(FIC)Entangled in Spider's Web Chapter 3

Jul 04, 2009 14:42

Entangled in Spider’s Web

By: itachi4ever

Disclaimer: Air Gear dan KHR bukan punya aye? :-“

Rating: T

Warning: OOC (maybe?), shonen-ai

Pairing: AgitoOC (lebih tepatnya OCAgito) *dikepruk*, KazuOC (rikues), KururuIkkiSimca,  MukuTsuna, YamaGoku, DinoHiba

Summary: Karena terjerat di benang laba-laba itu terasa antara nikmat dan menyakitkan-nikmat karena cinta yang diperoleh namun menyakitkan mengingat semua itu bisa jadi hanya ilusi. Air GearXKHRXKuroshitsuji

A/N: Chap tiga, penuh dengan fluff 8Q tapi kenapa kesan Kirinya seme makin keliatan? =)) *dibejek*

Chapter Three: Sky

You said that if you could flap your wings, you would never come back down
You always aimed for that blue, blue sky

Langit...apakah yang dilihat setiap orang selalu sama? Warna biru di atas sana, yang dipenuhi awan-awan putih nan bersih?

Tempat di mana Sang Pencipta menggantungkan segala karyanya, menerangi dan memelihara bumi dan segala isinya?

Tidak. Langit tidak hanya itu.

Just to search for that blue, blue sky
I understand if you fall, but continue to search for the light

Langit...jauh lebih bermakna daripada itu.

Karena Langit adalah satu-satunya yang menahan Kabut dari menghilang menuju kekosongan...

***
“HAINE-SAMA TOLONG AKUUUU~!”

“JANGAN LARI KAU, CEWEK SIALAN!”

BRAKH! BUGH!

“KYAAAN~ HAINE-SAMAAAAA~!”

Hibari Sora sweatdropped sambil menggigit Pocky coklatnya. Really, dia sih sebenarnya tidak masalah-masalah saja tuh mau dunia runtuh di depannya juga. Dan memang sih, dia seperti melihat Armageddon jelas-jelas terjadi di depan matanya. Sekalipun kelas tengah berlangsung, tetap saja ada nanas dan hiu lagi kejar-kejaran. Dan konyolnya lagi, entah kenapa sejak tadi teriakan Kirisa itu...

“Kiri...setres gara-gara apdetan Dogs belum keluar ya?” tanya gadis berambut hitam itu, mengamati bayangan biru dan biru yang terus saja berputar mengelilingi kelas.

“Iya...! Habisnya-” perkataan gadis dengan model rambut nanas itu terputus karena dia harus menghindari tendangan yang mengarah ke kepalanya. “Aku belum dapet cukup adegan Badou sama Haine yang mesra! Ah, wonder of yaoi land! GIVE ME MOAR BADOUXHAINE!!!”

“Se...semuanya...kita kan sedang belajar...” kata Ton-chan dengan sedih, sama sekali tidak berdaya menghentikan ‘pertempuran’ yang tengah terjadi di kelas itu.

Kirisa berputar di tempatnya, melengkungkan tubuhnya ke samping kanan. Sesuai dugaan, ada tendangan yang nyaris saja menghantam perutnya seandainya dia tidak melakukan hal itu. Huff...untung saja dia sudah memakai short khusus di bawah roknya. Seandainya tidak kan...sejak tadi pastilah seharusnya populasi pria di kelas itu sudah tenggelam dalam lautan darah.

Selagi masih menghindari serangan demi serangan yang diterimanya, diam-diam Kirisa tersenyum kecil. Hoh, lumayan juga si pendek ini. Memang sih, di antara Vongola kekuatannya bahkan tidak masuk sepuluh besar. Tapi di dunia luar, seharusnya dia termasuk golongan orang kuat juga. Dan sejak tadi si pendek ini berhasil menyaingi kecepatannya. Hebat.

“Oke, kamu lumayan juga, jadi tak kupanggil chibi lagi!” kata Kiri dengan santai sambil melompat ke atas meja Sora, yang masih saja asyik memakan Pockynya. “Mulai sekarang nickname-mu adalah Chihuahua!”

Chihuahua?

Inumimi khayalan mendadak muncul di kepala Agito, dan seluruh penghuni ruangan terdiam. Diam karena berbagai hal yang berbeda. Ada yang diam karena takut kelas itu meledak. Ada yang diam karena memang tidak peduli dengan situasi saat itu. Tapi ada juga yang diam...karena menahan tawa. Really, sebenarnya Kirisa itu bodoh atau terlalu polos sih...?

“Polos my ass,” dengus Sora sambil membuang kotak Pockynya ke luar jendela. “Di saat senyum si nanas itu bisa dibilang polos, kujilat hidungku.”

“Oya? Jahat sekali kau Sora...” kata Kirisa sambil melompat turun dari meja, tetapi masih tetap nyengir lebar yang amat sangat mencurigakan. Khas para illusionist dari Vongola? Memang. Sepertinya cengiran itu sudah turun-temurun, tidak peduli generasi apapun. “Aku kan bisa juga senyum polos. Smile, smile, begini kan?”

“Senyum begitu dibilang polos, terus senyumnya Lucifer juga polos gitu?”

Keduanya sepertinya terlalu sibuk mengobrol, hingga sama sekali tidak sadar kalau sudah ada aura setan yang mendekati mereka. Tepatnya, mungkin bukan tak sadar, tetapi sudah biasa. Jangan lupa, kakak dari teman akrab itu keduanya mampu mengeluarkan aura pembunuh yang bahkan melebihi siapapun di dunia. Sudah terbiasa, kenapa harus takut?

Masalahnya pertahanan mereka yang jebol!

“SUMPRIT!” teriak Kirisa sambil melompat ke belakang, menghindari tendangan berikutnya dari Agito. Momentum akibat gerakan itu pun dia manfaatkan untuk meloncat ke arah pintu, meninggalkan kelas. Dimarahi Reborn karena kabur kelas pada hari pertama, masa bodoh deh! Yang penting kan, nyawa dulu selamat.

“HOI JANGAN KABUR!” dan si hiu pergi menyusul.

Seisi kelas langsung sunyi. Tidak ada yang tahu mau berbicara apa. Sora menghela nafas panjang, membaringkan kepalanya di meja. Dan tidak sedikit juga siswa yang mengikuti langkahnya. Bahkan si sarang burung gagak yang dikenal dengan nama Minami Itsuki telah sejak tadi mengeluarkan orkestra riang yang lebih dikenal oleh makhluk awam sebagai...orokan.

Dengan perginya kedua penyebab gempa yang sejak tadi terjadi, mungkin pada akhirnya kedamaian bisa juga mereka dapatkan.

***
“Mukuro? Mukuro kamu di mana?”

“Di sini, Tsunayoshi-kun.”

Sawada Tsunayoshi merengut kesal, wajahnya segera menekuk begitu mendengar jawaban Mukuro. Padahal, kekasih hatinya itu sudah ada di depan mata, duduk di sofa dengan santai sambil membaca buku kecil di tangannya. Oh la la, kenapa Don Vongola itu tidak nampak senang?

“Jangan main-main. Aku tahu kau yang ini cuma ilusi. Kamu yang sebenarnya ada di situ kan? Di toilet.”

Terdengar suara tawa yang pelan dan pintu toilet terbuka. Dari dalam sana, keluarlah Mist Guardian dengan rambut biru tua itu. Dia tertawa lagi melihat Tsuna yang masih merengut. Sementara yang ditertawai? Oh, malah tambah merengut sekarang. Yeah, kesal juga kalau ditertawai terus menerus seperti itu, bukan? Apalagi oleh...kekasihmu, yeah.

“...selalu mampu menemukanku ya, kau itu.”

“He?”

“Oya? Kau tidak tahu?” tanya Mukuro sambil berjalan melewati Tsuna, melangkah menuju sofa dan kemudian mengistirahatkan dirinya di sana. “Sekalipun orang dengan jenis flame Mist pada umumnya licik dan sering menipu, selalu menggunakan ilusi untuk menyembunyikan kebenaran, pada akhirnya mereka hanya ingin...”

Seekor burung kecil terbang melalui jendela ruangan yang terbuka. Burung itu melesat ke arah Mukuro dan hinggap di jari pria itu yang terulur. Dia menatap sedih hewan kecil di tangannya itu, tersenyum pahit.

“...mereka ingin ditemukan.”

***
“Ah tidak! Aku terkejar!” teriak gadis dengan rambut biru tua model nanas itu.

Agito menggeram pelan, benar-benar sudah kehabisan kesabaran. Really, cewek itu kok mirip benar dengan kecoak ya? Dikejar, dibunuh berkali-kali juga tetap saja tidak mati. Padahal Agito sudah benar-benar ingin mencabik wajah yang sejak tadi cuma tertawa goofy itu. Dan ketika dia berhasil mencapai gadis itu sekali lagi, dia pun mengayunkan tinjunya...

POOOF!!!

...dan cewek itu kembali menjadi asap.

“FUCK! ILUSI LAGI?” teriak Agito kesal ketika menyadari kalau dia sekali lagi salah sasaran. “ITU CEWEK APAAN SIH? DARI TADI NGGAK ADA BENER-BENERNYA!”

Tanpa disadarinya, di balik sebuah dinding, orang yang sejak tadi ingin diterkamnya justru sedang berdiri dengan santai. Gadis berambut biru tua itu dengan tenang menjilat permen lolipopnya, menyender di dinding sambil perlahan duduk di lantai. Matanya menerawang jauh ke atas, jauh dan jauh. Tangannya diulurkan, seolah ingin menggapai apa yang ada di balik langit itu.

“Apakah kau mampu menemukannya? Atau kau sama saja dengan yang lain?”

Bisikan kecil itu terasa seperti hujan di musim panas; sesaat dan tidak kembali lagi.

***
“Ditemukan? Apa maksudmu?”

Pria itu hanya tersenyum misterius, membiarkan burung di tangannya terbang lagi dan keluar melalui jendela yang sama. Dia lalu melambaikan tangannya, memberikan sebuah gestur yang meminta agar Don Vongola itu mendekat. Tsuna terdiam, tetapi kemudian menggerakkan kakinya. Dia pun duduk tepat di sebelah Mukuro, membiarkan pria yang lebih tua itu merangkul bahunya.

“Tsunayoshi-kun, kamu tahu kan seperti apa kabut di pagi hari? Dia akan hilang ketika matahari bersinar, lenyap begitu saja tanpa bekas,” ujar Mukuro, mulai bercerita sambil menatap jauh ke luar sana. “Itu fenomena alam yang normal. Dan herannya, itu juga terjadi pada kami semua.”

“Tapi kamu tidak lenyap, Mukuro,” potong Tsuna, menggenggam erat tangan pria itu yang tengah merangkulnya. “Kamu tidak lenyap. Kamu ada di sini.”

“Hei, aku belum selesai bicara,” balas Mukuro sambil tertawa pelan, senyumnya yang biasa teruntai di wajah. “Kenapa aku tidak lenyap? Jawabannya mudah. Seperti kabut yang tidak lenyap karena ada langit yang melingkupinya, akupun tidak menghilang karena ada Langitku.”

Wajah Tsuna memerah mendengar perkataan Mukuro. Dia pun menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu membenamkan wajahnya di dalam tangannya. Tingkahnya ini mengundang alis mata Mukuro yang naik sebelah, membuat pria itu tersenyum bingung. Ha? Entah apa yang terjadi pada Tsunayoshi setelah dia mengatakan itu. Heran, pemuda itu cepat sekali dibuat malu.

“Uh...bicara seperti itu...kau membuatku merasa seperti seorang wanita...” gumam Tsuna malu-malu. “Tapi...biar bagaimana juga...semuanya kan sama. Semua di Vongola menganggapku sebagai Langit-”

“Tidak sama. Langit yang kumaksud berbeda,” kali ini Mukuro yang memotong perkataan Tsuna. “Setiap orang memiliki Langitnya masing-masing. Tidak mungkin bisa sama.”

***
“HAHAHA! KALI INI AKU PASTI MENANG! FULL HOUSE!” teriak Ikki sambil membantingkan kumpulan kartu di tangannya ke meja, tampak puas dengan hidung serba mengembang.

Onigiri dan Buccha pun terdiam dengan mulut menganga, sama sekali tidak punya kesempatan menang karena memang kartu di tangan mereka sama sekali tidak ada yang bagus. Para cewek lainnya hanya menonton apa yang disebut ‘pertempuran laki-laki’ itu dari samping, tidak mengerti kenapa main kartu biasa bisa sampai disebut pertarungan, yeah.

Si ‘bayangan’, Kazu, pun pada akhirnya tersenyum yakin, menggosok hidungnya sambil meletakkan kartu di tangannya ke meja. Dan kali ini wajah yang bengong ria bertambah satu, karena Ikki juga tampak shock. Ya iyalah shock, lha wong dia jelas-jelas kalah oleh Kazu.

“Heh, maaf ya Ikki. Tapi...punyaku Straight Flush!” kata Kazu dengan senang, puas karena pada akhirnya berhasil mengalahkan Ikki. “Hahaha! Tidak ada lagi yang menang kan? Jadi kalian semua stri-”

“Tidak, kau yang strip,” potong gadis berambut hitam yang tengah melemparkan kartunya ke meja, membuat mereka bersusun secara aturan yang benar-benar menakjubkan. Sekarang? Yay! Nambah satu dagu yang meler sampai ke lantai. Betapa tidak? Rupanya susunan kartu yang dibuat kartu itu jelas-jelas... “Makan tuh, Royal Straight Flush.”

“TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK!!!”

Sora menghela nafas kesal, sama sekali tidak menaruh minat dengan pria-pria di depannya yang mulai ngestrip karena kalah taruhan. Really, dia juga sebenarnya tidak mau main kartu begini, menyebalkan. Tetapi masalahnya Kirisa sendiri juga udah ilang, dia nggak ada temen debat. Tauk dah tu anak lagi pacaran kali. Makanya dia mau-mau saja ketika diajak oleh empat cowok itu main kartu, mumpung nganggur gitu.

Pintu kelas dibuka dengan kasar, dan nampaklah si hiu yang sepertinya sangat kesal. Hm, belum berhasil mendapatkan buruannya rupanya? Apakah benar-benar licin seperti belut kah cewek Varia yang satu itu? Yah, nggak juga sih. Menurut Sora sendiri sebenarnya Kirisa lebih cocok dideskripsikan sebagai lalat buah atau kecoak. Rasanya tadi udah dibunuh, tetep aja ga mati-mati.

“Yoo! Kenapa kau Agito? Buruanmu belum ketemu juga?” tanya Ikki di tengah melepaskan celananya, kepalanya bergerak sedikit karena kena lempar tas bonus dari Ringo. “Emangnya dia sehebat apa sih kaburnya?”

“Dia...pakai...ilusi menyebalkan itu terus...” geram Agito, matanya berkeliaran ke sana ke mari mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pelampiasan kemarahan. “Fuck.”

Sora mengalihkan pandangannya, menatap hiu yang masih marah itu. Mata hitam gadis itu terus mengamati pemuda itu, seolah menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Yah, memang sih kalau orang awam malah justru aneh seandainya dia bisa langsung membedakan mana yang benar, ilusi atau kenyataan, hasil kerjaan para Mist dari Vongola. Tetapi, bukankah orang-orang ini sudah biasa menguak rahasia di balik suatu trik? Bukankah ada banyak cara untuk membedakan ilusi dan kenyataan?

‘Kirisa, sepertinya kau telah salah memilih kandidat...’ pikir Sora sambil diam-diam tertawa melihat cowok-cowok yang strip di depannya.

Tadinya sih Agito masih mau lanjut marah-marah. Mengamuk sepuas hatinya sampai pada akhirnya incarannya yang sesungguhnya berhasil dia dapatkan. Sampai akhirnya dia berhasil mengukir Roadnya di wajah cewek itu. Yeah, sebenarnya kenapa juga dia benar-benar ingin menghajar gadis itu? Tidak biasanya dia seperti ini. Padahal biasanya dia bisa menjaga emosinya, diejek seperti apapun. Oh tunggu, sebelumnya belum pernah ada yang berani menyindir tinggi badannya sih ya, keburu takut duluan.

“Hh...kenapa ya ekspetasi terhadapmu terlalu tinggi?” komentar Sora perlahan, masih mengamati Agito. “Badan pendek. Kelakuan buruk. Membedakan ilusi dan yang benar saja masih tidak bisa. Aku heran.”

“Hah?! Bicara apa kau, cewek?!” tanya Agito kesal, masih geram.

“Yang mau kukatakan adalah, kau terlalu terpaku,” jawab Sora tidak jelas. “Gunakan matamu benar-benar, kau pasti akan bisa menemukannya.”

***
“Dan Gembala itu pun terus mencari domba yang hilang itu. DitinggalkanNya sembilan puluh sembilan dombaNya yang lain dan Ia pergi yang mencari yang sesat itu sampai ditemukanNya...ya?”

Rokudou Kirisa tersenyum, menatap langit sambil menyenderkan kepalanya ke belakang. Dia sekarang tengah berbaring, menikmati langit siang di atap sekolah menengah itu. Seekor burung kecil pun menghampirinya dan hinggap di puncak rambutnya yang berbentuk seperti nanas itu. Dia pun tertawa pelan.

“Akankah kau sama seperti itu? Terus berlari...berusaha menemukanku...mampu menemukan diriku yang sesungguhnya?”

Angin pun bertiup.

“Aku butuh, Nii-san. Aku butuh seorang Langit.”

***
“Karena kau tidak membiarkanku menghilang ke dalam kegelapan itu...”

Pelukan pria berambut biru tua itu semakin erat.

“Ketika aku menghilang, kau mencariku.”

Tatapan sedih itu seperti membunuhnya.

“Kau menemukan aku yang sesungguhnya, kau melingkupi aku dengan kehangatanmu itu. Memberikan aku tempat untuk kembali.”

Tsuna tak mampu menghentikan air matanya.

“Kaulah Langitku, Tsunayoshi. Tapi anak itu belum menemukan Langitnya. Dan Kabut yang tidak menemukan Langit akan lenyap, menghilang tanpa bekas.”

***
 Kirisa menghela nafas panjang. Gadis berambut biru tua itu mengubah posisinya, kini terduduk di lantai. Yah, sepertinya dia terlalu berharap juga sih ya. Entah telah berapa lama dia selalu berusaha melakukan ini. Berkelana kesana kemari, bahkan selama melaksanakan misi-misi bersama Varia. Mencari apa yang dikatakan sebagai Langit itu.

Dia tidak bisa terus seperti ini, dia tahu itu. Dia harus menemukan Langitnya sendiri. Sejauh ini, hanya beberapa orang yang mampu mendobrak pagar ilusi yang dia buat. Tapi semua orang itu...selalu saja menjadi Langit dari orang lain. Ya, bahkan Langit dari orang yang dia sayangi melebihi apapun. Dia memilih mati daripada harus merebut Langit kakaknya.

Apakah kau sanggup menemukan aku yang sesungguhnya?

Langit memerah. Merah yang terpantulkan di bola mata kanannya. Simbol darah, kutukan atas dirinya selama ini. Dia yang berdiri di atas tumpukan tubuh yang tak bersalah. Warna yang seharusnya menyelimuti tangannya. Warna yang tak akan pernah terhapuskan, bahkan hingga akhir dunia pun.

Apa kau akan terus berusaha mencariku hingga kau mendapatkanku?

Secara literal, dia akan menghilang. Ya, Kabut akan menghilang bila tidak ada Langit yang menjaganya. Perumpamaan itu bukanlah berdasarkan jenis Flame seperti Vongola, tetapi makna yang jauh lebih dalam. Tidak peduli Flame apapun, siapapun, apapun juga, seandainya dia mampu mencegah sang Kabut dari menghilang ke dalam kekosongan, dialah sang Langit.

Kaukah Langitku?

“Heh, ketemu juga kau, cewek.”

Matanya melebar melihat pemuda di depannya. Tidak mungkin... Pada akhirnya, dia berhasil ditemukan? Haha. Lucu juga. Justru karena merasa dendam dan kesal, si bocah pendek di depannya ini jadi terus berusaha untuk menemukannya, eh? Tidak ingin membiarkan dia lepas karena ingin membunuhnya, karena ingin membalas perkataannya yang terlalu menyindir?

‘Ah, yang begini tidak buruk juga.’

Dia pun tersenyum, senyum pertamanya yang lepas dari segala kelicikan duniawi. Ya, senyum yang bukan bagian dari topengnya yang biasa. Senyum itu murni, tetapi hanya sesaat saja, karena memang dia tidak terbiasa menunjukkan dirinya yang sesungguhnya seperti itu. Bersembunyi adalah tugas dari sang Kabut, bukan?

Tapi jika di hadapan sang Langit...

Agito terdiam melihat senyum yang ada di wajah gadis itu. Senyum...yang begitu berbeda. Jauh berbeda dengan segala untaian yang pernah dia lihat selama ini. Senyum yang...entah kenapa memberikan suatu perasaan yang asing di hatinya. Aneh, tidak pernah dia rasakan sebelumnya tapi cukup...

...hangat.

“Hahaha! Kau hebat juga, akhirnya mampu menemukanku!” kata Kirisa senang, tidak sadar dengan perubahan ekspresi pemuda di depannya. “Sebagai hadiah, aku tidak akan memanggilmu Chihuahua lagi. Tetapi aku akan tetap memanggilmu...Chibi!”

Ngek.

“JANGAN SEMBARANGAN, CEWEK!”

Kali ini, Kirisa membiarkan Agito menerjangnya, dan dia pun tertawa lepas ke arah langit.

‘Ah, semoga saja pilihanku tidak salah, Nii-san.’

Dan seseorang pun tersenyum melihat dua orang itu, sebelum menghilang bersamaan dengan bertiupnya angin.

***
“Begitukah? Terima kasih banyak atas infomu, Mukuro.”

Reborn mematikan ponselnya. Dia pun tersenyum kecil, mengelus Leon yang bertengger di lengannya. Hmm...sepertinya semuanya berjalan lancar.

“Nah, sekarang yang tinggal hanya...dua orang itu.”

***
Bengong.

Kedelapan...tidak, kesepuluh orang itu terdiam. Menatap bayi di depan mereka seperti melihat hantu? Kenapa? Ah, jawabannya adalah sebuah misteri, tetapi mungkin bisa dimengerti mengingat si Reborn selalu banyak ide yang aneh. Dan ide aneh itu bisa membuat seluruh dunia melompat karena kaget.

“Bi...bilang apa kau Reborn?!” tanya Kirisa shock, menatap tidak percaya Arcobaleno itu.

“Kau dengar aku, Kirisa,” kata Reborn kalem. “Kalian, kau dan Sora, akan dititipkan pada Kogarasumaru itu.”

Oh hell.

TBC

A/N: Yak, chappie ini terlalu banyak fluffnya ah =w=a chapter berikutnya komedi lagi deh 83

PREVIEW FOR NEXT CHAPTER:

“AAAH TIDAK!!! DOUJIN BADOUXHAINE TERBARUKUUUU!!! OOOH TIDAK TIDAK ITU TIDAK BISA DIBIARKAN! RASAKAN KEMARAHAN ONEE-CHAN, CHIBIIIII!!!”

“JANGAN PANGGIL AKU CHIBI, CEWEK BRENGSEK!”

“Rewrite Leisure Command to Battle Command. Combat Mode: Open. BIBIBIBI TAKE THIS! KIRISA’S FURY!!!”

“TID-LEPAS! OI! LEPAS! JANGAN DI SANA-JANGAN DI SINIII!!!”

pairing, air gear, yaoi, mukuro, tsuna, fanfiction

Previous post Next post
Up