Aishiteru, Papa!

Jan 04, 2011 14:57


Aishiteru, Papa!

Written by: Rokudou Tsuzuki
Disclaimer: KHR bukan punya saya, sumpeh! Dan ide cerita ini juga berkat Maiden of the Moon dan doujin re:SKEY yang MukuXShota!Tuna :"|
Warning: AU, OOC, shota, pedofil, yaoi-eh, masih shounen-ai kok u_u dan awas, terlalu banyak melihat Tsuna di fic ini bisa mengakibatkan gula darah Anda naik :| *blasted* Btw, dibuat dalam rangka Tugas Akhir Unit Genshiken, jadi pastinya tidak waras :| *shot*


Day One: Not Your Daddy!

"...kau pasti gila, Giotto."

Dan sosok di hadapannya itu hanya tersenyum layaknya seorang pemuda yang kedapatan tengah mengintip kekasihnya, menggaruk pipi sambil tertawa pelan dalam usahanya mencairkan suasana di antara mereka.

Menggelengkan kepalanya pelan, lelaki yang bernama Rokudou Mukuro itu kembali menatap lurus-lurus sosok pria berambut pirang yang berdiri di ambang pintu rumahnya itu. Oke, biarkan dia meluruskan dulu situasi yang ada sekarang ini. Dia tengah menikmati harinya yang indah, bersantai di kamar kontrakannya di satu sudut Saitama, ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya. Dan karena Mukuro ini adalah Mukuro (bukan Rokumu yang ada di seberang jalan itu), tadinya dia memang benar-benar ingin membiarkan saja siapapun yang mengganggunya itu mematung di depan pintu yang tidak terjawab sampai akhirnya pergi sendiri. Tapi dasar memang nasib, yang ada di sana jauh lebih keras kepala daripada lima Hibari Kyouya disatukan dalam satu kardus, maka akhirnya tidak ada pilihan lain bagi pria yang baru menanjak usia kepala dua itu selain membukakan pintu untuk siapapun yang ada di sana. Usut punya usut, dia tidak terkejut ketika melihat siapa yang sesungguhnya menginterupsi kedamaian harinya itu.

Well, kenal beberapa tahun dengan si pegawai kantoran berambut pirang, bagaimana mungkin dia bisa lupa sifat ke-kepalabatu-an yang bersangkutan?

Tapi sekalipun keras kepalanya menyamai menhir yang sering dibawa Obelisk, dia tahu benar kalau seharusnya otak Giotto belum mengeras seperti batu. Seharusnya masih dapat bekerja, belum membeku hingga harus dicairkan di dalam gunung pasir di Gurun Sahara. Tapi layaknya Julius Caesar yang pernah salah memeluk mesra Antony alih-alih Cleopatra yang dicintainya, maka patutlah Mukuro yang pun masih manusia biasa seperti Caesar ini melakukan kesalahan dalam perkiraannya. Otak Giotto memang belum mengeras seperti batu, tapi sudah tidak tertolong karena telah menjelma menjadi fosil.

Maka orang tentunya akan bertanya, apa yang membuatnya menarik kesimpulan begitu?

"Ayolah, Mukuro! Sekali ini saja, ya?" Oke, kalau yang memandanginya dengan memelas begitu adalah seorang bocah kecil yang masih polos dan tidak tahu apa-apa, mungkin masih wajar. Ini? "Kau sendiri kan tahu kalau aku tidak bisa lagi, serius!"

Memutar bola matanya perlahan, lelaki itu pun menyilangkan tangan di depan dada dan menumpukan sebelah tubuhnya ke dinding. Sedikit mengedikkan kepalanya ke arah pria berambut pirang itu, masih saja tidak mengerti kenapa ada orang yang seharusnya waras yang bisa membuat permintaan semacam ini. Oke, dia sendiri tidak akan terlalu peduli seandainya Giotto adalah maniak sinting atau apa (asalkan jangan sentuh koleksi Brenda dan Maria miliknya yang ada di gudang belakang-pokoknya jangan), tapi kalau sudah menyangkut permohonan yang seperti ini, dia akan sungguh-sungguh peduli. Peduli, terutama, karena dialah yang dijadikan sasaran pertama dari permintaan ini. Permintaan yang membuat sudut bibirnya berkedut berkali-kali.

"Dan kenapa tidak bisa? Kau lebih berpengalaman dalam hal ini, seingatku."

Ada erangan frustasi yang diberikan oleh Giotto sebelum yang bersangkutan menggelengkan kepalanya dengan panik. Panik atau gusar, entah siapa yang tahu. Yang jelas, dia tidak peduli kalau dia terlihat berlaku seperti satu cecunguk busuk yang sama sekali tidak mau memberikan bantuan pada temannya sendiri. Simpan dulu lontaran kalian, karena kalian bahkan tidak tahu apa masalah yang ada di antara mereka, tahu.

"Yah tapi-kau tahu sendiri kan? Aku sudah ada Spade-dan dia jauh lebih mengerikan daripada yang kau bisa bayangkan. Jauh."

Sebelah alis itu naik lagi.

"Oh, bisa kau tunjukkan?"

Helaan nafas panjang dan Giotto tahu kalau dia tidak punya pilihan lain. Pasrah, dia hanya dapat menggesturkan kepada salah satu rekannya itu untuk mengikutinya. Berbalik arah dan mulai berjalan menuju satu pintu yang tidak jauh dari tempatnya berdiri baru saja, dia sudah tahu tanpa perlu berbalik kalau Mukuro kini tengah berjalan mengikutinya. Makin pasti lagi setelah terdengar bunyi pintu yang ditutup, walau tidak terdengar gemerincing kunci. Tentu saja, tidak lebih dari tiga meter jarak di antara domain dan tempat tujuan mereka, bukan? Dan setelah benar-benar sampai di depan pintu bercat coklat gelap itu, Giotto akhirnya menarik pegangan pintu dan membukanya pelan-

Oke, rasanya ada yang aneh di sini.

"Spade, di mana Tsuna?"

Akan panggilan darinya, ada satu bocah yang mendongak dengan perlahan, mengalihkan perhatian dari kertas gambar yang tengah dihadapinya. Mulut bocah dengan rambut cyan gelap itu mengerucut sedikit, menggembungkan pipinya sambil mengangkat bahu dalam gestur yang tidak peduli.

"Entahlah. Tadi dia memukul pintu itu seperti mau keluar, jadi aku bukakan dan dia sudah pergi ke luar."

Ngik.

"S-SPADEEEE!" jerit lelaki berambut pirang itu histeris sambil menghampiri si bocah yang duduk tenang dan mencubit pipi anak itu dengan kekuatan yang cukup untuk membuat balita manapun menangis. "Kau sadar kalau dia terlalu kecil untuk dibiarkan sendiri, kan?"

"Oh iya? Masa sih, aku tidak sadar." Ngik, lagi. "Dan lepaskan tanganmu, Giotto jelek! Sakit, sakiiit!"

"Ap-kau bocah tidak tahu diuntung! Malam ini tidak akan kubiarkan kau makan es krim ceri kesukaanmu!"

"Memangnya kau bisa? Coba saja!"

"Oke, oke, kalian berdua berhenti." Merasa kalau dia sudah cukup penat untuk mendengarkan perdebatan kekanakan antara seorang pria yang seharusnya sudah dewasa dengan bocah yang masih berusia enam tahun, Mukuro akhirnya memutuskan untuk memotong pertengkaran mereka dengan mengangkat tangannya dan berdiri di antara kedua orang itu. "Baiklah, aku rasa aku sudah mulai mengerti kenapa kau ingin menitipkan anak itu di tempatku. Di sini nampaknya ada seseorang yang tidak senang dengan keberadaan anak itu di sini, hmm? Takut ada yang perhatiannya terbagi, tamp-OW!"

Mukuro mendelik, terpaksa menunduk sedikit agar tatapan tajamnya bisa benar-benar diterima oleh si bocah yang amat sangat menyebalkan ini. Tapi oh, tidak. Bukannya menciut karena takut, si kuntet Daemon Spade justru balas menatapnya dengan gusar, seolah dia bukanlah oknum yang bersalah di sini. Hell, siapa yang tadi menendang kakinya duluan sih? Walau sebenarnya kalau dipikir dengan otakmu yang seharusnya belum memfosil, Mukuro, itu adalah kesalahanmu di awal karena memancing emosi si bocah yang masih melabil itu. Grr. Negatif dengan negatif boleh menjadi positif, tapi sejak kapan kesalahan yang dilakukan pada orang yang bersalah dapat diampuni, hah?

Kalau dia tidak sedang ingin menyelesaikan masalah ini dengan cepat, mungkin dia sudah menjewer si bocah berambut biru tua yang entah kenapa agak mirip dengannya ini.

"Jadi itu berarti kamu mau, Mukuro?" Holy crap, kenapa Giotto harus terlihat berbinar-binar seperti ini-sekarang? "Kamu mau merawat Tsunayoshi-kun sementara?"

Menhir. Andai itu ada di sisinya sekarang, mungkin sudah dia jejalkan ke tenggorokan lelaki yang agaknya tidak pernah berpikir ini.

"Aku tidak pernah berkata begitu, Giotto. Yang kukatakan hanyalah aku mengerti," ujarnya tajam, sedang tidak ingin berpanjang-panjang perdebatannya dengan si otak udang. "Tapi daripada masalahnya terlanjut parah, bagaimana kalau kau cari dulu bocah yang kau ingin titipkan di rumahku itu?"

Dewa, Tuhan, apapun entitas yang ada di atas sana, kenapa tidak sejak tadi mulut Giotto membulat lebar untuk menandakan akhirnya dia mengerti seperti ini? KENAPA?

"Kau benar juga! Ayo kita berpencar untuk mencarinya!" Diam. Mengernyit. Ada yang tetap diam di tempat. "Ayo, Mukuro. Kenapa kau diam begitu?"

"Tadi-siapa yang mengatakan kalau aku akan ikut mencari?"

"Ah, malu-malu! Aku tahu kau pasti ingin membantuku, ayolah!"

Kalau tidak ada si Spade kecil yang tengah mengintai gerak-gerik mereka, mungkin Mukuro sudah melemparkan sepatu berlubang yang tengah dia pakai ini ke wajah Giotto.

"Nya-Mistel Kupu-Kupu!"

Tangan mungil bocah itu menggapai-gapai, berusaha meraih seekor kupu-kupu berwarna biru yang terbang di atasnya. Sayangnya, makhluk yang bersangkutan justru terbang semakin tinggi, tinggi hingga tidak dapat dicapai oleh sosok bertubuh kecil yang masih mengenakan pampers itu. Langkah mungilnya yang tidak dilapisi oleh alas kaki apapun itu bergesekan pedih dengan lantai semen kasar, tapi entah kenapa si bocah masih saja tidak peduli. Bola mata berwarna madu hangat itu tidak terlihat kesakitan, sebaliknya justru amat terfokus pada kupu-kupu yang masih terus dikejarnya. Angin kencang yang menerpa atap gedung itu sebenarnya bisa saja menerbangkan bocah itu kapan saja, tapi yang terpengaruh sejauh ini hanyalah rambut coklatnya yang berdiri berantakan melawan gravitasi.

Okeee, kupu-kupu itu sekarang sudah mencapai tepi atap gedung. Tepian yang tidak dibatasi oleh pagar kawat tinggi atau apapun sejenisnya. Dan dengan lucunya, si kecil itu masih pula mengikuti jejak sang kupu-kupu. Yak, dan kupu-kupu itu telah terbang menjauhi tepian-HOLY GOSH, APA TIDAK ADA SEORANG PUN YANG SADAR KALAU BOCAH ITU SUDAH MAU JATUH?

Tepat di saat tubuh berukuran mini itu mulai oleng dan nyaris saja tertarik gravitasi untuk mencium tanah, ada satu tangan yang menarik si bocah menjauhi daerah yang berbahaya itu. Menarik untuk mendekati satu dada bidang yang terasa begitu kokoh di saat seperti ini. Sosok mungil itu mengerjapkan bundaran coklatnya beberapa kali, hidungnya menangkap aroma vanilla yang sering diciumnya di saat mengamati ibunya yang tengah membuat kue manis. Tak lama, dia mendongak dan mendapatkan gambaran wajah seorang pria. Pria yang berbeda dengan pamannya-dengan rambut berwarna biru tua dan mata yang berbeda warna. Mirip Spade-niichan tapi tidak mirip juga-

"Nggg-kamu Papa balu Tcuna?" ujar bocah itu dengan spontan.

Sementara pria yang menggendongnya termangu seketika, si bocah justru berteriak dalam ketertarikan melihat seekor lalat yang memasuki mulut sosok dewasa itu.

TBC
A/N: Muahaha, cliffhanger ya? *ngikik keji* Sudahlah, terima saja dulu untuk saat ini :-j Dan jangan tanya dulu soal proyek saya yang lain, itu nanti kalau TA ini selesai ya :| saya dikejar waktu ORZ harus sempetin di tengah kuliah pula u_u *curcoldadakan*
REVIEW ATAU MUKURO SAYA BUAT MATI KESEDAK LALAT DDD8 *blasted*

khr, mukuro, tsuna, giotto, spade, fanfiction

Previous post Next post
Up