title: 心中 [shinjuu]
chapter: 4
author: 清志 -kiyoshi-
band: the GazettE
pairs: ReitaxRuki, ReitaxOFC
rating: PG-15
genre: romance/yaoi/incest/angst/suicide
summary: Begitu mengetahui kedatanganku, ia pun menoleh ke arahku sambil menyunggingkan senyumnya yang selalu membuat jantungku berdegup cepat.
disclaimer: Entah kenapa saia GILA sekali dan akan terus setia dengan pairing konyol ini XDDDDD *digaplokin*. REITUKI is OURS ne~~~ YOSHOOOO!!!!! XDDDDD
Author’s note: Gomen banget saia sempet lupa untuk meneruskan fic ini m(__)m *sungkem ma para reader sekalian*. Mungkin sambungan kali ini terkesan agak terlalu dipaksakan karena saia ingin menyelesaikan fic ini segera, gomen ne I can’t make NC scene m(__)m. Tapi walaupun begitu saya berharap semoga kalian suka ^^
+++++
Aku melihat jasadnya yang sudah tak bernyawa tergeletak bersimbah darah di depanku. Tepat disampingnya ada seonggok tubuh yang sangat kukenali dengan tubuh berlumuran isi kepala yang tercecer ke mana-mana. Ya seonggok tubuh yang tergeletak itu itu adalah milikku.
Apakah aku sudah mati?
Hal yang telah kami rencanakan beberapa hari yang lalu ini pun akhirnya terlaksana. Kami berdua telah meninggal setelah bersama-sama melompat dari gedung atap sekolah kami. Dengan perlahan aku perhatikan dua buah tubuh manusia yang tidak bernyawa itu dari balik pandangan mataku yang terasa sangat sayup saat ini.
Pemandangan yang menyedihkan. Tubuh kecilnya yang putih telah berubah menjadi biru, darah yang keluar dari kepalanya seakan mewarnai rambut pirangnya, dengan tubuh tertelungkup wajahnya pun tertutup dinginnya aspal sekolah, yang tampak darinya hanyalah secuil senyuman yang bisa terlihat dari samping wajahnya.
Namun ketika kumenoleh ke samping aku tidak merasakan keberadaan dia. Disampingku tidak ada siapa-siapa saat ini. Ada dimana dia sekarang?. Sudah kucari-cari dirinya di berbagai pelosok tempat jasad kami berada ini. Tak tampak sedikitpun bayangan dari rohnya yang melayang-layang di dekatku saat ini.
“Ruki!”. Aku mencoba memanggil namanya, berharap semoga kami masih bisa bertemu walaupun aku tidak bisa menyentuh jasad kasarnya. Aku mencoba mencari keberadaan dirinya. Aku pun coba memutari gedung sekolah ini, kupandangi setiap sudut yang ada di sekolah, tapi aku tidak menemukan sosoknya, aromanya pun sama sekali tidak tercium di hidungku.
Sekelebat aroma yang taka sing bagiku tercium dari dari arah tangga menuju atap. Begitu kubuka pintu atap itu kurasakan aroma dari tubuh itu tersebar dari beberapa meter di depanku, tampak sesosok bayangan yang berdiri di pinggiran senderan atap. Bayangan putih itu menoleh kepadaku padaku, kucoba mendekatkan pandanganku, dan begitu kupastikan wajah tersenyum itu dengan pandangan sayup ini, aku yakin itu adalah dirinya.
+++++
Ingatanku kembali terbayang pada masa itu. Masa di mana ia belum pulih terhadap sakitnya. Saat ketakutan akan peristiwa itu masih menjelajari pikiran dan akal sehatnya. Adik kecilku yang tampak selalu ceria itu tampak sudah kehilangan semangat hidupnya. Ketakutan terbesarnya saat itu mungkin bukanlah penyakit keturunan yang menggerogoti hidupnya saat ini, ketakutan psikis terhadap kekerasan yang dialaminya beberapa bulan yang lalu.
Malam itu tubuhnya masih bergetar tidak karuan, nafasnya pun masih terbata-bata, dengan ragu akupun mulai menyentuh tubuhnya. Kudekap erat tubuh kecilnya yang memang sangat rapuh dengan perlahan. Dan tak terasa dadaku mulai berdebar lebih kencang dari biasanya, aku pun bisa merasakan debaran jantungnya yang berada tepat di depan dadaku. Berkali-kali aku mencoba untuk menahan keinginan ini, sudah lama aku ingin sekali memeluknya. Kurasakan nafasnya berdesah pelan di bahuku, aku bisa merasakan tangannya yang tidak berhenti menggigil itu masih terus mendekap erat punggungku.
“Benar tidak apa-apa?”
“Tidak” Jawaban singkat itu terdengar pelan di telinga kiriku. Aku sadar aku memang mencintainya. Walau sempat ragu, tapi saat ini aku tidak peduli dengan persamaan gender yang terus menambah keraguanku. Aku ingin terus menjaganya seperti ini. Dengan wajah sedikit memerah ia membisikkan sesuatu ke telingaku.
“Kakak jangan pergi, aku mohon tidurlah disini”. Suaranya terdengar sangat kecil dan aku pun bisa merasakan ketakutan yang masih mendera dirinya. Tak bisa dipungkiri saat ini aku merasa libidoku bertahap menaik seiring dengan keberadaannya di sampingku. Perasaan ingin melepas hal itu pun seakan terus menguap. Ku terus dekap tubuhnya, getarnya yang tampak sedikit mereda itu pun memancingku untuk lebih menyentuhnya lebih dalam. Akupun lalu mengecup keningnya lalu tengkuk lehernya dengan perlahan. Lehernya sangat kurus, kulit putih yang membungkus lehernya pun berubah menjadi merah setelah itu. Tapi tubuhnya masih menunjukkan penolakannya terhadap kehadiran seseorang di dekatnya, getaran itu malah semakin kurasa.
“Kenapa berhenti??”
Kuhentikan segala macam emosiku saat ini. Aku harus menyadari bahwa tidak seharusnya aku membuatnya merasakan ketakutan untuk kedua kalinya. Dan saat ini aku rasa keadaannya sudah mulai membaik untuk menceritakan kejadian pada hari itu. “Apa yang kau rasa saat itu, Ru?”
Setelah mendengar pertanyaan itu ia menjadi diam sesaat. “Sakit….”
“Maksudmu??”
“Benar kata kakak. Orang dewasa itu….. memang menyeramkan”. Kemudian aku mendengar berbagai macam hal yang telah ia alami pada hari itu, minuman kesehatan yang dicampur obat lain, ruang gudang tempat menyimpan anggur, kelemahannya terhadap ruang tertutup yang gelap. Anak seusia kami memang tidak terlalu mengerti apa yang ada di pikiran orang dewasa. Hari itu Okada-shi seperti biasa menyuruh Ruki untuk mengembalikan anggur yang belum sempat dipakai ke gudang bawah tanah restoran. Malam telah larut, tidak ada satupun pegawai yang berada di sekitar gudang itu. Lalu karena kelengahannya, terbukalah kesempatan yang membuat tangan kotor orang tua itu dengan seenaknya menyentuh dan menjelajahi tubuhnya dengan seenaknya. “Aku tidak bisa bersuara kak… Sejak kecil aku sangat takut dengan ruangan sempit yang gelap”. Dia mendekap erat mukanya dengan kedua tangannya, ia menelungkupkan badannya yang bergetar di kedua lututnya. Orang itu telah dengan bebas menjamah tubuh kecilnya dengan kelemahannya yang takut dengan kegelapan. Peluapan libido dari orang yang tidak bertanggung jawab itu berulang kali merobek rasa ketakutan yang menjalar di setiap inchi tubuhnya. Rintihan kesakitan dari tubuh kecil yang tampak tak berdaya pun tak terdengar terkikis oleh berbagai macam perasaan ketakutan. “Saat itu… aku merasa.. sangat takut….”
“Cukup… aku mengerti. Maafkan aku….”. Aku merasa bersalah telah menanyakan hal itu. Tubuhnya masih bergetar sambil memeluk kedua lututnya, aku hanya bisa duduk diam di sampingnya, meski ingin sekali kumendekapnya, tapi hatinya yang mungkin masih belum bisa menerima orang lain menyentuh dirinya membuatku hanya bisa duduk diam di sampingnya. Meski aku tahu, ia pun mengetahui tangan yang ingin menyentuhnya ini sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperdalam lukanya. Tapi saat ini aku hanya ingin menemaninya. Menemani orang yang seharusnya bisa aku lindungi pada hari itu. Aku merasa sangat kecewa dengan diriku yang pada saat itu tidak bisa menjaganya. Tapi semua telah terjadi. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menemaninya, membuatnya merasa bahwa ia tidak menanggung kesedihannya sendiri. Aku ingin membuat senyumannya itu kembali menghiasi raut mukanya yang redup.
+++++
Di atap sekolah siang ini tidak terdapat seorang muridpun yang berada disini, hanya ada aku yang sedang terduduk di pojokan tempat yang teduh di atap ini. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas, matahari bersinar terik tepat di atas kepalaku. Tepat memasuki pertengahan bulan Juni, cuaca di sekitar Tokyo memang menjadi sangat tidak bersahabat. Udara musim panas yang cukup lengket dan teriknya panas matahari ini membuat teman-temanku menghabiskan waktu di tempat yang lebih sejuk untuk mengisi waktu istirahat mereka. Namun karena sudah terbiasa dengan tempat ini, aku selalu menyempatkan diriku untuk merasakan sejuknya angin di tempat ini, walau aku memang takut ketinggian tapi karena aku menyukai tempat yang sunyi jadi aku senang berada disini.
Sudah dua bulan peristiwa yang menimpa adikku itu berlalu.
Tidak butuh lama untuk menyembuhkan luka fisik di tubuhnya akibat kecelakaan yang menimpanya setelah itu, namun tampaknya akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghilangkan trauma psikisnya. Aku yang bertekad akan mengembalikan senyumannya itu akan terus mencoba untuk berada di sisinya sampai kapanpun.
“Kak Rei, ternyata kau disini” Sebuah suara terdengar menyapaku dari arah pintu atap ini, begitu aku menengok ke belakang aku melihat seseorang yang sudah sangat aku kenali sedang berjalan mendekatiku.
“Ruki?!”
“Hhh… Aku sudah mencarimu kemana-mana”
“Eh, kau mencariku? Memangnya ada apa??” Aku pun bangkit dari dudukku, lalu berdiri di sampingnya dan mengacak-acak rambut emasnya dengan tanganku, sebuah kebiasaan yang sudah biasa aku lakukan.
“Hei, hentikan tangan kakak berkeringat!”
“Hahaha… kau juga, tolong hentikan memanggilku kakak”
“Tapi kau memang kakakku”. Hari ini aku sangat senang melihat Ruki sehat seperti ini, wajahnya tampak jauh lebih baik dari satu bulan yang lalu, ia pun terus memperlihatkan senyum manisnya sejak pagi hari ini. Aku benar-benar tidak bisa menahan diriku lagi, sudah berkali-kali kugigit bagian bawah bibirku ini. Hari ini ia benar-benar sangat manis tanpa kacamata tebalnya yang telah retak semenjak kecelakaan itu.
“Iya itu benar, tapi aku sangat menyukaimu Ru…”. Lalu dengan langkah yang penuh keragu-raguan aku mendekat padanya, dengan hati-hati aku pun mengecup pipinya yang seputih susu itu.
“Rei….” Ia pun terkaget dengan hal yang baru saja kulakukan. Mukanya tampak begitu merah, aku benar-benar suka dengan ekspresinya yang seperti ini. “Ta… tadi Uke-sensei memanggilmu ke ruangannya”
“Ah… aku lupa menyerahkan tugas musim panasku. Aku akan segera kembali, kau jangan kemana-mana!”
“Iya”
Dengan segera kulangkahkan kakiku menuruni anak tangga dan menuju ruang guru yang berada di lantai satu. Uke-sensei yang sudah jenuh menungguku hanya memberikan tatapan sinisnya sambil berpura-pura mengerjakan tugasnya. Butuh waktu lama untuk meyakinkan sensei menerima tugasku yang sudah sangat telat sekali dikumpulkan. Dan begitu kembali ke atap, aku masih melihatnya berdiri tegap di pinggiran atap. Padahal matahari saat ini benar-benar tepat berada di atasnya, tapi seakan tidak perduli dengan hawa panas itu ia masih tetap berdiri memandangi langit di depannya.
“Kau sudah kembali. Bagaimana Sensei mau menerima tugasmu??”
Begitu mengetahui kedatanganku, ia pun menoleh ke arahku sambil menyunggingkan senyumnya yang selalu membuat jantungku berdegup cepat. Kulangkahkan tubuhku mendekatinya, kuangkat dagunya dengan perlahan. Dan tanpa kusadari, untuk pertama kalinya aku pun menciumnya di siang hari mushiatsui ini.
+++++
(Ruki’s pov)
Hari ini seperti biasa aku berjalan sendirian di koridor sekolah. Dengan berjalan tanpa tujuan, kucoba menikmati rentetan pemandangan yang tiap hari kulihat ini. Segerombolan anak perempuan yang berkumpul tepat di samping lapangan sepak bola, tampak begitu histeris, mereka berdiri berderet di pinggir lapangan sambil meneriakkan yel-yel kepada pemain-pemain klub kesayangan mereka. Sekumpulan yankee sekolah kami yang biasanya berkumpul di pojok parkiran sepeda pun tampak sedang asyik dengan obrolan mereka seperti biasa. Lalu tampak pula beberapa anak dari klub olahraga yang sedang berlatih untuk mempersiapkan inter high, suatu ajang bergengsi yang sangat ditunggu bagi para atlet sekolah itu untuk menunjukkan kemampuannya.
Aku mendenguskan nafasku sejenak. Pemandangan di sekelilingku tampaknya tidak berubah, semua orang tampaknya sangat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Hanya aku saja yang masih berdiri di sini tanpa arah. Seakan tidak punya tujuan, aku hanya mencoba menghalangi kenangan burukku di masa lalu dengan terus bertumpu kepada seseorang. Orang yang seharusnya sangat tidak pantas untuk kucintai.
Tapi saat ini dia ada dimana ya?. Aku tidak melihatnya semenjak jam istirahat dimulai. Aku pun tidak melihat keberadaannya di klub. Dengan sengaja aku menghentikan langkahku tepat di tangga menuju lantai atas. Waktu telah menunjukkan pukul tiga. Ingatanku kembali pada waktu sentuhan manisnya menyergap indra perasa ku, dengan kehangatan mengecup bibir keringku yang terasa selalu pahit. Pikiranku pun menjadi kacau, ingin sekali aku langkahkan kakiku ke atap gedung ini, aku tahu dia pasti berada di sana. Aku ingin sekali bertemu dengannya, sudah beberapa hari ini aku tidak mampu untuk melihat mukanya semenjak kecupan mendadak di atap pada waktu itu.
Tapi begitu aku sampai disana, aku tidak melihat siapapun berada di atap siang ini. Udara memang terasa lebih panas dari udara kemarin, tapi langit biru tanpa awan, hembusan angina yang sejuk tampak membiusku untuk tetap berada di sini. Dari kecil aku memang berdiri diam memandangi langit seperti ini.
“Hei, tunggu sebentar!”. Aku mendengar suara wanita serta derap langkah kaki yang bergerak mendekati pintu atap. Saat pintu itu terbuka, secara refleks aku pun merapatkan tubuhku ke pojok atap yang terhalang penampung air raksasa sekolah kami.
“Apa? Kenapa kau bilang begitu?”. Aku pun melirik ke arah datangnya suara yang setengah berteriak itu. Rasanya aku memang mengenal, suara wanita itu, dan begitu wajahnya terlihat aku langsung mengenali sosok itu, Miyashita Ayano, teman sekelasku.
“Apa alasanmu untuk mengatakan hal itu?”
“Aku serius. Aku rasa aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita”. Tampaknya terjadi pembicaraan yang serius antara dia dengan pria di belakangnya. Dan suara laki-laki yang terdengar itu tampak begitu familiar di telingaku. Tidak salah lagi pria itu adalah kakakku.
“Kalau begitu, apa kau bisa katakana alasannya? Selama ini aku rasa hubungan kita baik-baik saja. Aku sudah tidak pernah menemui Yuu lagi, hatiku sekarang hanya untukmu. Lalu kenapa kau tiba-tiba ingin meninggalkanku?”. Suaranya terhenti dengan isakan tangis yang terdengar setelah itu. Kakakku kemudian mengusap kepalanya dengan lembut dan mendekapnya erat ke pelukannya. Dan entah kenapa dadaku terasa sakit saat melihatnya.
“Maaf, Aya. Bukan maksudku ingin menyakitimu seperti ini”
“Lalu… kenapa? Katakan alasannya padaku, Rei??”
“Aku hanya….”
“Hanya apa??”
“Aku sudah tidak men……”
“Sudah cukup!”
“Eh?”
“Cukup! Aku tidak mau mendengar alasan itu. Aku tahu, adikmu kan alasannya?”
“Hee… mak… maksudmu?!”. Aku pun terhentak saat mendengar ucapan Miyashita barusan. Apa hubungannya denganku?. Apa mungkin… apa mungkin kakakku memang… Ah mustahil.
“Aku tahu yang ada di pikiranmu, Rei. Kau mencintainya kan??”
“……………”
Sambil menahan nafas, aku menunggu jawaban yang keluar dari mulut kakakku segera. Namun setelah itu tidak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya. Ia tidak mengatakan apa-apa, suasana pun menjadi hening seketika. Jantungku berdegup begitu cepat, perasaan kakakku memang selalu tersirat di wajahnya karena ia memang orang yang mudah di tebak. Dan sikapnya yang diam saat mendengar pertanyaan itu ikut membenarkan akan pernyataan yang Miyashita lontarkan padanya. Namun akankah diam itu selalu menunjukkan persetujuan. Keraguan itu terus merasuki kepalaku, perasaanku pun menjadi semakin beradu antara senang ataupun tidak. Aku memang mencintai kakakku, dialah yang menjadi sinar dalam kehidupanku, dan secara tidak kusadari aku menumpukan hidupku padanya. Namun akankah kebahagiaan ini harus merusak kebahagiaan orang lain. Kehidupanku pun tampaknya akan berubah kea rah yang tak terduga sejak saat itu.
To be continue~~