Foto kredit ke
pinchiyosama Title : Please don’t say goodbye
Cast : Kikuchi Fuma (Sexy Zone) x Yamada Yuki (OC), Nakajima Kento (Sexy Zone)
Genre : Romance
Rating : PG-15
Summary : Yuki muak. Ia tidak kuat terus menerus sakit karena Fuma, tapi ia juga tidak kuat meninggalkan Fuma karena ia sangat mencintai Fuma. Apa sebenarnya yang dipikirkan Fuma?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yuki berjalan perlahan menuju apartemen kekasihnya, Kikuchi Fuma. Yuki dan Fuma sudah berpacaran sejak dua tahun yang lalu. Sejak perjodohan mendadak yang dilakukan oleh orang tua Yuki dan Fuma.
Ya, Yamada Yuki dan Kikuchi Fuma dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Ayah Yuki berkata bahwa itu sudah kesepakatan antara ia dengan ayah Fuma ketika mereka sama-sama baru saja menikah. Yuki sangat kaget mendengar hal itu. Tapi mendadak ia melupakan masalahnya ketika ia bertemu dengan Fuma untuk pertama kalinya.
/ :: FLASHBACK :: Dua tahun yang lalu /
“Tapi kenapa, ayah? Kenapa kau menjodohkanku dengan orang yang bahkan belum pernah aku temui?” tanya Yuki kepada ayahnya. Ia bangkit seketika dan berdiri di depan ayahnya.
“Dulu saat ayah dan teman ayah itu baru sama-sama menikah, kami membuat perjanjian. Jika kami memiliki anak yang berlainan gender, kami akan menjodohkan mereka berdua. Ayah dan teman ayah sudah bersahabat sangat lama, dan dia juga membantu ayah mendirikan perusahaan ini. Jadi, ayah dan teman ayah itu akhirnya membuat kesepakatan untuk menjodohkanmu dengan anaknya, yang kebetulan laki-laki,” jelas ayah Yuki tanpa sekalipun mendongak memandang Yuki.
“Apa? Gah, perjanjian macam apa yang ayah buat ini sebenarnya. Kenapa aku yang harus jadi korban?” Yuki tampak marah. Ia berjalan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Ia masuk ke kamar dan membanting pintunya hingga menutup.
Keesokan harinya, keluarga Kikuchi datang ke rumah Yamada. Yuki yang sudah menolak bertemu sejak kemarin, akhirnya dapat dipaksa oleh ibunya untuk keluar kamar. Yuki berjalan bersama ibunya menuju ruang tamu dengan wajah sebal.
“Ah, itu dia putri kami, Yamada Yuki,” ayah Yuki bangkit dari kursinya dan memperkenalkan Yuki. Anak keluarga Kikuchi juga ikut bangkit dan berjalan mendekati Yuki. Ia mengulurkan tangannya ketika sudah berada tepat di depan Yuki.
“Hai. Aku Kikuchi Fuma. Kau bisa memanggilku Fuma,” pemuda bernama Fuma itu tersenyum pada Yuki. Yuki pun akhirnya mendongak memandang Fuma. Namun seketika ia membeku. Ia merasakan darahnya berdesir dengan cepat. Ia pun akhirnya perlahan mengulurkan tangannya menyambut tangan Fuma.
“Aku Yamada Yuki. Salam kenal,” ucap Yuki. Semakin lama ia semakin tersenyum. Fuma juga ikut tersenyum.
“Salam kenal juga, Yuki,”
/ :: FLASHBACK END :: Sekarang /
Yuki sampai di depan pintu apartemen kekasihnya. Matanya menangkap ada yang tidak beres. Pintu apartemen Fuma sedikit terbuka. Yuki pun akhirnya mendorong pintu apartemen itu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Dan detik berikutnya Yuki berharap bahwa ia tidak ada di sana.
Fuma sedang berciuman dengan perempuan lain di sofa ruang tamu.
Fuma melihat Yuki yang ada di pintu apartemennya dan segera melepaskan diri dari perempuan yang ada di pangkuannya itu.
“Ah, maaf, aku mengganggu,” ucap Yuki dengan wajah datar. Ia buru-buru menutup pintu apartemen Fuma dan berlari meninggalkan apartemen itu.
“Yuki! Tunggu!” Fuma langsung bangkit dan berlari mengejar Yuki yang sudah jauh di depannya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari mengejar Yuki. Tapi rupanya ia kalah cepat. Yuki baru saja masuk ke dalam taksi ketika ia tiba di lobi apartemen.
“Yuki!” teriak Fuma, tepat ketika taksi itu melaju meninggalkan apartemen.
“Sial!”
Yuki menangis sambil menyenderkan kepalanya ke kaca taksi. Ia terus menangis.
Yuki sampai di depan rumahnya. Ia membayar taksi lalu berlari memasuki rumahnya. Ia menghiraukan panggilan pembantunya yang melihatnya berlari sambil menangis. Ia menghiraukan sekelilingnya sampai akhirnya ia sampai di dalam kamar. Ia mengunci kamarnya. Ia lalu menangis terduduk di atas lantai.
Yuki mengangkat tangannya dan memegang dadanya. Sakit. Rasanya sangat sakit. Yuki kemudian membenturkan kepalanya sekali ke pintu kamarnya. Ia lalu menggigit bibirnya dan memejamkan mata, ia menangis dalam diam.
---------------------------------------------------
Hari ini adalah hari ulang tahun Yuki. Ayahnya dan ayah Fuma telah berjanji bahwa mereka akan mengikat Yuki dan Fuma dalam hubungan pertunangan kalau umur mereka berdua sudah mencapai 20 tahun. Dan hari ini Yuki berumur tepat 20 tahun.
Yuki berada di kamar rias. Duduk diam sendiri. Ia memandang kosong ke arah cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Ia tampak kosong.
Pintu terbuka dan menghasilkan suara yang membuat Yuki menoleh.
“Hai, Yuki,”
Itu Fuma. Begitu mengetahui bahwa itu Fuma, Yuki langsung menoleh kembali. Ia tidak mau memandang Fuma terlalu lama.
Hati Fuma mencelos. Ia mendekati Yuki perlahan dan memeluknya dari belakang. Ia menyenderkan dagunya di pundak Yuki. Ia memandang bayangan dirinya dan Yuki yang dipantulkan cermin besar di hadapannya.
“Bukannya kau seharusnya bahagia hari ini? Kau berulang tahun ke-20 kan, sayang?” tanya Fuma sambil tetap memandang pantulan dirinya dan Yuki di cermin.
“Yang sedang kupikirkan sekarang adalah kenapa aku tetap hidup sampai umur dua puluh tahun,” ucap Yuki tanpa ekspresi.
“Sstt, jangan bilang begitu. Kau seharusnya bersyukur bahwa kau bisa hidup sampai detik ini,” ujar Fuma. Ia mempererat pelukannya.
“Ngomong-ngomong, kau tidak bicara apa-apa pada ayahmu ataupun ayahku kan?” tanya Fuma kemudian. Yuki memandang wajah Fuma yang terpantul di cermin, ia lalu menggeleng.
“Aku tidak bicara apa-apa pada mereka,” jawab Yuki. Fuma tampak sedikit lebih lega.
“Syukurlah. Kau ternyata pintar juga, Yuki,” ujar Fuma. Ia mengecup pipi kanan Yuki lalu beranjak meninggalkan ruangan itu.
Yuki terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya. Perlahan, sebutir air mata jatuh dari kelopak matanya.
---------------------------------------------------
Yuki berjalan keluar dari apartemen yang ia dan Fuma tempati. Ya, setelah acara pertunangan yang berlangsung 2 bulan yang lalu, Yuki dan Fuma disarankan untuk tinggal bersama di apartemen milik keluarga Fuma. Alasannya karena apartemen itu lebih dekat jaraknya dengan kampus mereka berdua. Tapi Yuki sangat membenci hal itu.
Hari ini pun sama. Fuma bersama dengan perempuan lain. Bukan dengan perempuan yang Yuki temui dulu. Yuki menghitung sudah lima perempuan berbeda yang Fuma ajak ke apartemen itu. Fuma dengan perempuan itu hanya berduaan saja. Tidak ada yang sampai berciuman, seperti peristiwa yang dulu Yuki lihat. Tapi tetap saja hal itu membuat hati Yuki sakit.
Fuma seakan tidak menganggap keberadaan Yuki ketika perempuan-perempuan itu datang ke apartemen. Hal ini membuat Yuki sakit kepala luar biasa. Fuma menganggap keberadaan Yuki ketika perempuan-perempuan itu tidak ada di apartemen mereka. Biasanya Fuma memeluknya dan mengecup pipinya.
Apa sebenarnya arti keberadaan Yuki bagi Fuma? Apakah Fuma menganggap Yuki sebagai barang pengganti ketika perempuan-perempuan itu tidak ada? Bukan salah Fuma jika Fuma tidak menyukainya, ini semua juga karena perjodohan konyol yang dilakukan kedua orang tua mereka. Tapi kenapa Fuma tidak meminta orang tuanya untuk memisahkannya dengan Fuma jika ia memang tidak suka?
Yuki berjalan sendirian menuju kampus yang terletak tidak jauh dari apartemennya. Ia tampak tidak bersemangat. Wajahnya menyiratkan bahwa ia sedang memiliki masalah berat.
Yuki ada di lantai dua gedung fakultas hubungan internasional ketika ia melihat seseorang yang terjatuh karena ditabrak oleh beberapa senior di fakultas itu. Buku-buku yang dibawa mahasiswa itu berantakan di lantai. Yuki segera menghampiri mahasiswa itu dan membantunya membereskan buku-buku.
“Ah? Kau, Nakajima Kento-senpai kan?” tanya Yuki ketika akhirnya ia memperhatikan orang yang ditolongnya.
“Ah, Yamada Yuki kan? Kita bertemu di perpustakaan minggu lalu dan sempat bertengkar karena kita mau meminjam buku yang sama, iya kan? Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ucap Kento sambil tersenyum pada Yuki. Yuki juga ikut tersenyum melihat senyum Kento di depannya.
Begitu Kento dan Yuki mengembalikan buku-buku yang dibawa Kento ke perpustakaan, Kento pun mengajak Yuki ke kantin. Di kantin, Kento dan Yuki tertawa-tawa senang sambil memakan roti mereka masing-masing. Tanpa mereka sadari, Fuma memperhatikan mereka berdua. Fuma yang tak sengaja lewat di dekat kantin melihat Kento dan Yuki yang duduk berdua di kantin. Ia melihat Yuki dan Kento sambil mengepalkan tangannya.
---------------------------------------------------
Satu bulan berlalu sejak saat itu. Yuki perlahan mulai merasakan sesuatu yang beda saat ia bersama dengan Kento. Ia bisa tertawa lepas ketika bersama Kento. Ia tidak pernah merasa seperti ini ketika ia bersama Fuma. Fuma jarang membuatnya tertawa. Yang bermain bukanlah sikap Fuma yang membuat Yuki nyaman, melainkan sikap Fuma yang selalu tiba-tiba membuat Yuki buta. Buta karena cinta yang ia rasakan pada Fuma. Dan buta terhadap hal lain selain Fuma.
Hari ini Kento mengantar Yuki sampai ke apartemennya. Sebelumnya Yuki menolak, tapi Kento tetap memaksa. Da akhirnya Kento pun berhasil. Ia pun melepaskan genggaman tangannya dari tangan Yuki ketika mereka berdua sudah berada di depan apartemen yang ditempati Yuki.
“Kalau begitu, aku pulang dulu ya,” ucap Kento. Yuki tersenyum dan berjalan memasuki apartemennya tapi tiba-tiba Kento menariknya dan mengecup kening Yuki. Yuki kaget.
“S-senpai?” Yuki memandang Kento yang sedang tersenyum.
“Ucapan selamat malam untukmu. Oyasumi,” ucap Kento sambil tersenyum.
Yuki berjalan menuju kamar apartemennya yang berada di lantai lima. Ia terus tersenyum ketika berada di dalam lift yang mengantarnya menuju lantai lima. Ketika ia membuka pintu kamar apartemennya, ia disambut oleh Fuma yang berdiri menyandar pada dinding sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Fuma menoleh memandang Yuki ketika Yuki membuka pintu.
“Siapa dia? Selingkuhanmu ya?” tanya Fuma dengan nada sinis. Yuki tersentak.
“S-selingkuhan? Maksudmu?” Yuki bertanya balik. Jantungnya berdegup kencang.
“Jangan pura-pura bodoh, Yuki. Laki-laki yang mencium keningmu di depan apartemen tadi. Dia selingkuhanmu kan?” tanya Fuma lagi. Kali ini nada suaranya lebih tinggi dari sebelumnya.
“Dia senior di fakultasku kok. Memang apa masalahmu kalau aku bersama dia? Masalah buat kamu?” tanya Yuki. Ia ikut emosi.
Fuma mendecakkan lidahnya dengan marah. Ia lalu berjalan menuju pintu apartemen dan membantingnya menutup. Ia kemudian berbalik dan memandang marah pada Yuki.
“Kenapa kau berselingkuh dengan orang itu, hah?! Kau itu milikku!” ucap Fuma dengan berang. Emosi Yuki memuncak ketika mendengar kata-kata Fuma.
“Milikmu, hah? Kita belum terikat pernikahan jadi aku bukan milikmu! Aku bukan barang yang bisa seenaknya kau miliki! Lagipula, lihat siapa yang bicara tentang berselingkuh. Bukannya kau yang berkali-kali mengajak perempuan-perempuan jalangmu itu kemari? Bukannya kau yang berkali-kali berselingkuh, hah?!” teriak Yuki. Fuma langsung menampar Yuki ketika Yuki selesai bicara.
“Jaga mulutmu!”
“Kau yang seharusnya menjaga sikapmu, Fuma! Kenapa tidak kau putuskan saja pertunangan ini supaya kau bisa bebas bersama perempuan-perempuan jalangmu itu?! Aku lelah terus menerus sakit hati begini! Apa kau tidak sadar bahwa aku sakit hati?!” bentak Yuki dengan nada suara yang tinggi. Air matanya mengalir dengan deras. Ia menatap Fuma dengan tatapan marah sekaligus lelah.
“Aku tidak mau memutuskan hubungan ini karena aku ingin memilikimu, Yuki. Ayah sudah menunjukkan fotomu sejak kau masih berumur sepuluh tahun. Saat itu aku tahu bahwa kau adalah milikku. Aku ingin memilikimu sejak saat itu,” Fuma terus memperpendek jarak di antara dia dan Yuki. Perlahan ia melingkarkan tangannya di sekeliling leher Yuki. Fuma menunduk mendekati wajah Yuki. Tapi Yuki langsung mendorong Fuma mundur.
“Jangan sentuh aku! Aku muak denganmu!” Yuki berlari memasuki kamarnya dan menutup pintunya. Ia kemudian mengambil barang-barang dan melemparnya ke segala arah.
“Kenapa?! Kenapa harus kau orang yang aku cintai, Kikuchi Fuma! Kenapa harus kau! Kenapa aku tidak bisa benar-benar membencimu setelah semua yang kau lakukan padaku! Kenapa aku tidak bisa membencimu setelah kau menyakiti hatiku berkali-kali! Kenapa! Kenapa harus kau orang yang aku cintai! Kenapa!!!” Yuki melempar semua barang yang dapat ia raih dengan tangannya.
Fuma duduk di depan pintu kamar Yuki. Ia bisa mendengar jelas semua kata-kata yang diteriakkan Yuki. Ia memegang kepalanya dengan frustasi. Kenapa ia tidak bisa menghilangkan kebiasaannya, bahkan setelah ia bisa memiliki apa yang ia mau? Fuma mengacak-acak rambutnya frustasi.
---------------------------------------------------
“Yuki, ada apa? Kenapa kau terlihat lesu? Ada masalah?” tanya Kento ketika ia menemukan Yuki duduk sendiri di kantin. Yuki memandang Kento dengan lesu.
“Tidak ada apa-apa, senpai,” jawab Yuki pelan.
“Ayolah, Yuki. Jangan memendam masalahmu sendirian. Ada aku kan di sini. Cerita saja, mungkin bisa mengurangi bebanmu,” ucap Kento sambil duduk di sebelah Yuki. Ia lalu mengambil tangan Yuki dan menggenggamnya. Yuki memandang Kento.
“Terima kasih karena sudah mau membantuku, senpai. Tapi tidak usah,” tolak Yuki. Tapi Yuki tidak melepaskan tangan Kento yang menggenggam tangannya.
Tidak lama setelah itu, tanpa mereka sadari, Fuma berjalan menuju mereka berdua. Tangannya mengepal dan wajahnya tampak marah. Ia menghampiri Kento dan langsung meninju wajah Kento hingga ia jatuh tersungkur di lantai kantin.
“Fuma! Apa yang kau lakukan?!” bentak Yuki marah. Ia lalu langsung berjongkok di sebelah Kento dan melihat luka yang dihasilkan pukulan Fuma.
“Siapa kau berani memukulku?” tanya Kento sambil memegang pipinya yang ungu terkena pukulan Fuma.
“Seharusnya aku yang tanya begitu. Siapa kau berani dekat-dekat dengan Yuki? Dia itu milikku, kau tahu!” ucap Fuma keras. Ia lalu mengambil tangan Yuki dan menariknya menjauhi Kento.
“Fuma! Sudah berapa kali aku harus bilang padamu! Aku muak denganmu!” Yuki berhenti dan menahan tangannya yang dipegang Fuma. Fuma memandang Yuki dengan marah.
“Kau milikku dan akan selalu menjadi milikku, Yuki. Dan kau,” ucap Fuma sambil menunjuk Kento. “Jangan berani lagi mendekati seorang Yamada Yuki,”
Fuma langsung menarik Yuki pulang ke apartemen mereka, tidak peduli seberapa keras usaha Yuki untuk lepas darinya. Ia tidak mempedulikan teriakan Yuki yang menyuruhnya berhenti. Fuma baru melepaskan Yuki ketika mereka sudah berada di dalam kamar apartemen.
“Aku muak padamu, Fuma. Kenapa kau harus memukul Kento-senpai seperti itu, hah?!” bentak Yuki pada Fuma. Tapi rupanya Fuma tidak mau mendengar omelan Yuki.
“Aku berjanji dengan sepenuh hati bahwa aku akan mengubah kebiasaanku. Aku sudah memiliki apa yang aku mau. Aku sudah memilikimu. Aku berjanji akan mengubah kebiasaanku. Aku berjanji akan menjadi Kikuchi Fuma yang baru, menjadi Kikuchi Fuma yang mencintaimu sepenuh hati. Aku berjanji bahwa aku akan berubah,” Fuma mengunci posisi Yuki. Ia meletakkan tangannya di kanan dan kiri Yuki. Yuki yang berdiri di antara kedua tangan Fuma, badan Fuma, dan tembok, hanya dapat memandang Fuma dengan tatapan marah sementara air matanya terus mengalir.
“Kau bohong. Kau adalah seorang pembohong besar, Kikuchi Fuma. Dan aku tahu bahwa kau akan terus mengulangi perbuatanmu itu. Kau hanya menganggapku sebagai barang pengganti. Kau tidak pernah benar-benar menganggapku ada sebagai tunanganmu. Kau bohong!” ujar Yuki dengan marah.
“Aku jujur dan aku berjanji padamu, Yuki. Kumohon, jangan berpaling dariku. Jangan pergi dariku. Jangan meninggalkanku. Karena aku tahu bahwa hatimu hanya untukku,” Fuma semakin merendahkan wajahnya mendekati Yuki. Yuki berusaha sekuat tenaganya untuk mendorong Fuma menjauh darinya, tapi usahanya sia-sia. Fuma terus memepet badan Yuki di antara dia dan dinding di belakang Yuki. Usaha Yuki dengan meronta-ronta tetap tidak membuahkan hasil.
“Fuma!” teriak Yuki sebelum akhirnya Fuma membungkam mulut Yuki dengan mulutnya. Ia kemudian menurunkan tangannya. Tangan kirinya berada di belakang punggung Yuki, mempererat pelukannya pada Yuki. Sementara tangan kanannya berada di belakang kepala Yuki. Yuki terus meronta namun pada akhirnya ia menyerah karena kekuatannya tidak bisa menghentikan Fuma sedikit pun. Ia akhirnya membiarkan Fuma melumat bibirnya sementara ia memejamkan mata dan menangis dalam diam.
Malam itu, sesudah Yuki memastikan dengan benar bahwa Fuma sudah tidur di sebelahnya, Yuki menuruni tempat tidur dan berjingkat menuju pintu apartemen. Dia keluar diam-diam. Begitu ia sudah berada di luar kamar apartemen, Yuki bernafas agak lega. Ia memandang pintu apartemen yang berada di depannya.
“Memang benar, Fuma, aku sangat mencintaimu dan hatiku hanya untukmu. Tapi aku sudah tidak kuat kau sakiti seperti ini. Aku akan memutuskan hubungan di antara kita, apapun resikonya. Walaupun perjodohan ini sudah diatur oleh orang tua kita, tapi aku tidak ingin tersakiti seperti ini. Maaf, aku mengorbankan hatiku. Aku memang mencintaimu, tapi maaf,” ucap Yuki lirih. Kemudian ia berlari. Berlari keluar gedung apartemen menuju rumahnya.
Fuma terbangun beberapa saat kemudian karena mendengar suara petir yang sangat keras. Ia lalu mengerjap-erjapkan matanya dan menoleh ke kiri. Ia kaget dan langsung duduk di tempat tidur. Yuki tidak ada di sisinya.
Fuma berlari di dalam apartemennya. Ia memeriksa semua ruangan dan semua celah. Tapi ia tidak dapat menemukan Yuki dimanapun. Ia langsung berlari menuju lobi apartemen dan menanyakan kalau-kalau mereka melihat Yuki.
“Beberapa menit yang lalu nona Yamada keluar dari apartemen dan berjalan ke arah kanan,” jawab penjaga apartemen. Fuma menjejakkan kakinya ke lantai apartemen dengan kesal.
“Anak itu. Kenapa juga harus pergi malam-malam begini. Hujan lagi,” ucap Fuma dengan kesal, kemudian ia berlari keluar menembus hujan untuk menemukan Yuki.
Fuma berlari dan terus berlari. Ia menengok ke semua tempat yang ia lewati, tapi ia sama sekali tidak melihat Yuki. Ia kembali berlari sampai akhirnya ia menemukan seseorang yang terbaring di trotoar.
“Yuki!” Fuma berlari menghampiri Yuki yang terbaring pingsan di trotoar. Fuma memegang dahi Yuki. Badan Yuki sangat panas. Fuma langsung menggendong Yuki dan berjalan kembali menuju apartemen.
Fuma langsung membaringkan badan Yuki di atas tempat tidur begitu mereka sampai di kamar. Fuma mengambil beberapa handuk hangat dan baju Yuki yang masih kering dari dalam lemari. Ia menaruhnya di atas meja di sebelah tempat tidur. Tapi kemudian ia berhenti.
“Aku laki-laki, dia perempuan. Nanti kalau aku mengganti bajunya dengan baju kering, dia bisa marah besar. Kan itu berarti aku yang melepas bajunya, sama dengan aku melihat tubuhnya. Tapi kalau tidak, dia bisa terus menerus terkena panas tinggi. Ini gimana dong,” Fuma mengacak rambutnya frustasi.
“Fuma...” ucap Yuki lemah. Fuma mendongak menatap Yuki. Yuki membuka matanya sedikit.
“Ah, syukurlah kau bangun, Yuki. Ano, kau bisa mengganti bajumu sendiri kan? Kalau aku yang mengganti bajumu, kau bisa marah besar padaku. Ya? Kau bisa mengganti bajumu sendiri kan? Bajumu yang ada di atas meja. Nah, kau ganti baju dulu ya. Aku tunggu di luar,” Fuma berjalan meninggalkan Yuki menuju ruang tengah. Ia menutup pintu kamar dan menghembuskan nafas lega.
Beberapa menit kemudian, Fuma kembali masuk ke dalam kamar. Yuki sudah mengganti bajunya dan sekarang tengah berbaring lemah di atas tempat tidur. Fuma menghampiri Yuki dan memegang dahinya.
“Kau demam tinggi,” ucap Fuma lirih. Ia lalu mengambil kompres dan menaruhnya di atas dahi Yuki.
“Fuma...” ucap Yuki lemah. Tampaknya ia mengigau karena matanya tidak menampakkan tanda-tanda sadar.
“Hm?”
“Aku muak denganmu, Fuma...” ucap Yuki lagi. Fuma kaget mendengar kata-kata Yuki.
“Tapi aku sangat mencintaimu...Kenapa kau membuat hatiku sakit selama setahun ini...Tidakkah kau sadar bahwa aku diam dan tidak bercerita apa-apa pada ayah...itu karena aku mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu....Aku mencoba untuk bertahan melihatmu bersama wanita lain...Aku mencoba untuk bertahan....Tapi akhirnya aku muak....Kenapa aku harus mengorbankan perasaanku ini....” Yuki berucap lemah. Fuma menatap Yuki dengan sedih.
“Maafkan aku, Yuki. Aku tidak tahu kenapa kebiasaanku ini masih melekat padaku, padahal aku sudah memilikimu. Maafkan aku...Aku berjanji setelah ini aku akan benar-benar mengubah sikapku. Aku benar-benar mencintaimu, Yuki,” Fuma bangkit dan mengecup kening Yuki. Tepat saat itu, Yuki membuka matanya perlahan.
“F-Fuma? A-Apa yang aku lakukan di sini? Bukannya aku tadi pergi ke rumah ayah...” ucap Yuki lirih.
“Kau jatuh pingsan di tengah hujan. Kau demam tinggi, jadi aku membawamu kembali. Kumohon, jangan tinggalkan aku. Aku benar-benar mencintaimu, Yuki. Kumohon, jangan sekali pun kau mencoba lagi untuk pergi. Jangan pernah lagi mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku benar-benar mencintaimu, Yuki. Mungkin ini terdengar melebih-lebihkan, tapi aku tidak bisa hidup tanpamu. Kumohon, jangan tinggalkan aku. Aku akan berjanji untuk mengubah segalanya,” ucap Fuma sambil menggenggam tangan Yuki erat. Ia benar-benar memohon pada Yuki. Yuki memandang Fuma dengan tatapan lemah.
“Kau yakin kau bisa?” tanya Yuki. Fuma mendongak memandang Yuki. Ia mengangguk mantap.
“Aku yakin aku bisa. Aku tidak ingin kehilanganmu, Yuki. Aku benar-benar tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Fuma. Yuki tersenyum memandang Fuma.
“Selamat datang kembali, Kikuchi Fuma. Hatiku kembali terbuka untuk kehadiranmu,” ucap Yuki sambil tersenyum.
Fuma membelalakkan matanya. Ia tersenyum senang. Ia kemudian bangkit dan mencium bibir mungil Yuki. Yuki memejamkan mata dan membalas ciuman Fuma.
Malam ini, Fuma berjanji. Fuma berjanji untuk mengubah sikapnya dan tidak akan pernah sekali pun meninggalkan Yuki. Fuma hanya meminta satu hal dari Yuki.
Please don’t say goodbye