Farewell
Author: Meh B-)
Sekilas: Fanfic tentang dua OC kakak-beradik gw di AH, Charles Archard dan Christopher Archard. Setting setelah si Charles mati gara-gara----suatu hal B-) *disambit kentang* Sekalian buat tugas di unit -w-;; Mungkin agak terasa ada brotherly-love? *shrugs* anyway, selamat membaca. Oh iya, dibuatnya buru-buru gegara mau belajar kimia jadi---(yea)
Dulu, dia sendiri yang pernah berucap. Hujan itu mampu membawa pergi segala kesedihan yang ada. Pergi, jauh dan tidak kembali lagi.
Mungkin, karena itukah bahkan saat ini dia tidak dapat merasakan apapun?
Pemuda itu berdiri dalam diam, orb sewarna langit miliknya menatap pualam putih di hadapannya. Hening. Tak satu pun suara keluar dari sela bibirnya, hanya ada hembusan nafas yang sesekali membentuk kabut di udara. Kabut yang dengan mudahnya diterpa oleh hujan, dibawa pergi untuk meninggalkan. Sementara dia sendiri, segalanya hampa. Bukan diliputi kegelapan, bukan diterangi cahaya. Hanya ada suatu kekosongan, sejak tadi.
Kenapa?
Kenapa dia bahkan tidak merasa apapun ketika jemarinya menyusuri ukiran nama itu? Ketika dia berlutut, ketika apa yang kini terpantul di matanya adalah nama yang paling tidak dia duga akan tertera di sana. Nama yang selama ini selalu memberikan gambaran seseorang yang demikian tegar di benaknya-tapi kini, tak akan kembali dan hanya akan terdiam dalam tanah yang dingin.
Kata goresan yang tertera itu: Charles Archard.
Dan yang sedang menatapnya-Christopher Archard.
Dua. Dua yang selama ini selalu diperbandingkan. Tidak pernah dengan terang-terangan, tetapi dia selalu mendengar. Charles itu hebat, Charles itu kepala keluarga yang baik, Charles itu gambaran paling baik dari kata kerja keras. Sementara dia sendiri adalah Christopher yang tidak banyak diharapkan. Yang tidak dapat bersosialisasi dengan baik seperti Charles, yang hanya dapat melamun di sudut ketika yang lainnya bersenda gurau. Lalu dikatakan pula, mereka itu bagaikan mawar dan dandelion. Satu, primadona yang banyak disukai orang. Satu lagi, hidup bebas menurut kehendak hatinya.
Tapi sekarang mawar itu sudah layu. Dandelion, mengapa kau tidak menangis?
Karena dia bahkan tidak tahu harus mengguratkan rasa apa di hatinya saat ini.
Dia tahu, jika mengikut apa yang dikatakan orang, dia seharusnya bersukacita. Tidak akan lagi dia dibandingkan dengan sosok kakaknya yang itu. Tidak akan ada lagi yang memberinya hukuman yang aneh-aneh ketika gagal melakukan sesuatu, dan tidak akan ada lagi intrik aneh di mansion tempatnya tinggal. Segalanya-hanya akan berjalan seperti yang selama ini dia inginkan, bukan? Tidak perlu merasa terganggu lagi. Tidak perlu ada ribut-ribut lagi. Bisa tenang, bisa diam.
Lalu kenapa ketika membayangkan ketenangan itu-hatinya seperti tersayat-sayat?
Ketika membayangkan kalau tawa itu tidak akan didengarnya lagi. Ketika membayangkan kalau tidak akan lagi pundaknya ditepuk dengan terlalu keras setiap kali burung hantu datang untuk membawakan hasil belajarnya. Ketika membayangkan kalau senyum penuh kebanggaan yang pertama kali dilihatnya saat dua lencana disematkan ke jubahnya itu-akan sirna selamanya. Digantikan oleh kenangan dalam foto yang bergerak. Hanya akan terpatri di memori-masa lalu yang tidak akan pernah menjadi masa depan.
Sakit. Rasanya-terlalu sakit.
Nafasnya tercekat. Dia bahkan tidak tahu lagi apakah air yang mengaliri wajahnya ini hanyalah air hujan saja. Dia tidak tahu sejak kapan tangannya mengepal-dan sejak kapan dia berlutut dengan kepala tersandar di pualam dingin yang basah itu. Sejak kapan? Sejak kapan dia terisak? Sejak kapan bola matanya tersaputi oleh air mata?
Sejak dia menyadari bahwa dia sesungguhnya tidak pernah membenci sosok itu.
Karena selama ini, baginya sosok itu adalah suatu panutan. Sesuatu yang selalu ingin ditujunya. Perbandingan yang didengarnya membuatnya menjadikan kakaknya itu suatu contoh-cita-cita yang mungkin tidak akan dapat dicapainya. Dia tidak iri, dia mengidolakan. Mungkin terdengar aneh dan sepele-tapi memang demikian. Sekalipun tidak pernah terucap, dia selalu menghormati sosok itu. Hormat yang membawanya untuk tersipu dengan semburat merah muda ketika mendengar pujian didendangkan, bahkan sekalipun dia bukanlah seorang wanita.
Maka, di saat inilah terucap-seandainya itu semua disadarinya sebelum segalanya terlambat.
Tak ada gunanya lagi dia berkata maaf, ketika orang yang ditujunya tidak akan lagi dapat mendengar. Tidak akan ada gunanya dia mengekspresikan perasaannya selama ini-jika yang sepatutnya mendengar tidak akan lagi tersenyum dan tertawa untuk mengucap terima kasih kepadanya. Untuk apa? Untuk apa dia bahkan berusaha-untuk apa dia meningkatkan kemampuannya dan mencoba memimpin keluarga-jika orang yang paling dia inginkan untuk melihat tidak akan lagi membuka matanya?
Untuk-
-untuk apa?
“Kenapa?”
Kata-katanya. Parau.
“Kenapa kau harus-“
-pergi?
Hujan, turun, membasahi bumi dan seluruh insan yang di sana.
Lantas, semuanya pun terucapkan.
“Maaf.”
“Terima kasih untuk semuanya.”
“Selamat tinggal.”
Karena manusia hanya dapat menyesal, menyadari ketika segalanya sudah terlambat.
Dan ketika hujan itu telah pergi, yang tertinggal hanyalah satu nisan yang menjadi saksi bisu, bersama dengan karangan bunga carnation yang berseri di bawah sinar matahari.
END