Flowers
Pairing: Tetsu x Hyde
Genre: R-13
Summary: Usai menuntaskan live di Osaka pada 28 Juli 2013, VAMPS kebanjiran karangan bunga. Salah satu karangan bunga itu mengandung kode yang dienkripsi dan hanya bisa dipahami oleh Hyde.
”Otsukaresa~n”
”Otsukare~”
Tepuk tangan meriah mengiringi langkahku, KAZ, Arimatsu, Ju-Ken, dan Jin saat memasuki ruang ganti. Beberapa staf dengan sigap menghampiri kami, menawarkan handuk untuk menghapus bulir-bulir keringat bukti kerja keras kami mengais yen.
Kuraih selembar handuk dari staf perempuan yang berdiri paling dekat denganku.
”Thank you.”
Napas panjang kuhela sedetik sebelum aku mengempaskan diri ke sofa.
Kulirik meja kaca kecil di sebelah sofa. Ada beberapa botol air mineral dingin di sana.
Segera saja kuraih satu.
”Aaaaah, minum air putih setelah dua jam menyiksa tenggorokan memang yang terbaik ya,” ucapku usai menenggak separo isi botol bening itu.
Tawa KAZ dan yang lain langsung membahana.
”Hari ini kau lebih bersemangat daripada biasanya, Hyde-san,” kata Ju-ken yang duduk tepat di sebelahku.
Aku meliriknya sambil tertawa. ”Oh ya? Padahal menurutku sama saja.”
”Nggak. Dia benar. Hari ini kau lebih lincah berlari ke sana kemari dan sangat flirty kepada penonton,” sahut KAZ, ”Kalian juga merasa begitu kan?”
Seolah berkonspirasi dengan KAZ, semua mengangguk sambil menatapku.
”Ee... eh?”
Percuma saja pura-pura bodoh, tampaknya.
”Ehm, yaaaah, itu karena ini hari terakhir kita tampil di ZEPP Namba. Jadi, kupikir aku harus tampil all out supaya penonton senang,” aku beralasan.
Usahaku untuk menciptakan deviasi topik dengan mem-bully KAZ yang melakukan kesalahan kecil saat di panggung tadi cukup sukses. Mereka berhenti membahas soal diriku.
Cukup 15 menit meluruskan kaki yang pegal-pegal, KAZ dan yang lain satu demi satu meninggalkan ruang ganti. Hanya tersisa manajerku si tukang khawatir yang masih sibuk menelepon -entah siapa, supir kami, mungkin-. Juga tiga staf yang bertanggung jawab atas kostum dan make-up. Mereka sedang sibuk membereskan barang-barang dan tak mengacuhkanku.
Tok, tok, tok.
”Ya?”
”Maaf, kami hendak mengantar bunga-bunga ini. Ke mana kami harus mengirimnya?”
Seorang staf yang berdiri paling dekatku angkat bicara.
”Oh, antarkan saja ke kantor kami. Alamatnya silakan tanya kepada orang itu,” aku menunjuk manajerku.
Dia melambaikan tangan, seolah ingin mengatakan, ”Oke, nanti kuurus. Tunggu sebentar.”
Aku memalingkan wajah ke staf yang tampaknya baru berusia belasan tahun itu. ”Tunggu sebentar ya.”
Rasa gugup tampak jelas tergurat di wajahnya. ”Ba-baiklah.”
Didorong rasa iseng plus ingin tahu, aku beranjak dari sofa. Lorong menuju ruang ganti sudah dipenuhi bunga-bunga kiriman kolega kami. Mulai artis senior hingga kemarin sore. Bahkan dari mereka yang belum pernah kudengar namanya.
Senyumku spontan terukir saat melihat nama dua bandmates-ku, Ken dan Yuki. Tak hanya mengirim bunga, kadang mereka menelikung manajer masing-masing dan menyelinap demi menikmati konserku bersama band baru yang menjual namaku.
Lalu...
”Oh, fanboy-ku ini benar-benar. Apa dia nggak kapok setelah kutolak ajakannya waktu itu?” aku geli saat menatap kartu penuh kode dari fanboy yang rasanya tak perlu kusebut namanya pun semua orang tahu.
”Yah, sekali-sekali tak ada salahnya juga kuundang dia minum lagi. Tapi, kali ini aku harus waspada supaya dia tak minum terlalu banyak dan mulai meracau di depan umum seperti dulu,” pikirku.
Puas menyapukan pandangan ke jajaran buket bunga, mulai yang berukuran mungil, semungil postur tubuhku, hingga yang gigantic, aku berniat kembali ke ruang ganti.
Tapi...
Langkahku terhenti. Buket bunga yang ditata rapi dalam vas jumbo berwarna cokelat muda itu seolah menggodaku agar mendekat.
Semakin kuelakkan mataku darinya, buket bunga itu semakin menjerat pandanganku. Aneh. Ada apa ini?
Saat sadar, aku sudah berdiri di depan buket bunga dengan warna mencolok kombinasi kuning, pink, merah darah, dan ungu itu.
Butuh waktu beberapa detik hingga otakku bisa mengenali huruf-huruf yang terpahat dalam warna hitam dan pink di kartu raksasa berwarna putih itu.
Walaupun rasa lelah ini menguasai ragaku, tapi aku yakin otakku masih berfungsi dengan baik dan benar.
”Aku... nggak salah lihat kan? Ini benar-benar bunga darimu kan?”
Aku tergelak, membiarkan tawaku lepas. Tak peduli meski masih ada beberapa staf yang berlalu lalang di lorong itu. Tak peduli meski tatapan mereka mendadak terfokus padaku.
”Aha... ha... ha... Jadi... aku benar-benar nggak salah lihat. Itu tadi kau kan? Kau datang untuk menonton pertunjukanku kan?”
Perlahan kusentuh bunga-bunga yang masih segar itu setelah aku mampu mengendalikan diri.
”Kau memang nggak pernah berubah ya? Selalu memberiku teka-teki yang menarik. Baik, kuterima tantanganmu.”
Aku tersenyum puas.
Sangat puas.
Karena kegalauan akut yang kurasakan hingga beberapa menit lalu sudah terobati.
Karena kontroversi hati ini sudah berhenti.
Karena aku bisa membaca ”kode” yang diberikannya.
---
Tiga jam setelahnya, di
Hotel Trusty Shinsaibashi, Osaka.
Lantai 6. Kamar 636.
Aku menarik napas dalam-dalam. Selembar kartu elektronik kukeluarkan dari kantong jasku.
Sejenak kupejamkan mata sebelum menancapkan kartu itu ke slot di bawah gagang pintu.
Begitu bunyi ”tit” tanda kunci terbuka terdengar, jantungku serasa hendak berontak dan meninggalkan tubuhku. Perasaanku bergejolak. Perutku mendadak tak kooperatif. Ah, ini bahkan lebih parah dibandingkan rasa gugupku sebelum naik panggung tadi.
Selama sekian detik aku hanya mematung di depan pintu yang sudah setengah terbuka. Masih ragu hendak melangkah.
Kutepiskan keraguanku sekuat tenaga. Kuambil dua langkah ke depan, lalu kurapatkan kembali pintu hingga terdengar bunyi pintu tertutup sempurna.
Di tengah cahaya remang kamar yang sebagian besar lampunya dimatikan, kutangkap sebentuk punggung seseorang yang berdiri di balkon. Dia menatap langit malam yang hari ini tak tercemar awan.
Mendengar suara langkahku, dia membalikkan tubuh.
”Otsukaresama deshita, Doihachirou.”
Dia mengangkat gelas sampanye yang digenggamnya dengan tangan kanan, lalu memberiku senyum peneduh hati. Senyum yang selama dua dekade lebih telah melumpuhkan akal sehatku. Senyum yang membuatku selalu merespons ”iya” terhadap segala perkataannya. Senyum yang membuatku rela menghamba padanya.
”Tetchan....”
Tas yang kupegang erat kulepas begitu saja demi menghambur ke arahnya. Ke arah laki-laki yang sudah merekatkan semua puzzle jiwaku.
Tanpa dirinya, mungkin sekarang aku hanyalah pegawai kedai donat yang melayani para manula di salah satu sudut Kota Osaka.
Tanpa dirinya, mungkin aku takkan merdeka secara finansial seperti sekarang.
Tanpa dirinya, mungkin Porsche keluaran terbaru itu takkan terparkir di halaman rumahku.
Tanpa dirinya, mungkin aku tak pernah mengelilingi separo bumi ini.
Tanpa dirinya, mungkin hidupku akan berakhir tanpa dunia mengenal namaku.
Dia, dia yang dengan sabar mereformasi Takarai Hideto menjadi Hyde yang dipuja jutaan wanita di dunia.
Dia, dia yang menyapukan warna pada dunia monokrom yang senantiasa terbayang di pelupuk mataku.
Dia, dia yang tak pernah lelah memberiku PR yang tak kunjung habis dikerjakan.
Dia, dia yang membuat dunia terasa tak membosankan.
Demi dirinya aku membuang semua ego.
Hanya demi dirinya aku berusaha berkompromi terhadap segala ketidakadilan di dunia.
Hanya demi dirinya aku menggigit bibir menahan kesal saat semua kehendakku dikekang orang-orang yang haus materi.
Hanya demi dirinya aku rela bersandiwara selama bertahun-tahun.
Hanya demi dirinya aku menuliskan deklarasi hati.
Hanya demi dirinya aku sudi menjatuhkan diri dalam jurang penuh bahaya.
Kau, Ogawa Tetsuya, yang sudah merenggut tanpa sisa seluruh hatiku.
----
After Story
Di atas ranjang king size yang seprainya sudah berantakan itu, kami berbaring berdampingan. Aku bersandar di headboard ranjang, sementara dia mengambil posisi manja di pundakku.
”Kupikir kau baru akan datang tiga jam lagi,” aku tertawa.
”Kau pikir aku siapa? Aku ini Takarai Hideto yang pernah ditahbiskan sebagai penulis lirik terbaik se-Jepang!” Dia tampak sewot.
Lagi-lagi aku tertawa. ”Lalu? Kapan kau menyadarinya?”
Dia mengangkat kepalanya, lalu ikut bersandar di headboard.
”Hmmm... kira-kira 10 detik setelah melihat buket bunga darimu.”
”Oh ya?”
”Bunga-bunga itu, kapan kau merencanakannya, Tetchan?” dia menatap mataku, menagih jawaban.
”Sejak sebelum kau berangkat ke Osaka.”
”Oh.” Dia tersenyum puas.
”Jujur saja, aku sempat khawatir kau nggak bisa membaca pesanku,” ucapku sambil memasang tampang memelas.
”Apa?”
”Tapi aku lega kau benar-benar menangkap apa yang ingin kukatakan. Aku benar-benar takut buket bunga itu hanya berakhir di tempat sampah tanpa kau sempat melihatnya,” lanjutku.
”Bunga-bunga itu memanggilku,” katanya. Dia menjalinkan jemari tangan kirinya dengan tangan kananku.
”Begitu kuatnya panggilan mereka hingga aku tak berdaya melawan kehendak mereka.”
Dia menatap mataku dalam-dalam sebelum mengangkat tangan kananku untuk dihadiahinya kecupan.
Senyum kembali terlukis di wajahku.
”Kau tahu mengapa aku memilih bunga-bunga itu?”
”Kurang lebih.”
”Pertama, kata-kata ’congratulations’ dengan dua tanda seru itu,” dia mulai menganalisis, ”Kau ingin aku lebih memperhatikan pesannya dalam bahasa Inggris.”
”Mawar pink itu adalah penentu lokasi pertemuan kita. Dalam bahasa bunga, mawar pink tak hanya berarti ungkapan terima kasih, tapi juga bisa berarti ’percayalah padaku’. Atau, dalam bahasa Inggris berarti trust.”
Aku mengangguk-angguk puas.
”Berarti kau ingin aku menemuimu di tempat yang berhubungan dengan kata ’trust’ tapi lokasinya tak jauh dari ZEPP Namba. Tempat yang cocok dengan kriteria itu adalah hotel ini, Hotel Trusty,” urainya.
”Enam batang calla lily itu menandakan di mana aku bisa mencarimu. Lalu, kau sengaja menggenapkan jumlah mawar kuning itu untuk memberitahuku di mana kau berada kan?”
Aku bertepuk tangan.
”Bagaimana kau bisa mengenali warna-warnanya?”
”Aku minta salah seorang staf untuk menjelaskannya kepadaku,” dia terkekeh.
”Kau benar-benar nggak pernah membuatku bosan, Tetchan. Permainanmu selalu membuatku ketagihan. Walaupun bukan verbal, kau selalu membuatku mengerti dengan caramu yang nggak mainstream,” pujinya.
Mendengar lantunan kata-katanya, aku serasa terbang ke dunia fantasi. Tak sia-sia usaha kerasku untuk menjaganya agar tak pernah bosan. Karena akulah yang paling memahami dirinya.
”Terima kasih, Tetchan.”
Dia berbisik di telingaku.
Tak mampu aku berkata-kata. Yang bisa kulakukan hanya memejamkan kata dan tersenyum. Karena aku tahu senyumku adalah obat mujarab bagi segala lelah jiwanya.
Tapi, Doihachirou...
Apa kau tahu? Aku memilih bunga-bunga itu dengan sangat hati-hati. Mungkin kau tak sepenuhnya memahami arti pesanku. Ah, tapi mungkin juga ini hanya perasaanku.
Mawar-mawar itu adalah refleksi isi hatiku.
Merah: mereka berbicara soal rasa cintaku yang tak berbatas kepadamu. Cinta yang tulus tanpa kenal belenggu. Juga rasa hormatku kepadamu, si genius yang rendah hati.
Pink: mereka adalah simbolisasi rasa terima kasihku kepadamu karena membalas perasaanku. Berkatmu aku mengecap kebahagiaan yang sesungguhnya. Apa pun yang kau lakukan di luar sana bersama orang-orang yang kini mengelilingimu, aku akan tetap percaya padamu. Karena itu, tolong percayalah padaku. Meski kini di jari manisku melingkar bukti ikatanku dengan wanita lain, tapi hanya kau yang mewarnai jiwa dan ragaku.
Kuning: aku ingin kau selalu mengingatku, aku yang selalu menanti kepulanganmu. Aku yang telah menjadi sahabatmu selama lebih dari 20 tahun. Aku akan selalu memperhatikanmu, bahkan walaupun kau tak menyadarinya. Ingatlah pula bahwa aku pun manusia yang punya rasa cemburu saat kau membagi sinar kebahagiaanmu dengan yang lain.
Calla lily itu pun tak sekadar menunjukkan tempat di mana aku menunggumu. Mereka adalah bukti bahwa aku selalu mengagumi kecantikanmu.
Sedangkan bunga-bunga matahari itu sengaja kuminta florist menaruhnya di bagian belakang. Kau tahu artinya? Aku akan senantiasa mendukungmu, dari balik layar sekalipun. Kutanamkan sepenuhnya kepercayaanku padamu. Padamu yang selalu bersinar lebih terang dibandingkan siapa pun di atas panggung. Bagiku, kau adalah matahari yang menerangi kegelapan hatiku.
Bahkan, wadah bunga-bunga itu pun mengandung asaku. Kupilih motif anyaman itu untuk mengingatkanmu bahwa kita membangun hubungan ini sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, langkah demi langkah, hingga akhirnya terjalin begitu erat, kokoh, dan tak tergoyahkan.
”Terima kasih, Doihachirou.”
Aku balas berbisik di telinganya.
Dan dia tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum.
Bahagia.
Aku tak butuh materi.
Aku tak butuh ketenaran.
Yang kubutuhkan hanya...
Dia.