Nyanyian Angsa (Song of the Swan) - W.S Rendra

Nov 22, 2009 23:01

Last night, i came to a theater performance

It's a very good performance, yet the story and moral value are so rich

This performance was based on a poem, by W.S. Rendra, an honored poet throughout the world

It reflects the sin and evil of man, yet it fails to reflect who God really is

Although overall it's not teaching the ultimate truth, it's such a slap on people's cheek

A slap for not caring for the unwanted

for failing to notice the rejected

and for actively ignoring someone crying for help

For those who speak Indonesian, I'd like to repost this

Here it comes, the poem of the famous W.S. Rendra, Nyanyian Angsa


Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:

“Sudah dua minggu kamu berbaring.

Sakitmu makin menjadi.

Kamu tak lagi hasilkan uang.

Malahan kapadaku kamu berhutang.

Ini beaya melulu.

Aku tak kuat lagi.

Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.

Wajahnya tegas dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Maka darahku terus beku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang sengsara.

Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.

Matahari terik di tengah langit.

Tak ada angin. Tak mega.

Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.

Tanpa koper.

Tak ada lagi miliknya.

Teman-temannya membuang muka.

Sempoyongan ia berjalan.

Badannya demam.

Sipilis membakar tubuhnya.

Penuh borok di klangkang

di leher, di ketiak, dan di susunya.

Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.

Sakit jantungnya kambuh pula.

Ia pergi kepada dokter.

Banyak pasien lebih dulu menunggu.

Ia duduk di antara mereka.

Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.

Ia meledak marah

tapi buru-buru jururawat menariknya.

Ia diberi giliran lebih dulu

dan tak ada orang memprotesnya.

“Maria Zaitun,

utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.

“Ya,” jawabnya.

“Sekarang uangmu brapa?”

“Tak ada.”

Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.

Ia kesakitan waktu membuka baju

sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.

“Cukup,” kata dokter.

Dan ia tak jadi mriksa.

Lalu ia berbisik kepada jururawat:

“Kasih ia injeksi vitamin C.”

Dengan kaget jururawat berbisik kembali:

“Vitamin C?

Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”

“Untuk apa?

Ia tak bisa bayar.

Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.

Kenapa mesti dikasih obat mahal

yang diimport dari luar negri?”

(Malaikat penjaga Firdaus.

Wajahnya iri dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Aku gemetar ketakutan.

Hilang rasa. Hilang pikirku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang takut dan celaka.)

Jam satu siang.

Matahari masih dipuncak.

Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.

Dan aspal jalan yang jelek mutunya

lumer di bawah kakinya.

Ia berjalan menuju gereja.

Pintu gereja telah dikunci.

Karna kuatir akan pencuri.

Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.

Koster ke luar dan berkata:

“Kamu mau apa?

Pastor sedang makan siang.

Dan ini bukan jam bicara.”

“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”

Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.

Lalu berkata:

“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.

Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”

Lalu koster pergi menutup pintu.

Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.

Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.

Setelah mengorek sisa makanan dari giginya

ia nyalakan crutu, lalu bertanya:

“Kamu perlu apa?”

Bau anggur dari mulutnya.

Selopnya dari kulit buaya.

Maria Zaitun menjawabnya:

“Mau mengaku dosa.”

“Tapi ini bukan jam bicara.

Ini waktu saya untuk berdo’a.”

“Saya mau mati.”

“Kamu sakit?”

“Ya. Saya kena rajasinga.”

Mendengar ini pastor mundur dua tindak.

Mukanya mungkret.

Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:

“Apa kamu - mm - kupu-kupu malam?”

“Saya pelacur. Ya.”

“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”

“Ya.”

“Santo Petrus!”

Tiga detik tanpa suara.

Matahari terus menyala.

Lalu pastor kembali bersuara:

“Kamu telah tergoda dosa.”

“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”

“Kamu telah terbujuk setan.”

“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.

Dan gagal mencari kerja.”

“Santo Petrus!”

“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.

Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.

Yang nyata hidup saya sudah gagal.

Jiwa saya kalut.

Dan saya mau mati.

Sekarang saya takut sekali.

Saya perlu Tuhan atau apa saja

untuk menemani saya.”

Dan muka pastor menjadi merah padam.

Ia menuding Maria Zaitun.

“Kamu galak seperti macan betina.

Barangkali kamu akan gila.

Tapi tak akan mati.

Kamu tak perlu pastor.

Kamu perlu dokter jiwa.”

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya sombong dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Aku lesu tak berdaya.

Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Jam tiga siang.

Matahari terus menyala.

Dan angin tetap tak ada.

Maria Zaitun bersijingkat

di atas jalan yang terbakar.

Tiba-tiba ketika nyebrang jalan

ia kepleset kotoran anjing.

Ia tak jatuh

tapi darah keluar dari borok di klangkangnya

dan meleleh ke kakinya.

Seperti sapi tengah melahirkan

ia berjalan sambil mengangkang.

Di dekat pasar ia berhenti.

Pandangnya berkunang-kunang.

Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.

Orang-orang pergi menghindar.

Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.

Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.

Kemudian ia bungkus hati-hati

dengan daun pisang.

Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya dingin dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Yang Mulya, dengarkanlah aku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.

Seperti siput ia berjalan.

Bungkusan sisa makanan masih di tangan

belum lagi dimakan.

Keringatnya bercucuran.

Rambutnya jadi tipis.

Mukanya kurus dan hijau

seperti jeruk yang kering.

Lalu jam lima.

Ia sampai di luar kota.

Jalan tak lagi beraspal

tapi debu melulu.

Ia memandang matahari

dan pelan berkata: “Bedebah.”

Sesudah berjalan satu kilo lagi

ia tinggalkan jalan raya

dan berbelok masuk sawah

berjalan di pematang.

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya tampan dan dengki

dengan pedang yang menyala

mengusirku pergi.

Dan dengan rasa jijik

ia tusukkan pedangnya perkasa

di antara kelangkangku.

Dengarkan, Yang Mulya.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang kalah.

Pelacur terhina).

Jam enam sore.

Maria Zaitun sampai ke kali.

Angin bertiup.

Matahari turun.

Haripun senja.

Dengan lega ia rebah di pinggir kali.

Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.

Lalu ia makan pelan-pelan.

Baru sedikit ia berhenti.

Badannya masih lemas

tapi nafsu makannya tak ada lagi.

Lalu ia minum air kali.

(Malaekat penjaga firdaus

tak kau rasakah bahwa senja telah tiba

angin turun dari gunung

dan hari merebahkan badannya?

Malaekat penjaga firdaus

dengan tegas mengusirku.

Bagai patung ia berdiri.

Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.

Serangga bersuiran.

Air kali terantuk batu-batu.

Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang

dan mengkilat di bawah sinar bulan.

Maria Zaitun tak takut lagi.

Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.

Mandi di kali dengan ibunya.

Memanjat pohonan.

Dan memancing ikan dengan pacarnya.

Ia tak lagi merasa sepi.

Dan takutnya pergi.

Ia merasa bertemu sobat lama.

Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.

Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.

Ia jadi berduka.

Dan mengadu pada sobatnya

sembari menangis tersedu-sedu.

Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya dingin dan dengki.

Ia tak mau mendengar jawabku.

Ia tak mau melihat mataku.

Sia-sia mencoba bicara padanya.

Dengan angkuh ia berdiri.

Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.

Borok. Sipilis. Perempuan.

Bagai kaca

kali memantul cahaya gemilang.

Rumput ilalang berkilatan.

Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.

Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”

“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.

Lelaki itu menyeberang kali.

Ia tegap dan elok wajahnya.

Rambutnya ikal dan matanya lebar.

Maria Zaitun berdebar hatinya.

Ia seperti pernah kenal lelaki itu.

Entah di mana.

Yang terang tidak di ranjang.

Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.

“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.

Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.

Sedang sementara ia keheranan

lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.

Ia merasa seperti minum air kelapa.

Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.

Lalu lelaki itu membuka kutangnya.

Ia tak berdaya dan memang suka.

Ia menyerah.

Dengan mata terpejam

ia merasa berlayar

ke samudra yang belum pernah dikenalnya.

Dan setelah selesai

ia berkata kasmaran:

“Semula kusangka hanya impian

bahwa hal ini bisa kualami.

Semula tak berani kuharapkan

bahwa lelaki tampan seperti kau

bakal lewat dalam hidupku.”

Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.

Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.

“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.

“Mempelai,” jawabnya.

“Lihatlah. Engkau melucu.”

Dan sambil berkata begitu

Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.

Tiba-tiba ia terhenti.

Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.

Di lambung kiri.

Di dua tapak tangan.

Di dua tapak kaki.

Maria Zaitun pelan berkata:

“Aku tahu siapa kamu.”

Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.

Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya jahat dan dengki

dengan pedang yang menyala

tak bisa apa-apa.

Dengan kaku ia beku.

Tak berani lagi menuding padaku.

Aku tak takut lagi.

Sepi dan duka telah sirna.

Sambil menari kumasuki taman firdaus

dan kumakan apel sepuasku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur dan pengantin adalah saya.)

--End--

theater, poem, rendra

Previous post Next post
Up