban!” seorang laki - laki tampak membanting setir ke kanan. Namun naas, mobil terus meluncur ke kiri. Seorang anak remaja terlihat menangis di jok belakang sambil memeluk boneka. Dalam kelebatan mata, mobil yang ditumpangi keluarga itu terjun bebas ke sebuah jurang dan akhirnya menghantam batu besar. Remaja tadi terlempar keluar dari mobil saat mobil itu berguling menuruni lereng jurang. Dan akhirnya terkapar setelah kepalanya membentur batu besar dengan cukup keras. Semua gelap.... Gelap...
“AARGGHH!” Rika terbangun. Keringatnya bercucuran. “Mimpi apa itu tadi.. Dan siapa kedua orang itu...” Rika memeluk kakinya dan membenamkan wajah. Dia menangis...
...............
“Yama chan, cokelatmu masih ada banyak. Aku minta satu,ya,” Yuto mengulurkan tangan hendak mengambil cokelat yang ada di meja Ryosuke
“Dame,” Ryosuke menampar tangan Yuto
“Ittai,” Yuto cepat - cepat menarik tangannya kembali
“Yuto, kalau kau tidak bisa mengingat masa kecilmu, apa artinya?” Ryosuke membuka satu bungkus cokelat
“Hm... Kau terlalu sakit hati akan masa lalu dan tidak ingin mengingatnya,” Yuto menghabiskan cokelat yang ada di tangannya
“Sakit hati? Rika sakit hati karena apa ya?” Ryosuke menghabiskan cokelat di tangannya dalam satu gigitan
“Rika? Rika kenapa?” Yuto memandang Ryosuke
“Aku pernah tanya ke Rika tentang masa kecil dia. Tapi dia tidak bisa mengingatnya. Malah pusing,” Ryosuke mengerutkan keningnya
“Ah... Ada apa ya...” Yuto memandang ke langit - langit kamar Ryosuke. “Oh ya, aku pulang dulu. Tadi adikku minta dibelikan ramen,” Yuto beranjak dari ranjang Ryosuke, tempat selama ini dia duduk dengan pemilik kamar
“Baiklah. Hati - hati,” Ryosuke menutup pintu kamarnya
Setelah beberapa saat berdiam diri, Ryosuke berjalan ke meja belajarnya. Menarik lacinya dan mengambil sebuah bungkusan biru kecil. Dibukanya bungkusan itu dan mengambil sebuah kalung berbentuk bintang kecil di dalam bulan sabit, dengan ukiran “R” di belakangnya. Ryosuke menatap kalung itu sejenak, dan kemudian memakainya.
“Ada dimana kau sekarang, Airi...” Ryosuke memandang keluar jendela, ke langit biru bersih. Menghela nafas berat, Ryosuke merebahkan tubuhnya di atas ranjang, kemudian memejamkan mata.
............
Sekolah mengadakan kemah untuk murid - murid kelas 2. Seluruh murid kelas 2 mengikuti kegiatan itu. Tak terkecuali Ryosuke, Rika, dan Yuto.
Hari pertama kemah berjalan lancar. Malamnya mereka menyalakan api unggun. Mereka menyanyi bersama. Taburan bintang di langit menambah semarak acara kemah. Hingga mereka semua tertidur, tidak ada yang terjadi.
Hari kedua... Hari itu sesuatu tejadi...
Rika sedang berjalan ke arah sungai. Hari ini sedang tidak ada kegiatan, maka Rika memutuskan untuk berjalan - jalan sebentar. Saat berada di tengah hutan, Rika mengeluarkan keitai miliknya, hanya untuk memastikan apakah ada yang meneleponnya. Tapi saat Rika memegang keitai, tangan kanannya tiba - tiba bergetar hebat. Rika tidak bisa mengendalikan tangan kanannya, hingga Keitai-nya terjatuh di atas daun kering. Keadaan sekitarnya terasa berputar. Semua menjadi buram dan berputar. Beberapa saat kemudian, Rika jatuh dan pingsan.
“Rika kok belum kembali?” Yuto memandang ke arah hutan
“Mungkin dia terlalu mengagumi keindahan hutana atau sungai sehingga tertahan di sana,” Ryosuke membenahi barangnya yang tercecer
“Ayo kita susul,” Yuto menarim tangan Ryosuke. Yang ditarik hanya menurut saja
Mereka berdua berjalan menyusuri jalan menuju sungai. Sedikit lama mereka berjalan karena seraya mencari sosok Rika. Akhirnya Yuto menepuk pundak Ryosuke dengan keras dan berlari ke satu arah. Ryosuke mengikuti. Tampak Rika pingsan di atas daun kering. Keitai milik Rika terletak tidak jauh dari Rika. Dengan sigap Ryosuke menggendong Rika dan membawanya kembali ke tenda. Yuto mengambil Keitai Rika.
Pembina mengijinkan Ryosuke dan Yuto menemani Rika di tenda. Beberapa saat setelahnya, Yuto keluar dari tenda untuk mengambil roti. Saat hanya ada Ryosuke dan Rika, Rika mengigau.
“Ryo... Ryo kun... Doko Ryo kun... Hitori... Kowai... Ryo kun... Ai hitori...”
Ryosuke yang mendengarnya membelalak. Ryo kun? Itu panggilannya saat kecil. Dan... Rika kesepian? Rika ketakutan? Doushitano?
“Rika? Rika?” Ryosuke mengguncang pundak Rika
Perlahan kelopak mata Rika terbuka. Rika masih merasakan pusing. Tapi dia masih bisa melihat Ryosuke dengan jelas. “Yama...” gumamnya lirih
“Kau tadi mengigau. Kau memanggil Ryo. Dare Ryo?” Ryosuke menatap Rika
“Ryo?” Rika tampak bingung, kemudian memejamkan mata. Tapi langsung memegang kepalanya lagi. “Aku tidak ingat. Kepalaku sakit...”
..............
Hari ini Rika tidak masuk sekolah. Dia harus beristirahat di rumah, kemarin Rika baru saja periksa ke dokter tentang keadaannya.
Ryosuke dan Yuto berjalan ke rumah Rika. Buku PR mereka yang kemarin sudah dikembalikan. Jadi Ryosuke dan Yuto ingin memberikan buku PR itu ke Rika.
Ibu Rika tampak kusut saat mereka menemuinya. Tampak merana. Entah masalah apa yang sedang melanda ibu Rika.
“Kami hanya ingin memberikan buku PR Rika,” Yuto menyerahkan buku bersampul biru. Ibu Rika menerimanya dengan senyum yang dipaksakan
“Oh ya, boleh saya bertanya?” Ryosuke memandang Ibu Rika
“Nani?” Ibu Rika balik memandang Ryosuke
“Setiap saya menanyai Rika tentang masa kecilnya, dia selalu tidak bisa mengingatnya. Dan akan langsung merasa pusing yang berlebih. Sebenarnya apa yang terjadi terhadap Rika?”
Ibu Rika tampak terkejut, tapi berhasil menyembunyikan keterkejutannya dengan batuk kecil. Setelah diam beberapa saat, Ibu Rika menghela nafas panjang.
“Sebenarnya...”
..............
Ryosuke sedang berjalan, tanpa memperhatikan kemana dia berjalan. Dia sedang memikirkan sesuatu. Angin malam yang menusuk pun tak dirasakan Ryosuke, padahal Ryosuke hanya memakai baju satu lapis. Ryosuke terus berjalan. Kepalanya menjadi sakit. Selama ini... ternyata...
Ini sudah seminggu Ryosuke tidak bertemu Rika. Ibu Rika tidak mengijinkan Ryosuke bertemu Rika, walaupun sebentar.
Saat melewati taman, Ryosuke melihat sesuatu. Sosok Rika. Ryosuke langsung berlari ke arah Rika. Taman sudah sepi, karena sekarang sudah pukul 10 malam. Entah kenapa Rika berada di situ.
Ryosuke mencapai tempat Rika tanpa Rika sadari. Ryosuke langsung menarik tangan Rika. Rika tampak terkejut.
“Rika, apa kau ingat ini?” Ryosuke melepas kalung dari lehernya. Kalung berbentuk bintang di dalam bulan sabit. Rika langsung memegang kepalanya lagi, sakit. “Kalung ini diberikan oleh Tanaka Airi saat aku berumur sepuluh tahun. Kau tahu Airi? Kau ingat?” Rika terus memegang kepalanya seraya menggeleng. “Kau ingat, berbaring di rumput dan menebak bentu awan? Bersama siapa? Itu bersamaku,” Ryosuke memegang kedua tangan Rika. “Rika, kumohon ingat. Kau Airi kan?” Rika semakin kencang memegang kepalanya. “Kau masih ingat, saat aku berumur tujuh tahun, kita mengucapkan janji?” Ryosuke sudah tampak tertekan, tapi Rika menyentak tangan Ryosuke
“Airi? Airi? Aku tidak tahu dia! Aku bukan Airi! Dan jangan mengatakan sesuatu yang membuat kepalaku sakit!” bentak Rika
“Itu karena kau lupa ingatan! Tidak bisa mengingat masa lalumu. Tapi kau Airi kan?” Ryosuke berusaha meraih tangan Rika, namun Rika menjauh
“Kalau memang aku Airi, nande?”
“Aku sudah 5 tahun tidak bertemu denganmu sejak kau pindah sekolah ke Shizuoka. Dan aku masih memegang janji 10 tahun yang lalu,” jawab Ryosuke
“Tapi aku bukan Airi! Dan janji apa itu?”
“Janji bahwa hanya Tanaka Airi lah yang akan menjadi pacarku kelak,” Ryosuke berusaha meraih tangan Rika lagi, tapi Rika manjauh
“Nah, aku tahu siapa Airi. Dia yang kau peluk di taman tempo lalu,” air mata merebak di pelupuk mata Airi
“Airi? Dia Mika. Dia adikku,”
“Yah, kalau begitu bukan. Dan aku juga bukan Airi! Carilah sendiri Airi-mu! Aku benci!” Rika berbalik dan hendak berlari, namun Ryosuke menarik tangan Rika dan menciumnya
Rika memeluk seorang anak laki - laki. Dia mengatakan bahwa dia harus ikut orang tuanya pindah ke Shizuoka. Dan Rika berkata pada anak laki - laki itu, untuk tidak melupakannya.
Rika dan anak laki - laki tadi berada di atas jembatan. Anak laki - laki itu mengatakan sesuatu.
“Airi jadi milik Ryo. Ryo jadi milik Airi. Soalnya Ryo sayang Airi. Ai chan sayang Ryo kan?” anak laki - laki itu menatap Rika
“Un. Ai sayang Ryo kun,” Rika mengangguk
“Tapi kata neechan, kalau masih kecil tidak boleh pacaran. Jadi tunggu kalau kita sudah besar. Ai chan mau kan?” anak laki - laki itu memandang Rika penuh harap
“Un, mochiron. Ai pasti akan tunggu Ryo sampai kita boleh pacaran,” Rika tersenyum
Rika memberikan bungkusan biru kecil ke anak laki - laki yang sama. Anak laki - laki itu membuka bungkusan dari Rika dan tersenyum. Diambilnya sebuah kalung dari dalam bungkusan.
“Ayah! Ayah!” seorang perempuan berteriak di dalam mobil
“Aku tidak bisa mengendalikannya! Kita pecah ban!” seorang laki - laki tampak membanting setir ke kanan. Namun naas, mobil terus meluncur ke kiri. Rika menangis di jok belakang sambil memeluk boneka. Dalam kelebatan mata, mobil yang mereka tumpangi terjun bebas ke sebuah jurang dan akhirnya menghantam batu besar. Rika terlempar keluar dari mobil saat mobil itu berguling menuruni lereng jurang. Sementara mobil tadi meledak di dasar jurang.
Seorang ibu - ibu duduk di sebelah Rika.
“Dare anata?... dare atashi?” Rika memandang ibu itu
“Atashi wa anata no otoosan. Anata wa Kawashima Rika,”
Rika membelalak. Dia bukan Rika. Dia Airi. Tanaka Airi. Dan laki - laki di depan dia adalah Ryosuke. Yamada Ryosuke. Teman masa kecilnya, dan orang yang dicintainya.
“Ryo...” Airi menatap Ryosuke
“Kau ingat, Airi? Kau masih ingat juga kan, janji kita dulu?” Ryosuke memegang dua tangan Airi
Air mata Airi merebak. Airi langsung berlari meninggalkan taman. Ryosuke mengejar Airi, tapi ternyata tidak terkejar...
“Mungkin dia ingin sendiri,” gumam Ryosuke
2 hari Airi tidak masuk sekolah. Kemarin Ryosuke sudah ke rumah Airi, yang sebelumnya dipanggil Rika, namun rumah itu sepi.
“Rika kemana?” Yuto menghampiri Ryosuke di bangkunya
“Dia bukan Rika. Dia Airi, teman masa kecilku,” Ryosuke menunduk
“Airi? Tanaka Airi? Yang memberimu kalung itu?” Yuto membelalak
3 bulan berlalu. Tidak ada kabar dari Airi. Tidak ada teman sekolah yang tahu. Sudah berulang kali Ryosuke menghubungi Airi. Tidak mungkin menghubungi orang tua Airi, karena orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pertengahan tahun 2009. Orang tua Airi yang sekarang adalah orang yang menemukan Airi di dasar jurang. Setelah Airi sembuh dari lukanya, Airi mereka angkat sebagai anak dan memberi nama Rika.
Hari ini, seperti hari - hari lainnya, Ryosuke merasa tidak semangat di sekolah. Bahkan hari ini Ryosuke tidak memperhatikan pelajaran, dia hanya memandang hampa ke depan. Ajakan Yuto untuk pulang bersama pun ditolaknya. Ryosuke merasa bahwa dia hanya ingin sendiri.
Malam sudah mulai larut. Ryosuke berjalan sendiri menyusuri jalan yang biasa ia lewati. Malam ini angin bertiup cukup kencang. Syal merah-hitam melingkar di leher Ryosuke. Saat lewat di pinggir sungai, Ryosuke melihat sesuatu. Ryosuke pun berlari ke arah itu.
“Airi?” panggil Ryosuke
Gadis itu menoleh. Wajahnya penuh senyum. Wajahnya yang putih itu bersinar.
“Konbanwa, Ryo kun,” Airi bangkit dan berdiri menghadap Ryosuke. “Hisashiburi ne. Aku ingat kok, kalau Ryo kun besok ulang tahun. Ai ingin merayakannya bersama Ryo kun. Tapi Ai tidak bisa bertemu Ryo kun. Ryo kun yang menemui Ai. Mau kan?” Airi berjalan mendekati Ryosuke
“Eh? Nande?” Ryosuke menampakkan wajah kekhawatiran
“Ai tidak bisa bercerita di sini. Hanya... Kalau Ryo kun memang ingin bertemu Ai, datang ke alamat ini ya,” Airi menyerahkan secarik surat
“Nani kore?” Ryosuke membaca surat itu. Bertuliskan sebuah alamat. “Demo, Ai chan.. Loh? Doko Airi?” Airi sudah tidak ada saat Ryosuke mendongak
................
“Otanjoubi Omedetou, Ryo!”
Hari ini, tanggal 9 Mei 2011, seorang Yamada Ryosuke berulang tahun yang ke delapan belas. Hari ini hari sabtu, sekolah libur. Orang tua Ryosuke, Chihiro (kakak Ryosuke), Mika (adik Ryosuke), dan Yuto berkumpul untuk merayakan ulang tahun Ryosuke. Barusan Ryosuke meniup lilin, setelah sebelumnya membuat permohonan.
“Arigatou gozaimasu, minna,” wajah Ryosuke berbinar bahagia. Kebahagiaan memancar dari wajahnya.
“Wah, anakku sudah delapan belas tahun. Semakin dewasa ya,” kata Ibu Ryosuke sambil mengecup kedua pipi anak laki - lakinya
“Jadi orang yang bertanggung jawab,” Ayah Ryosuke membelai kepala anaknya
“Semoga tambah rajin dalam belajar. Tidak seperti sekarang yang, yah, begitulah,” Chihiro berlari menghindari lemparan bantal Ryosuke
“Makin tinggi ya, niichan,” Mika tersenyum
“Ih, ngeledek kamu ya,” Ryosuke mencubit kedua pipi Mika
“Huaaaaa, yamette,” Mika mengusap - usap pipinya
“Dan.... semoga yang diharapkan Ryosuke terkabul semua,” Yuto menepuk punggung Ryosuke. “Aku tahu apa yang kau harapkan,”
“Arigatou, minna. Hontou ni arigatou,” Sekali lagi senyum dari wajah Ryosuke memancar dengan cemerlang, bagai bulan purnama yang bersinar terang menerangi malam
“Kalau begitu, ikou makan kuenya,” Mika menarik baju Ryosuke
“Iya, iya,” Ryosuke membelai kepala adiknya dengan sayang
Sekitar pukul sepuluh pagi, Ryosuke berjalan menuju alamat yang diberikan Airi. Hanya perlu waktu satu jam untuk sampai kesana. Tapi yang Ryosuke herankan, kenapa rumah sakit? Apa salah satu keluarga Airi yang sekarang sedang sakit, atau malah Airi sendiri yang sakit?
Tibalah Ryosuke di rumah sakit yang dimaksud. Berjalan agak cepat menuju kamar 125, Ryosuke merasakn sesuatu yang tidak enak di dasar perutnya. Bukan karena salah makan, tapi entah apa. Begitu sampai di depan kamar bernomor 125, dibukannya pintu itu.
“Yamada?” Ibu angkat Airi menoleh. Dihampirinya Ryosuke bersama suaminya
“Maafkan kami tidak mengabarkan apa - apa. Ini sungguh keadaan mendadak jadi kami tidak sempat memikirkan hal lain,” Ayah angkat Airi membungkuk
“Daijoubu desu. Boleh saya bertanya dimana Airi?” tanya Ryosuke. “Ah, maksud saya Rika,” dia menambahkan buru - buru saat kedua orang di depannya saling berpandangan
“Begini. Sebenarnya...” Ayah angkat Airi berjalan menuju suatu tempat. Dibukannya selambu yang menutupi tempat itu. Tampak seorang gadis di atas ranjang.
“Airi?” Ryosuke bergegas menghampiri gadis itu
“Sehari sebelum Yamada datang dan bertanya, kami memeriksakan Rika ke dokter dan hasilnya Rika mengidap kanker otak... Kurang lebih seminggu setelah itu, Rika pingsan. Dan dia tidak sadarkan diri hingga sekarang,” ayah angkat Airi membelai rambut Rika
“Walau Rika bukan anak kandung kami, tapi kami sangat menyayanginya. Kami sangat sedih melihatnya seperti ini,” ibu angkat Airi sesenggukan dan menyeka air matanya diam - diam
“Seperti kata Rika, bila Yamada datang berkunjung, Rika menyuruh kami untuk meninggalkan kalian sendiri. Walaupun saat itu Rika sedang tidak sadarkan diri. Kami tidak tahu kenapa dia bicara begitu. Tapi ternyata itu sebuah firasat,” ayah angkat Airi menunduk dalam. “Kalau begitu, kami akan meninggalkan kalian berdua,” ayah angkat Airi beranjak sambil memegang tangan istrinya, keluar dari ruangan.
:::RYOSUKE’S POV:::
Hingga sekarang tidak sadarkan diri? Tapi.... siapa yang kutemui kemarin?
Kupandangi lekat - lekat wajah Airi. Sekian lama tidak bertemu, dan saat kami dipertemukan, hal ini harus terjadi. Nande? Aku begitu mencintai Airi. Bahkan saat aku sudah lama tidak bertemu dia, aku hanya memikirkan Airi. Dan sekarang, apa yang kulihat? Airi yang terbaring memejamkan mata dengan selang menempel di tubuhnya.
“Airi... Kau bisa mendengarku kan? Aku datang. Gomen... Aku terlambat. Aku baru datang sekarang. Hari ini aku berulang tahun yang ke delapan belas, kau ingat kan? Aku tidak mengharapkan apa - apa darimu, aku hanya ingin kau membuka matamu dan menatapku sekarang. Mungkin terlalu berlebihan, tapi hanya itu yang aku inginkan. Apa kau kesepian selama ini? Kau pasti merindukan sinar matahari, karena selama tiga bulan matamu tertutup. Ayolah, bukalah matamu...” Aku membelai kepalanya. Hatiku terasa perih. “Ah, baiklah. Tapi kau masih bisa mendengarku kan? Aku yakin pasti bisa. Suasana agak sepi di sini. Untuk menghiburmu, aku akan bernyanyi. Jangan protes kalau kaca sampai pecah karena suaraku ya. Hehehe...” Aku berhenti sejenak, memikirkan lagu yang ingin ku nyanyikan.
Once in a while
You are in my mind
I think about the days that we had
And I dream that these would all come back to me
If only you knew every moment in time
Nothing goes on in my heart
Just like your memories
How I want here to be with you
Once more
You will always gonna be the one
And you should know
How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Oh, don’t say no
You will always gonna be the one in my life
So true, I believe I can never find
Somebody like you
My first love
Once in a while
You are in my dream
I can feel the your warm embrace
And I pray that it will all come back to me
If only you knew every moment in time
Nothing goes on in my heart
Just like your memories
And how I want to be here with you
Once more
Yah yah yah
You will always be inside my heart
And you should know
How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Please don’t say no
Now and forever you are still the one
In my heart
So true I believe I can never find
Somebody like you
My first love
Oh oh
You will always gonna be the one
And you should know
How I wish I could have never let you go
Come into my life again
Oh, don’t say no
You will always gonna be the one
So true, I believe I can never find
Now and forever
(Utada Hikaru - First love ~English version~)
Aku terus menyanyikan lagu itu untuknya. Kuharap Airi bisa mendengarku bernyanyi. Walau matanya terus terpejam. Kubelai lembut kepalanya.
“Airi... Jika kau mendengarku, kuharap kau menjawabnya, walau dalam hati. Aishiteru... Saranghae... Ganbatte kudasai. Lawan penyakit ini. Penyakit macam ini tidak sebanding denganmu. Ganbatte kudasai. Aku selalu ada di sampingmu. Akan selalu ada. Karena aku mencintaimu. Kimi ga subete...” Aku bangkit dan mengecup kening Airi. Setelah itu aku kembali duduk. Air mataku merebak. Waktu yang begitu lama, seperti ini sekarang keadaannya. Wajahku menjadi panas. Pandanganku buram. Kutundukkan kepalaku dan akhirnya sebutir air mata bening terjatuh.
Tiba - tiba kurasakan tangannya yang kupegang bergerak perlahan. Aku langsung mengangkat kepalaku. Jemarinya memang bergerak! Airi, apa kau mau menjawabku tadi? Tapi belum sempat aku beranjak dari tempat duduk untuk memberitahu ayah dan ibu angkat Airi, sebuah suara yang nyaring dan panjang terdengar dari alat pendeteksi denyut nadi yang terletak di sebelah