Protecting the Love

May 30, 2010 15:24

Title: Protecting the Love
Author: Angel
Requester: irin_chuu / myaquamrine
Genre: Romance *ada ide genre lain? Haha. Komedi mungkin.*
Rating: T, slight Ad/NC-17 <-- warning!
Theme: Yaoi / Non-Yaoi
Casts: Yabu Kouta, Ayanari Aoi (OC - irin_chuu/Irin)
Discl.: Cuma memiliki jalan cerita. Hehehe ;p
A/N: KYANG~ pake adegan Ad karena rikues desu *lirik2 irin a.k.a. ratu ero* *kabur*




Satu hal yang masih bisa disyukuri oleh anak perempuan satu-satunya keluarga Ayanari yaitu kecepatan berlarinya yang lumayan bisa diacungi jempol. Untuk apa? Untuk kabur tentu saja!

Hei, siapa yang tidak dongkol jika harus dikurung di rumah seperti ini. Hmm… mungkin tempat ini, rumah keluarga Yabu, bukan lagi disebut rumah tapi istana! Ya, istana. Sangat besar dan luas. Tidak heran, keluarga Yabu kan termasuk dalam jajaran keluarga terkaya di Jepang. Dan harusnya Aoi, nama gadis itu, beruntung kan bisa tinggal disana. Plus sebagai… tunangan putra pertama keluarga itu.

Ribuan gadis mengantri diluar sana untuk menjadi kekasih Kouta dan Aoi terpilih langsung. Kouta sendiri yang memilihnya dari ribuan gadis lain yang tidak mengantri. Dan tidak perlu ada pendekatan lebih lanjut, mereka segera bertunangan. See, Aoi kau sangat beruntung.

Aoi tahu nasibnya kenapa bisa tidur di dalam ruangan suite dan di atas king size bed. Tentu saja orangtuanya. Mereka ingin menyatukan perusahaan keluarga Ayanari dengan perusahan sesukses perusahaan keluarga Yabu. Dan syaratnya hanya satu, menjadikan Aoi tumbalnya. Korban satu-satunya untuk bertunangan dengan pewaris tunggal perusahaan keluarga Yabu. Tapi saat itu Aoi malah menangis dan menolak. Kalau bukan karena Kaa-sannya yang membujuk Aoi untuk mencoba hubungan itu, amit-amit! Aoi berani kabur dari rumah untuk menghindari pertunangan itu.

Dan sekarang gadis itu sedang duduk di meja makan. Mengikuti beauty class. Seorang guru datang untuk mengajarkan Aoi secara private caranya memoles wajah menjadi cantik dengan tangan sendiri.

“Tuan putri itu harus cantik. Itu sudah hukum mutlak. Ayanari-san pun harus bisa. Ne?”

Ingin rasanya Aoi menjejalkan mulut guru kecantikannya dengan lipstick merah yang sedang ia genggam. Sumpah, Aoi sudah bosan melihat wajahnya di warnai tak karuan tetapi tetap terlihat tidak memakai apa-apa. Percuma kan?! Wajahnya tetap bersih. Tidak ada yang berubah. Ah, Aoi tidak mengerti fungsi alat make-up.

“Sensei, sepertinya cukup untuk hari ini. Aoi-sama sudah terlihat lelah. Satu jam lagi dia sudah ada acara lagi ja-“

“HA?!” seru Aoi kaget. Dia bahkan tidak tahu apa yang akan dia lakukan seharian. Ada seorang asisten pribadi yang dipersiapkan Kouta untuk mengurus segala keperluannya. Jadi Aoi harus berpasrah diri menerima segala rencana yang sudah tertata rapi oleh wanita dewasa itu.

“Aoi-sama, Anda harus siap-siap. Waktu kita mepet, hanya 30 menit. Nanti Kouta-sama akan menjemput dan mengajak Anda jalan-jalan. Refreshing.”

Aoi berdiri dan digiring ke kamarnya oleh dua pelayan perempuan berpakaian seragam. Belum sempat Aoi protes, mulutnya sudah kehilangan kemampuan untuk melafalkan kata-kata setelah melihat senyum hipnotis Mika-san.

Di dalam kamar pun Aoi begitu tersiksa. Ia tidak lagi merasakan memiliki ruang gerak sebebas dulu. Disuruh mandi lagi, padahal ia sudah mandi pagi, dan dalam waktu singkat. 5 menit! Gila! Tidak pernah Aoi mandi bebek seperti itu sebelum menginjakkan kaki di rumah itu. Itulah aturannya jika punya acara mepet. Harus mandi cepat, dipakaikan parfum yang banyak, didandani, disisiri, didekorasi seperti mendekorasi bunga. Begitu teliti.

Kira-kira ada 5 pelayan yang menemai Aoi di dalam kamarnya yang sebesar lapangan basket itu. Seorang menyiapkan pakaian Aoi, dua orang menata rambut panjang hitam legamnya, dua orang lagi menyiapkan pretelan yang akan digunakan Aoi. Toh hasilnya simple juga. Hasil kerja 5 orang pelayan tidak jauh berbeda dengan jika ia mendandani dirinya sendiri. Ah-Kouta itu sungguh keterlaluan.

Si licik itu. Aoi benar-benar membenci Kouta. Kouta menganggapnya sebagai barang yang dapat dimiliki penuh olehnya dan dapat dibeli dengan uang. Sial, kutuk Aoi. Kouta yang posesif, diktator, dan… itu lagi, licik! Tapi bukan salah cowok itu jika dia dilahirkan menjadi seorang yang berwibawa. Aura pemimpinnya sudah terpancar sejak ia duduk di bangu SMP. Tidak heran sejak saat itu Kouta langsung disekolahkan ke luar negeri demi masa depan perusahaan mereka.

“Aoi-sama, Kouta-sama sudah menunggu di luar,” ujar seorang pelayan yang baru muncul di ambang pintu kamar Aoi sambil menunduk.

Aoi hanya bisa mengangguk. Lalu matanya kembali menatap pakaian yang sedang ia kenakan. Mini dress dengan cropped jacket hitam. Aoi tidak nyaman dengan baju itu.

Betapa ia benci tinggal dirumah itu. Auranya… urgh, jelek sekali!

Sepasang sepatu high-heels Aoi bernyanyi dalam satu nada dan membawa gadis itu sampai di ambang pintu masuk rumah mewah keluar Yabu. Disana, mata coklat Aoi menangkap sosok Kouta yang sudah berada di dalam mobil sedan mewah berwarna hitam mengkilap. Kouta menurunkan kacamata hitamnya dan melirik Aoi.

“Cepat masuk,” serunya dari dalam.

Aoi berjalan seenaknya. Tidak ada aura feminin sama sekali. Saat duduk, Aoi sibuk menutupi bagian yang seharusnya tidak terlalu terbuka. Apalagi disebelahnya ada Kouta. Sungguh, Aoi tidak nyaman memakai baju itu. Roknya terlalu pendek dan mata Kouta sungguh mengganggu.

Sekilas sudut mata Aoi menangkap sebuah mobil besar berwarna hitam mengikuti mereka dari belakang. Wajahnya berubah kaget dan takut seketika.

“Tenang saja. Mereka bukan siapa-siapa. Hanya menemaniku. Kalau-kalau kau nanti kabur lagi,” ujar Kouta santai sambil terus mengendari mobilnya. “Sudah makan?”

Aoi mengangguk. Berdehem kecil, tandanya ya.

“Tadi pelajaran kecantikan kan?”

Anggukan.

“Ah, padahal aku sudah bilang pada Kaa-san kalau kau tidak perlu kelas itu. Kau kan sudah cantik.” Terdengar tawa ringan Kouta dengan lirikan mata nakalnya. “Sebelumnya kelas apa sih? Eigo ya?”

Cukup diam saja. Kouta sudah menjawab pertanyaannya sendiri.

“Kok diam?”

Suka-suka dong ah! Protes aja deh! Sumpah Aoi ingin menyumpal mulut Kouta dengan sepatunya sekarang.

“Hei…” Tangan Kouta menyentuh tangan Aoi lembut. Tapi gadis itu buru-buru menarik tangannya kembali.

Kouta tiba-tiba memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. Cowok itu menyambut tatapan marah Aoi. “Kenapa? Tidak suka tanganmu kupegang? Kau tunanganku!”

“Bukan berarti kau bisa seenaknya menyentuhku! Jangan sekalipun berharap!” seru Aoi marah.

Setiap kali mereka akan selalu bertengkar seperti itu. Aoi benar-benar tidak bisa menjaga perlakunya jika sudah bertemu Kouta. Kebenciannya akan keluar begitu saja. Melihat wajah cowok itu saja Aoi sudah muak setengah mati.

Tetapi tidak dengan Kouta. Cowok itu sungguh mencintai Aoi. Menggilainya setengah mati. Menyukai, mengagumi, dan memujanya. Hasrat untuk memiliki gadis itu sungguh besar. Tidak heran jika itu menjadikannya posesif. Kouta tidak peduli jika Aoi membencinya. Yang penting Kouta memiliki Aoi di sampingnya. Segera, mereka akan menikah segera.

Kouta percaya, sedikit-sedikit, perlahan-lahan, Aoi pasti dapat membuka hatinya padaku. Hanya itu yang Kouta yakini.

Kouta melepas genggaman tangannya dan mengembalikannya ke pegangan stir lalu kembali mengemudi dalam diam. Berdua bersama Aoi saja cukup menenangkan Kouta. Jika Aoi memang tidak ingin diajak bicara, Kouta tidak memaksa. Yang penting Aoi dapat menginjeksikan aura ekstasinya pada Kouta hingga menenangkan jiwanya.

*

Kouta membawa Aoi ke toko perhiasaan. Rencananya mereka akan memesan sepasang cincin. Tapi sejak setengah jam yang lalu, setelah lima menit melihat-lihat koleksi cincin di toko-toko tersebut, tidak ada satu model pun yang Aoi suka. Kou mengikuti keinginan Aoi saja.

“Tidak suka.”

“Umm… Nggak ada.”

“Nggak.”

“Ah, yang lain deh.”

Tanpa lelah Kouta tetap menemani Aoi, tanpa menyentuh gadis itu sedikitpun. Berjalan bersama menyusuri deratan pertokoan disana. Memasuki setiap took perhiasan yang mereka temui. Menyapa sang empunya toko sebentar lalu pergi lagi karena Aoi tidak menemukan cincin yang cocok untuknya.

“Udah ah. Aku capek. Nggak ada yang bagus,” ujar Aoi. Wajahnya ditekuk menjadi dua. Dia cemberut. Bosan, jenuh, capek. Terlihat jelas diwajahnya. “Pulang aja deh.”

Kouta mengangguk mengerti. “Besok cari di tempat lain deh.”

Kaki mereka melangkah bersama menuju tempat mobil diparkir. Dipinggir jalan karena daerah pertokoan yang mereka datangi itu di pinggir jalan namun dengan deretan nama toko berkelas. Ramai, penuh, bahkan Kou saja hampir tidak mendapat parkir tadi.

Tubuh Kou sedikit merapatkan diri ke samping Aoi. Takut tubuh gadisnya itu diapa-apakan oleh orang tak dikenal. Kecurigaan Kou beralasan. Dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk. Tempat ini ramai dan bukan tidak mungkin nanti tas Aoi bisa dijambret orang. Walaupun Kou sudah memiliki 2 bodyguard yang ikut berjalan mengikuti mereka dibelakang, tetapi tetap saja Kou merasa dialah yang paling bertanggung jawab akan Aoi sekarang.

Kou membukakan pintu untuk Aoi, tetapi mata gadis itu melirik ke sebuah booth ice cream yang berada di perempatan jalan di belakang mereka.

“Aku mau beli ice cream dulu.”

Kou menarik tangan Aoi. “Tidak boleh! Itu kotor! Nanti aku belikan. Kita makan dirumah.”

Dahi gadis itu mengkerut, mayun, sebal sesebal-sebalnya! “Hei! Kau itu bukan orangtuaku! Bahkan Kaa-san saja tidak pernah melarangku beli ice cream! Seumur-umur entah sudah berapa ton ice cream yang aku beli di pinggir jalan tapi aku tidak mati kan?!” seru Aoi marah.

“Dengarkan aku, Ao!”

“APA?!” Wajah Aoi menantang.

“Pulang sekarang! Kau yang minta. Ingat?”

DUG!

Secepat kilat kaki Aoi menginjak sepatu mahal Kou dengan keras dan segera berlari. Kabur!

Sial! Kaki Aoi sudah tidak cukup kuat untuk dibawa berlari secepat biasanya. Aoi lupa kalau dia baru saja memforsir kakinya untuk berjalan mengelilingi pusat pertokoan itu. Argh-

HOP!

Tangan besar seorang pengawal menangkap tubuh mungil Aoi.

“KYAAAA!!! LEPASKAN AKU, BAKA! HUWAAAAA!!!” Aoi meraung-raung, meminta pertolongan, memohon agar raksasa itu menurunkannya ke tanah. Tangan Aoi mengepal, memukul-mukul punggung besar laki-laki menyeramkan itu.

Dengan pelan, seperti menurunkan kaca, raksasa itu memasukkan tubuh Aoi ke dalam mobil Kouta. Wajah cowok itu berubah geram dan marah. Tepat ketika Kouta membanting pintu kemudi, air mata Aoi mengalir. Hidupnya tidak pernah senyaman dulu lagi. Cowok di sebelahnya itu merubah segalanya. Aoi membenamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya dan disana, hanya Aoi yang mengerti perasaan terkekangnya. Kouta tidak pernah mengerti dan tidak akan pernah.

*

Dengan kasar Kou menarik tangan Aoi dan membawa gadis itu masuk ke kamarnya. Beberapa pelayan yang melihat kejadian itu bergidig kesakitan mendengar suara Aoi yang melengking minta tolong agar dilepaskan. Tetapi Kou tidak mau Aoi-nya pergi lagi. Genggaman tangan itu semakin keras.

Kou melempar tubuh Aoi jatuh ke tempat tidurnya. Disana, Kou dapat melihat dengan jelas sisa-sisa airmata Aoi. “Mulai hari ini, kau dikurung disini! Dengar?!”

Aoi tidak menjawab. Pertanyaan itu juga tidak memiliki jawaban lain selain ya. Itu juga bukan pertanyaan. Tetapi pernyataan bahwa apapun yang Kou katakan kepadanya harus dituruti Aoi atau kejadian buruk akan terjadi.

“Ka-Kau gila, Kou!” seru Aoi sedikit berseru.

“Apa?!”

“Gila! Kau gila!”

Kou tersenyum licik dan dengan kakinya ia menutup pintu kamarnya. “Apa? Apa yang salah?”

“Katakan, apa tujuanmu?! Hah?!”

Kou mendekati Aoi yang tetap duduk tidak nyaman di pinggir ranjang besar cowok itu. “Tentu saja untuk memilikimu, gadis sombong!”

“Cih, aku tidak percaya! Pasti ada ma-“

CUP!

Bibir Kou sudah menempel dengan sempurna sebelum Aoi menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu memilik aura yang selalu membuat Kou penasaran untuk merebut hatinya. Kou berambisi untuk memiliki gadis itu seutuhnya.

Yabu Kouta tidak main-main. Keinginannya bulat. Tidak dapat ditunda lagi. Ia ingin mengambilnya sekarang. Jika tidak, gadis itu pasti memiliki kesempatan untuk kabur. Itu juga salah satu cara untuk mempercepat pernikahan mereka. Kalau memang berhasil, masih ada waktu 9 bulan untuk membuat Aoi mencintainya.

“KO-KOUTA KAU GILA!” seru Aoi panik.

“Kau akan segera menjadi milikku seutuhnya, Aoi. Persiapkan dirimu.”

Dalam hitungan detik Kou sudah berhasil mengunci mulut Aoi dan membuang semuanya. Hingga pada akhirnya yang tersisa hanya isak tangis tertahan Aoi dan wajah penuh kupuasan yang terlihat jelas di wajah Kouta. Mata menatap Aoi, tangannya membelai lembut rambut panjang Aoi, bibirnya mencium pipi Aoi. Kou memeluk Aoi, kini Aoi tidak menolak.

“Ya ampun, semua orang malah mau ya jadi kekasih Kouta-sama. Eh, Aoi-sama malah menolak. Haduh, mendingan Kouta-sama untuk anakku aja,” ujar salah seorang pelayan yang sedang bergosip ria di luar ruangan.

“Hush! Kayak Kouta-sama mau aja sama anakmu,” sahut yang lain.

“Kira-kira mereka ngapain ya didalam? Hihihi, jeritan Aoi-sama kekencengan tuh!”

Bagi para pelayan, sungguh peristiwa itu menjadi cerita seru untuk dibicarakan. Tawa canda dan lelucan terlontar keluar setelah mendengar pintu Kouta-sama mereka tertutup kencang setengah jam yang lalu.

Bagi Kouta, itu merupakan bukti keseriusannya. Terserah bagaimana Aoi menanggapinya. Kouta sedang kehilangan kewarasannya.

*

“Ne, Kaa-san…”

“Ya?”

“Jadi kapan pernikahan dilangsungkan?”

“Sudahlah. Yang penting jaga tubuhmu dulu. Kenapa sih kau jadi sakit begini? Kau tidak hamilkan?”

“Eh?! Tentu saja tidak!” Walau sebenarnya aku pun tidak tahu. “Kenapa sih aku nggak ikut diajak diskusi tentang pernikahan itu?”

“Perempuan itu lebih baik nurut saja, Aoi. Toh nanti waktunya akan datang.”

“Ta-“

“Kalau kau tahu, Kou takut nanti kau malah stress. Dia bilang lebih baik nanti dia yang cerita katanya.”

“Ah, aku malas ngomong dengannya.”

“Hei, dia itu calon suamimu, Aoi. Ku pikir kau sudah melunak terhadapnya.”

“Tidak tahu deh.”

“Aoi…”

Anak perempuannya malah membuang muka. Melihat wajah Aoi cemberut, Kouta memutuskan untuk masuk ke kamar Aoi. Gadis itu sedang sakit dan meminta untuk bertemu dengan Ibunya. Tentu saja permintaan itu Kou kabulkan. Dia tidak sejahat itu untuk melarang calon istrinya bertemu dengan orang yang melahirkan dia.

“Kou,” sapa Ibu Aoi.

Aoi masih membuang wajahnya. Melihat ke arah luar jendela. Betapa bahagianya burung-burung disana dapat bermain dengan ceria dan bebas. Aoi iri. Dia ingin lepas. Lepas dari tangan si gila Kouta.

“Aoi, ini ada Ko-“

Kouta malah meletakkan jari telunjuknya di depan bibir merahnya. Melarang Ibu Aoi menganggu konsentrasi sang tuan putri yang sedang sakit.

Tubuh Aoi panas sejak seempat hari yang lalu. Tinggi, hingga kadang menggigil. Aoi tahu Kou yang menjaganya setiap malam. Menghentikan seluruh pekerjaan perusahaan demi calon istrinya. Duduk dan berdiri melihat kondisi Aoi. Kou meletakkan thermometer di tubuh gadis itu. Memperhatikan perkembangannya. Semalam, berkali-kali Aoi memanggil ibunya, di pagi hari Kou segera menyuruh supir untuk menjemput ibu Aoi ke rumahnya.

Tapi Kou tidak berani menyentuh Aoi. Dia… merasa bersalah.

“Aoi, kau belum makan kan? Mau Kaa-san suapin?” tanya Kaa-san lembut sambil menyentuh pundak Aoi.

Anak gadisnya menggeleng dan berkata, “Kaa-san pulang saja. Nanti kalau aku kangen, aku telepon Kaa-san ke rumah.” Tapi mata gadis itu tidak melihat mata ibunya, mata yang begitu serupa denga miliknya. “Aku akan baik-baik saja.”

Entah apa yang sempat Kou dan ibu Aoi diskusikan diluar kamar, Aoi tidak peduli. Aoi berbalik dan menatap langit-langit. Kamarnya sudah kosong. Setitik airmata gadis itu mengalir. Melihat betapa kasiannya dia, terpenjara di rumah calon suaminya yang begitu mewah. Tuan putri yang menyedihkan.

Telinga Aoi menangkap langkah kaki yang perlahan masuk ke kamarnya. Itu pasti Kou, Aoi tahu. Belum jadwalnya dokter keluarga Yabu datang untuk menyuntikan vitamin untuknya. Aoi tidak mau makan. Makan juga tidak membuat kebahagiannya kembali.

Pria berambut coklat itu duduk agak jauh dari tempat tidur Aoi. Sungguh, dia tidak berani mendekati Aoi. Dia merasa berdosa. Kejadian satu bulan lalu justru menghantuinya.

“Sudah merasa baikan?” tanya Kou lembut.

Tapi seperti biasa, Kou tidak akan pernah mendengar jawaban dari mulut Aoi jika dia bertanya.

Hati Kou sungguh pedih melihat wajah Aoi pucat sepanjang hari. Panas di tubuhnya sungguh membuat Kou ikut sakit. Kalau Kou berani, dia tidak akan mengizinkan dokter masuk untuk menyuntikkan benda tajam itu ke dalam tubuh Aoi. Kalau saja Kou tidak ingat yang disuntikkan adalah vitamin pengganti makanan pasti ia sudah melakukannya dari hari pertama Aoi sakit.

Pertama kali jarum suntik itu menembus kulit Aoi, air mata Aoi menjadi air matanya. Jeritan sakit yang keluar dari mulut gadis itu sungguh membuat hatinya berdarah. Tidak tega. Kedua, ketiga, keempat masih sama. Aoi tidak tahan dengan jarum suntik yang harus diinjeksikan sehari tiga kali. Hingga sampai kemarin siang, Aoi malah tidak bereaksi. Secepat itukah tubuhnya kebal dengan jarum. Tetapi itu malah membuat Kou semakin sakit. Kebal. Diajak bicara oleh dokter pun sudah tidak menyahut.

Aoi marah.

“Kau… ingin kita…”

Kou tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Otaknya berputar mencari kata-kata yang tepat. Kou memang pandai, tetapi di saat seperti ini, dia bukan Yabu Kouta yang jago berbicara.

“Baiklah. Jika kau memang tidak ingin menikah denganku, tidak apa-apa.”

Aoi tetap tidak bereaksi.

Kou menjatuhkan lututnya ke lantai, tepat disamping Aoi. Menggenggam erat selimut tebal Aoi, seolah itu adalah tangan Aoi.

“Bicaralah, Aoi. Bicara padaku.”

Sekali lagi Aoi membalikkan kepalanya ke luar kamar. Satu kalimat yang keluar dari mulut Aoi, untuk pertama kalinya. “Pilihan hidupku hanya dua, menikah denganmu atau mati.”

“Tidak. Aku tidak akan memutuskan tali hubungan kerjasama perusahaan keluarga kita. Asal kau bahagia, itu cukup untukku.”

“Ne, jangan bilang-bilang ya, tapi ibumu yang mengatakan seperti itu padaku.” Aoi berbalik menatap wajah Kou sambil tersenyum pahit, “Jadi kapan pernikahan dilangsungkan?”

Kou tersentak kaget.

Aoi menggigit bibirnya. Setetes airmata terjatuh membasahi pipi merahnya. Dan dengan cepat Kouta menghapus air itu. Lembut, bibirnya menempel di dahi Aoi. Tidak ada penolakan. Aoi menyerah. Entah sejak kapan.

“Tidak satu pun orang boleh membuatmu menangis. Termasuk ibuku.”

“Apa kau benar-benar mencintaiku?” tanya Aoi pelan. Suaranya bergetar.

Kou menangkap kedua tangan Aoi yang hangat. Mencium tangan itu lembut, lalu mata mereka ebrtemu. “Lebih dari yang sudah aku tunjukkan.”

“Tapi selama ini kau jahat padaku!”

Air mata Kou menetes. “Maaf,” ujar Kou. “Aku hanya ingin kau menjadi milikku. Tetapi aku salah. Aku tahu.”

Keduanya terisak. Tenggelam dalam emosi masing-masing. Hingga akhirnya jemari Aoi terlepas dari genggaman Kou, lalu menghapus lembut airmata Kou. Kou menangkap kembali tangan itu. Menyatukannya lagi dalam genggamannya.

“A-Aku terlalu berdosa untuk kau sentuh. Aku, aku sungguh minta maaf, Aoi. Aku tidak akan memaksamu.”

“Aku tidak akan memaafkanmu sebelum kau mengatakan apa yang terjadi dengan tubuhku.”

Kou menyentuh perut Aoi yang masih rata dan tersenyum pahit. “Kau mengandung anakku.”

Tangan Aoi langsung menyentuh tangan Kou yang membelai lembut perutnya. Setitik airmata kebahagiaan disana. Biar bagaimanapun juga itu adalah bayinya juga. Tangan Kou memimpin tangan Aoi mengelus lembut perut perempuan itu.

“Arigatou…” ujar Aoi lembut.

Kou mengeryitkan dahinya. “Untuk?”

“Untuk mencintaiku dan memberikanku alasan untuk tetap bersamamu.”

Satu tangan Kou membelai rambut Aoi. “Aku tahu kau membenciku. Kenapa masih disembunyikan? Kalau memang kau tidak mencintaiku, aku akan membatalkan semuanya. Kau boleh membawa bayi ini dan aku akan tetap membiayai kalian. Tenang saja, aku akan tetap menjaga kalian. Asal kau bahagia.”

“Hidup itu bukan tentang uang dan kekuasaan. Tetapi tentang bagaimana belajar menghargai hidup dan mencintai.” Aoi tersenyum simpul. “Sebenarnya sedikit hatiku sudah terbuka untukmu sejak kau menyentuhku. Bagaimana kau menjagaku, aku tahu kau tulus, Kou.”

Kou tergelak dalam diam. Dia tidak menyangka perempuan itu akan berbicara selembut itu padanya. Bukan lagi satu kata singkat. Matanya berkata-kata penuh arti.

“Aku mau mencintai Kou seperti Kou mencintaiku. Asal kau berjanji satu hal.”

“Apa?”

“Berikan sedikit saja kebebasan untukku bergerak. Aku tidak tahan hidup terkekang di penjara mewah ini.”

Kou mengangguk dan tersenyum lebar. “Apapun untukmu, sayang-eh, apa aku sudah boleh memanggilmu seperti itu?” tanya Kou lembut.

Aoi mengangguk dalam kelegaannya. Tangan mereka berdua menari diatas perut Aoi. Bersama, Aoi memutuskan untuk belajar mencintai pria itu. Ayah dari bayi yang masih tertidur lelap di dalam perutnya. Hingga suatu saat nanti, Aoi pun yakin, mereka berdua akan membangun keluarga dalam kebahagiaan.

Cerita lalu hanyalah sepenggal kisah dari perjalanan mereka yang akan berakhir bahagia. Karena dalam kisah mana pun, tuan putri dan pangeran akan hidup bahagia selamanya, bukan?

***END***ARRRRHHH NGARANG ABISSSSSSSS~!!!
KYAAAAAAAAAAAAA~~~ *jambak rambut*
*capek njerit*
Semoga suka yaaa :D

Comments and feedbacks are appreaciated

genre: romance, theme: non-yaoi, pairing: yabu kota/oc, type: oneshot, author: angelika20, rating: nc-17, fandom: hey!say!jump

Previous post Next post
Up