Title : Your Perfume
Pairing : MemeRaul (Meguro Ren x Raul from SnowMan)
Genre : Romance, Oneshoot
Warning : BL and some cursing word, I guess
Language : Bahasa Indonesia
Words : 8155
Author : manaminchan
Summary : Meme terpaksa mendaftar kepanitiaan ospek fakultas untuk bagian disipliner setelah dibujuk Koji yang merupakan ketua pelaksana ospek tahun ini. Tetapi ketika ospek dimulai, ia bersumpah tidak menyesalinya seumur hidup, karena ia menemukan seseorang yang berhasil mencuri hatinya.
HAI HAI HAAAIIII
Ini fanfic SnowMan pertama yang ku-publish
Udah lama gak nulis jadi maafkan kalo agak gimana gitu hahahahahaha
Semoga kalian suka ya💕💕💕
*****
Suasana kampus siang ini begitu ramai, dipenuhi para mahasiswa baru yang mengenakan seragam putih-putih dan jas almamater. Di tengah-tengah mereka terdapat sejumlah panitia ospek dengan seragam korsa mereka. Para mahasiswa baru mengantre untuk registrasi sedangkan para panitia memantau agar suasana kondusif.
Pengecualian bagi tim disipliner yang berada di ruangan lain. Ada sekitar 4 orang yang tergabung di dalam tim disipliner. Tugas mereka tentu saja tidak sekarang, tetapi nanti. Memarahi adik maba yang melanggar dan salah mengerjakan penugasan.
“Kita masih nganggur, ya,”, kata Ren Meguro sambil menyelonjorkan kakinya. Telinganya sibuk menangkap suara di luar, dan matanya menatap ke arah pintu ruangan yang ditutup. Kedua tangannya dilipat di depan dada.
“Nongol aja sono lu, paling ditegur steering commitee,”, balas seorang perempuan berambut pendek yang sedang mondar mandir mengelilingi ruangan. Satu-satunya perempuan di tim disipliner.
Laki-laki yang biasa dipanggil Meme itu tertawa sambil menoleh ke perempuan tersebut yang berdiri di sudut belakang ruangan, “Ngegas amat, Bu, lagi PMS, ya?”.
Perempuan itu menatap Meme tajam, “Sumpah, gak ada akhlak lu, Me. Kok lu bisa lolos jadi disipliner, sih?”
Meme kembali tertawa dan mengalihkan pandangannya ke depan kelas, “Bisa, lah, ganteng bebas,”, jawabnya sombong. Ia kembali memfokuskan pendengarannya pada suara di luarnya.
Sejujurnya, ia tidak ingin ikut kepanitiaan ospek ini, apalagi jadi disipliner. Ini semua gara-gara ketua pelaksananya yang merupakan adik tingkatnya sendiri, Koji Mukai, membujuk Meme ikut.
“Ayo, Kak, ini yang daftar jadi disipliner masa cuma Kak Rika sama Kak Febri,”, kurang lebih begitu.
Meme pun sebenarnya tidak begitu niat ikut seleksinya, ia hanya kasihan dengan wajah melas Koji yang meminta dirinya mendaftar kepanitiaan. Tetapi entah bagaimana ia bisa lolos, padahal ikut seleksinya saja ogah-ogahan.
Meme mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengecek beberapa notifikasi yang masuk, lalu mengunci layarnya dan kembali memasukkannya ke dalam saku. Membosankan. Ini baru hari pembagian kelompok, dan disipliner masih belum bisa bertemu adik-adik maba. Ingin rasanya ia pulang ke kosnya dan tidur.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu. Ia harus ke toilet. Terlalu lama di ruangan ber-AC dengan sekian kali minum air membuat kandung kemihnya penuh.
“Feb,”, panggil Meme kepada koordinator timnya yang sedang asyik bermain game, “Gua boleh ke toilet, gak? Asli gua kebelet banget ini,”.
Yang dipanggil mengangkat wajahnya dan menatap Meme, “Lu ngapain laporan sama gua? Sono, gih. Gak mungkin, kan, gua suruh lu kencing di botol? Ada cewek disini,”.
“Goblok lo, Feb,”, caci perempuan yang duduk di belakang kelas.
“Udah, ah, jangan bikin gua ketawa,”, kata Meme sambil berdiri dan berjalan ke arah pintu. Tangannya meraih gagang pintu dan menariknya, “Gua ke toilet dulu, ya,”, pamitnya sambil keluar.
Ia keluar dari ruangan dan menutup pintu sambil menatap sekelilingnya, masih tersisa beberapa maba yang belum registrasi, panitia pun tinggal yang menjaga meja registrasi dan satu panitia yang berada di dekat tangga.
“Yang udah registrasi langsung naik ke lantai empat, ya,”, kata panitia kepada maba.
Meme mengabaikan keramaian tersebut dan segera menuju toilet. Baru saja ia masuk, seseorang hampir menabraknya.
“Eeehh...”, Meme mencondongkan tubuhnya menjauh dan menghentikan langkahnya. Sekilas ia mengamati orang yang hampir menabraknya. Tubuhnya tinggi, sedikit lebih tinggi dari dirinya, menggunakan seragam putih-putih dan jas almamater. Bisa dipastikan, yang menabraknya adalah maba.
Keduanya diam selama sepersekian detik. Meme melirik sekilas wajahnya. Terlihat wajahnya seperti blasteran. Pipinya agak merah, dan kulit wajahnya mulus seperti bayi.
“Ma-maaf, kak...”, kata maba di depannya. Ia membungkuk dan segera keluar. Meme hanya diam di tempat. Anehnya, matanya mengikuti maba tersebut keluar, bahkan ia menoleh ke belakang dan tidak menemukan maba tersebut.
Meme terpaku di tempat. Samar-samar ia bisa mencium aroma parfum maba tersebut yang tertinggal sambil berpikir berani sekali maba pakai parfum yang baunya segila ini. Aroma maskulin yang cukup kuat, aroma yang sedikit lebih dewasa dari umur maba tersebut.
“Dah, ah,”, Meme mengusir pikirannya dan berjalan ke dalam toilet untuk menyelesaikan urusannya. Setelah selesai, ia keluar dari toilet dan segera kembali ke ruangannya.
*****
Ospek fakultas hari pertama.
“Eh, kita nanti masuk eval jam berapa?”, tanya Rika sambil memakan rotinya.
“Kata anak acara jam tiga,”, jawab Meme.
Rika mengecek jam tangannya, “Masih jam setengah tiga,”.
Meme menyandarkan punggungnya ke tembok dan menyelonjorkan kakinya. Jujur, ia lelah mengecek penugasan maba. Total maba di kampus ada sekitar 250-an. Tentunya ia tidak mengecek semuanya, tetapi tetap saja melelahkan. Mengukur panjang dan lebar cover buku catatan, bagian dalamnya sudah sesuai petunjuk atau belum, mengukur ID card, Itu semua menguras tenaganya.
Beberapa menit kemudian, walkie talkie yang diletakkan di meja depan ruangan berbunyi. Awalnya hanya suara kresek-kresek sebelum berubah menjadi suara seorang perempuan.
“Disipliner, disipliner, naik ke lantai empat,”, kata perempuan tersebut.
Semua tim disipliner termasuk Meme berdiri dan merapikan pakaian mereka sebelum keluar ruangan. Febri meraih walkie talkie tersebut dan membalas suara perempuan tersebut.
“Oke, kita OTW,”, kata Febri. Kemudian ia berjalan ke arah pintu dan keluar, disusul Meme dan dua anggota tim lagi. Mereka kemudian berbelok ke arah tangga dan naik ke lantai 4. Kampus mereka memang tidak memiliki lift, jadi kaki harus siap menaiki tangga hingga lantai 4.
Sampai di lantai 4, mereka berjalan mendekati pintu salah satu ruangan yang dipakai untuk kegiatan ospek. Mereka menunggu sejenak di depan, menunggu instruksi dari tim acara.
“Kak Feb,”, panggil salah satu tim acara sambil mendekati Febri, “Masuk aja, nanti Kak Koji sama yang lain masuk abis disipliner,”
“Oh, oke,”, kata Febri. Meme yang berdiri di belakang Febri menghirup napas panjang dan menghembuskannya.
Mereka kemudian berjalan mengikuti Febri yang akan membuka pintu. Setelah pintu dibuka, Febri masuk, disusul Meme, tim disipliner lain, dan sejumlah panitia.
“Semuanya berdiri!”, perintah Febri kepada para maba. Para maba yang berseragam putih-hitam berdiri. Salah satu dari tim medis muncul dan memanggil beberapa anak untuk keluar, lalu mereka keluar. Tersisa tim disipliner dan beberapa panitia di dalam, siap “menghajar” maba.
“Kalian tau kesalahan kalian apa?”, tanya Febri dengan nada marah sambil mondar mandir di depan kelas. Panitia lain, termasuk Meme, menghambur ke kerumunan maba.
Meme naik ke atas mengelilingi maba. Ruang kelas tersebut berbentuk seperti bioskop, tempat duduknya berbentuk seperti tangga. Meme menaiki tangga sambil menggerutu dalam hati. Sudah 3 tahun lebih ia di kampus tapi ia benci naik tangga sebanyak ini.
Sambil mengelilingi maba, ia mendengar suara panitia sahut-sahutan memarahi maba.
“Kenapa masih ada yang ukuran ID Card-nya salah?”, omel Koji.
“Mata aku silinder, Kak, jadi gak bener ngukurnya,”, ledek salah satu panitia perempuan.
“Terus fotonya ada yang gak jelas. Kalian ngerjain panitia?”, panitia lain ikut mengomel.
“Gimana kita bisa tau kalian yang mana, Deeekkk.... Fotomu, loh, gak jelas,”, sambung Rika.
“Ada juga yang bukunya gak disampul, kalian mager nyampul?”, sambung Meme.
Meme berjalan sambil menatap satu per satu wajah maba yang menunduk. Tangannya ia letakkan di bagian belakang tubuhnya dengan posisi tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan. Langkahnya terhenti ketika ia melewati salah satu maba. Tubuhnya tinggi, hampir sepantaran dengannya yang punya tinggi diatas 180 sentimeter. Samar-samar ia mencium aroma parfum dari maba tersebut. Aroma yang tidak asing baginya.
“Kamu pake parfum, Dek?”, tegur Meme dengan suara rendah namun tegas. Matanya menatap wajah maba tersebut.
Maba tersebut sekilas melirik Meme dan menarik napas sejenak sambil menggigit bibir bawahnya, “E-enggak, Kak,”, jawabnya gugup.
Meme masih menatap wajah maba tersebut, “Kamu mau saya laporin ke panitia lain kalo kamu pake parfum?”. Kemudian tangan kirinya meraih ID card yang dikalungkan maba tersebut dan membaca namanya.
“Raul Maito Murakami,”, bacanya dengan nada yang sama, kemudian ia kembali menatap wajah maba tersebut, “Saya catat nama kamu kalau kamu gak ngaku dan kamu gak lolos pengkaderan ini,”.
Ia bisa melihat napas maba tersebut tercekat, “Kamu mau ngaku apa saya kasih tau panitia lain?”, tanyanya dengan nada mengancam.
“I-iya, Kak, tadi pagi saya pake parfum. Bau parfumnya emang awet gini, Kak,”, maba tersebut menjawab sedikit ketakutan.
“Tapi kamu gak bawa parfum, kan?”, tanya Meme yang masih memegang ID card-nya.
“Enggak, Kak,”, jawabnya.
Meme mengangguk. Ia melepas ID card dari tangannya dan kembali menempatkannya di bagian belakang tubuhnya. Ia menatap maba tersebut sekali lagi, matanya terpejam. Mungkin maba tersebut takut melihatnya.
Tiba-tiba, Meme merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Ia masih bisa mencium aroma parfum tersebut. Semakin ia hirup, detak jantungnya semakin cepat. Ditambah ketika ia melihat wajah maba tersebut, wajahnya yang terlihat tanpa dosa itu meluluhkan hatinya.
Sial, apa-apaan ini! Lu lagi ngospekin maba, Me!
Ia menghela napas panjang dan berjalan menjauhi maba tersebut. Semakin jauh dari maba tersebut, semakin tidak karuan detak jantungnya. Ia hampir kehilangan konsentrasinya.
Raul Maito Murakami, kau berhasil mencuri perhatianku.
*****
Sejak itu, Meme selalu berjalan melewati Raul setiap eval. Ia menyukai aroma parfum yang samar-samar tercium dari tubuh maba itu. Ia menyukai wajah polos tak berdosanya. Ia menyukai rona kemerahan pada pipinya. Bahkan, ketika ia tak sengaja melihat Raul tersenyum, ia mengagumi senyumnya.
Mungkin ada satu hal yang tidak banyak diketahui teman-teman seangkatannya dan juga panitia ospek bahwa orientasi seksualnya tidak seperti mereka yang rata-rata menyukai lawan jenis. Ia lebih tertarik dengan sesama jenis. Ia menyadarinya sejak memasuki perkuliahan ketika ia menyadari bahwa ia jatuh cinta dengan salah satu kating yang juga asisten dosen. Tampan, pintar, dan memiliki senyum yang indah. Sayangnya, ia merupakan pengurus organisasi keagamaan yang tentu saja menentang hubungan sesama jenis.
Meme memang bukan orang yang bisa jatuh cinta dengan mudahnya, tetapi ketika ia menemukan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta, hatinya akan luluh begitu saja setiap kali ia memandangnya. Dan itulah yang ia rasakan sekarang.
Tak terasa ospek fakultas memasuki hari keempat, yaitu hari terakhir. Sebenarnya, masih ada ospek lagi. Mungkin kalau di fakultas dengan berbagai macam prodi namanya ospek jurusan, tapi karena prodi S1 di fakultasnya hanya ada satu, Meme lebih suka menyebutnya dengan “ospek fakultas jilid 2”.
Hari ini adalah hari terakhir eval sebelum masuk ke ospek berikutnya. Meme kembali mengelilingi maba sambil ikut sahut-sahutan memarahi mereka bersama panitia lain.
“Saya dengar ada laporan, ada kelompok yang membentak kakak PK-nya saat mengerjakan penugasan!”, omel Meme sambil memandangi seluruh maba, “Kurang ajar. Baru maba loh, deeekkk...”.
“Udah ngerasa hebat, ya, kayak gitu?”, sambung Koji, “Hah? Udah ngerasa hebat mentang-mentang mahasiswa?”
Meme kembali mendengar sahut-sahutan panitia sambil keliling. Langkahnya kembali terhenti di dekat Raul. Hanya ada yang berbeda, ia melihat Raul agak kurang sehat. Bahkan ia melihat bye-bye fever dari balik rambut yang menutupi keningnya.
“Kamu sakit?”, tanya Meme pelan dengan nada selembut mungkin. Tangannya memegang lengan Raul.
“E-enggak, Kak,”, jawab Raul pelan sambil menggeleng, ia terlihat agak ketakutan.
Meme curiga. Ia segera menyibakkan rambut yang menutupi kening Raul, dan benar saja. Selembar bye-bye fever menempel di keningnya.
Dia demam dan tahan di ruangan ber-AC begini?
Punggung tangannya menyentuh pipi kiri Raul. Jantungnya hampir berhenti berdetak. Kulitnya begitu lembut, seperti kulit bayi. Ia bisa merasakan suhu hangat yang melebihi batas normal.
“Ini namanya demam,”, kata Meme.
Meme mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tidak ada satupun tim medis di dalam. Seingat dia, tadi ada satu, tetapi sepertinya keluar karena ada satu anak yang sakit.
Ia menghela napas panjang, lalu memegang lengan Raul, “Saya bawa ke medis, ya, biar kamu istirahat. Apa saya pesenin ojol biar langsung pulang?”
Raul kaget. Ia menatap wajah Meme dan menggigit bibir bawahnya, lalu menggeleng, “Gak usah, Kak,”.
Bocah muka polos gini kalo gigit bibir seksi juga. Sialan lo, batin Meme yang detak jantungnya semakin tak karuan.
“Kamu pusing? Jujur aja kalo gak kuat, Dek,”, tanya Meme masih dengan nada bicara yang sama.
Raul mengangguk pelan, “I-iya, Kak,”.
“Saya bawa ke medis, ya,”, tawar Meme. Raul mengangguk.
Meme menuntun Raul menuruni tangga dan keluar dari kelas, sedangkan panitia lain sibuk sahut-sahutan. Kemudian menuruni tangga dan sampai di salah satu ruangan yang dijadikan ruang medis.
Meme membuka pintu ruangan dan disambut tatapan kaget dari panitia.
“Kok gak ada panitia medis yang standby di atas?”, tanya Meme sedikit protes sambil menuntun Raul masuk. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingi ruangan, mencari kasur yang kosong untuk ditempati Raul. Ia menemukan satu kasur kosong di pojokan, “Koornya mana?”
“Maaf, Kak,”, kata salah satu staf medis berambut panjang menghampiri Meme, “Tadi Kak Gita keluar soalnya lagi diare,”
“Terus tadi sebelum eval kalian gak liat ini anak sakit?”, tanya Meme sambil menunjuk Raul.
“Tadi udah saya ajak ke medis gak mau, Kak,”, jawab staf medis tersebut.
Meme mendengus kesal dan menuntun Raul ke kasur di pojokan. Sesampainya di kasur tersebut, Raul duduk sambil melepas sepatunya dan memposisikan dirinya agar bisa merebahkan dirinya.
“Ada parasetamol?”, tanya Meme kepada tim medis.
“Ada Kak, sebentar,”, jawab salah satu dari mereka sambil mengubek isi tas P3K.
Sambil menunggu tim medis menemukan obatnya, Meme kembali menatap Raul, “Mau minum?”
“Gak usah, Kak,”, jawab Raul pelan.
“Kamu tinggal di rumah apa kos? Mau saya pesenin ojol biar langsung pulang?”, tanya Meme lagi.
Raul menggeleng, “Gak usah, Kak, saya bawa motor,”.
“Kamu bawa motor? Demam gini loh,”, tanya Meme memastikan sambil duduk di samping Raul, “Nanti saya anter kamu balik aja, ya, terus langsung istirahat. Besok Senin udah mulai kuliah, paham?”
Raul mengangguk. Tak lama kemudian, salah satu staf medis yang berkerudung datang sambil membawakan obat dan botol air minum.
“Ini, Kak,”, kata staf tersebut sambil menyerahkan obat dan botolnya ke Meme. Meme mengambilnya dan meletakkannya di samping Raul, lalu mengambil salah satu obatnya dan meletakkannya di telapak tangan kananaya.
“Minum obat dulu kamu,”, perintah Meme sambil menyodorkan obat. Raul bangun dan duduk. Ia mengambil obat tersebut dari tangan Meme dan memasukkannya ke dalam mulut. Ia meraih botol minum yang diletakkan tidak jauh dari tangannya dan membuka tutupnya, kemudian meminum airnya sambil membiarkan obat ikut masuk ke kerongkongan bersama air. Setelah itu, ia menutup botol dan menyerahkkannya ke Meme.
Meme mengambil botol tersebut dan meletakkannya di lantai, “Kamu ngekos apa di rumah?”, tanyanya.
“Ngekos, Kak,”, jawab Raul yang sudah kembali merebahkan tubuhnya. Matanya menatap Meme membuat jantung Meme semakin tidak karuan.
Duh, Gusti, gak jadi nyesel ikut panitia ospek.
“Ngekos dimana? Saya anterin pulang aja sekarang, ya, nanti saya bilang ke PK-mu sama Koji. PK-mu siapa?”, tawar Meme sambil mengeluarkan ponselnya dari saku, matanya tidak lepas dari wajah Raul yang terlihat bersinar bak malaikat.
“Gak apa-apa, Kak?”, tanya Raul.
“Gak apa-apa, udah, Senin udah kuliah, loh,”, jawab Meme. Ia mengalihkan pandangannya ke ponsel dan membuka LINE, “PK-mu siapa?”
“Kak Puka,”, jawab Raul.
“Howala Puka. Bentar, ya,”, kata Meme sambil membuka salah satu grup chat dan mengecek anggotanya. Ia mencari kontak Puka. Setelah dapat, ia segera menelpon Puka. Tak lama, Puka mengangkat teleponnya.
“Kenapa, Kak?”, tanya Puka.
“Puk, anak lu ada yang demam, gua anterin pulang gimana? Bisa gua minta HP sama barang-barang dia di lu?”, tanya Meme.
“Anakku? Siapa?”, tanya Puka.
Meme melirik Raul dan menanyakan namanya, “Namamu siapa, Dek?”
“Raul, Kak,”, jawabnya.
Sebenernya gua udah tau, sih, batin Meme.
“Raul, Puk. Anak lu, kan?”, jawab Meme sambil memastikan.
Puka terdiam beberapa saat, “Ooohh... Raul. Iya, Kak. Tadi pagi udah aku suruh balik tapi ngotot mau ikut. Dimana anaknya sekarang?”
“Di medis,”, jawab Meme, “Tolong ambilin barangnya, ya, gua ntar bilang ke Koji,”.
“Oke, Kak,”, kata Puka, lalu Meme menutup teleponnya. Ia kemudian mencari kontak Koji dan menelponnya.
Tak lama kemudian, Koji mengangkatnya, “Loh, Kak Meme dimana?”
“Gua di medis, anaknya Puka ada yang sakit satu. Pas eval tadi gak ada tim medis,”, jawab Meme.
“Owalah...”, balas Koji, “Ada apa, Kak?”
“Masih eval?”, tanya Meme.
“Iya,”, jawab Koji.
“Ini gua mau pulangin anaknya si Puka, gua udah bilang ke Puka. Barang-barang dia mau diambilin sama Puka. Bilangin ke Febri juga, ya,”, kata Meme.
“Nama lengkapnya siapa, Kak? Biar aku catet,”, tanya Koji.
Sebenernya gua tau nama lengkapnya, tapi ya udah gua tanya aja kali, ya, hehehe.
“Bentar,”, jawab Meme, kemudian ia berailh dan menanyakannya ke Raul, “Dek, nama lengkapmu siapa?”
“Raul Maito Murakami, Kak,”, jawabnya.
“Oh, oke,”, kata Meme dan kembali menjawab Koji, “Raul Maito Murakami,”
Koji kemudian diam sejenak, “Raul Maito Murakami, ya. Oke, Kak, nanti aku bilang ke Kak Febri juga,”.
“Oke, Ji, makasih banyak,”, kata Meme lalu menutup telepon. Tak lama kemudian, seorang panitia berkerudung masuk ke ruang medis sambil membawa tas ransel hitam dan tote bag ungu. Ia berjalan sedikit buru-buru ke arah Raul dan Meme.
“Ya Allah, Raul, kan udah aku bilang mending pulang aja,”, kata panitia tersebut sambil meletakkan tas ransel tersebut di lantai. Ia duduk di sebelah Raul dan menempelkan punggung tangannya ke pipi Raul, “Udah cek pake termometer?”
“Udah, Kak, tadi pagi,”, jawab Raul.
Oh iya, goblok! Kenapa tadi gak gua minta ukur pake termometer?, batin Meme kesal.
“Berapa?”, tanya Meme.
“Tiga delapan koma tujuh, Kak,”, jawab Raul. Meme terkejut.
“Terus kenapa kamu ga istirahat, Rauuullll....”, tanya Puka gemas.
“Iya, kenapa kamu maksain masuk?”, tanya Meme, “Ya udah, saya anterin kamu pulang, ya. Kunci motor sama STNK-mu dimana? Bawa jaket?”
“Iya, Ul, kamu pulang aja. Nanti aku izinin ke medis sama ketua,”, bujuk Puka.
Raul berusaha bangun dan dibantu Puka. Tangannya meraih tas ransel hitam yang ternyata miliknya, “Gak apa-apa, Kak?”, tanya Raul memastikan.
“Udah, yang penting kamu sehat dulu,”, jawab Meme.
Raul kemudian membuka tasnya dan merogoh isinya. Ia mengambil jaket biru dongker dari dalam tas dan kunci motor. Ia mengenakan jaket tersebut dan merogoh kantongnya, lalu mengambil STNK yang ada di dalam kantong jaketnya. Lalu ia menyerahkan kunci motor dan STNK tersebut kepada Meme, “Ini, Kak,”.
Meme mengambil kunci motor dan STNK tersebut lalu memasukkan STNK-nya ke dalam saku baju korsanya, “Motormu diparkir dimana?”
“Deket pintu masuk, kok, Beat hitam,”, jawab Raul.
Meme berdiri dan merapikan sedikit kemejanya, “Ya udah, sekarang pulang. Saya yang anterin, kosmu jauh apa deket?”
“Di Wisma Indah kok, Kak,”, jawab Raul sambil menyebutkan komplek perumahan di depan kampus.
Meme mengangguk, “Oh, ya udah. Ayo,”
“Bentar, Dek,”, kata Puka menahan Raul. Tangannya merogoh tote bag ungu yang ternyata berisi barang-barang yang dikumpulkan sebelum ospek, “HP-mu yang mana, sih?”
“iPhone X casing putih,”, jawab Raul, “Ada charger, powerbank, sama AirPods juga,”.
Meme yang mendengar barang-barang tersebut kaget, kaya, nih, anak.
Puka mengeluarkan barang-barang milik Raul dari tote bag tersebut dan menyerahkannya kepada Raul. Raul segera memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dan menggendong tasnya di pundak. Lalu ia memakai sepatunya dan berdiri.
“Puk, gua anter anak lu, ya,”, kata Meme pamit, “Santai, gak gua apa-apain,”
“Iya, Kak,”, jawab Puka yang masih duduk di kasur, “Raul, hati-hati, ya. Pulang langsung istirahat, jangan lupa makan,”, pesan Puka kepada Raul.
“Iya, Kak,”, jawab Raul. Kemudian, Meme berjalan keluar ruang medis disusul Raul. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Meme hampir tak bisa berpikir jernih. Detak jantungnya juga tidak karuan. Ia melihat tangan Raul, ingin sekali ia menggenggamnya.
Meme, kalem. Oke?
Mereka tiba di tempat parkir. Mereka mencari motor Raul. Ternyata, motor Raul diparkir tak jauh dari motor Meme, hanya berjarak dua motor di sebelah kanan motor Raul.
“Bentar, ya, aku ambil helm dulu,”, kata Meme. Meme berjalan menuju motornya dan mengambil helm yang menutupi kaca spionnya, lalu ia memasang helm di kepalanya. Lalu ia kembali ke motor Raul, terlihat Raul sudah memasang helm berdiri di belakang motornya menyingkir sedikit agar Meme bisa mengeluarkan motornya.
“Kamu ada obat di kos? Apa mau mampir dulu ke apotek?”, tanya Meme kepada Raul.
“Ada kok, Kak,”, jawab Raul. Meme mengangguk paham.
Meme segera mengeluarkan motor dari tempat parkir, lalu Raul naik ke atas motor. Meme segera tancap gas, meninggalkan kampus menuju kos-kosan tempat Raul tinggal.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah kos-kosan. Ukurannya cukup besar. Terlihat dari bangunannya, kos-kosan ini cukup mahal.
“Ini?”, tanya Meme memastikan.
“Iya,”, jawab Raul, lalu ia turun untuk membuka gerbang kosnya.
Ini bocah tajir bener, batinnya.
Gerbang kos terbuka dan Meme masuk. Ia memarkirkan motornya dan turun. Ia segera menghampiri Raul yang hendak menutup kembali gerbang kos, “Udah, kamu ke kamar aja. Aku yang tutup,”.
Raul kaget, lalu ia mengangguk. Meme menutup pintu gerbang dan berjalan mengikuti Raul sambil melepas helm.
Sesampainya di kamar kosnya, Raul yang merasa diikuti menoleh ke belakang dan kaget. Ia tidak menyangka Meme akan mengikutinya.
“Aku mau mastiin kamu bener-bener istirahat,”, jawab Meme.
Raul mengangguk agak ketakutan, lalu ia membuka kunci kamar kosnya dan membuka pintunya. Ia melepas sepatu serta helmnya dan masuk, diikuti oleh Meme. Kemudian, Raul langsung meletakkan tasnya di lantai dan merebahkan dirinya di atas kasur.
Meme mendekati Raul dan memegang pipinya, “Masih pusing?”
“Iya,”, jawab Raul, “Kakak gak apa-apa masih disini?”
“Iya, tapi gak lama,”, jawab Meme sambil menatap Raul. Tangannya kemudian bergeser, mengelus kepala Raul sebentar.
Jantungnya hampir berhenti berdetak.
Ah, anjiiiiirrrr.... Duh, Gusti, tolong cakep banget anak ini.
“Langsung istirahat aja,”, pesan Meme. Ia menarik selimut dan menyelimuti Raul, lalu bangun dan mengambil remote AC kamar Raul, “Aku nyalain gak apa-apa, ya,”
“Iya, Kak, nyalain aja,”, jawab Raul. Meme menyalakan AC yang mengaturnya ke suhu tinggi agar Raul tidak kedinginan. Lalu ia mengembalikan remote ke tempatnya dan kembali duduk di dekat Raul sambil membuka ponselnya untuk memesan ojol.
“Aku balik, ya,”, pamit Meme setelah memesan ojol dan mendapat driver, “Makan, jangan lupa istirahat, oke?”
“Absensinya nanti gimana, Kak?”, tanya Raul sambil menatap Meme.
Meme tersenyum lalu mengelus kepala Raul, “Gampang, nanti biar aku sama Puka yang urus. Udah, istirahat, ya, Dek,”
*****
Minggu-minggu perkuliahan dimulai. Meme kembali kuliah seperti biasa. Hanya saja, ia lebih bersemangat. Setiap ada kerumunan maba mengerjakan penugasan ospek, ia mencari apakah ada Raul disana atau tidak.
Salah satu penugasan ospek yang melibatkan panitia adalah berkenalan dengan semua panitia dan ditandatangani sebagai bukti bahwa maba tersebut sudah berkenalan dengan kakak panitia. Dimulai dari staf, koor, sekretaris, bendahara, ketua, hingga disipliner dan steering commitee. Harus berurutan. Jadi, di minggu pertama perkuliahan, belum ada maba yang menghampiri dirinya untuk berkenalan.
Walaupun begitu, Meme selalu memantau maba, lebih tepatnya memantau Raul. Ia mengagumi senyumnya, tawanya, suaranya, semuanya. Bagi Meme, Raul begitu indah. Bahkan, setiap kali ospek yang diadakan di akhir pekan, ketika sesi eval Meme selalu melewati Raul. Jantungnya berdetak cepat ketika ia mencium samar-samar aroma parfumnya. Pernah tak sengaja matanya dan mata Raul bertemu. Ia bisa melihat ekspresi kaget Raul sambil mengalihkan pandangannya ke arah lantai dan menggigit bibir bawahnya.
Meme ingin berterima kasih kepada Koji yang sudah memaksa dirinya mendaftar kepanitiaan ospek. Ingin sekali ia mendekati Raul. Sayangnya, ia tidak memiliki satupun kontak Raul. Ditambah peraturan tidak tertulis kepanitiaan ospek yang melarang adanya hubungan lebih dari pertemanan baik dengan sesama panitia maupun dengan maba mengurungkan niatnya untuk mendekati Raul.
Di minggu kedua perkuliahan, cukup banyak maba yang sudah mendapatkan tanda tangan sampai ketua pelaksana. Mulai minggu ini, Meme beserta tim disipliner lain dan steering commitee mulai ramai dikerumuni maba, memaksa Meme pulang lebih malam. Notifikasinya dipenuhi chat masuk dari maba yang memintanya berkenalan. Lelah.
Ia baru tiba di kosnya pukul 8 malam, ini rekor tercepat selama beberapa hari ini. Ia harus pulang cepat karena tugas menantinya. Ia segera mandi dan makan, lalu membuka laptopnya untuk mengerjakan tugas.
Sambil menunggu laptopnya menyala, ia membuka ponselnya, banyak sekali notifikasi chat LINE memenuhi ponselnya. Tapi ada satu yang menyita perhatiannya. Notifikasi paling atas.
Raul Maito
You have a new message.
Meme hampir melempar ponselnya, terkejut.
Ra-Raul?
Raul Maito?
“Duh, Gustiiii.... Gue di-chat adek crush.,”, ucapnya. Ia segera membuka chat tersebut.
Selamat malam, kak, maaf mengganggu waktunya. Saya Raul Maito Murakami dari angkatan 19 kelompok 5 ingin berkenalan dengan kakak. Kira-kira kapan saya bisa berkenalan dengan kakak? Terima kasih.
“Duh,”, Meme senyum-senyum sendiri. Ia segera membalas chat tersebut.
Malam dek, besok aku selo jam 3 abis praktikum
Bisa temuin aku abis praktikum, ya
Untuk tempatnya nanti liat sikon dulu
Tolong bilangin ke temen-temenmu ya dek
Setelah mengirim pesan tersebut, ia meng-klik tulisan add as friend yang ada di atas. Tak lama kemudian, masuk chat balasan dari Raul.
Baik kak
Meme segera mengunci layar ponselnya dan melemparnya ke atas kasur. Jantungnya berdetak kacau. Ia memegang dadanya dan merasakan detak jantungnya
Moga besok gue balik masih hidup...
*****
Meme duduk di kuris yang ada di bawah pohon sambil melipat jas praktikumnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia mengumpulkan keberanian untuk berkenalan dengan adik maba yang berhasil mencuri hatinya.
Beberapa menit kemudian, terlihat Raul sedang berjalan mencari sesuatu bersama kedua temannya sambil sesekali mengecek ponsel mereka.
“Kak Meme yang mana, sih?”, tanya teman Raul, perempuan dengan rambut yang dijepit jedai.
“Bentar, tadi kakaknya nge-chat ada di kursi bawah pohon,”, jawab Raul. Meme yang tahu sedang dicari hanya diam, lebih tepatnya mengontrol dirinya.
Kalem, oke? Meme, kalem.
“Eh, itu kakaknya,”, kata teman Raul yang lain sambil menunjuk Meme. Raul yang menoleh kemana-mana langsung tertuju ke arah yang ditunjuk temannya itu.
Meme menahan napas, tapi ia berusaha seolah tidak tahu. Ia membuka ponselnya dan entah membuka apa, yang penting jangan terlihat gugup.
Beberapa saat kemudian, ia merasakan langkah kaki mendekati dirinya, disusul dengan suara, “Permisi, Kak,”
Meme segera mengunci ponselnya dan meletakkannya di atas meja di depannya. Ia mengangkat wajahnya, benar saja di depannya ada 3 orang maba termasuk Raul membawa pulpen dan buku penugasan.
“Eh, iya, mau kenalan, ya?”, tanya Meme.
“Iya kak,”, jawab salah satu dari mereka, laki-laki dengan badan sedikit berisi berdiri di samping Raul.
“Oh,”, Meme mengangguk, “Ini kalian udah janjian belom tapi?”
“Udah, Kak, semalam saya yang chat Kakak,”, jawab Raul sambil tersenyum.
“Oh, kamu yang semalem chat,”, kata Meme sambil berusaha mengontrol dirinya, “Ya udah, langsung aja. Duduk aja sini,”, Meme mempersilakan sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di depannya.
Ketiga maba tersebut duduk di kursi yang ditunjuk Meme dan meletakkan buku mereka di atas meja. Raul duduk tepat di depan Meme, di tengah-tengah teman-temannya. Terlihat jelas wajah Raul yang meluluhkan hatinya.
Sambil melihat ketiga maba tersebut membuka buku penugasan, ia memulai pembicaraan, “Sebelumnya, kenalan dulu, ya. Dari kamu, deh, cewek,”, katanya sambil menunjuk ke perempuan yang duduk di pinggir.
Perempuan tersebut menghentikan aktivitasnya dan menatap Meme, “Perkenalkan, Kak. Saya Alya Nabila, biasa dipanggil Alya, dari kelompok lima,”, ia memperkenalkan diri.
“Raul, kamu,”, kata Alya sambil menyenggol Raul yang masih membolak-balikkan halaman buku dengan sikunya. Raul kaget dan mengangkat wajahnya menatap Meme.
“Ma-maaf, Kak,”, kata Raul.
Meme tertawa sedikit, “Gak apa-apa, Dek. Ayo, kamu,”
Raul memperkenalkan dirinya, “Nama saya Raul Maito Murakami, biasa dipanggil Raul, dari kelompok lima,”
“Saya Rangga dari kelompok lima,”, anak yang duduk di samping Raul ikut memperkenalkan diri.
“Alya, Raul, Rangga,”, Meme mencoba mengingat nama mereka, walau ia sendiri sudah ingat nama Raul. Ia kemudian menarik napas dan meregangkan sedikit otot-ototnya, “Kenalin, aku Ren Meguro, biasa dipanggil Meme, dari angkatan 2016. Aku disini sebagai disipliner,”
Maba yang duduk di depannya segera mencatat nama Meme di buku mereka, setelah selesai, mereka meletakkan pulpen mereka.
“Bukunya kesiniin aja, Dek,”, pinta Meme.
Mereka menumpuk buku mereka menjadi satu tumpukan dan menyerahkannya ke Meme. Lalu, mereka mulai mengobrol.
Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari perkuliahan, ospek, hingga hal-hal yang sedang trending saat ini. Bahkan, Meme sampai mngeluarkan snack wafer yang ia beli sebelum praktikum dan dimakan oleh mereka berempat.
Tak terasa, mereka menghabiskan waktu hampir setengah jam untuk mengobrol. Meme memutuskan untuk menutup obrolan dan menandatangani buku mereka. Ketika Meme menandatangani buku mereka, tiba-tiba Raul menanyakan sesuatu.
“Kak Meme, boleh nanya?”, tanya Raul.
“Boleh,”, jawab Meme sambil menandatangani buku mereka.
“Anu, Kak Meme udah punya pacar belom?”, tanya Raul.
Meme terkejut. Ia menghentikan tangannya dan meletakkan pulpen di atas buku yang baru selesai ia tandatangani. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Raul, “Masih jomblo, kok, kenapa?”
Raul tersenyum, “Gak apa-apa kok, Kak,”, jawabnya sambil menggeleng.
“Oh,”, Meme menganggung paham, lalu melanjutkan tanda tangannya. Ia berusaha tenang walau jauh di dalam hatinya ia ingin berteriak.
Please, yang namanya Raul demen cowok juga, kek. Gua mau mengakhiri kejombloan ini. Capek, anjir, jomblo dari pertama masuk kuliah, batinnya.
“Katanya Raul, tadi Raul nanya kayak gitu soalnya mau minta tips and trick buat dapetin pacar, Kak,”, jawab Alya bercanda.
Meme menutup buku terakhir yang sudah ia tandatangani dan menumpuknya, lalu menyerahkannya ke mereka bertiga, “Seriusan? Apa motivasinya nanya ke aku?”
Raul menyenggol Alya dengan sikunya dan menggeleng, “E-enggak, Kak, Alya ngawur aja,”, jawab Raul sambil menunduk malu. Wajahnya memerah. Alya dan Rangga yang ada disampingnya tertawa.
Meme tidak tahan melihat wajah Raul memerah. Ingin rasanya ia memeluk Raul, tetapi ia harus menahan dirinya dengan tertawa, “Nanti, deh, kalo aku udah dapet pacar baru kamu boleh nanya ke aku gimana caranya,”
Maksudnya, kalo aku udah jadi pacar kamu, hehehehe.
*****
Seluruh proses ospek selesai, Meme kembali ke rutinitas normalnya. Di satu sisi ia merasa senang dan lega, tetapi di sisi lain ia merasa sedih. Kegiatan ospek selesai, berkurang kesempatannya untuk bertemu dengan Raul. Tetapi, ini artinya ia bisa mendekati Raul, karena peraturan tidak tertulis itu kini sudah tidak berlaku.
Meme memang masih bertemu dengan Raul, bahkan menyapanya. Aroma parfumnya masih ia ingat. Senyumnya, suaranya, masih ia ingat. Bayangan Raul tidak bisa lepas begitu saja.
Ya, namanya orang jatuh cinta.
Malam ini, ia berniat meng-chat Raul. Tidak boleh ditunda. Menunda sehari sama dengan membiarkan Raul jatuh di tangan orang lain. Selama masih ada kesempatan, Meme tidak boleh menyia-nyiakannya.
Meme meraih ponselnya dan membuka layarnya. Ia segera membuka LINE dan mencari kontak Raul. Setelah dapat, ia segera meng-chat Raul.
Sejujurnya, waktu terakhir kali ia dan Raul chat adalah ketika ospek. Setelah mendapat tanda tangannya, mereka belum pernah chat lagi. Meme berpikir keras bagaimana caranya memulai chat setelah sekian lama.
Raul, gimana kabarnya?
“GOBLOK KEPENCET!”, Meme mengutuk dirinya sendiri segera setelah ia menekan ikon send dan pesan tersebut terkirim. Ia berniat meng-unsent, tetapi tiba-tiba tulisan read muncul di samping chat-nya.
“EH KOK CEPET?”, Meme kaget ketika ia tahu bahwa Raul sudah membaca chat-nya. Tak lama kemudian, muncul balasan dari Raul.
Baik kak
Kak meme gimana kuliahnya?
Smt 7 berat ga sih kak?
Meme hampir melempar ponselnya.
Bagus deh
Ya.. gini gini aja wkwk
Dibilang berat juga ga sih dek
Asal menikmati perkuliahannya
Gimana smt 1? Suka sama perkuliahannya?
Tak lama kemudian, chat berlanjut menjadi panjang. Meme selalu tersenyum setiap Raul membalasnya. Hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul 8 malam, artinya sudah 1 jam mereka chat. Dan Meme belum makan malam.
“Ih anjir gua belom makan,”, kata Meme sambil mengecek jam di ponselnya. Ia berniat untuk makan, tetapi tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk mengajak Raul makan di warung penyetan tempatnya biasa makan.
Ehiya btw udah makan belom?
Makan bareng yuk
Ada warung penyetan enak banget
Kamu harus nyobain wkwkw
Tak lama kemudian Meme mendapat balasan.
Jauh ga kak?
Boleh deh
Aku juga lupa kalo belom makan hehehe
Meme tersenyum, ini saatnya.
Meme
Dasar wkwkw
Ga kok
Yaudah aku yang jemput ya wkwk
Gapapa kan?
Helm jangan lupa
Raul Maito
Eh gapapa?
Meme
Iya gapapa
Bentar ya aku siap siap dulu
Raul Maito
Oke kak
Aku juga siap siap dulu
Meme segera mengunci layar ponselnya dan mengganti pakaiannya. Ia segera menyambar kunci motor dan dompet, tak lupa juga ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans-nya. Lalu keluar dari kamar kosnya menuju parkiran motor sambil mengenakan helm. Ia segera menghampiri motornya dan segera pergi menuju kos Raul.
Sampai di kos Raul, ternyata Raul sudah menunggu di depan pagar.
“Kamu nungguin dari tadi?”, tanya Meme.
“Enggak, kok, ini baru keluar,”, jawab Raul, “Aku naik ya, Kak,”
“Iya langsung aja naik,”, kata Meme mempersilakan. Raul naik ke atas motor Meme dan mereka segera pergi menuju warung penyetan langganan Meme.
“Eh, iya, tempatnya sederhana banget, gak apa-apa?”, tanya Meme di jalan. Ia khawatir Raul tidak suka tempatnya.
“Gak apa-apa kok, Kak,”, jawab Raul. Meme sedikit lega.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah warung di dalam perkampungan. Warung tersebut berada di salah satu rumah penduduk. Meme memarkirkan motornya di tempat yang sudah disediakan dan mematikan motornya. Raul turun sambil melepas helmnya disusul Meme. Kemudian mereka berjalan ke dalam warung.
“Eh, Mas Meme,”, sapa ibu-ibu penjaga warung, “Tumben sama temen,”.
“Ehe, iya,”, jawab Meme sambil duduk di kursi depan etalase, “Biasa, ya, Bu,”
“Penyetan ayam apa lele?”, tanya ibu warung, “Masnya satunya lagi yang cakep banget mau makan apa?”
“Penyetan ayam, Bu, satu,”, jawab Raul.
“Saya lele, deh, bosen kemaren ayam mulu,”, jawab Meme.
“Masnya yang ganteng minumnya apa?”, tanya ibu warung ke Raul.
Raul berpikir sejenak, “Es teh aja, Bu,”, jawabnya.
“Masa temen saya doang yang dibilang cakep saya enggak?”, canda Meme.
“Mas Meme juga cakep, kok,”, jawab ibu warung sambil menyiapkan minuman, lalu ia keluar sambil membawa dua gelas es teh dan meletakkannya di meja depan Meme dan Raul, “Nih, yang ganteng-ganteng, minumannya,”
“Makasih, Bu,”, kata Meme dan Raul. Lalu ibu warung kembali ke dalam untuk menyiapkan makanan.
Meme meminum sedikit es tehnya sebelum memulai pembicaraan, “Oh, iya, pas pertama liat aku menurutmu aku kayak apa?”
Raul berpikir sejenak, “Galak? Soalnya pas itu kakak mukanya kayak lagi marahin gitu,”
“Serius?”, tanya Meme sambil sedikit tertawa. Ia menatap Raul yang duduk di sampingnya.
“Iya,”, jawab Raul sambil menoleh ke arah Meme, “Makanya aku pas di eval takut banget. Tapi pas yang aku demam itu, aku mikirnya Kak Meme baik banget, tapi aku masih takut,”
Meme tertawa, “Aku semenyeramkan itu, ya?”
“Ya, gimana, ya,”, Raul sedikit malu, “Soalnya, kan, Kak Meme, disipliner, jadi marah-marah mulu, jadinya takut,”
“Kalo sekarang?”, tanya Meme lagi.
“Ngg... Gak terlalu, tapi masih takut dikit,”, jawab Raul sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Mas Meme gak galak, kok, Mas,”, sambung ibu warung yang masih menyiapkan makanan, “Baik banget, sayang sampai sekarang jomblo. Ibu, nih, kalo seumuran sama Mas Meme bakal naksir Mas Meme kayaknya,”
Meme tertawa, “Emang iya, Bu?”
“Iya,”, jawab ibu warung, “Mas Meme, tuh, ya, dari pas masih maba makan disini terus, sendirian. Gak pernah bawa cewek. Temen aja gak pernah, baru sekali ini ngajak temen,”
“Ya, gimana, ya,”, Meme bingung merespon ibu warung.
“Udah, gak usah bingung,”, kata ibu warung sambil membawakan dua piring penyetan ayam dan lele, “Nih, dimakan dulu, ntar lanjut ngobrol,”
“Makasih, Bu,”, kata Meme dan Raul. Ibu warung kembali ke dalam.
Meme mengambil sendok dan garpu untuknya dan Raul yang ada di dekatnya.
“Kak Meme sering kesini?”, tanya Raul setelah menerima sendok dan garpunya.
“Iya, soalnya dulu kosku di depan warung ini,”, jawab Meme, “Terus pindah ke kos sekarang pas semester kemarin,”
“Oh,”, respon Raul sambil menyendokkan nasi, “Kenapa pindah?”
Meme mengunyah sebentar makanannya dan menelannya sebelum menjawab, “Gak apa-apa, mau ganti suasana aja. Kosan yang sekarang sedikit lebih murah dan lebih luas kamarnya,”
Raul mengangguk paham. Kemudian hening, mereka sibuk menghabiskan makanan mereka berdua. Setelah makanan mereka habis, mereka kembali mengobrol. Mulai dari kos-kosan, perkuliahan, hingga hal-hal lain.
Meme bisa melihat berbagai ekspresi Raul. Tidak hanya ketika tertawa, tapi juga ketika memperhatikannya berbicara. Ia juga bisa melihat lebih banyak gerak-gerik Raul ketika berbicara. Walaupun mereka sudah pernah mengobrol ketika Raul mengerjakan penugasan ospek, Meme bisa melihat lebih banyak lagi ekspresi Raul.
Bagi Meme sekarang, Raul bukanlah sekedar seseorang yang memiliki wajah indah dan bersinar bak malaikat, melainkan sesorang yang ramah, menyenangkan, dan bisa mengisi kekosongan hatinya.
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat.
“Sekarang jam berapa, sih?”, tanya Meme.
Raul mengecek ponselnya dan kaget, “Loh, jam sepuluh?”
Meme juga ikut kaget, “Serius?”, ia buru-buru mengecek ponselnya dan benar saja, waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat sedikit.
“Ibunya gak tutup?”, tanya Raul heran.
“Warungnya baru tutup jam sebelas,”, jawab Meme, “Soalnya ini baru buka jam enam,”
Raul mengangguk paham.
“Kamu ada jam malam, ya?”, tanya Meme.
“Enggak ada sebenernya, tapi portal Wisma Indah tutup jam sepuluh,”, jawab Raul cemas.
“Owalah,”, kata Meme, “Ya udah, tidur di kosku aja, muat buat berdua, kok,”
“Eh?”, Raul kaget, “Gak apa-apa, Kak?”
“Santai,”, jawab Meme sambil mengambil dompetnya di saku belakang jeans-nya, “Kamu ada kuliah pagi, gak?”
“Jam sembilan kuliahku,”, jawab Raul sambil merogoh saku jaketnya dan mengambil selembar uang.
“Berapa Bu, semuanya?”, tanya Meme ke ibu warung.
“Penyetan dua sama es teh dua, dua puluh enam, Mas Meme,”, jawab ibu warung.
“Udah, gak usah bayar kamu,”, kata Meme ke Raul sambil berdiri.
“Eh?”, Raul kaget, “Gak usah Kak ga--”
“Udah,”, kata Meme sambil menyerahkan uang ke ibu warung, “Ini, ya, Bu, uangnya,”
Ibu warung meneruma uang tersebut dan menyerahkan kembaliannya, “Makasih, ya, Mas,”
Meme memasukkan uangnya ke dalam dompet dan mengajak Raul pulang, “Ayo,”
Setelah berpamitan dengan ibu warung, Meme dan Raul pulang menuju kos Meme. Beberapa menit kemudian, mereka sampai.
“Maaf, ya, kosku gak yang gimana-gimana soalnya,”, kata Meme sambil memarkirkan motornya.
“Iya, Kak, gak apa-apa,”, kata Raul, kemudian ia turun dan menutup pagar.
Meme turun dari motornya dan mengajak Raul masuk ke kamarnya. Mereka berjalan menuju kamar Meme sambil melepas helm. Sampai di depan pintu kamar kosnya, Meme membuka kunci pintu kamarnya dan membuka pintunya.
“Maaf, ya, gak ada AC,”, kata Meme sambil membuka pintu, “Kamu bisa, kan, tidur pake kipas angin?”
“Gak apa-apa, Kak,”, jawab Raul sambil tersenyum. Ia masuk ke kamar setelah Meme masuk, lalu ia melepas jaketnya.
Meme masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Setelah mengganti pakaiannya, ia merapikan sedikit tempat tidurnya. Sedangkan Raul duduk di lantai dekat tempat tidur.
“Tempat tidurnya emang agak gede, cukup kalo berdua,”, kata Meme, “Tapi kamu bantalan pake guling gak apa-apa, ya? Bantalku basah ketumpahan kopi soalnya,”
“Gak apa-apa, Kak,”, jawab Raul, “Tapi, gak apa-apa kita berdua di kasur?”
“Ya gak apa-apa,”, jawab Meme, “Apa nanti aku tidur di bawah ya gak apa-apa, kamu di kasur aja,”
Raul sedikit tidak enak, tapi ia menuruti kata Meme. Bantal dan gulingnya sudah berjejer rapi.
“Aku nugas dulu, kamu kalo mau tidur tidur aja duluan,”, kata Meme sambil berjalan menuju mejanya untuk mengerjakan tugas. Raul tidak mengatakan apapun, hanya mengangguk lalu naik ke atas kasur.
Meme duduk di depan meja belajarnya dan mendekatkan laptop ke arahnya. Setelah menyalakan laptopnya, ia menyelesaikan tugasnya. Beberapa menit kemudian, ia menoleh ke arah tempat tidurnya.
“Raul,”, panggil Meme. Ia melihat Raul sudah tertidur pulas, “Cepet amat dia tidur,”, katanya. Kemudian ia menyalakan kipas angin dan kembali mengerjakan tugasnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12. Tiba-tiba ia mengantuk. Akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi kegiatannya. Ia mematikan laptop dan membereskan mejanya, lalu bangun dan mematikan lampu serta menyalakan lampu meja belajarnya karena ia tidak bisa tidur di ruangan yang terlalu gelap.
Ketika ia mendekati tempat tidurnya, tiba-tiba Raul yang sudah tertidur membalikkan badannya menghadap Meme. Meme bisa melihat wajah Raul yang tertidur. Begitu tenang.
Duh, Gusti, tenang banget...
Meme duduk di tempat tidurnya sambil memandangi wajah Raul yang begitu tenang. Ia ingin mencium adik tingkatnya itu, tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia hanya mengelus kepala Raul dan merebahkan tubuhnya di samping Raul, lalu memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian, ia terbangun, kaget karena merasakan sesuatu memeluk dirinya. Ternyata, Raul memeluk dirinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat.
Mampus, mati gua. Gua gak bisa napas.
Agar jantungnya kembali normal, ia menyingkirkan tangan Raul yang ada di atas perutnya, tetapi Raul kembali memeluknya. Meme menghena napas panjang.
Sialan, lo gak bisa bikin jantung gue sehat emang.
Meme melirik ke arah Raul. Ia kembali melihat wajah tenang Raul dan nyaris membuatnya tak bisa bernapas. Ia memiringkan tubuhnya sedikit ke arah Raul dan mencoba untuk mengelus kepala Raul lagi, lalu memberanikan diri untuk mencium keningnya. Dan satu kecupan berhasil mendarat di kening adik tingkatnya itu.
Mati. Mau mati gua.
Ia kembali ke posisi semula dan menggeser sedikit tubuhnya lebih dekat dengan Raul. Ketika ia akan memejamkan matanya, ia mendengar Raul menggigau tepat di telinganya.
“Maaf, aku pacarnya Kak Meme,”, kata Raul sambil memeluk Meme lebih erat. Kepalanya disandarkan ke pundak Raul.
Deg!
Meme membuka matanya lebar dan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Kamu pergi aja sana, aku gak suka cewek,”, lanjut Raul.
Raul, lo...
Meme hampir meledak. Pikirannya mulai tidak jernih. Apakah Raul benar-benar seperti dirinya, seseorang yang menyukai sesama jenisnya? Apakah Raul selama ini diam-diam menyimpan rasa juga kepadanya? Apakah ini artinya perasaan Meme berbalas?
Meme mencoba mengontrol dirinya dengan iseng membalas Raul, “Kamu pacarku? Sejak kapan?”
Raul membenamkan wajahnya di pundak Meme dan sedikit ngegas, “Dih, Kak Meme, mah,”
Mak, Meme baper.
Meme tertawa. Ia mengelus pipi Raul dan kembali tidur.
*****
“Anjir!”, Raul tiba-tiba terbangun.
Meme terbangun, ia melihat Raul duduk di sampingnya, “Loh, kenapa?”, tanyanya setengah sadar sambil berusaha mengangkat tubuhnya.
“K-Kak...”, Raul agak ketakutan, “M-maaf aku tadi meluk Kakak...”
“Owalah, kirain,”, balas Meme enteng, “Iya, gak apa-apa, santai aja,”
Santai palelu! Gua hampir mati semalem, tau?
“Eh?”, Raul kaget dan menatap wajah Meme, “A-aku soalnya biasa meluk guling kalo tidur, maaf banget, ya, Kak,”, ia kembali meminta maaf, wajahnya tertunduk dan menggenggam kedua tangannya.
Meme tertawa sambil mengelus kepala Raul, “Gak apa-apa kali, ya masa aku marahin kamu,”
Raul mengangkat sedikit wajahnya yang memerah, lalu ia melihat pundak Meme sedikit basah. Ia kaget.
“Kak, ini...”, Raul menunjuk bagian pundak Meme yang basah.
“Apaan?”, Meme menoleh ke arah pundaknya dan kaget melihat pundaknya basah.
“Kayaknya aku ilerin, deh,”, kata Raul. Ia segera mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya dan menunduk, “Maafin, Kak! Maafin, aku gak tau,”
Meme melihat Raul dan tertawa, “Alay, gak apa-apa lagi,”
Raul melirik ke arah Meme.
“Takut aku marahin?”, goda Meme, “Udah, ngapain juga aku marah,”, ia meraih tangan Raul dan menurunkannya, kemudian ia membetulkan posisi duduknya agar bisa menghadap Raul.
Raul memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Meme. Wajahnya seperti merasa bersalah. Meme mengutuk dirinya.
Me, kalem kagak?
Meme mencoba mencairkan suasana sambil meregangkan tubuhnya, “Oh, iya, kamu punya pacar? Aku ngeri kalo pacarmu mikir nggak-nggak pas tau kamu nginep disini,”
Raul sedikit kaget, “A-aku... gak pernah pacaran. Terakhir putus sama tali pusar,”, jawabnya sambil mengelus tengkuknya.
“Astaga,”, Meme tertawa, “Seriusan? Padahal di kampus banyak yang naksir. Cewek-cewek angkatanmu, ya, pas perkenalan sama aku pada bilang ‘Raul ganteng banget, loh, Kak’, gitu,”, cerita Meme.
Raul menundukkan kepalanya, kedua tangannya memegang kakinya, “Nng.. Sebelumnya aku minta maaf, tapi aslinya aku gak tertarik sama cewek...”
Meme terkejut, “Maksudnya?”
Raul semakin menunduk, “Anu, aku gay,”
Meme semakin terkejut, “Ja-jadi...”
COK, GILA NIH GUA!
Raul langsung mengangkat wajahnya dan langsung panik ketika melihat ekspresi Meme, “A-aku minta--”
“Seriusan kamu?”, tanya Meme meyakinkan sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Raul. Nada bicaranya berbeda, sedikit lebih rendah.
Raul panik, napasnya tercekat. Ia menggigit bibir bawahnya dan mengangguk, “I-iya, Kak,”
Lampu ijo. Gaskeun, Meme!
“Ada cowok yang kamu taksir?”, tanya Meme.
Raul semakin terkejut dan menunjukkan ekspresi agak bingung, “Ada, Kak, tapi aku gak tau dia gay apa enggak...”
Wah, agak kretek...
Meme mengangguk paham dan menarik tubuhnya. Ia menghela napas panjang, mencoba untuk sedikit rileks, “Kalo mau tau, kamu gak sendiri. Aku juga gay,”, kata Meme.
Raul terkejut, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Lalu, ia sedikit bersorak dan mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum lebar, “Aku ada temennya ternyata!”
Meme yang melihat ekspresi ceria Raul tertawa, lalu kembali mendekati Raul, “Yakin cuma temen?”
Senyum Raul mendadak hilang, digantikan ekspresi bingungnya, “Ma-maksudnya?”
Meme meraih kedua tangan Raul yang masih terangkat dan menurunkannya, ia menatap Raul dalam, “Sebenarnya, aku suka, eh, jatuh cinta sama kamu. Inget pas aku nanya kamu pake parfum itu?”
Raul mengangguk sedikit.
“Nah, dari situ aku lihat mukamu, ekspresimu. Kamu ketakutan, tapi entah kenapa sebenernya aku luluh. Banget.”
Raul terkejut,, wajahnya memerah “K-Kak Meme...”
“Ya, begitulah,”, lanjut Meme, “Kamu keliatannya ketakutan banget kayak aku nyeremin aja. Tapi, gara-gara ekspresi itu, aku jatuh ke kamu,”
Raul menahan napas. Wajahnya yang semakin memerah menunjukkan ekspresi tidak percaya, “A-anu...”
“Kenapa?”, tanya Meme.
“Se-sebenarnya...”, Raul menarik napas dan mencoba memberanikan diri, “Sebenarnya, aku juga punya rasa ke Kak Meme. Tapi, aku takut kalau ternyata Kak Meme menghindar soalnya aku gay,”
Napas Meme tercekat. Ia tidak percaya. Jadi, selama ini?
Woy, astaga!
Meme tersenyum dan mengangkat tangan Raul sambil menggenggamnya erat. Matanya menatap mata Raul, “Ya, udah, kalo gitu, karena kita sama-sama punya rasa yang sama dan orientasi seksual kita sama, gimana kalau kita lebih dari teman?”
“Hah?”, Raul bingung.
Meme tersenyum dan menggeser badannya sedikit lebih dekat dengan Raul, “Ya, pacaran. Gimana? Kamu mau?”
Raul menahan napas. Ia tersenyum dan menggenggam erat tangan Meme sambil mengangguk.
“Serius?”, tanya Meme memastikan.
“Iya,”, jawab Raul sambil terus tersenyum, “Aku mau jadi milik Kak Meme dan Kak Meme jadi milikku,”
Meme tersenyum dan menunduk, lalu kembali menatap Raul yang masih tersenyum. Ia melepas salah satu tangannya dan meletakkannya di bagian belakang kepala Raul. Kemudian, ia menempelkan keningnya ke kening Raul.
“Cium boleh?”, tanya Meme rendah.
“Eh?”, Raul sedikit bingung, “Cium apa, Kak?”
“Bibir, lah,”, jawab Meme, “Boleh?”
Ia bisa merasakan anggukan Raul, “Iya,”
Raul menarik wajahnya sedikit dan melihat mata Raul yang terpejam, lalu memejamkan matanya sambil kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Raul, dan mendaratkan bibirnya tepat di bibir Raul.
Mereka berciuman selama beberapa detik, lalu Meme melepaskannya. Mereka membuka mata. Raul tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Ia kemudian langsung memeluk Meme. Dan Meme juga memeluk Raul erat.