Title: Phone Wallpaper
Chapters: Twoshot
Authors: Meh~
hazuki_chisa Genre: AU High School, fluff
Warnings: Yaoi, Ozaki Tomomi *LOL*, write in Indonesian
Rating: PG-13 over all
Pairing: ReitaxRuki, AoixOFC (you'll know who *evillaughs*)
Summary: Ruki menyukai senpai-nya, Reita, yang gemar sekali bermain dengan handphone-nya. (Summary apaan neh? XD)
Disclaimer: *duduk sebelahan ma Ruki sambil menipedi, ngliatin Reita ngepel lantai* wakakaka #plak XDD
Comments: Kembali ngefic setelah sekian lama nggak ngefic~ semoga bahasa yang aku pakai nggak alay XD Terinspirasi dari lirik lagu Mata kimi no bango wo kikenakatta by Golden Bomber terutama di bagian lirik 待ち受けは美輪さんかな?[I wonder if your phone wallpaper is Miwa-san?] XDDD. enjoy~
I. PART 1
[Ruki's POV]
Jam 08.00 pagi. Seperti biasa, aku melangkahkan kakiku menuju halte yang berjarak kurang lebih 100 meter dari rumahku. Pagi itu angin berhembus lumayan dingin. Sambil mendekapkan tanganku di depan dada, aku berjalan sambil melompat-lompat kecil untuk menghangatkan badanku. Setelah berbelok di pertigaan kecil sebelum jalan raya, halte sudah terlihat di depan mataku. Di halte itu ada seorang anak laki-laki berambut pirang dengan seragam yang sama denganku, duduk dengan kaki kiri yang diletakkan di atas kaki kanannya. Tangan kirinya menyangga dagunya, sedangkan tangan kanannya berkutat dengan handphone. Pemandangan yang sangat familiar bagiku setiap kali berbelok setelah pertigaan. Selalu saja begitu setiap pagi.
Aku menghela nafas pelan. Memperhatikan arus lalu lintas sebelum menyeberang menuju halte di seberang jalan. Terlihat dia sedikit kaget saat aku memutuskan untuk duduk sebangku dengannya. Dia menatapku sekilas, lalu buru-buru kembali memandangi handphone di tangannya. Lima menit berlangsung, kami hanya diam dan dia terus bermain dengan handphone-nya. Meski jarak duduk kami 2 meter, tapi aku bisa melihat senyuman kecil yang menghiasi wajahnya saat ia memandangi layar handphone-nya. Mungkin dia baru saja membaca pesan yang lucu dari temannya, atau pacarnya. Entahlah. Yang jelas itu membuatku sedikit jengkel.
Aku mengalihkan pandanganku padanya. Tapi sejujurnya, senyuman itu membuat mukaku sedikit panas. Mungkin mukaku memerah saat ini. Tepat setelah itu, bis yang biasa membawa kami ke sekolah datang dan berhenti tepat di depan kami. Secara hampir bersamaan, kami berdiri dan berjalan memasukin bis. Tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang di dalam bis itu. Aku memilih duduk di tempat duduk nomor 3 dari belakang. Dan seperti biasa, dia duduk di bangku paling belakang dekat dengan jendela, masih bermain dengan handphone-nya. Aku memutuskan untuk tidak memperhatikan dia lagi dan memandangi pemandangan di luar jendela.
Sebenarnya, aku tahu dia. Namanya Suzuki Akira, kelas 2-C, kapten tim sepak bola di sekolah kami. Tapi kami tak pernah saling sapa ataupun mengobrol meskipun kami berasal dari kompleks perumahan yang sama. Itu karena dia adalah senpai-ku dan juga bisa dibilang termasuk orang-orang yang populer di sekolahku. Aku juga baru beberapa bulan menjadi tetangganya. Setauku, jarak rumah kami hanya satu blok saja. Tapi aku terlalu malu untuk menyapanya ataupun mengajaknya ngobrol. Memang benar kalau aku suka padanya, tapi aku tidak mau dianggap sok akrab olehnya. Jadi kuputuskan untuk diam, mengaguminya dari kejauhan. Toh, sepertinya dia juga tidak tertarik padaku.
Kurang lebih lima belas menit kemudian, bis berhenti di halte dekat sekolah kami. Aku berdiri dan siap-siap untuk turun. Kupandangi sejenak dia masih bermain dengan handphone-nya. Benar-benar orang yang tidak bisa lepas dari handphone-nya. Setelah turun dari bis, aku berjalan dari halte menuju ke sekolah. Thanks God, jarak halte dengan pintu gerbang sekolah tidaklah jauh. Bisa kulihat, pohon-pohon momiji yang ditanam di halaman sekolah sudah merontokkan daun-daunnya. Aku berhenti sejenak saat ada sebuah daun yang jatuh tepat di kepalaku. Kuambil daun itu dan kumainkan dengan jari-jariku. Kulihat beberapa siswa berjalan mendahuluiku, dan kalau kuperhatikan, banyak dari mereka yang tidak sendiri. Aku menengok ke belakang dan melihat dia sudah tidak sendirian. Seorang pemuda jangkung berambut pirang, pirangnya hampir sama seperti diri Suzuki namun lebih gelap, melingkarkan tangannya ke pundak Suzuki dan menyeretnya berjalan menuju gerbang sekolah. Mendahuluiku yang masih berdiri terdiam. Sayup-sayup aku mendengarkan obrolan mereka.
"Lepasin aku, Kou!" Kulihat Suzuki berusaha melepaskan tangan pemuda jangkung itu, yang aku tau bernama Takashima Kouyou, dari pundaknya. Terlihat sekali dia cukup jengkel dengan tingkah temannya itu. Tapi Takashima tampaknya tidak memperdulikan Suzuki yang terus meronta, malah semakin mempererat rangkulannya dan menggeret Suzuki menuju area sekolah.
"Nggak mau. Kamu mau bolos kan, Aki-chan? Hayoo, kamu masih..." Saat obrolan mereka makin lama makin rendah volumenya, aku baru sadar kalau aku juga harus berjalan mengikuti mereka memasuki area sekolah.
***
"Taka-kun!" Aku menoleh ke arah sumber suara saat aku berkemas-kemas untuk pulang. Seorang perempuan berambut hitam lurus sepunggung, teman satu klubku di klub seni, memasuki kelasku kemudian menghampiri bangkuku.
"Ya, ada apa, Sally-san?" jawabku.
"Kata Ozaki-sensei, semua anggota klub disuruh untuk berkumpul di ruangan klub habis bel pulang sekolah."
"Untuk apa?" tanyaku lagi. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku keluar dari ruang kelas. Sally mengikutiku dan berjalan di sampingku. "Setauku, hari ini nggak ada kegiatan klub kan?"
Sally mengangkat bahunya. "Nggak tau, katanya sih mau rapat."
"Oh, mungkin masalah pameran. Kemarin sebelum pulang Ozaki-sensei memberitahuku kalau bakalan ada pameran seni khusus SMA yang akan diadakan di pusat kota."
"Ehh, pameran lagi?" ucap Sally, sedikit kaget.
"Ya, memang kenapa, Sally-san?" tanyaku heran.
"Kau harus menjaga kesehatanmu, Taka-kun. Tahun lalu, aku sampai terserang flu gara-gara kecapekan saat harus menyelesaikan lima buah lukisan dalam satu minggu. Dan kau tahu, tiga hari menjelang pameran, Ozaki-sensei berubah menjadi setan. Semua anak-anak klub sangat ketakutan saat itu."
Aku terkekeh sedikit mendengar cerita dari Sally. Sally adalah senpaiku di klub seni. Dia juga perempuan yang menyenangkan untuk diajak mengobrol. Orangnya ramah dan baik hati. Bisa dibilang, dia adalah kakak perempuanku di sekolah.
"Bukankah Ozaki-sensei tiap harinya memang seperti setan?"
Kali ini Sally yang terkekeh, menepuk pelan pundakku. "Pastikan Ozaki-sensei tidak mendengar perkataanmu itu. Kalau dia tahu kau berkata itu, pasti dia akan menjadikanmu patung di pameran nanti"
"Tapi kau setuju kan?"
"Benar juga sih. Dia memang mengerikan. Ah, pokoknya jangan lupa, Taka-kun, kau harus menjaga kesehatanmu."
"Oke, aku akan menjaga kesehatanku."
***
Pagi itu awalnya sama seperti biasanya. Tapi saat di berhenti di halte ketiga sebelum halte pinggir sekolah, ada seseorang yang naik ke dalam bis dan menghampiri tempatku duduk. Aku yang terlalu sibuk memandangi keluar jendela, tidak menyadari kedatangannya sampai dia memanggil namaku.
"Matsumoto-kun?" Aku menoleh ke arahnya. Aku langsung tersenyum begitu mengetahui siapa orang yang memanggilku.
"Ah, Shiroyama-kun." Shiroyama Yuu, seorang pemuda yang cukup jangkung dan berambut hitam. Dia adalah senpaiku yang juga merupakan kekasihnya Sally. Sally beberapa kali membawanya ke ruangan klub seni sehingga aku cukup akrab dengannya. Dia juga merupakan anggota klub sepak bola, tapi setauku tidak terlalu akrab dengan Suzuki Akira.
"Boleh aku duduk di sampingmu?" tanyanya. Aku mengangguk dan mempersilahkannya duduk.
"Tumben naik bis, sepedamu kemana, Shiroyama-kun?" tanyaku memulai obrolan.
Shiroyama meringis kemudian menjawab. "Bannya bocor"
Kami mengobrol banyak sepanjang perjalanan. Banyak dari cerita darinya yang membuatku tertawa. Terkadang dia juga mengacak-acak rambutku saat aku menceritakan peristiwa ceroboh yang Sally lakukan saat di ruangan klub. Aku terlalu asik mengobrol dengan Shiroyama sehingga tanpa kusadari ada seseorang yang sedang meremas-remas handphone-nya di bangku paling belakang di dalam bis itu.
***
Sore itu, aku sedang menyelesaikan lukisanku ketika angin bertiup cukup kencang. Udara dingin yang memasuki ruangan klub membuatku merinding. Aku meletakkan kuasku dan berjalan ke arah jendela. Aku tidak jadi menutup jendela ketika aku melihat anak-anak klub sepak bola sedang latihan di lapangan. Kuputuskan untuk beristirahat sejenak dan mengamati mereka. Berharap menemukan Suzuki di antara mereka.
Dan yah, memang tidak sulit untuk menemukan dia. Rambut pirang dan satu-satunya orang yang memakai kain yang menutupi hidungnya. Aku tidak tahu mengapa ia selalu memakai noseband (aku dengar dari Shiroyama dia menyebutnya begitu) ketika bermain sepak bola. Tapi aku suka melihatnya saat memakai noseband dan berlarian menggiring bola. Dia menjadi lebih tampan jika mengenakan noseband itu. Ya, aku sering melihatnya latihan dari ruang klubku. Klub seni selalu selesai tiga puluh menit sebelum klub sepak bola. Jadi aku bisa memandanginya latihan dari jendela ruang klub selama tiga puluh menit. Terkadang, Sally menemaniku menonton latihan sepak bola untuk melihat Shiroyama.
Aku tersenyum melihat dia berlari kesana kemari sambil sesekali berteriak mengatur strategi timnya. Hingga Shiroyama mendekatinya, berusaha merebut bola dari Suzuki. Bisa kulihat dengan jelas, bahwa Suzuki menyikut perut Shiroyama. Aku yakin cukup keras, karena sampai membuat Shiroyama jatuh dan merintih kesakitan. Guru pembimbing mereka langsung menghampiri Shiroyama dan memarahi Suzuki. Suzuki hanya terdiam dan menundukkan kepalanya. Tidak terlihat tanda-tanda dia meminta maaf.
Beberapa anak membantu Shiroyama berjalan dan menempatkannya di bangku pinggir lapangan. Suzuki masih terdiam di tempatnya. Kulihat dia mulai mengangkat wajahnya dan memandangi tempatku berdiri. Sejenak pandangan kami bertemu, tapi sedetik kemudian dia langsung memalingkan wajahnya dan berjalan ke menuju bangku di sebelah Shiroyama sambil mengacak-acak rambutnya. Aku menatapnya agak kesal kemudian menutup jendela dengan lumayan kasar dan kembali menyelesaikan lukisanku.
***
Sudah tiga hari sejak kejadian itu berlangsung. Dan selama tiga hari itulah aku sering telat tidur karena aku harus menyelesaikan lukisanku. Dan kemarin aku juga diguyur hujan saat pulang. Hanya gerimis, jadi aku kira tak akan membuatku sakit. Tapi Aku merasa sedikit pusing saat berdiri dari bangku halte. Saat memasuki pintu masuk bis, aku merasakan pening yang amat sangat menyerangku. Membuatku keseimbanganku goyah dan hampir terjatuh. Sehingga Suzuki, yang saat itu berada di belakangku, menangkap badanku dan membantuku berdiri.
"Ah, aku tidak apa-apa." ucapku. Tapi dia terus memegangi kedua lenganku dan menuntunku berjalan hingga di bangku tempatku biasa duduk. Aku kaget saat dia juga duduk di sampingku.
"Terima ka--"
"Kamu lagi sakit ya?" belum selesai aku mengucapkan terima kasihku, dia memotong kata-kataku dan telapak tangannya menyentuh keningku.
"Wajahmu merah sekali. Kau demam?" tanyanya lagi. Tangannya masih di keningku. Aku kaget sekali saat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku bisa melihat dengan jelas warna matanya. Dan mimik mukanya terlihat sekali sedang memperlihatkan kecemasan. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dan mukaku semakin panas. Membuat kepalaku semakin pusing. Sial, kenapa dia tampan sekali. Umpatku dalam hati.
"A-aku--"
"Tetap disini. Aku akan segera kembali." Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, dia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke tempat kemudi. Kuperhatikan dia berbicara dengan supir bis dan memohon sesuatu. Setelah supir bis mengangguk setuju, dia kembali duduk di sampingku.
Tak lama kemudian laju bis semakin lambat hingga akhirnya berhenti. Tepat di depan sebuah klinik. Suzuki berdiri dan memegang tanganku, mengajakku turun dari bis.
"Aku akan membawamu ke klinik." Ucapnya sesaat sebelum pintu bis terbuka.
"Eh, tapi kan--" ucapanku terpotong saat tiba-tiba pening yang amat sangat menyerangku. Membuatku pusing dan lagi-lagi Suzuki menangkap badanku saat aku hampir terjatuh lagi. Suzuki menuntunku turun dari bis. Aku merasa langkahku berat dan pandanganku mulai kabur. Tepat di langkah kelima saat Suzuki menuntunku berjalan, seluruh pandanganku menjadi gelap.
***
Samar-samar aku mendengar suara tawa anak kecil dan bau obat-obatan menusuk hidungku. Pelan-pelan aku membuka mataku dan menyadari bahwa aku terbaring di sebuah ranjang empuk serba putih. Aku menggerakkan kepalaku ke kanan. Menemukan Suzuki sedang bermain dengan anak perempuan yang kira-kira berumur lima tahun di ranjang sebelahku. Terlihat dia sangat asyik bermain dengan anak itu hingga tak menyadari bahwa aku sudah sadar. Aku memutuskan untuk tidak menganggu mereka dan kembali untuk beristirahat sejenak. Tapi saat aku menggerakkan kepalaku kembali menatap langit-langit, lagi-lagi pusing menyerangku secara tiba-tiba. Spontan aku mengerang kesakitan, membuat Suzuki dan anak kecil itu berhenti tertawa dan menoleh ke arahku. Suzuki beranjak dari ranjang dan mendekati ranjangku. Diikuti oleh anak kecil itu.
"Kamu sudah sadar, Matsumoto-kun?" tanyanya.
"Ugh, dimana aku?" tanyaku balik.
"Oh, di klinik Sakai milik pamanku. Tepat dua blok dari rumahmu."
"Oh.." ucapku lega saat aku mengetahui bahwa aku berada tidak jauh dari rumah. Sedetik kemudian aku baru sadar kalau Suzuki telah menyebut namaku. "Darimana kau tau namaku?"
"Itu, anu, aku.. err, aku melihatnya di kartu identitasmu. Maaf kalau aku lancang melihat-lihat isi tasmu," ucapnya tergagap-gagap.
Aku tersenyum saat melihat pipinya yang agak memerah. "Tidak apa-apa."
Aku mengalihkan pandanganku ke anak kecil di samping Suzuki ketika anak itu menarik-narik lengan seragamku.
"Nii-chan, ini obat Nii-chan. Papa lagi banyak kerjaan, jadi dia suruh aku buat ngasih ini ke Nii-chan," ucapnya sambil menyodorkan plastik berisi beberapa butir obat ke arahku.
Aku memandangnya heran. Tetapi kemudian tersenyum padanya dan menerima bungkusan obat yg disodorkan padaku. "Terima kasih, err, gadis manis"
"Miwa-chan, kau harus ngenalin diri dulu sebelum ngasih obatnya. Kamu bikin Matsumoto-niichan bingung tuh." ucap Suzuki lembut kepada anak kecil di sebelahnya. Suzuki tampaknya mengetahui bahwa aku tak mengenal anak kecil di sebelahnya itu.
"Aaah, aku lupa Aki-nii-chan!" ucap anak kecil itu sambil menepuk jidatnya. Dia berdiri di kursinya, merapikan rok ungunya kemudian memandangku dengan mata besarnya. "Perkenalkan, saya Miwa, asisten Papa Sakai. Hajimemashite~" ucapnya sambil membungkukkan badannya ke arahku. Rambut pirang palsu yang terpasang di bandonya ikut terurai ke bawah saat ia membungkuk.
Aku terkekeh kecil melihat tingkahnya. Aku meraih kepalanya dan membelai rambut pirang palsunya pelan. "Tak usah terlalu formal begitu. Nama Nii-chan Matsumoto Takanori."
"Boleh aku panggil Taka-nii-chan?"
"U'um, boleh," jawabku, masih sambil tersenyum. Miwa kemudian bersorak senang dan berkata padaku bahwa dia akan mengambil segelas air putih untukku meminum obat. Saat Miwa berlari keluar ruangan, aku beralih memandang Suzuki yang tampaknya sibuk mencari sesuatu di saku seragamnya.
"Kehilangan sesuatu, Suzuki-senpai?" tanyaku. Lagi-lagi dia terlonjak kaget.
"Ti-tidak, aku hanya mencari handphoneku. Eh, darimana kau tau namaku?"
Aku terkekeh pelan. "Kapten tim sepak bola PSC School. Suzuki Akira. Benar kan? Hampir seluruh sekolah mengenalmu, Suzuki-senpai," jawabku.
"Oh, begitu," gumamnya lemah dan mengalihkan pandangannya padaku. Entah kenapa, aku merasa dia kecewa aku menjawab seperti itu. Dan itu membuatku merasa menjadi tidak enak padanya.
"Terima kasih, Suzuki-senpai." Ucapku tiba-tiba, membuat dia kembali memandang ke arahku. "Terima kasih telah menolongku dan membawaku ke klinik," ucapku sambil tersenyum padanya. Kulihat pipinya kembali bersemu merah. Ia membalas senyumku dan berkata bahwa tidak apa-apa. Kali ini, aku yakin pasti mukaku juga ikut bersemu merah. Aku sadar, aku semakin menyukainya saat dia menatapku dengan tatapan yang lembut dan mukanya bersemu merah seperti itu.
***
Sudah tiga hari sejak peristiwa aku sakit dan ditolong oleh Suzuki. Sejak tiga hari itu pula, aku dan Suzuki kini menjadi sedikit lebih akrab. Dan sejak tiga hari itu, aku dan Suzuki selalu berangkat ke sekolah bersama. Aku perhatikan Suzuki tidak lagi bermain dengan handphone-nya saat dia bersamaku. Padahal jika bersama dengan Takashima atau dengan siapapun itu selain diriku, dia pasti berkutat dengan handphone-nya. Dan dia selalu kaget bila aku menyapanya di saat dia sedang berkutat dengan handphone-nya itu, yang kemudian dimasukkan dengan buru-buru di sakunya. Seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Sejujurnya, aku juga ingin bertanya mengapa ia selalu terlihat bahagia saat melihat layar handphonenya. Apa dia menjadikan sesuatu atau seseorang kesukaannya sebagai wallpapernya? Atau ia memasang foto porno sebagai wallpapernya? Aku menyangkal pertanyaan yang kedua, tapi kupikir itu terlalu pribadi untuk ditanyakan, jadi kuurungkan niat itu.
Aku sedang berada di perpustakaan kali ini. Mencari-cari inspirasi untuk lukisanku selanjutnya. Total aku sudah membuat lima buah dalam seminggu ini. Masih ada waktu tiga hari lagi sampai hari pameran tiba. Ozaki-sensei memberiku jatah untuk melukis tujuh buah lukisan. Benar-benar setan dia. Sebetulnya aku benar-benar kelelahan, tapi aku tak mau membuat Ozaki-sensei marah. Dan, kalau aku beruntung, akan ada seseorang yang tertarik dengan karyaku dan rela membayar tinggi untuk membeli karyaku. Yah, semoga saja aku beruntung.
Angin dingin yang masuk melalui ventilasi di atas jendela yang tertutup membuatku sedikit menggigil dan mengantuk. Aku melipat kedua tanganku diatas buku yang tadi kubaca. Kemudian kuletakkan kepalaku di atas kedua lenganku, memandangi ke arah luar jendela, ke arah pohon momiji yang sudah mulai kehabisan daunnya. Aku bisa menghitung daun-daun momiji yang belum rontok dari batangnya. Tapi karena rasa kantuk yang amat sangat, di hitungan ke tujuh, aku menutup mataku dan terlelap.
Tidak lama kemudian, aku merasakan ada seseorang yang menguncang pelan pundakku. Aku membuka mataku dan menemukan Suzuki ada di depanku.
"Ah, senpai.." Aku mengangkat kepalaku dan mengucek mataku dengan punggung tanganku. Suzuki-senpai tersenyum dan bersemu merah melihatku menguap kecil.
"Maaf, aku membangunkanmu. Tapi perpustakaan hampir tutup, jadi aku membangunkanmu. Err, kebetulan aku sedang mengembalikan buku saat aku melihatmu tertidur disini," ucapnya. Keperhatikan ia menggaruk-garuk punggung lehernya dan matanya tidak melihat ke arahku saat dia berkata demikian. Aku curiga dia menyembunyikan sesuatu.
"Umm, mau pulang bareng?" ajaknya. Tanpa berpikir panjang aku menggangguk. Kumasukkan buku-buku yang bertebaran di meja ke dalam tasku.
"Senpai tidak ada latihan?" tanyaku saat kami melangkah keluar dari perpustakaan. Kami berjalan berdampingan menuju halte di dekat sekolah. Cahaya orange dari matahari yang terbenam membuat rambut Suzuki yang berwarna pirang berubah menjadi orange.
"Hari ini aku hanya latihan sebentar. Kau tidak melukis hari ini?" jawab Suzuki.
Aku menatap Suzuki kaget. Ternyata dia tahu selama ini aku suka melukis. "Eh? Suzuki-senpai tahu aku suka melukis?" tanyaku balik.
"Aku pernah melihat lukisanmu yang dipajang di ruang guru dekat mejanya Ozaki-sensei. Lukisanmu bagus."
"Ah, terima kasih."
"Aku juga sering melihatmu di ruang klub seni bersama seorang perempuan. Err... dia pacarmu ya? Kalian terlihat akrab." Terdengar keraguan saat Suzuki menanyakan itu. Aku terkekeh pelan mendengar ucapannya itu. Dia hanya memandangiku heran.
"Aku bisa dibunuh Shiroyama-senpai kalau aku berani merebut Sally-san darinya."
"Eh, Shiroyama sudah punya pacar?" tanyanya kaget.
"Hu'um, senpai tidak tahu?"
"Kukira... ah, sudah lupakan. Tidak penting kok. Ah, kebetulan bisnya sudah datang. Ayo!" Tiba-tiba Suzuki memegang tanganku dan menarikku memasuki bis yang baru saja datang. Aku tersenyum melihat tanganku yang digenggam erat olehnya. Kuharap dia tidak menoleh ke arahku. Karena kuyakin, mukaku pasti sudah mirip kepiting rebus saat ini.
***
Sehari menjelang pameran, saat itu sedang pergantian pelajaran ketika ada seorang murid dari kelas sebelah yang memanggilku. Aku keluar dari kelas dan menghampirinya.
"Matsumoto-kun, kau kehilangan handphone-mu?" tanyanya. Sambil menyerahkan sebuah handphone berwarna hitam ke arahku. Aku mengambil dan memandangi handphone itu di tanganku, memang terlihat familiar, tapi handphone itu bukan milikku.
"Tidak," jawabku. "Tapi sepertinya aku kenal siapa pemilik handphone ini." Aku mengamati sekali lagi handphone di tanganku. Mengingat-ingat dimana aku sering melihat handphone hitam itu.
"Syukurlah. Aku menemukannya di meja lab Komputer hari ini. Saat kubuka, terpasang fotomu sebagai wallpaper, jadi aku kira itu milikmu," jelasnya.
"A-apaku? Fotoku?" Aku kaget mendengar penjelasannya. Langsung kubuka handphone di tanganku dan memang benar apa kata orang di depanku. Fotoku yang sedang tersenyum lebar terpampang sebagai wallpaper di handphone itu. Anehnya, aku tidak merasa mengambil foto itu. Kuperhatikan dengan seksama foto itu. Itu adalah foto yang diambil Miwa-chan saat aku dirawat di klinik Sakai. Sepupu Suzuki-senpai. Sedetik kemudian aku sadar, handphone hitam ini milik Suzuki-senpai.
"Sepertinya kau tahu siapa pemilik handphone ini. Jadi kuberikan saja padamu. Kalau begitu, aku pergi dulu ya Matsumoto-kun. Buru-buru nih."
"Ya, thanks, Utahiroba-kun," ucapku padanya sebelum dia melengos pergi. Aku kembali ke tempat dudukku sambil memandangi handphone yang kini menampilkan folder-folder dan file-file yang tersimpan di memory-nya. Aku menemukan sebuah folder dengan nama 'Ruki' kemudian langsung membuka folder itu. Ruki adalah nama samaran yang selalu aku pakai di setiap lukisanku. Darimana Suzuki tahu nama samaranku?
Tepat seperti dugaanku, folder itu berisi foto-fotoku. Fotoku saat hendak menyeberang jalan. Fotoku saat duduk di halte. Fotoku saat duduk di bangku bis. Fotoku saat melukis. Fotoku saat makan siang dengan Kai, sahabatku. Fotoku bersama Miwa-chan. Fotoku saat tertidur di perpustakaan. Kebanyakan foto-fotoku itu diambil dari jarak jauh. Tidak hanya fotoku, aku juga menemukan foto lain di folder 'Ruki' itu. Tapi masih berhubungan dengan diriku. Foto-foto lukisanku. Dan foto rumahku. Tepatnya jendela kamarku.
Aku buru-buru menutup handphone flip itu dan melemparnya ke laciku saat Takarai-sensei memasuki ruangan kelas. Suara benturannya cukup keras sehingga membuat Kai yang duduk di depanku menoleh ke arahku. Aku tersenyum dan berkata tidak apa-apa. Aku mengecek kembali handphone itu. Handphone itu mati akibat benturan keras tadi. Aku memasukkan handphone itu ke dalam tasku dengan hati-hati. Berharap semoga handphone itu baik-baik saja.
Semua yang dijelaskan Takarai-sensei tidak masuk di kepalaku. Jantungku masih berdetak lumayan cepat mengingat foto-fotoku tadi. Kenapa Suzuki menyimpan puluhan fotoku di handphonenya? Aku jadi merasa telah dibuntuti selama ini. Bahkan sampai letak kamarku pun dia tahu. Aku bertanya-tanya, sampai sejauh mana kau mengetahui diriku, Suzuki?
Aku mengacak-acak rambut depanku. Memfokuskan pandanganku ke buku matematika di depanku. Sial, angka-angka itu kini malah berubah menjadi wajah Suzuki. Aku menghela nafas dan menutup mataku. Aku tak tahu harus merasa takut atau senang mengetahui selama ini Suzuki suka memotret diriku diam-diam. Kenapa dia memotretku dan menyimpan foto-fotoku? Aku harus mendapatkan jawabannya hari ini sepulang sekolah.
***
A/N:Part two akan ane post 3-4hari mendatang~ #Janji!!!! >_<
Aslinya mau dibikin oneshot, eh malah kepanjangan... jadi takbagi 2...
komennya ya jeng~~~~
bagarahnyo sori nyo~~ tapi seneng kan~ hehehe XDDDDDD