A Winter Story

Jun 07, 2010 11:55

Title: A Winter Story
Author: Angel - angelika20
Pairing: Takaki Yuya x Katou Sayuri (OC - mine)
Rating: PG-13
Genre: Romance, Fluff
Theme: Yaoi / Non Yaoi
Disclaimer: Sayuri punya saya. Plotnya juga dibantu ama Irin *myaqumarine* Yuunyan punyanya JE.
A/N: Ini ff udah agak lama dibikinnya. Cuma karena bingung mo lanjut apa, yodahlah saya post aja seginian. Ntar kalo ada yang gapuas sama akhirnya, boleh kok dilanjut. Tapi bilang2 saya yoo~ Haha.




Adiknya pergi…

Ibunya pergi…

Ayahnya pergi…

Hanya dia sendiri…

Hingga akhirnya dia pun hilang…

*

”Hari ini, hari ulang tahunmu. Apa permintaanmu?”

Jawabannya hanya diam.

“Hadiah, Sayuri… Hadiah. Kau akan merayakan ulang tahun dan kau pantas mendapatkan hadiah.”

Masih diam.

“Hadiah, Sayuri. Apa?”

Tangan si gadis masih menari tak karuan di atas kertas putih. Matanya masih menatap benang kusut berwarna merah disana. Lalu…

“Takaki Yuya.”

Tidak pernah ada nama lain yang terucap selain nama itu.

*

--PASIEN WANITA--

Pintu itu terbuka.

KREEEEKK

Karat sudah menjamur di engselnya, menjadikannya bersuara sopran. Angin Oktober yang dingin, berhamburan memasuki ruangan yang memanjang. Di kanan kiri, terdapat ruangan seperti di penjara. Satu ruangan ukuran 4x3.5 meter, catnya berwarna putih lapuk dan telah berjamur. Lampu ada, walaupn hanya lampu kecil berwarna kuning. Pintunya… jeruji besi.

Isinya: pasien wanita-penyakit jiwa.

Seorang laki-laki masuk dengan langkah bersemangat. Mengenakan jaket tebal dan berkacamata. Wajahnya khawatir, sedikit keringat panik menetes di pelipisnya. Di sampingnya berdiri dua perawat wanita menemani. Kemudian, laki-laki itu berjalan memasuki lorong didampingi dua perawat itu.

TAP TAP TAP

Derap langkah kakinya yang bertabrakan dengan lantai semen disambut dengan seruan-seruan dari dalam ruangan-ruangan yang ia lewati. Seruan jahil, menjerit, menyoraki, dan tawa tanpa alasan normal. Karena tidak ada yang normal yang mengisi ruangan itu.

Mereka semua yang di dalam ruangan… sakit jiwa.

Sampai kaki laki-laki itu berhenti di sebuah ruangan. Hanya pasien dia saja yang tidak ikut menyorakinya dengan teriakan tak berarti. Kepala gadis itu tertunduk dengan tangannya terus menari. Terduduk di pojok ruangan tak bercahaya, padahal matahari sudah berlalu. Sendirian yang yang ada di sekitarnya hanya setumpuk kertas berwarna putih dengan alat warna seperti krayon, pensil warna, dan spidol. Sebuah tempat tidur berkaki besi disana, sprei cream-nya masih rapi. Gadis itu mengenakan baju pasien-sama seperti pasien lainnya, baju berwarna hijau mint dan celana panjang berwarna putih. Ia ditutupi sebuah sweater tipis berwarna abu-abu. Kakinya dilipat dengan rapi, seolah ingin menghangatkan jemari kakinya dari dinginnya angin di bulan November.

Mata laki-laki itu terpaku. Kaget dan panik. Tangannya dengan cepat mencengkram jeruji besi yang menjadi pintu depan ruangan itu. Matanya berkaca-kaca.

“Sayuri…” bisiknya lirih.

Suara yang cukup terdengar, tetapi… tidak ada jawaban.

Diguncang-guncangkannya jeruji besi itu sambil terus berusaha memanggil gadis bernama Sayuri. Tetapi hasilnya nihil, malah yang ada adalah genggaman prihatin dibahunya oleh seorang perawat yang menemaninya.

“Dia tidak semudah itu untuk menyadari suara Anda, Takaki-san. Perhatiannya hanya pada kertas gambarnya saja.” Takaki Yuya, tamu itu bernama Takaki Yuya. “Walaupun dia mencarimu, bukan berarti dia mengingatmu. Maaf, tetapi Sayuri hanya bisa menggambar. Dipanggil pun sudah sangat sulit.”

Seorang perawat lagi ikut menambahkan, “Yang mendamaikannya hanya satu, menggambar. Sekali saja kertas gambar itu habis, dia bisa mengamuk. Kasihan, tidak ada yang memperhatikannya.”

Setitik airmata menetes. Buru-buru dihapusnya sebelum Yuya kembali berbisik, “Sayuri… ini aku.”

Tangan itu berhenti bergerak. Kepalanya mendongak, menatap pintu jeruji besi. Terlihat, wajah pucat tanpa ekspresi. Mata bulat itu sayu, cahayanya sudah redup. Bibirnya kering dan ikut memucat. Rambut panjangnya sudah tidak beraturan. Dia kacau.

“AAAARGHHH!! AAAAAAAAAAA!!!”

Sayuri, gadis itu menendang-nendang pensil warnanya, kertas yang sudah penuh dengan warna merah. Tembok pun ikut ditendangnya. Wajahnya memerah karena marah. Suara teriakannya disambut oleh seruan dari teman-temannya yang lain di bangsal lain. Terus berteriak, gadis itu masih berteriak. Meninggalkan wajah kaget seorang laki-laki yang masih berdiri diluar jeruji besi.

Dua perawat sudah mulai mencari-cari kertas untuk Sayuri. Sedangkah Yuya, wajahnya kaget, khawatir, takut, panik, bingung, semuanya menjadi satu. Dia bingung apa yang harus dilakukan.

“Sayuri… Sayuri!” panggilnya terus. “Sayuri!!”

Suaranya itu tenggelam perlahan seiring Sayuri terus berteriak meminta kertas gambar yang ia inginkan.

“AAAAAAAAAAA!!!!”

Tetap menendangi tembok, termasuk tempat tidurnya. Tangannya menarik sprei yang rapi dan membuatnya berantakan. Memukuli tembok yang tidak bisa berteriak sakit. Mata Yuya menangkap mata gadis itu memerah, semerah tangannya. Kakinya yang tanpa alas menendang kaki besi tempat tidurnya. Masih berteriak sampai seorang perawat hendak masuk ke dalam bangsalnya.

“Ano… Suster,” panggil Yuya sambil menahan pundak perawat tersebut, “Boleh saya yang masuk ke dalam?”

“Maaf, Takaki-san, tetapi Sayuri berbahaya.”

“Tidak! Dia bukan binatang! Dia tidak berbahaya!” Seketika suara Yuya meninggi. Matanya berharap dan memohon. “Tolonglah…” pintanya memelas.

Seorang perawat lain berbicara, “Takaki-san boleh memberikan kertas itu untuk Sayuri, tetapi dari luar saja.”

Perawat yang memegang kertas itu lalu memberikan beberapa lembar kertas putih ke tangan Yuya. Kemudian kaki perawat itu melangkah masuk, menyentuh pundak Sayuri lembut. Sayuri yang masih memberontak membuat hati Yuya sakit. Dia tidak tega melihat Sayuri seperti itu.

“Ne… Sayuri… Sayuri…” panggil perawat itu dengan sabar hingga tubuh gadis itu berhenti memberontak. “Itu kertasnya disana. Ambil.”

Tangan Yuya terulur menembus jeruji besi. Mengulurkan beberapa lembar kertas. Tersenyum perih melihat mata Sayuri yang terarah kepadanya. Mata Yuya seolah memanggilnya mendekat. Tubuh Sayuri bergerak mendekat. Matanya turun melihat kertas putih di tangan Yuya.

“Sayuri, ini kertasnya. Kau ingat a-“

GRAB!!

Belum sempat Yuya meyelesaikan kalimatnya, Sayuri sudah menyambar kertas itu dengan cepat. Memeluk kertas-kertas putih itu lalu membawanya ke sudut ruangan. Tangannya menyambar sebuah spidol berwarna merah, lalu mulai lagi mencoret-coret kertas dengan gambar abstrak.

“Begitulah Sayuri,” ujar seorang perawat yang berdiri disamping Yuya.

Perawat yang di dalam ruangan Sayuri sedang merapatkan sweaternya, mengelap keringatnya, dan membereskan tempat tidur dan sprei perempuan itu. Rasanya Yuya ingin juga menyentuh tubuh Sayuri seperti yang perawat itu lakukan. Meminta gadis itu membagikan kesedihannya, kesepiannya, sakit hatinya kepadanya seperti dulu.

“Boleh saya datang kesini lagi?” tanya Yuya sopan.

“Tentu saja.” Tersenyum.

*

Semilir angin membawa pikiran Yuya melayang kembali ke masa-masa SMA. Masa-masa ketika bersama Katou Sayuri, kekasihnya.

Dulu. Dulu, mereka sepasang kekasih. Dulu, Sayuri tidak diam seperti sekarang. Dulu, Sayuri adalah gadis normal yang baik hati. Dulu, semua orang menyukai Sayuri. Dulu… Dulu…

Sayuri sering memeluk Yuya hangat ketika angin Desember datang. Membuatkan syal untuk kekasihnya dan memakaikannya. Yuya sering memeluk Sayuri ketika gadis sedang ketakutan akan apapun. Menyentuh pipi perempuan itu lalu memberikan kecupan mesra di dahi kekasihnya.

Semua orang iri dengan pasangan itu. Semua orang ingin memiliki hubungan semesra Yuya dan Sayuri. Semua orang begitu mendukung hubungan asmara mereka berdua.

Tetapi semua berubah. Sayuri menghilang tiba-tiba. Tidak ada tanda apapun. Sayuri menghilang begitu saja. Satu bulan setelah kelulusan mereka. Mereka sempat berjanji untuk pergi ke DisneyLand bersama-sama. Di hari yang dijanjikan, Sayuri malah menghilang. Yang muncul hanya sebuah mail dari gadis itu.

From: Sayuri

Takaki-kun, maaf aku harus pergi.

Itu saja.

Tidak ada yang tahu kemana Sayuri pergi, apa yang terjadi padanya. Hingga akhirnya, Yuya bertemu lagi dengan gadis itu setelah 5 tahun tidak bertemu.

Malam sudah menjelang, tetapi Yuya masih mantap melangkahkan kakinya menuju bangsal Sayuri. Di tangannya sudah ada satu kotak kado berpita warna merah bermotif polkadot. Yuya berjalan bersama seorang perawat lain dan akhirnya menemukan gadis itu masih mewarnai kertas putih dengan warna-warna bertabrakan di sudut ruangannya. Kepalanya masih menunduk ke pekerjaannya.

Atas izin perawat Sayuri, Yuya diizinkan masuk ke ruangan Sayuri.

Pintu terbuka dan kaki Yuya melangkah memasuki ruangan berlantai dingin itu. Dengan cepat tubuhnya diselimuti angin dingin yang sudah berteman akrab dengan Sayuri.

“Sayuri…” bisik Yuya sambil duduk di depan Sayuri.

Perawat sudah meninggalkan mereka berdua dalam satu ruangan. Secara umum, di malam hari pasien-pasien tidak seberisik siang hari. Sebagian dari mereka sudah tertidur sejak jam 7 malam.

“Sayuri,” panggil Yuya lagi. Tetapi gadis itu tidak menjawab. Masih berkonsentrasi penuh dengan gambarnya.

“Sayuri ini aku. Kau ingat aku tidak?” Tidak ada jawaban. Hanya krasak-krusuk suara kertas yang beradu dengan lantai, tangan, dan krayon hitam.

“Coba pakai warna hijau, Sayuri,” ujar Yuya sambil mengulurkan krayon berwarna hijau. Walau tidak ada jawaban, tangan kiri Sayuri meraih cepat krayon yang diberikan Yuya.

Mata laki-laki itu terus menatap kepala Sayuri. Kepala yang lima tahun lalu paling sedang dielus-elus olehnya. Saat umur mereka 20 tahun, mereka berpisah. Setelah lima tahun akhirnya bertemu kembali. Kedewasaan begitu terlihat di perubahan wajah Yuya, tetapi tidak diwajah Sayuri. Entah apa, tetapi wajah Sayuri masih sama. Polos. Lebih kurus memang. Tetapi sekarang memucat, sangat pucat.

Tangan Takaki terulur, mencoba menyentuh pundak Sayuri. Gadis itu segera bergerak menjauh, menghindari tangan Takaki. Kepalanya mendongak, namun tangannya masih bergerak mewarnai kertas.

“Sayuri,” ujar Yuya sambil tersenyum. “Ingat aku?”

Tidak ada jawaban. Hanya tatapan kosong di mata Sayuri. Mengikat erat perhatian Yuya. Tangan laki-laki itu lalu mengulurkan kotak hadiah yang dia bawa untuk Sayuri.

“Ini hadiah untukmu. Selamat ulangtahun.”

Sayuri malah menendang kotak itu hingga menabrak tembok. Sayuri kembali mengalihkan matanya menuju kertasnya. Hati Yuya sakit sekali melihat kondisi Sayuri. Ingin rasanya ia memeluk Sayuri, tetapi ia sudah berjanji kepada para perawat untuk tidak membuat Sayuri mengamuk.

“Selamat ulangtahun, Sayuri,” bisik Yuya.

Tidak pernah terjawab.

*

Sudah sebulan Yuya berkunjung menemani Sayuri. Laki-laki itu begitu rajin mengunjungi kekasihnya. Hubungan mereka memang tidak pernah putus, Yuya masih menganggapnya kekasihnya. Tulus dari dalam hatinya, Yuya tidak ingin menganti posisi Sayuri dengan siapapun.

Satu permintaan Yuya terkabul. Ruangan Sayuri telah dipindahkan ke ruangan normal, ke ruangan dengan pasien yang memiliki penanggungjawab. Ke ruangan persegi dengan tembok di keempat sisinya. Luasnya 5x5 meter. Tempat tidur yang terbuat dari kayu dan bantalan yang empuk. Televisi, meja kecil untuk tempat makanan, dan sebuah lemari pakaian. Yuya membelikan beberapa helai baju untuk perempuan itu. Walau belum ada yang bisa dipakai karena Sayuri belum bisa diajak pergi.

Hingga satu bulan, belum pernah Yuya dapatkan satu jawaban terlontar dari mulut gadis itu. Yang keluar dari bibir pucat itu hanya teriakan berisi amukan ketika kertasnya habis atau alat warnanya tidak berfungsi. Yuya dengan sabar menggantikan peran para perawat disana. Menghadapi amukan gadis itu sambil memberikan apa yang ia minta. Kertas putih, alat warna, semua dari uangnya.

Untuk sementara Yuya harus berhenti bekerja sebagai staff ahli di salah satu perusahaan internasional di Tokyo dan menyewa satu ruangan apartemen dekat rumah sakit di Osaka ini, agar Yuya bisa terus dekat dengan gadisnya.

Seperti sekarang, setiap hari dari pagi hingga Sayuri tertidur Yuya terus menemani. Melihat wajahnya saja sudah menenangkan hatinya. Menyuapinya makan, walau hanya tiga suap. Menyisirkan rambut panjang Sayuri setiap pagi dan sore setelah mandi. Menemaninya menggambar sambil mengarahkannya memilih warna. Merapikan tempat tidurnya dan membersihkan kamarnya. Kadang mengajaknya berjalan-jalan ke taman rumah sakit, sekadar menghilangan kepenatan kekasihnya itu. Semua untuk Sayuri.

Kaki Yuya terlipat. Baru saja ia selesai memakaikan kaus kaki untuk Sayuri. Matanya tidak pernah bosan melihat pemandangan itu. Sebulan lalu hatinya masih sabar menunggu kapan Sayuri akan mengeluarkan jawaban. Tetapi hari itu, entah mengapa Yuya tidak sabar. Ia ingin Sayuri berkata-kata.

Dari informasi-informasi yang Yuya dapatkan dari berbagai sumber, ternyata Sayuri menderita depresi hingga jiwanya terguncang begitu hebat dan mengakibatkan jiwanya sakit.

Sehari setelah hari kelulusannya, adik Sayuri meninggal di sebuah kecelakaan tragis karena kelalaian Sayuri melarang adiknya pergi dengan mobil keluarga mereka. Ayah Sayuri frustasi dan ibunya menderita kesedihan yang begitu dalam. Ayahnya menyalahkan Sayuri setiap hari. Tiga hari setelah pemakaman, Sayuri menemukan ibunya bunuh diri dengan menelan semua obat tidur yang diberikan dokter. Overdosis, Ibu Sayuri meninggal di toilet. Ayah Sayuri kemudian semakin menyalahkan Sayuri.

Ayah Sayuri lalu mendapat pekerjaan baru sebulan setelahnya dan mengharuskan mereka berdua pindah dari Tokyo menuju Osaka. Empat tahun mereka habiskan berdua. Sayuri dilarang melanjutkan sekolah. Gadis itu setiap hari bekerja membantu tetangganya di sebuah rumah makan kecil. Setiap hari, cacian dan makian yang diterima gadis itu. Kekerasan fisik tidak luput diterima Sayuri dari tangan Ayahnya sendiri. Ayahnya terus menyebutnya pembunuh. Apalagi Ayah Sayuri memaksa anak perempuannya menikah dengan anak bos Ayahnya. Karena penolakan itulah, Ayah Sayuri lalu dipecat dari pekerjaannya. Awan hitam semakin tebal ketika Sayuri melihat sendiri Ayahnya gantung diri di hadapan wajahnya. Sayuri diikat di sofa ruang keluarga oleh Ayahnya dan… Ayahnya tewas di depan matanya… setahun lalu. Hingga akhirnya seluruh saudara setuju untuk memasukkan Sayuri ke rumah sakit jiwa karena menganggap Sayuri sudah gila.

Tangan Sayuri berhenti bergerak. Kepala gadis itu mendongak dan mulai mengamuk. Ruang putih di kertasnya sudah habis. Tetapi Yuya diam saja.

“AAAAAAAAAAAAAAAA!!!” seru Sayuri liar.

Yuya sengaja tidak memberikan kertas kepada Sayuri, tetapi tubuh itu memeluk Sayuri yang sedang mengamuk. Mendekapnya seerat yang ia bisa. Mencoba meredam kemarahan gadis itu. Sayuri terus memberontak, meronta, berteriak, dan meminta kertasnya dengan liar.

Bicaralah, Sayuri… Aku ingin mendengar suaramu yang dulu lagi… Bukan teriakan seperti ini…

Tangan Sayuri berusaha melepaskan pelukan Yuya dengan kasar.

SRAAAK

Lengan kanan Yuya berdarah. Kuku gadis itu merobek kulit Yuya, membuatnya berdarah.

Menetes.

“Darah…” bisik Sayuri lemah.

Tersirat sedikit getir ketakutan di mata bulat itu. Wajah pucat itu terus melihat lengan Yuya yang terluka. Terdiam di tempat, mengunci matanya melihat darah yang keluar perlahan.

“Sayuri!” seru seorang perawat yang sudah berdiri diluar ruangan.

Yuya menatap perawat itu lalu mengatakan tanpa suara bahwa semua baik-baik saja. Senyum Yuya begitu senang. Sayuri berbicara, walau pelan, tetapi Yuya dengar.

“Darah?” bisik Sayuri. Mata coklat itu beralih ke mata hitam milik Yuya. Bertanya.

“Benar, Sayuri! Ini darah. DA-RAH. Dan aku TA-KA-KI-YU-YA. Ingat?” Yuya mendekatkan tubuhnya.

“Takaki Yuya,” ulangnya kosong.

“Benar, Sayuri! Benar!” Senyum lebar dan deret rapi gigi putih milik pria berambut kecoklatan mengisyaratkan kebahagiaan.

Sayuri berbicara. Sayuri menyebutkan namanya.

Tangan Yuya menyentuh tangan kanan Sayuri yang menenang. Genggaman hangatnya seolah ingin menghilangkan sedikit getir ketakutan Sayuri. Yuya tahu, Sayuri sedikit takut melihat tangannya berdarah karena kuku gadis itu mencakar lengannya.

“Kau takut?” tanya Yuya pelan sambil masih menggenggam tangan itu. Tidak ada penolakan, yang ada hanya tatapan kosong Sayuri yang kini berpindah ke lengannya yang berdarah.

Jari telunjuknya perlahan bangkit, menyentuh luka Yuya. Matanya lalu berpindah laki ke mata Yuya, seperti bertanya.

“Tidak. Tidak sakit, sayang. Ini tidak apa-apa.” Yuya tahu pertanyaan Sayuri. “Tanganmu sakit?”

Tangannya terlalu banyak bergerak, menggambar. Pasti ototnya lelah. Tapi, Sayuri hanya diam lalu dengan cepat beringsut menjauhi Yuya. Gadis itu terduduk di pojokan. Menggenggam krayon biru tua yang ada di sana. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh petir menyambar di luar sana dan diikuti sorak riuh hujan yang jatuh cukup lebat. Mata Yuya menangkap tubuh itu bergetar ketakutan. Mata Sayuri berkaca-kaca.

Cepat, Yuya mengambil tissue dan menghapus darah yang masih keluar dari tangannya. Kemudian Yuya menyandarkan tubuhnya ke sisi tembok yang sama. Tubuh mereka berjarak kira-kira 1.5 meter, mata Yuya menatap tubuh itu. Sayuri memeluk kakinya, tangan kanannya menggenggam krayon biru tua, matanya menatap jari telunjuk kirinya yang berwarna merah, dan ia menggigit bibir bawahnya.

“Sayuri…” panggil Yuya pelan. Perlahan tubuhnya bergeser mendekati Sayuri. “Sayang?”

Tidak, gadis itu tidak menjawab.

Tangan Yuya menangkap pelan jari telunjuk Sayuri. Yuya membersihkan darah yang menempel disana.

“Darah,” katanya lagi sambil menatap ke dalam mata Yuya. “Takaki Yuya.”

“Iya. Sakit sedikit, tetapi tidak apa-apa.” Yuya memberikan senyumnya.

Satu detik. Dua detik. Tiba-tiba air mata Sayuri terjatuh. Dengan cepat Yuya memeluk gadis itu. Yuya tidak tahu alasannya kenapa ia menangis, tetapi Yuya ingin merasakan kesedihan kekasihnya.

Kepedihan menyelimuti dada Yuya yang sudah terisi dengan suara Sayuri. Tangan Yuya mendekap erat tubuh yang bergetar. Kristal bening menetes, membasahi jaket Yuya. Sebuah belaian sayang dan lembut hinggap di kepala Sayuri. Kenapa gadis itu menangis?

“Kenapa, Sayuri?” Yuya menatap wajah gadis itu. Menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Matanya memerah, pipinya memerah, hidungnya memerah, bibirnya memerah. Yuya begitu senang melihat wajah itu tidak pucat lagi. Walaupun menangis, tetapi akhirnya Sayuri bereaksi setelah lama sekali gadis itu tidak memiliki emosi. Apa yang menyusup di hatinya? Apa yang sedang ia rasakan? Apa yang ingin ia ceritakan? Yuya ingin tahu.

“Kau kedinginan?” tanya Yuya pelan. “Dulu, kau tidak pernah menangis, Sayuri. Tetapi kau akan memelukku kalau kau sedang kedinginan. Aku akan memelukmu kalau kau sedang ketakutan. Tetapi kau tidak pernah menangis, sayang. Kenapa kau menangis? Ada apa?”

Tentu saja Sayuri tidak menjawab. Hanya butiran air matanya yang tahu alasan kenapa ia bisa keluar begitu deras.

Petir menyambar sekali lagi. Tangan Sayuri naik, menggenggam erat dan kasar jaket Yuya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya.

“Kau… takut?” tanya Yuya. “Jangan takut ya. Aku disini.”

Isak tangis itu semakin deras seiring hujan yang jatuh semakin lebat.

Tangan Yuya sekali lagi merengkuh tubuh itu semakin dalam dan bibirnya mengecup puncak kepala Sayuri. Tangan Sayuri masih meremas erat jaket Yuya. Gadis itu ketakutan. Betapa ia begitu takut dengan suara gemuruh yang kencang.

Lama. Yuya memeluk Sayuri cukup lama. Getar tubuhnya sudah hilang. Tidak ada lagi isak tangis ketakutannya. Sayuri tertidur di pundaknya.

Pertama kali, Yuya melihat wajah damai gadis itu. Yuya menidurkannya di tempat tidur dan menyelimuti Sayuri dengan selimut tipis berwarna hitam-putih. Yuya melepas jaketnya dan menambahkan jaketnya untuk menyelimuti Sayuri. Yuya tidak beranjak, ia tetap disana menemani kekasihnya yang tertidur dengan lelap.

“Oyasumi,” bisik Yuya tepat di telinga Sayuri.

*

“SA-YU-RI.” Yuya menggenggam tangan Sayuri, “Namamu Sayuri.”

“Sa-yu-“ Mata Sayuri menatap bibir Yuya yang bergerak melafalkan nama gadis itu, “-ri.”

Sayuri terduduk di lantai yang sudah dilapisi kain agar tidak terlalu dingin. Tangannya menggenggam spidol berwarna kuning dan sebuah kertas di depannya. Tangan Sayuri menari di sana, tetapi matanya dan wajahnya sudah tidak mengarah ke kertas lagi.

“Mau makan?” tanya Yuya.

“Sayuri,” ulang Sayuri lemah.

Yuya tertawa kecil. “Iya, iya. Mau makan, Sayuri?” tanya Yuya. “Aku suapin lagi. Mau ya?”

Tidak ada anggukan maupun gelengan kepala. Yuya mengambil piring sarapan Sayuri. Sayuri melihat ke dalam wajah Yuya, yang dilihat terus tersenyum.

Sudah mulai ada perubahan pada Sayuri. Perubahan besar. Gadis itu sudah tidak lagi terus terpaku pada kertas gambarnya yang tidak karuan. Entah, Yuya tidak bisa mengukur kebahagiaan yang sedang dirasakannya. Sayuri sedikit demi sediki sudah berubah. Yuya percaya, Sayuri tidak gila, ia hanya depresi dan Yuya yakin sekali Sayuri bisa sembuh, kembali menjadi Sayuri yang dulu.

“Kenyang?” tanya Yuya sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya, Sayuri menghabiskan makannya. Tidak lagi hanya makan tiga sendok. Tangan Yuya menyentuh dan menepuk-nepuk pelan kepala Sayuri.

Yuya lalu merasakan angin November semakin dingin. Yuya meraih kaus kaki Sayuri yang dilepas ketika gadis itu pergi mandi. Laki-laki itu dengan hati-hati memakaikan kaus kaki untuk Sayuri.

“Hangat?” tanya Yuya.

“Hangat,” ulang Sayuri. Suaranya serak.

Kaki Yuya melangkah mengambil syal dan jaket tebal yang sudah ia siapkan untuk Sayuri. Syal berwarna kuning dan jaket tebal berwarna sama dengan milik Yuya, biru tua. Yuya melingkarkan syal kuning itu ke leher Sayuri.

“Dulu, kau yang selalu memakaikanku syal. Ingat?” tanya Yuya pelan.

“Takaki Yuya,” jawabnya. Tidak ada arti, karena sejauh ini hanya beberapa kata saja yang bisa Sayuri katakan. Vokabulari kata-katanya seolah terhapus semua. Yang tersedia hanya ‘darah’ dan ‘Takaki Yuya’.

“Namaku?”

“Takaki Yuya.”

Sayuri tersenyum. Untuk pertama kalinya Yuya melihat senyum senang terulas di wajah perempuan itu.

“Namamu?”

“…”

Gadis itu belum ingat namanya.

Tangan Yuya meraih tangan dingin Sayuri dan meluruskan telunjuk gadis itu. Yuya mengarahkan telunjuknya ke dada Sayuri.

“Namamu, Sa-Yu-Ri. Sayuri.”

“Sayuri,” ulangnya.

“Namamu?” tanya Yuya sekali lagi.

“Sayuri.”

“Bagus.” Tangan Yuya menepuk-nepuk kepala gadis itu.

“Sayuri mau jalan-jalan?” tanya Yuya sambil terus tersenyum.

Yang diterimanya hanya tatapan kosong dari mata Sayuri yang mengarah ke bibirnya. Gadis itu memang belum bisa merespon pertanyaan-pertanyaan.

CUP

Sebuah ciuman lembut mendarat di bibir Sayuri. Pipi gadis itu memerah tipis. Lalu jemari Sayuri menyentuh bibirnya. Sayuri lalu mencoba menyentuh bibir Yuya. Yuya menangkap jarinya dan mengarahkan tangan itu ke bibirnya, lalu tersenyum, membiarkan Sayuri meraba wajahnya.

“Ha-ngat,” ujar Sayuri tiba-tiba. Gadis itu tersenyum lagi. Deret rapi giginya terlihat mengintip dari antara bibirnya.

*

Sore hari menjelang.

Yuya dan Sayuri sedang asyik memainkan boneka kecil hadiah ulang tahun yang Yuya berikan kepada gadis itu. Yuya begitu bahagia sudah bisa mendengar suara tawa Sayuri tepat di telinganya.

Tiba-tiba tangan Yuya membantu Sayuri berdiri. “Kita jalan-jalan yuk.”

Tangan Sayuri masih menggenggam erat boneka beruang kecil itu. Wajahnya bingung dan takut. “Tidak apa-apa, Sayang. Kita hanya akan berjalan-jalan sebentar keluar. Seperti biasa. Mau kan?”

Anggukan tertahan. Yuya memakaikan sepatu yang ia belikan untuk Sayuri. Tidak lupa ia memakaikan jaket tebal ke tubuh Sayuri. Yang ia dengar, salju akan turun sore itu. Yuya pun melingkarkan ulang syal di leher Sayuri.

Yuya memapah Sayuri dengan pelan. Mereka berdua berjalan menuju taman di rumah sakit. Sayuri menggenggam tangan Yuya sangat erat. Benar-benar erat, seolah ia begitu takut kehilangan pegangan tangan.

Kaki mereka sampai di taman yang agak sepi. Matahari sudah tertelan di sudut barat dan angin dingin mampu menusuk tulangmu jika kau lupa memakai jaket. Yuya membawa Sayuri duduk di sebuah kursi di pinggir taman.

“Sayuri ingat dulu kita sering jalan-jalan di taman sekolah. Seperti ini juga. Bedanya, dulu kau begitu sehat dan ceria. Senang berbicara sampai-sampai aku bingung harus menjawab bagian yang mana. Sayuri ingat?” tanya Yuya pelan.

Yang ada hanya tatapan kosong Sayuri ke mata Yuya.

“Secepatnya, kita akan bertemu orangtuaku. Aku ingin menikah… dengan Sayuri.”

Dalam situasi normal, seorang wanita akan terenyuh dan menitikkan airmata. Tetapi dengan situasi seperti ini, sebaliknya malah mata Yuya yang berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat kekasihnya hanya menatap wajahnya kosong tanpa bisa membalas kata-katanya. Mengingat betapa Sayuri dulu begitu ceria dan berisik, kini gadis itu berteman akrab dengan keheningan. Tidak pernah Yuya bayangkan hidup gadis itu sebelum bertemu lagi dengannya. Betapa ia selalu diam tanpa ada satu orang pun yang mampu menyentuh hatinya yang dingin.

Tangan Sayuri terangkat dan menghapus air mata yang menetes di pipi Yuya. Tangannya begitu hangat menyentuh pipi itu. Yuya menangkap telapak tangan itu dan merasakan kehangatan yang dulu pernah dirasakannya, hangat yang sama.

“Kau harus kembali seperti dulu, Sayuri. Aku akan terus membantumu.”

PLUK

Tanpa suara, setitik salju terjatuh perlahan, tepat di hidung Sayuri. Yuya tertawa geli. Tangan Sayuri dengan cepat menghapus air yang ada di hidungnya, kemudian gadis itu ikut tertawa.

Yuya menggenggam tangan Sayuri. “Dingin?”

“Di-ngin,” ulang Sayuri. Yang bisa gadis itu lakukan hanya mengulang kata-kata yang dilontarkan Yuya.

Yuya mengarahkan telapak tangan Sayuri untuk menerima jatuhnya salju. Setitik salju jatuh ditangan gadis itu, lalu dengan cepat mencair dan menjadi air. Sayuri malah tertawa. Mungkin baginya, itu adalah sebuah keajaiban. Yuya merapatkan tubuhnya, menghangatkan tubuh Sayuri.

“Senang?” tanya Yuya.

Walau tahu Sayuri hanya akan mengulang kata-katanya, tetapi Yuya tidak pernah berhenti mengajak Sayuri berbicara. Siapa lagi yang mampu mengajaknya berbicara kalau bukan dia.

“Senang,” ujar gadis itu.

Malam tidak menyurutkan senyum senang Sayuri hari itu. Besok, Yuya akan membawa Sayuri menemui ibunya. Yuya ingin menikahi Sayuri, secepatnya. Yuya tidak ingin lagi berpisah dari gadis itu. Ia ingin selamanya menjaga Sayuri. Selamanya.

***END***

YAK! Kalo ada yang mo lanjutin silahkannn~
Gatel pengen ngepost ini, jadi yodah segini ajah.
Komen kritik juga boleh kok. Hehehe.
Makasih udh baca :D

genre: romance, theme: non-yaoi, rating: pg-13, type: oneshot, genre: fluff, author: angelika20, fandom: hey!say!jump, pairing: takaki yuya/oc

Previous post Next post
Up