Calm Like Buddha

Jan 29, 2011 12:20


Calm Like Buddha

By: itachi4ever

Disclaimer: Naruto bukan saya, judul pun bukan punya saya *menyesap teh bersama Engkong Kuso* Kishimoto terlalu pelit untuk memberikan hak cipta pada saya, apbolbut :|

Rating: T

Warning: OOC, of course

Summary: "Satire: kelucuan dalam hidup yang ditanggapi dengan kesungguhan biasanya digunakan untuk melakukan kecaman atau kritik terselubung." "Sensei, mereka payah sekali!"


A/N: Sedang menyukai satire dan masih ingin tertawa, harap maklum *diseret*. Anggaplah setting sekitar waktu tiga tahun mendatang, ketika Naruto kita telah mulai menjadi senior. Ya, senior *menahan tawa*

Hari itu normal. Tidak ada yang berbeda, dan tidak ada pula yang di luar kewajaran pada biasanya. Ah, tengoklah ke atas para kawan-kawan yang berseri, bagaimana langit masih ada di sana seperti kalanya dia. Dan awan-awan pun bergoyang dengan demikian malas, jauh melebihi kemalasan seorang Nobita ketika disuruh menghadapi pelajaran sekolah. Oke, tolong kunci sedikit jari author yang sedang mengetik ini. Dan berikan dia sedikit indomi, mengingat perutnya lapar sekali, capiche?

Lalu apa yang tengah terjadi di Konoha ketika itu?

Tidak ada. Dengan tumben-tumbennya tidak ada. Hari yang begitu damai, hari yang seolah tanpa kekacauan dan tanpa sedikitpun keluhan. Tidak ada teriakan, dan tidak ada keterkejutan. Yang ada hanyalah obrolan ringan, tawa dan gelak canda yang terjalin dengan demikian mesranya di antara para penduduk. Anak-anak kecil berlarian dengan bahagia, tertawa-tawa dan tersenyum manis. Sementara orang tua mereka menatap dengan penuh kasih sayang, ataupun berdiskusi di antara sesama mereka. Canda. Tawa.

Dan apa yang dilakukan sang guru?

Hatake Kakasih terdiam. Menenggak tehnya dengan perlahan, mengangkat cangkir yang ada di tangannya mendekati bibir, membiarkan cairan hangat itu membasahi kerongkongannya, dengan tidak perlu melalui proses gerakan peristaltik dari para otot-otot yang bekerja di sekitar saluran panjang itu. Membawa glukosa yang siap dicerna oleh para enzim-enzim baik di perut maupun di usus, dan juga karbohidrase yang dikeluarkan oleh pankreas, bukan?

Hentikan, author. Jangan pengaruhi fic ini hanya karena di pangkuanmu tengah ada buku biologi.

Si kakaktua dengan rambut abu-abu pun menghela nafas pelan, sedikit tersenyum menikmati harinya yang begitu damai. Ooh, andai setiap harinya begini. Bisa bersantai hanya dengan meminum teh, tanpa perlu menghadapi bocah-bocah sial yang demikian ribut dan tidak jelas juntrungannya mau apa. Iya, tidak ada yang berteriak memanggilnya sensei, dan tidak ada yang dengan cerewet menyuruhnya pergi untuk mencabut ketajaman dan menumpahkan merah ke atas tanah. Yang ada hanyalah langit untuk ditatap, dan teh untuk diminum. Dan...oh tolong jangan lupakan, buku kesayangannya yang dengan setia menemani di sisinya. Dunia ini bagaikan surga, bisa dikatakan demikian-

"SENSEEEEEEI!"

-bukan?

Berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang nyaris oleng akibat efek guncangan teriakan sejuta umat itu. Argh, nyaris saja tehnya yang berharga tumpah! Padahal dia sudah menghabiskan cukup lama waktu untuk menyeduh dan sekarang masih ingin menikmati dalam ketentraman dan ketenangan yang sebaiknya tidak diganggu gugat baik oleh siapapun yang ingin mengganggunya. Dan tentunya, si pirang bodoh itu menghancurkan segala harinya. Ya ya ya, siapa lagi kalau bukan sosok bocah dengan rambut pirang dan mata biru yang selalu berkilau? Dan jangan lupakan cengiran khas rubah di wajahnya itu.

Mengangkat alis di atas matanya yang tidak tertutupi.

"Ada apa?"

Maka dimulailah neraka itu.

"Sensei, sensei tahu nggak? Itu-anak-anak di area latihan sangat menyebalkan! Mereka itu padahal belum bisa apa-apa, belum mengerti apa-apa, tapi sudah sok-sokan ingin menjajal level yang sama denganku. Hah! Padahal memegang kunai saja masih salah! Tidakkah sebaiknya mereka kita eliminasi saja, sensei? Daripada mengotori daerah latihan yang suci?"

Astaga.

Sejak kapan pikiran si bodoh itu jadi sangat tertutup?

"Lalu?"

Satu tenggakan teh lagi.

"Dan beberapa orang yang kukenal jadi tidak mau lagi berlatih di sana! Itu semua gara-gara mereka! Salah mereka! Huh, ingin rasanya aku mengumpat mereka, mengatakan kalau mereka tidak lebih tinggi daripada kotoran hewan! Benar-benar menyebalkan, mereka itu!"

Dan Hatake Kakashi hanya bisa mengulum sebuah senyum getir.

"Naruto-kutanyakan padamu. Memangnya kamu sendiri tidak pernah menjadi seorang anak yang masih begitu-bagaimana mengatakannya, junior?"

Ada yang terdiam.

Sekali lagi, sang kakaktua hanya meminum tehnya.

"Begini, kau kira apa gunanya akademi itu ada, dan apa gunanya para senior itu ada? Jangan terlalu terpaku deh. Kau sendiri ketika masih menjadi junior tentunya pernah melakukan kesalahan seperti itu sekali ataupun dua kali. Tetapi apakah kau harus dieliminasi dan dibuang hanya karena beberapa kesalahan itu? Tidak kan? Karenanya ada yang namanya pembimbingan. Untuk apa membimbing orang yang sudah jago dari awalnya? Justru karena ada bibit yang masih menunggu untuk berkembang itulah, makanya aku sebagai guru, dan kau sebagai senior, itu ada."

Menatap ke langit dengan tenang.

"Mengenai orang-orang yang jadi tidak mau latihan karena mereka, aku rasa kau jangan terlalu terpaku. Jujur, aku jauh lebih berpikir kalau mereka hanya mencari kambing hitam demi menutupi kemalasan mereka. Atau menutupi ketidakminatan mereka lagi akan sesuatu. Kenapa sih tidak jujur saja kalau kalian memang sedang malas, atau memang sedang tidak berminat? Untuk apa pakai menyalahkan anak-anak yang masih baru itu? Supaya tidak terlihat rendahan, dan masih ingin terlihat seolah hebat, begitu?"

Ada sebuah bantahan.

"Tetapi-Sensei, seandainya aku harus membimbing mereka...aku tidak mau tertular! Dan aku tidak mau dipandang orang sebagai bagian dari komunitas yang aneh begitu-maksudnya, kalau aku tetapi di antara mereka yang payah, maka orang akan menganggapku payah, bukan?"

Ah, anak-anak yang belum mengerti dunia.

"Justru di situlah kau harus menunjukkan kredibilitasmu sebagai senior, Naruto. Bukannya membiarkan mereka berkubang dalam masalah itu, tapi jadilah contoh yang bisa mereka tiru dan mereka panut. Mereka jadikan sebagai sosok yang baik dan benar. Mengapa tidak demikian kau lakukan? Atau, kalau memang kau demikian tidak maunya berhubungan dengan mereka-"

Menyesap teh lagi.

"Setidaknya, tidak perlu mengumpat dengan kata-kata kotor seperti tadi atau berpikiran untuk melenyapkan. Toh pada akhirnya hanya kau yang repot, membuang ludah dan membuang tenaga, sementara mereka seandainya memang tidak mau berubah ya akan tetap demikian. Tetapi yang mau berubah? Kalau kau bercermin dan berpikir, mungkin kau bisa melihat dirimu di sana."

Satu tepukan di kepala.

"Intinya, janganlah kau menganggap remeh sesuatu yang masih baru, lalu kemudian karena menganggapnya terlalu payah dan sama sekali bukan level yang patut diunjukkan, maka kau tekan dan kau lenyapkan begitu saja. Atau kau jadikan alasan untuk menutupi kelemahanmu. Jujurlah pada dirimu sendiri, Naruto, dan lebarkan cakrawala pandanganmu. Tidak usah emosi dan marah karena hal kecil. Tenanglah, coba tenang seperti Buddha. Bahkan sekalipun yang di sekitarmu terbakar oleh emosi."

Si pirang terdiam.

Dan yang menjadi saksi mereka hanya secangkir teh, bersama awan-awan dan langit yang membentang di atas.

END

A/N: Calm like Buddha, even though the others are enraging... *meminum teh sambil makan cookies* Ah well, kalimat (c) Kusogaki. Saya hanya menyampaikannya dalam bentuk fanfic, dengan media dua orang ini. Well, comments?

naruto, fanfiction

Previous post Next post
Up