Semenjak tadi hujan masih tak bosan mengguyur Tokyo. Pertengahan musim panas, mereka memasuki musim hujan. Musim yang sedikit merepotkan karena akan susah keluar rumah, atau bahkan bisa dibilang musim bencana. Banjir dan topan bisa dikatakan bencana bawaan musim hujan. Makanya, alih-alih mereka bisa bersenang-senang di luar karena tak ada matahari menyengat, mereka hanya bisa mendekam di dalam rumah sembari menanti keadaan aman.
Biasanya Daichi rebahan di depan televisi rumahnya sambil mengunyah senbei ketika derai hujan terdengar bergemuruh menyerang atap rumahnya. Berisik, tapi di satu sisi menyenangkan.
Sayang mereka belum boleh pulang ke rumah masing-masing karena meski libur musim panas sudah di depan mata, sekolah mereka belum berakhir. Setidaknya masih bisa bersyukur bisa langsung meninggalkan asrama sehari setelah wali kelas mengucapkan 'Selamat libur musim panas, dan jangan lupa kerjakan PR kalian!'. Riko menatap hujan dari dalam jendela kelasnya. Musim panas tahun depan mungkin akan berbeda.
Kemudian, seperti biasa, saat Riko sadar, Daichi kembali menghilang.
♧ ♧ ♧
Musim panas berlalu begitu saja hingga mendekati ujungnya. Pun bukan berarti hujan benar-benar menyingkir dari Tokyo hingga saat ini. Untuk kesekian kalinya, sepasang mata itu menerawang dari balik jendela. Bel pulang sekolah sudah terdengar beberapa saat yang lalu. Lapangan terlihat kosong karena hujan yang masih mengguyur. Hawa dingin perlahan menyergap, pertanda ia harus segera berganti seragam.
Keadaan sekolah lumayan sepi, meski tak sesepi biasanya. Masih terdengar suara beberapa anak yang tengah bersenda gurau, juga terlihat segelintir yang berjalan melewati koridor. Sang gadis Kuroda menyandarkan punggungnya pada kursi, menoleh ke koridor, lalu menghela napas panjang.
Kelasnya kosong. Namun tas milik pemuda yang paling akrab dengannya masih menggantung di mejanya. Riko berdiri, kemudian melangkah perlahan sembari jemarinya ia seret di atas setiap meja yang ia lewati. Terakhir, gadis itu duduk pada kursi yang selalu ditempati sang pemuda.
Ia membungkuk di atas meja, menyembunyikan wajahnya di tengah lipatan kedua tangan, kemudian memejamkan mata.
♧
Entah berapa lama gadis itu terbawa masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Sepasang matanya mengerjap pelan, tersadar bahwa area sekolah sudah benar-benar sepi, namun hujan masih setia menemani di luar sana.
Ada perasaan kaget sewaktu ia menolehkan kepalanya dan mendapati Kagawa berdiri koridor, terdiam dan memerhatikannya lekat-lekat. Walau kaget, Riko tak berteriak atau semacamnya. Hanya napasnya yang tertahan dan matanya yang membeliak. Beberapa detik kemudian, bahunya kembali normal. Riko pun tak mengucapkan sepatah kata pun.
Telapak tangan lebar milik Daichi yang menempel pada jendela kelasnya, diam-diam mengundang Riko untuk melakukan hal yang sama. Ia pun menempelkan tangannya di kaca jendela, tepat pada tangan Daichi yang biasa ia genggam dan merasakan hangatnya. Namun saat ini, hanya dinginnya kaca yang ia rasakan.
Pula saat Daichi mendekatkan wajahnya pada kaca, Riko turut mendekat.
Mungkin saat ia mereka terlihat konyol. Tapi siapa peduli? Tak ada yang melihat. Pun Riko merasa sedikit sepi karena hubungannya dengan Daichi yang bisa dibilang lambat sekali. Mereka masih sama-sama malu bahkan untuk berciuman sekalipun.
Terbawa suasana, kedua bibir muda-mudi ini sama-sama menempel di kaca. Mereka sama-sama merasa dingin, namun juga hangat. Di luar, hujan seakan bersorak-sorai bahagia. Mungkin hujan menganggap ciuman lewat kaca itu adalah yang pertama bagi sepasang anak Adam dan Hawa yang tengah dimabuk asmara. Diam-diam, hujan menertawakan gemas.
Disusul kalimat 'Ojamashima~su' pelan yang membuat kedua orang ini terperanjat kaget, hingga rasanya jantung mereka berhenti bekerja.
"N-N-N-Ni-Ni-Sen-Ini-bu-kau-lah-pa-AAAAHHHHH!"
Di koridor, sang kakak kelas berjalan santai sambil tersenyum ringan. Tak tersengar sampai dalam, namun Riko yakin kakak kelasnya itu tengah tertawa pelan. Bukan tawa mengejek atau semacamnya. Seperti tawa ringan yang memberikan dukungan secara sembunyi-sembunyi. Tapi tetap saja Riko tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah apel.
"Tak apa, santai saja." Riko mendengarnya samar-samar.
Tatapan Riko mengikuti, sampai tepukan pelan didaratkan pada bahu Daichi yang terdiam tak bergerak seperti patung. Pemuda berambut hitam sedikit mengangkat bahunya terkejut, lalu bisikan 'ganbare yo' menyusup ke telinganya di tengah berisiknya hujan yang tengah bertengkar dengan atap sekolah juga tanah.
Lambaian tangan serta senyum dari gadis yang berjalan di sisi Nishiyama-senpai menyapanya. Riko hanya bisa menunduk singkat dan kembali terdiam. Ia tak akan menyangkal jika ia iri melihat pasangan-pasangan yang terlihat begitu akrab dan santai. Seperti kakak kelasnya yang lewat barusan. Dari dalam kelas, Riko terus menatap sosok mereka yang perlahan menjauh dan menghilang.
"Riko."
Tubuh gadis itu berjengit pelan. Panggilan yang terdengar jelas dengan tiba-tiba tak mungkin mengagetkannya. Pun Daichi yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya membuat jantungnya seakan-akan jatuh ke atas lantai. Ingatan akan kejadian barusan membuatnya gugup dan kikuk, tak tahun harus membalas Daichi seperti apa. Jelas ia terlihat kebingungan.
"Ayo... pulang."
Hening menyusup.
Riko tak mengatakan apapun. Mungkin lebih tepatnya ia terkejut hingga tak sanggup bersuara.
Di depannya, Daichi merengut kecil dengan rona merah yang terpampang jelas di wajahnya. Ada perasaan menggelitik di dada Riko melihat pemuda yang ia sukai ternyata bisa memasang wajah seperti itu. Tak akan ada yang menyangka, Daichi, laki-laki yang gila berkelahi saat SMP, terlihat begitu malu hanya karena ciuman kecilnya dengan sang kekasih tak sengaja dilihat orang. Riko menghela napas panjang. Rasa lega muncul di dadanya.
"... Kutinggal."
"Tu-tunggu, Dai!"
Senyum terbentuk tipis di bibirnya, melihat punggung lebar Daichi dari belakang. Tak apa, ujarnya dalam hati. Meski mereka masih sama-sama bingung dan awkward, ia cukup puas. Tak masalah kalau mereka membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk sama-sama membiasakan diri. Begini saja Riko sudah merasa cukup.
Karena cintanya benar-benar berbalas. Sejak saat itu.
Kuroda Riko © Houmei
13112014