Terbang Lebih Tinggi (Indonesia Only) Part 2

Aug 20, 2009 23:41


“Aku....kayaknya RMIT”, jawabku.

“Jurusan apa??”, Dion menatapku penasaran.

“Grafis”, balasku singkat dan menyendok green soup-ku karena menu lain sepertinya kurang cocok untuk diet karbohidratku yang sedang intensif kulakukan.

“Wah, cocok banget”, Rifa tersenyum bahagia.

“Kalo gitu semua orang udah punya tujuan, ya. Kita juga sama-sama di Australi, Ra. Nara gambarnya oke banget. Jadinya udah cocok kalo mau masuk grafis”, Dion ikut tersenyum.

Acara makan siang dan shopping kammi berjalan lancar dan menghibur seperti biasanya. Paling tidak aku dapat tablet dan touchpad baru untuk komputerku. Sekarang aku bisa menggambar dengan lebih lancar. Masalahnya tablet pertamaku sudah tua dan sudah minta pensiun.

Aku pulang dengan bahagia. Setelah mengantar Dion dan Rifa, aku segera meelsat kembali ke rumah karena sudah tidak sabar membuka Deviantart page-ku. Kemarin aku submit piece terbaruku. Aku ingin lihat ada berapa komentar di situ.

Setelah sampai di rumah dan menyelesaikan urusan memarkirkan mobilku di garasi, akusegera masuk ke rumah dan berlari ke kamar. Aku memandangi layar iMac-ku yang sepertinya sudah lama menungguku untuk segera dinyalakan. Dengan berdebar-debar, aku mengakses page-ku dengan internet. Dalam sepersekian detik, page-ku sudah muncul. Koneksi internet cepat memang paling bikin senang. Aku segera mengeklik link comments di page-ku. Aku emndapati beberapa comment memuji yang sangat membangun. Selebbihnya cliche. Lalu ada satu comment yang menarik.

~TreeHugger said:

Indah. Kamu hebat. Aku nggak tau harus ngomong apa. Tapi karya kamu ini bagus banget. Aku tau sekedar kata bagus nggak akan pernah bisa nggambarin seberapa kamgumnya aku sama karyamu. Kamu bener-bener bikin piece ini pake hati. Apa kamu selalu ngelakuin hal yang sama untuk semua artwork kamu??

Aku membalas.

~MyriadPassion said:

Ya. Selalu :D :D

Beberapa hari setelah itu, aku semakin sering bertukar komentar dengan dia. Personalitynya cukup menarik. Selain itu, dia sama-sama orang Indonesia, sama-sama orang Jakarta pula. Dia adalah seorang fotografer. Belom profesional, masih termasuk hobi. Tapi dia sudah kuliah di jurusan fotografi. Kami terus bertukar komentar sampai akhirnya kami memutuskan untuk kopi darat di sebuah kafe yang dekat dengan toko art supplies favoritku.

“Hai, Myriad Passion??”, tanya seorang cowok yang memakai kemeja putih yang lengannya digulung dan dipadukan denagn syal warna hijau setengah abu-abu yang terkesan vintage.

“Ya. Lo??”

“Gue Tree Hugger”

“Oh, maaf, maaf. Gue nggak inget lo mau pake baju apa”, kataku sambil tersenyum malu.

“Gue Bumi”, katanya sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.

“Gue Nara”, aku membalas perkenalannya dan menjabat tangannya dalam sebuah jabat tangan cepat yang penuh arti.

Dia manis. Pipinya cukup berisi. Tidak terlalu jangkung. Standar saja. Perawakannya juga standar. Tidak gemuk tapi tidak kurus. Rambutnya pendek dan ditata dengan gel membentuk spikes. Gaya berpakaiannya juga modis dan tidak terkesan kumal seperti cowok sok keren pada umumnya. Rapi, bersih, dan keren. Tambah satu lagi, manis. Aku tanpa sengaja memperhatikannya dari bawah ke atas, menilai penampilannya. Ketika aku sadar dia sedang meringis ke arahku, aku segera mendongak, kemudian menunduk malu.

“Maaf, aku nggak bermaksud....”

“Nggak pa-pa. Selera gue nggak jelek-jelek amat, ‘kan??”, katanya sambil tertawa kecil.

“Oh, nggak kok. Keren banget. Gue suka”, jawabku refleks.

“Makasih. Lo juga cantik kok. Suka brand yang elit, ya??”, balasnya sambil tersenyum dan melirik ke syal Danny and George fuschia yang aku pakai.

“Um, nggak juga. Bagus aja. Makannya gue beli”, kataku sambil tersenyum.

Kami mengobrol dan melewati sore bersama. Saat warna langit mulai berubah oranye dan merah, Bumi mengajakku pergi ke sebuah kompleks pertokoan. Dia memintaku untuk menjadi objek fotonya. Dengan senang hati, aku mengiyakan ajakannya. Untung hari ini aku berdandan dengan baik. Topi pet dari Chloe yang cocok dipadu dengan kuncir sampingku, atasan BCBG, syal Danny and George, celana jeans dari Lea, dan sepasang sepatu bot Prada. Nggak terlalu buruk, apa lagi ditambah belt dari kulit yang dibelikan pamanku dari Swiss.

Setelah hampir jam tujuh malam, Bumi menagntarku pulang. Dia dijemput supir pribadinya dengan Mercy hitam yang berkilat-kilat. Sepertinya dia memang seorang putra multimiliuner. Bukan berarti aku materialistis. Tapi itu memang kenyataan. Dia punya selera berpakaian yang bagus dan mobil mewah. Tapi tanpa dia membawa semua embel-embel harta itu pun aku sudah merasa bahwa dia orang yang menarik. Dia meniali piece-ku dengan sudut pandangnya. Tidak mengomentari soal proporsi gambar atau apu pun yang menyangkut teknik. Dari komentar-komentarnya, aku tahu, bahwa yang dia sukai dari piece-ku adalah perasaan yang aku tuangkan ke dalamnya. Dia tahu kapan aku menggambar dengan senang, sedih, marah, bahkan bosan. Bagiku cukup dengan melihat komentar darinya, inspirasi baru akan segera datang menghampiriku.

Sejak hari itu, pertemuan kami juga mulai intens. Kadang dia menjemputku ke rumah. Mama sangat senang melihat ada cowok datang ke rumah, mengingat aku belum pernah punya pacar. Terkadng kami janjian di sebuah taman yang dindingnya memang diperuntukkan untuk dicoret-coret para seniman setempat. Kami paling sering bertemu di sana. Kami membicarakan banyak hal. Dia menemaniku membuat sketsa untuk gambar-gambarku dan mengambil fotoku ketika aku sedang sibuk menggambar. Menggoreskan pensil atau pun menghapus. Dia bilang dia suka ekspresiku ketika aku sedang menggambar. Seperti sedang terhanyut dalam dunia yang tidak dapat dimengerti dan dilihat oleh orang lain. Ekspresiku yang jujur dan bahagia. Polos tanpa ada manipulasi. Katanya, ekspresi seperti itulah yang paling cocok dijadikan objek seni baginya. Begitulah, setiap pertemuan kami selalu saja ada hal-hal baru yang menggugah inspirasi kami.

Sejak bertemu Bumi, aku merasa ingin terbang lebih tinggi. Aku ingin memikirkan cita-citaku dengan serius. Untuk itulah aku bertekad untuk mengajak orang tuaku berbicara bersama mengenai universitas tujuanku. RMIT, salah satu perguruan tinggi paling ngetop di Ausie dan universitas yang termasuk jajaran universitas paling mutakhir untuk jurusan desain dan teknologi di dunia. Makan malam hari itu, ketika papa, mama, dan aku berkumpul aku memulai pembicaraan tentang RMIT. Sebelumnya aku sudah menelepon Bumi dan minta saran darinya. Jadi aku merasa lebih percaya diri. Awalnya hanya sebuah pembicaraan ringan mengenai apa itu RMIT. Kemudian aku mengarahkan pembicaraan ke jenjang yang lebih serius. Papa dan mama akhirnya mau menanggapi. Keduanya setuju-setuju saja dengan pilihanku. Tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh. Ada suatu ganjalan tertentu yang terlihat di sudut mata kedua orang tuaku. Sudah kutanyakan apakah ada masalah. Tapi keduanya menyangkal. Akhirnya aku memutuskan untuk percaya pada mereka.

Mulai hari ini, aku harus belajar lebih keras. Tekadku sudah bulat. Demi cita-citaku. Tidak sekadar menjadikan menggambar sebagai hobi. Tapi sebagai sesuatu yang lebih. Untuk diriku sendiri, orang tuaku, mengharumkan nama bangsaku, dan Bumi. Semua yang sudah berjasa dalam hidupku. Utusan-utusan Tuhan yang sudah membantuku untuk survive di dunia ini. Di sela-sela kegiatan belajarku, aku membuat sketsa piece terbaruku. Judulnya “Terbang Lebih Tinggi”. Sepasang sayap. Untukku. Aku inginmenuangkan tekadku dalam sebuah karya nyata yang visual. Aku juga sudah menunjukkan sketsanya pada Bumi dan membawa MacBook Air-ku setiap kali janjian dengannya. Seperti biasa, sambil ngobrol kami mengerjakan sesuatu.

Hari itu, Bumi tampak pucat.

“Lo sakit??”, tanyaku.

“Hah?? Nggak kok. Cuma agak kecapekan aja”, jawabnya sambil tersenyum.

cerpen

Previous post Next post
Up