“Maaf.”
“Semua salahku.”
“Aku-aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Karenanya-”
Permohonan itu sunyi.
“Kumohon-jangan tinggalkan aku.”
Hanya satu.
Satu.
Permohonannya.
***
A Silent Plea
Characters belong to their respective PMs
Song Lyrics (c) Bird - Matsushita Yuuya
***
Tahu-kah, kalian?
Dia adalah perlambang dari segalanya.
Perlambang dari segala keburukan dunia. Simbol dari betapa kotornya makhluk-makhluk keji yang dikatakan merupakan makhluk Tuhan yang berakhlak budi itu. Dia, yang dengan cercahan merah darah miliknya menampakkan cermin itu kepada manusia yang menolak untuk melihat wujud asli mereka. Mereka yang muak di saat melihat wujudnya-padahal, hei, tidakkah itu wajah asli kalian, manusia? Dia yang dengan kejinya menyeringai di tengah bermandikan darah korbannya, dia yang menatap tanpa rasa di saat kerabat musuhnya menitikkan air mata di saat melihat senjatanya menembus tubuh, dia yang hanya mengulaskan senyumnya di saat menuturkan segala muslihat-dan dia yang demikian egois, memikirkan hanya perasaannya tanpa mau tahu apa yang diderita oleh orang lain.
Dia yang meninggalkan demi menebus dosa sendiri-namun pada akhirnya hanya menghancurkan hati orang lain demi itu.
Bodoh.
Egois.
Manusia.
***
“Papa?”
“Ng?”
Pria itu menolehkan kepalanya, mengalihkan perhatiannya dari cercahan bintang yang berkilauan di luar sana. Kini, sorot matanya telah terarah ke suatu sosok lain yang bisa dikatakan cerminan kecil dari dirinya sendiri-warna rambut yang sama, model yang sama, hanya saja pantulan mata mereka bagaikan cermin. Kepingan darah dan potongan dari langit mereka terletak di tempat yang berbeda. Ya, anak ini-putrinya yang tercinta. Satu yang mungkin masih dapat dia jaga dari hari-hari yang telah berlalu.
“Papa, kenapa Mama tadi jahat?”
Eh?
“Louise-apa maksudmu?” Kini dia yang balik bertanya, meraih gadis kecil itu ke dalam rengkuhannya dengan kedua tangannya. Meletakkan sosok mungil itu di pangkuannya, sesekali membelai helai semu berwarna biru milik bocah berusia sembilan tahun itu. “Kenapa mengatai Mama jahat, hm? Kita hanya tidak bisa bertemu Mama karena dia sibuk, Louise.”
Sunyi sejenak menelan dua orang itu, kekosongan di antara mereka hanya terisi oleh suara angin di luar jendela. Dan mungkin sesekali, gumaman tidak jelas dari sosok mungil lain yang tengah terbaring di kasur di penginapan itu. Penginapan tua yang kecil, perabotannya sesungguhnya tidak baik bagi anak-anak berusia muda seperti mereka. Tetapi mau bagaimana lagi? Dia sekarang-bisa dikatakan sebagai buronan, tahu.
Hah.
Dan gadis itu membuka mulutnya lagi.
“Lou tahu tadi Mama mengusir Papa,” tuturnya perlahan, air mukanya tidak jauh berbeda daro sebelumnya. “Lou bisa dengar, Papa. Dan Lou tahu kalau tadi Mama bilang dia mau menikah dengan Lettuce atau siapa itu namanya-makanya Lou tanya kenapa Mama jadi jahat begitu. Bukannya Mama sayang Papa?”
Nafas pria itu terhenti.
“Iya deh-Papa memang sempat meninggalkan Mama, Lou, dan Ver, makanya Lou marah,” gadis cilik itu melompat di pangkuan ayahnya, berbalik untuk mulai mencubiti pipi pria yang kini meringis kesakitan itu. “Tapi Papa kembali, makanya Lou memaafkan Papa. Kalau Papa kembali-kenapa sekarang Mama yang pergi?”
Dan dia tidak mampu menahan hatinya di saat melihat cerminannya itu mulai menitikkan air mata. Sungguh-rasanya sama menyakitkan seperti ketika melihat apa yang selama ini dia cintai menjadi milik orang lain-hatinya mungkin lebih daripada sekadar teriris. Melihat sosok mungil yang biasanya tegar dan tidak berperasaan itu kini mulai terisak di dalam pelukannya, merasakan tangan kecil itu menggenggam bagian depan kemejanya dengan bergetar. Sakit-kau tidak akan tahu, rasanya demikian sakit.
“Saat Papa pergi, Mama ada. Saat Papa ada, Mama pergi. Kapan Lou bisa bersama Ver dan kalian berdua-semuanya? Kapan?”
Tolong-
Dia bahkan tidak tahu jawabannya.
Semuanya. Kesalahannya. Dia yang bodoh, menyalahkan dirinya atas kematian adiknya dan memilih untuk mengasingkan diri. Meninggalkan segala yang dicintainya-sebagai hukuman atas dirinya sendiri. Hukuman baginya-tapi mengapa yang terkena dampaknya adalah orang-orang yang paling ingin dijaganya? Anaknya sendiri-yang kini menangis di depannya. Juga-juga-
Dia.
“Louise-“
Suaranya serak-tenggorokannya tercekat. Sungguh, dia ingin menghentikan air mata yang menitik dari bola mata anak yang sangat disayanginya itu-tapi dia tahu, dia tidak akan mampu melakukannya. Karena dia tahu, bukan dia yang dapat mengembalikan segalanya. Tidak, tepatnya-dia saja tidak akan cukup untuk mengembalikan senyuman di wajah gadis kecil itu. Gadis yang menginginkan harmoni dari segalanya-namun menemukan kepingan dari puzzle kehidupannya telah menghilang tanpa pernah terlengkapi.
Kenapa kebodohannya harus menyakiti semua orang?
“Atau tepatnya, Papa yang bodoh?”
Daripada marah-mungkin kaget adalah kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikan apa yang dirasakan oleh pria itu ketika ini. Melihat bocah lelaki yang tadinya masih tertidur dengan nyenyak-yang kini menatapnya dengan wajah yang demikian mirip dengan garis yang begitu dia cintai. Bocah yang kini memberinya pandangan menuduh-menghunjam dengan demikian sakitnya. Tidak, bukan itu. Bukan pandangan yang menyalahkan tapi-pandangan yang kecewa?
Tapi dia mengerti, kekecewaan itu bukanlah tanpa alasan.
“Verrine-“
“Papa, pergi ke luar beberapa lama membuat Papa jadi bodoh dan tidak peka, ya?” Bocah itu melompat perlahan, beberapa detik kemudian kedua jarinya sudah menyentil dahi ayahnya sendiri. “Papa lupa-? Gelar Papa waktu dulu masih di Vongola apa?”
The Lord of Illusion. The Lord of Deceiver.
Penguasa dari segala ilusi yang melingkupi organisasi itu. Dia yang menyembunyikan segalanya dari pandangan dunia. Satu yang melindungi dengan memberikan suatu gambaran yang sesungguhnya tidak nyata. Dan di balik itu-menguak siapapun yang berusaha menyembunyikan dari mereka. Segalanya tidak berguna ketika seseorang menapakkan kaki di daerah kekuasaannya itu-
“Apa hubungannya?”
“PAPA BODOH!” jerit bocah itu lagi, entah terdengar ke sekitarnya atau tidak. “Papa-apa Papa yakin yang dikatakan Mama itu-memang benar-benar apa yang ingin dia katakan?! Bukannya Papa yang paling tahu apakah Mama berbohong atau tidak?”
-tetapi segalanya hanya akan percuma di saat dia kehilangan kendalinya.
Karena ketika sang Kabut tertelan oleh ilusinya sendiri, dia tidak mampu mengenali apapun. Karena ketika sang Kabut telah kehilangan kekuasaan atas kerajaannya, dia telah tertipu oleh semuanya. Di saat Kabut tidak berusaha untuk mendapatkan kembali apa yang memang menjadi kekuasaannya-dia tidak akan mampu melihat kenyataan.
Kenyataan yang sesungguhnya.
Di saat sang penguasa ilusi telah termabukkan oleh ilusinya sendiri.
Tidakkah seharusnya dia dapat membaca kamuflase itu?
“Ayo, Papa?” tantang bocah berambut keperakan itu sekali lagi.
Mengapa dia melupakan segalanya?
Ya, mengapa dia sampai melupakan-ekspresi itu? Dia yang selama ini selalu tertawa selagi menepuk pundak orang yang paling dikasihinya itu, menyatakan bahwa dia masih dapat menerka kebenaran di balik segala kebohongan yang diucapkan. Kala itu, matanya masih terbuka. Di saat itu-dia mampu melihat kenyataan, bukan? Mengapa kini dia-mengapa tadi dia tidak dapat melihat apa yang sesungguhnya ingin dikatakan oleh kedua bola mata yang paling dicintainya itu?
Bodoh.
“Louise, Verrine,” ucapnya pelan, bangkit berdiri sambil mendudukkan putrinya di kasur. “-kalian tidak apa-apa kalau kutinggal sebentar, kan?”
Anggukan dari kedua bocahnya itu-dan dia tahu, dia memiliki segala alasan untuk mengucapkan terima kasih.
In a night sky without stars
My eyes wander because I cannot find my destination
“Hmm-kalau tidak salah, arahnya ke sini, kan?”
BRUAGH!
“HEI, SIAPA DI SANA?!”
Penjaga istana itu melotot, mengarahkan senternya ke suatu tempat-dan tidak menemukan apa-apa. Aneh. Rasanya tadi seperti ada suara orang yang berbisik, lalu ada sesuatu yang terjatuh. Tapi ketika dia sampai di tempat suara-tidak ada apa-apa di sana, eh? Sungguh mengherankan. Apakah memang ada penyusup?
“Mungkin kucing,” celetuk rekannya dari samping, melanjutkan langkahnya.
Si penjaga pun mengangkat bahu dan mengikuti jejak temannya, kembali ke patroli malam mereka. Malam memang mengherankan, bahkan suara kucing saja bisa terdengar seperti suara manusia, ya?
Beberapa saat setelah mereka pergi, salah satu pohon yang berada di sana mulai pudar bentuknya-dan menampakkan sosok yang sama sekali lain dari wujud semulanya. Bukan batang kokoh berwarna kecoklatan yang dihiasi oleh rumpun daun hijau, tapi sosok pria dengan rambut biru tua panjang yang diikat-sosok yang berdiri dengan tegarnya sambil memegang senjata panjangnya di tangan kanan.
“Nyaris,” desis pria itu sambil menghela nafas panjang. “Istana sialan, jalanannya repot sekali. Di mana kamar pangeran-?”
Sebelum ada lagi yang datang, dia pun melanjutkan pencariannya. Pencarian yang mungkin terlihat percuma di tengah malam begini, tetapi akan selalu dia lakukan sampai dia dapat meraih. Sampai dia dapat menemukan.
There is nothing to be afraid
That is only because there is nothing to protect
Setelah beberapa saat berkeliaran-rasanya dia tidak menemukan apa-apa. Heran. Memang sih, dia tadi sempat membuat beberapa pelayan wanita menjerit ketika melihatnya (untung mereka berteriak bahwa mereka melihat hantu, bagaimana kalau mereka malah berteriak melihat penyusup?)-tapi yang dia cari bukan wanita-wanita kecentilan macam itu, tahu. Yang dia cari adalah-sesuatu yang berharga, jauh lebih berharga daripada makhluk-makhluk yang tidak dia kenal, sungguh.
Tapi nampaknya, melihat wanita-wanita itu ada keuntungan tersendiri baginya.
“Permisi, aku pelayan baru-diperintahkan untuk membawa sesuatu ke kamar Putra Mahkota oleh Ratu, kamarnya di mana ya?”
Kebohongan yang bodoh, ya. Sejak kapan dia kehilangan kemampuannya untuk berdalih? Walau memang sudah memasang ilusi sosok dirinya-yang kini jelas terlihat seperti perempuan yang mengenakan pakaian pelayan kerajaan-tetap saja kata-kata bohong yang diucapkannya terlalu aneh. Walau demikian, salah satu pelayan senior tetap mempercayainya-dan memberikan arah kamar itu kepadanya.
Langkahnya tidak pernah terasa seringan itu.
Things of tomorrow and things in ten years
Are things the present me fears
Kabut, sering dikatakan, mereka menghilang dari pandangan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Namun faktanya adalah-mereka hanya ingin ditemukan. Mereka ingin ada orang yang mampu mengerti diri mereka. Mereka hanya menginginkan suatu tempat bagi mereka untuk kembali-satu yang terus berusaha untuk berlari sampai mampu menemukan diri mereka yang sesungguhnya.
Sungguh, dia telah mendapatkan itu-dan dia yang membuangnya.
Tapi tolong, biarkan dia memperbaiki kesalahan itu. Berikan dia kesempatan kedua-biarkan dia mengembalikan apa yang sebelumnya telah hilang. Karena kali ini, dia tidak akan bersembunyi. Karena kali ini, dia tidak akan melarikan diri. Kali ini, Kabut itu tidak akan menyembunyikan dirinya. Kabut itu akan terus berlari-terus dan terus, untuk mencari. Dia tidak akan berusaha menunggu tempatnya untuk kembali-dialah yang akan menjadi tempat untuk kembali.
Karenanya-
Tolong, sekali ini saja, biarkan dia menemukan.
PRANGG!
Suara itu-datangnya dari dapur, ya? Walau memang seharusnya dia terus berlari ke arah yang telah ditunjukkan oleh pelayan senior tadi-mengapa rasanya hatinya memerintahkannya untuk masuk ke tempat ini? Resiko yang cukup besar, dia bisa ketahuan menyusup ke tempat ini. Tapi mengapa-hatinya sakit melihat pintu yang terbuka itu? Mendengar suara kaca yang pecah itu-
-ketika Kabut membuka matanya, dia akan melihat kenyataan.
Perlahan, jarinya meraih gagang pintu dan membukanya-
Tolong-
-nafasnya terhenti.
I have found you, my sweetheart
“Princess-“
Bohong.
Bohong.
Katakan semua ini bohong.
Katakan semua ini-hanyalah mimpinya. Hanya ilusi yang diberikan untuk menjebak. Tolong katakan itu-karena jika inilah kenyataan yang pada akhirnya harus dia terima di saat dia membuka matanya, dia lebih memilih untuk tenggelam di dalam ilusi yang dia buat sendiri-selamanya.
Dia tidak mampu berkata-tapi tubuhnya bergerak bagaikan robot. Tanpa gerakan yang percuma, hanya dalam beberapa detik sudah berada di dekat sosok yang paling dicintainya itu. Tidak-jangan katakan kalau gambaran itu terulang lagi di depan matanya. Seperti ketika itu-di saat dia harus menghadapi sinar yang semakin menghilang dari kedua bola mata yang paling disayanginya itu-tidak, tidak, TIDAK!
“A-Adri-maaf.”
Maaf apa?
Kenapa padanya?
“Tidak.”
Air matanya yang tidak pernah turun-kini telah mengalir lagi. Satu, menuruni gambaran langitnya yang demikan kesepian. Hanya di sana-karena mata kanannya mengalirkan darah. Seolah turut berkabung atas apa yang dialami pemiliknya, berdukacita akan apa yang sekarang menyayat hati sang lelaki ke dalam cercahan yang tidak lagi dapat dikenali. Tetesan yang bergabung dengan genangan di bawahnya, di saat kedua tangan sosok itu merengkuh tubuh mungil itu. Menarik ke dalam pelukannya kehangatan yang familiar itu-rasa yang begitu dekat namun jauh di saat yang bersamaan.
“Harusnya-harusnya aku yang meminta maaf, Princess,” bisiknya pelan, terisak selagi masih memeluk sosok itu. “Aku-semua salahku. Aku yang meninggalkanmu. Aku yang pergi ketika itu. Aku yang tidak dapat mendengar suara hatimu yang sesungguhnya waktu itu. Semuanya salahku-“
Tolong, Tuhan. Jika kau memang ada, jika kau memang masih ingin mendengarkan permohonannya. Jika kau memang masih memiliki belas kasihan kepada salah satu ciptaannya ini-dengarkanlah teriakannya. Dengarkanlah jeritan hatinya, dengarkanlah satu keinginannya yang paling dalam itu.
Karena dia hanya menginginkan itu.
Dia hanya ingin kembali. Dia hanya ingin kembali bersatu dengan apa yang dikasihinya-
“God, please.”
I beg you.
Pria itu masih terisak, tetapi dia bangkit berdiri dari tempatnya, membawa sosok pemuda itu dalam gendongannya. Suatu pelukan yang dipenuhi dengan segala perasaannya, masih selagi mendaratkan kecupan kecilnya di dahi pemuda kecil yang selama ini selalu dicintainya itu. Dan dengan segala tekad tertera di wajahnya-dia pun berlari. Berlari untuk mencari pertolongan-persetan dengan ketahuan menyelinap atau apa, karena bukankah yang terpenting baginya saat itu hanyalah satu orang semata?
Satu.
Hanya satu.
Permohonannya yang diucapkan di malam sunyi itu.
You looked sad while you were sleeping
As if you were having a bad dream
Ya, itu benar.
Karena selagi segalanya berjalan-dia tetap di sisi sosok itu. Menggenggam tangannya, mengucapkan segala doa dan permohonan. Memang, dia sadar tangannya telah berlumuran darah. Dia sadar bahwa dia tidak lagi layak untuk mengucapkan segala doa dan keinginannya. Tetapi untuk sekali ini saja-walau mungkin selama ini dia hidup dengan mengutuk Dia yang ada di atas, biarkan-biarkan dia meminta.
Biarkan.
Dia memohon.
I am right here
Right beside you
I won't be going anywhere
Selalu. Dia selalu ada di sana. Di sisi pemuda itu. Ya, dia tidak akan pergi lagi ke manapun. Dia tidak akan pernah beranjak dari sana-karena itu adalah sumpahnya yang kini dia perbaharui. Satu, janjinya yang tidak akan dia lepaskan lagi walaupun taruhannya adalah nyawanya sendiri. Janji yang dia ucapkan dengan seluruh hatinya, janji yang dia bisikkan selagi menunggu pelupuk mata itu kembali terbuka. Janji yang mungkin terdengar oleh anak-anaknya yang turut datang ke sana, mungkin tidak. Tapi-ada saksi ataupun tidak, dia akan selalu memenuhi janji itu.
Dia akan menunggu. Di sisi itu. Sampai segalanya kembali seperti semula. Dan setelah segalanya berakhir, dia tidak akan berpaling. Dia tidak akan beranjak-dia akan tetap di sana. Tetap diam.
“Aku berjanji, Princess. Aku akan selalu di sisimu. Aku tidak akan pergi lagi,” gumamnya pelan sembari memberikan sentuhan kecil di pipi pemuda yang masih kehilangan kesadarannya itu. “Karenanya-“
But, please-
Don’t go anywhere as well
“-karenanya, jangan pergi. Tolong, kumohon-jangan tinggalkan aku sendiri di sini.”
Satu. Hanya itu.
Permohonannya di malam yang sunyi.
“Because I love you.”
Alrite, ini bagian ketiga dari trilogi AdriHyo =)) Bagian pertama bisa diliat di
sini sementara bagian keduanya bisa dilihat di
sini ;]] tarik maang~ *shot*
Oh iya, fic ini dibuatnya bales2an lho :-h Saya bagian pertama, uke saya bagian kedua--yang ketiga ini, saya :">