Title: Where We Piled Up Our Bricks of Memories (Chapter 2)
Author:
hanashiaruCast(s) and Pairing(s): SEPULUH member heiseijyampu. Yamada Ryosuke X Nakajima Yuto (main), and Various Pairings.
Genre: Friendship, Romance, Angst | Shounen-ai
Rating: PG-13
Disclaimer: I own nothing, NOTHING! Karakter punya Johnny’s Entertainment, sementara plot punya anime-manga Ano Hi Mita Hana no Namae o Bokutachi wa Mada Shiranai (tonton animenya, and you’ll get the spoiler) dengan perubahan xP I own... the writing only, cuma tulisan saja yang saya buat.
Sisi sudut pandangku memang selalu mengatakan, bahwa akulah yang paling tidak mengerti...
... namun, pandangan itu salah.
Spring 2012, Morimoto Ryutaro’s PoV
Jejak-jejak langkah kaki yang kami ciptakan berderap berirama, teratur, memang selalu menenangkan bagi diriku. Dan entah bagi Chinen Yuuri, pemuda yang dua tahun lebih tua dariku itu hanya memasang guratan wajah tanpa arti yang kerapkali ambigu maknanya. Setiap sore aku selalu menjemputnya, jadwalnya pun tersusun dan tersimpan rapi pada catatanku.
Dan aku melakukan kegiatan ini sudah lama, sejak dulu sekali.
Biasanya pun yang menemani aktivitas kami ini hanyalah keheningan dan desir angin serta suara-suara natural dari alam sekitar. Tidak ada yang bersuara, dia tidak berbicara, dan aku pun sadar dia tidak begitu senang jika aku berbicara. Dia menyukai ketenangan, dan aku tidak ingin mengusiknya. Karena, bagiku ketenangannya juga berarti ketenanganku. Dengan suasana seperti ini, hanya memperhatikan garis-garis wajah sempurna miliknya saja sudah begitu menenangkan. Bersamanya, berada di dekatnya, aku sudah merasa kehidupanku lebih dari sempurna.
Mungkin kalian berpikir aku tergila-gila? Tidak, tentu saja tidak. Aku murni hanya menginginkan kebahagiaannya. Aku murni hanya ingin ada di sampingnya, menemaninya selagi ia tidak membutuhkan seseorang yang benar-benar pantas untuk membuat hidupnya sempurna. Dan aku sendiri tidak begitu mengetahui apa yang menyebabkan munculnya gejolak perasaan seperti ini. Yang kutahu, aku hanya mencintai dia dengan segala macam sisi humanis yang ia punyai. Entah sejak kapan aku begitu menyukai untuk memandang dua pasang mata sayu itu, entah sejak kapan pula hatiku terasa begitu terkoyak begitu melihat kesedihan mendalam yang selalu mewarnai paras porselennya tersebut.
Namun, bagiku ia tetap sempurna.
Dan aku hanya ingin menemaninya, selagi ia masih membutuhkanku.
Bukan aku tidak mengetahui apa yang terjadi di kibasan-kibasan masa lalu, memori-memori itu dapat kutangkap dengan baik meskipun usiaku pada saat itu belum genap lima tahun. Aku mengetahui semuanya, segalanya. Sedikit keajaiban, mungkin. Memori yang terjadi pada waktu itu memang begitu menyenangkan dan begitu dalam sehingga tidak pernah terlepas dan tergeser sedikitpun dari laci memori otakku. Tidak pernah.
Aku mengenali sembilan anak-anak kecil pada waktu itu, aku masih dapat dengan jelas mendengar tawa renyah mereka, aku pun masih dapat merasakan kehangatan genggaman mereka yang biasa jelas mengajakku ikut bermain bersama. Aku masih ingat, sangat jelas.
Dan aku pun... masih merasakan kesedihan pada musim dingin tiga belas tahun lalu itu.
Pagi hari itu, di mana bahkan aku dan sepupuku, Yabu Kouta, masuk ke dalam rumah kayu mungil itu-kami dapat dengan jelas mendengar jeritan demi jeritan imaji yang saling bersahut-sahutan. Mereka semua hanya terdiam pada ruangan itu, tidak ada yang bersuara tapi telingaku dapat mendengar jeritan-jeritan tak nyata tersebut.
Kutatap saudaraku pada waktu itu, dia tidak bergeming dan hanya menatap lurus, seolah tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Sedangkan aku, hanya bisa merapat pada tubuh hangat saudaraku itu, merasa takut.
.
.
.
Winter, 1999
“Dai-chan... sudahlah..”
Inoo Kei terus menerus mengusap punggung juniornya tersebut, namun pianis cilik tersebut masih tidak bisa meredam getaran bahu temannya itu-ironisnya, Kei sendiri juga tidak tahan untuk tidak menangis. Beberapa memang sudah ada yang tidak bisa tertahan, ada yang menangis dan juga hanya ada yang memasang wajah datar dengan pikiran tanpa arah.
“Tidak adil..” Daiki mendesis, suaranya pecah dan mendengarnya saja sudah nyaris membuat teman-temannya miris. “... Yuu-chan... Yuu-chan... tidak bersama kita lagi.. Yuu-chan kedinginan.. Yuu-chan pasti kesepian...”
“Dai-chan..” Inoo kembali meredam tubuh mungil itu ke dalam rengkuhannya, namun tak ayal tangisan itu semakin mengencang. “Yuu-chan kan sudah di surga, pasti lebih menyenangkan... daripada di sini. Ne?”
“Tapi di surga tidak ada kita, Kei-chan!” teriakan keras Daiki semakin membawa pecahnya suasana tangisan itu.
“Dai-chan.” Takaki kemudian ganti berbicara. “Aku tidak begitu tahu, tapi Kaa-san dan Tou-san bilang.. di surga itu sangat menyenangkan meskipun tidak ada teman. Tuhan lebih memberikan yang jauuuh lebih dan lebih menyenangkan.”
Meskipun demikian, semua orang pun tahu nada suara Takaki yang bergetar seperti tidak yakin akan kalimatnya sendiri.
“Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti! Yuu-chan pasti kesepian!” Daiki menggelengkan kepalanya, Kei yang tidak tahan pun ikut turut menangis meskipun tangannya masih terus bergerak untuk menenangkan juniornya satu itu. “Yuu-chan tidak bisa sekolah.. Yuu-chan.. terus tertinggal dari kita.. di saat Ryo-chan, Chii, dan Keito yang beberapa bulan lagi akan sekolah.. Yuu-chan tidak bisa.. di saat sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun Yabu-kun.. Yuu-chan tidak bisa.. di saat kita semua akan tumbuh besar seperti Kaa-chan dan Too-chan, tubuh kecil Yuu-chan.. terus mendingin di bawah sana.. Ini tidak adil, kenapa harus Yuu-chan..”
Ryosuke yang mendengarnya hanya bisa berdiri, pergi keluar dan menjauh sembari mengusap bawah kelopak matanya.
“Yama-chan!”
“T-tidak apa-apa. Yama-chan... hanya mau keluar sebentar..” Ryosuke menjawab tanpa mengalihkan pandangannya, sibuk dengan beberapa bulir bening yang tidak berhenti keluar dari matanya.
Terlihat Chinen yang sudah turut berdiri dengan tatapan khawatir, dan sepertinya Ryosuke menyadarinya sehingga ia berhenti sejenak sebelum menghilang di balik pintu. “Aku mau sendiri.”
Telapak kaki Chinen Yuuri yang nyaris akan berjejak pun hanya berdiri kaku, pandangannya pun menatap nanar sosok yang kali ini benar-benar sudah lenyap dari pandangan. Ragu-ragu, anak itu pun pada akhirnya kembali terduduk dan perlahan menundukkan kepalanya.
“Keito-kun.”
Hikaru memanggil satu sosok yang sedaritadi hanya diam menopang dagu dengan arah pandang yang tidak jelas ke mana. Kosong.
Dan yang baru saja dipanggil hanya menoleh tanpa menjawab.
Sama saja, yang memanggil juga tidak tahu harus melontarkan perkataan apa yang sesuai. Ia hanya memastikan bahwa Keito masih sadar karena sedaritadi tidak melontarkan satu patah katapun.
Dan aku sendiri, hanya bisa menyapu pemandangan sekitar sebelum menarik perlahan lengan Yabu-kun.
“Ne, Yabu-kun...”
Sepupuku itu menoleh padaku.
“.. Yuu-chan wa.. doko?”
.
.
.
Spring 2012
Chinen Yuuri, entah sejak kapan pun aku mengetahui benar bahwa yang selalu ada di hatinya hanyalah seniorku yang bernama Yamada Ryosuke itu. Suka ataupun cinta? Ha. Aku pun tidak pernah menanyakannya, hanya tersirat karena aku memang selalu memerhatikannya-dan lagipula yang mengetahuinya... mungkin hanyalah aku
Sementara Chinen Yuuri hanya menyembunyikan perasaannya, aku tahu bahwa ia ingin sekali melibas habis perasaannya satu itu, menggantinya dengan perasaan benci. Aku tahu. Dan karena itulah ia selalu berperilaku kasar padanya, hanya untuk mengingkari perasaannya-sungguh ironis.
Chinen Yuuri ingin membenci Yamada Ryosuke yang sudah berapa kali menyakitinya karena masa lalu seorang Nakajima Yuto.
Aku mengetahuinya.
“Terima kasih.”
Spontan mataku mengerjap kaget, tidak menyadari bahwa kami sudah sampai di depan rumahnya. Sementara aku hanya terdiam sebelum menatap wajahnya selama beberapa lama. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mendekat, mengangkat tanganku untuk mengusap helaian poninya yang begitu halus... sebelum akhirnya aku mendekatkan wajahku dan mengecup perlahan dahinya.
“Sampai jumpa besok, Yuuri.”
Kutarik kembali tubuhku hanya untuk melihat Chinen yang mengangguk tanpa suara, dengan kepala yang sedikit menunduk dari sebelumnya. Kemudian aku terus menatapnya, sebelum pada akhirnya pertemuan hari itu berakhir dengan hilangnya sosok mungil itu dari pandanganku. Hari-hari yang terlewati seperti biasanya.
Tidak ada yang berubah...
.. sama sekali.
.
.
.
Normal PoV
Bibirnya terkulum, sementara punggungnya masih bersandar pada tembok jalan pada petang itu. Bijih matanya masih memerhatikan secara intens dua sosok yang sangat dikenalinya, dan perlahan namun pasti satu kesedihan menyelimuti wajahnya. Melihat Morimoto Ryutaro yang masih berdiri dan menatap sayu rumah keluarga Chinen itu, dan yang paling membuatnya merasa sedih adalah satu lengkung senyum yang masih terpasang pada wajah remaja itu.
Dan Yuto sama sekali tidak mengerti, apakah dunia yang ia lihat ini adalah dunia yang sama sebelumnya? Dunia ini terasa begitu penuh dengan kejanggalan dan ketidakpastian, seolah dunia ini sudah mati hatinya. Yuto sama sekali tidak mengerti, sungguh.
“Ryuu-chan...” dan tanpa sadar ia mendekat, dalam hitungan mendekap dua kaki remaja itu dengan erat, “... Ryuu-chan dulu terbiasa tersenyum dengan bola mata hitammu yang besaaar, kau sangat imut pada waktu itu.”
Desiran angin yang menjawab, namun Yuto tetap bertahan pada posisinya.
“... Ryuu-chan suka Chii? Yokatta... aku tidak pernah menyangka Ryuu-chan sudah besar sekarang.”
Hening, tanpa henti.
“... kumohon jangan bersedih, Ryuu-chan.. kenapa tidak melakukan apa yang seharusnya kau lakukan? Kenapa harus.. seperti ini?”
Yuto sontak menggeser posisinya, melonggarkan dekapan lemahnya itu ketika ia merasa Ryutaro sudah mulai bergerak pergi. Tentu saja dengan mengabaikan kalimat-kalimat yang tidak pernah sampai pada telinga remaja itu. Yuto sendiri hanya bisa mematung, mendengar derap-derap langkah yang mengiringi perasaan kacaunya.
Namun Yuto tidak gagal untuk melihat tetesan air segar di atas aspal di mana posisi Ryutaro tadi berdiri.
“Ryuu-chan jangan menangis lagi..”
Kecewa. Namun ia tidak tahu.. harus melakukan apa. Semuanya terasa gelap.. persis. Yuto merapatkan tubuhnya, perasaan seperti ini nyaris sama ketika waktu itu. Pada saat ia kehilangan segalanya. Gelap. Hampa. Nyaris sesak. Otaknya yang juga tidak bisa berpikir... ia tidak tahu. Ia tidak mengerti.
Dan ia memutuskan untuk kembali melangkah, perlahan.
Tidak jauh dari beberapa blok dari kediaman Chinen Yuuri. Ada satu bangunan rumah serupa nyaris seperti kembaran rumah-rumah lainnya,. Familiar. Namun entah kenapa ia tidak merasakan kehangatan yang dulu, rasanya... berubah. Dan ia kembali memutuskan untuk memasuki rumah tersebut. Tergores kanji Nakajima dengan apik di sana, dan ia sendiri tidak mengerti kenapa kakinya nyaris gemetar ketika menjejak pada lantai rumahnya sendiri.
Biasanya ia melangkah nyaris dengan lompatan dan derai suara renyah yang mengudara, namun kali ini dua sisi bibirnya terkatup serta kakinya pun melangkah amat perlahan.
“Raiya.. Dai-chan.. minna.. tadaima..”
Menyadari perubahan yang sudah berubah drastis, Yuto hanya bisa membuka pintu dengan amat perlahan agar tidak menarik perhatian mengingat ia masih bisa melakukan kontak fisik dengan benda. Sepi. Ayah dan ibu barunya pun tidak ada. Hanya ada Daiki yang sedang bergelung di atas sofa sembari mengenggam ponselnya, dan kakak-kakaknya yang sedang menonton televisi. Serta Raiya... yang juga ada di sana, bergabung dengan kakak-kakak laki-laki Daiki.
Yuto hanya bisa tersenyum.
Raiya sudah sangat besar, dan dari cara ia bergaul pun tidak hentinya membuat Yuto tersenyum-dengan sedikit air di matanya, yang dengan cepat diusapnya lagi.
“Daiki, jangan melamun terus.”
Sedikit tersentak atas salah satu kalimat dadakan dari kakak laki-lakinya tersebut, Daiki menoleh. “T-tidak kok!”
“Kudengar tadi kau sedikit ribut dengan Keito-kun?” satu tawaan. “Urusan rumah tangga bisa tidak sih jangan dipublikasi? Haha.”
Daiki merengut. “Tidak lucu!”
“Maa... aku sedikit shock saja sebenarnya, sudah seminggu ini hubungan kalian berjalan baik, kan?”
‘Baik kepalamu!’ Daiki hanya memalingkan muka.
“Karena sejak kecil kulihat Keito-kun dekat sekali dengan.. Yuu-chan, yeah, agak sedikit mengherankan bahwa pada akhirnya dia bersamamu.”
“Mmh. Iin deshou?” Raiya menanggapi, tersenyum tipis. “Keito-nii orang yang baik, aku lihat sih begitu. Kukira.. mmh, Yuto-nii juga sepertinya akan senang. Meskipun.. yah, aku belum pernah melihat wajah Yuto-nii sekalipun dan aku juga tidak tahu sifat Yuto-nii bagaimana.. tapi pasti.. Keito-nii-“
“Ssh.. sudah sudah.” Daiki mengusap-usap puncak kepala bocah tiga belas tahun itu dan tersenyum tipis. “Tidak usah dipikirkan, lagipula antara Keito dan kakakmu.. tidak pernah ada apa-apa. Sungguh.”
“Are?”
Daiki mengoreksi, “Yuu-chan paling dekat dengan Yama-chan.”
Begitu pula kakaknya yang baru mengetahui fakta, “Eh, kukira-“
“Tidak ada apa-apa.” Daiki kembali berbicara, tertawa... pahit? “Kakakmu sangat dekat dengan Yama-chan dan sangat friendly dengan siapapun, termasuk Keito... dan kau tahu, Raiya-chan? Keito terlalu senang dengan perhatian kakakmu, menganggap perhatian itu lebih. Bodoh sekali.”
“Daiki-nii.. kau cemburu ya?” Raiya menangkat alisnya, tanda tidak mengerti.
“Hahahaha..” tawa Daiki semakin mengeras, setetes air mata bergulir jatuh, “... aduh, lihat aku sampai menangis geli begini. Hahaha, iya.. sih, aku sedikit cemburu.”
Yuto hanya bisa menggigit bibirnya, sebelum merasakan rasa luar biasa ingin pergi dari tempat itu. Melihat guratan wajah Daiki dan mendengar tawaannya, ia merasa dua bola matanya memanas. Melihat Raiya yang sama sekali tidak mengetahui satu hal pun, tentu saja, terakhir kali Yuto melihatnya bahkan usia Raiya baru nyaris delapan bulan. Ia merasa asing, ini seperti bukan lagi rumahnya... dan melihat Daiki yang seperti itu...
... Daiki membencinya.
Yuto tahu, Yuto sangat tahu.
Daiki terus merutuki kepergian Yuto, kenapa ia harus pergi dan seolah bebannya dilimpahkan sepenuhnya pada Daiki. Bahkan untuk menjadi korban kelabilan Keito, membuat perjodohan itu-Daiki terus merutuki bahwa kesialan ini seharusnya jatuh pada Yuto. Harusnya Yuto dan Ryosuke yang sedang dilanda masalah keegoisan Keito, bukan Daiki dan Takaki. Seharusnya... hanya seharusnya.
Yuto tahu sekali.
Maka ia memutarbalik langkahnya, begitu pelan membuka kenop pintu dan pergi ke luar dari rumah itu. Rumahnya kah? Entahlah.
Ia bahkan tidak tahu rumahnya di mana sekarang.
“Mama... doko..” langkahnya terhenti, dua lengannya ia dekapkan pada dada sementara kepalanya menunduk dalam. Tidak, ia tidak menangis, hatinya hanya sedang merasa sedikit pedih, “... ie ni kaeritai.. aku... harus ke mana..”
Ia hanya ingin pulang..
... tapi ke mana?
GRAB
Tubuh Yuto nyaris terhuyung ke depan ketika dua lengan mendekapnya dengan erat, panas... menandakan bahwa pemilik lengan ini sedang dalam kondisi tidak tenang, deru nafasnya juga terdengar sangat kencang.
“Jangan lagi-lagi kau pergi tanpa memberitahuku! Yuto-kun tetap saja bodoh! Aku-aku khawatir!”
Kalimat itu terdesis jelas dari tengkuknya, membuat Yuto ingin sekali merasakan desir nafas halus itu... yang ia tahu tidak mungkin.
“Ryo-chan..”
“Jangan menjadi imajinasiku, kumohon. Kau... Yuto-kun, kan?” Ryosuke kembali berdesis, masih tidak merubah posisinya, hanya saja ia dapat merasakan tubuh itu sedikit gemetar. “Yuto-kun.. kau Yuto-kun, benar kan?”
Yuto melengkungkan senyum, tipis namun begitu melebarkan kesenangan di hatinya. Ia membalikkan tubuh kecilnya yang terperangkap dalam dua lengan itu. Dua telapak tangannya meraih dua pipi halus yang ada di hadapannya itu, mengusapnya dengan perlahan dan hati-hati. Yuto senang, ini pertama kalinya ia bisa melihat Ryo-chan yang seperti ini. Ryo-chan yang suka sekali menangis, Ryo-chan yang selalu membutuhkannya bahkan jika kehilangannya selama satu detik pun Ryo-chan tidak akan bisa tenang.
“Kenapa Ryo-chan baru bertanya sekarang?” satu tangan Yuto kali ini terangkat dan ganti mengusap puncak kepala pemuda sembilan belas tahun itu kemudian dengan begitu halus. Yuto lalu merapat mendekati telinga Ryosuke, tersenyum sembari berbisik perlahan, “Aku Yuto-kun. Yuto-kun milik Ryo-chan yang selaluuuu berjanji akan selalu ada di samping Ryo-chan apapun yang terjadi. Ingat, kan?”
Tes..
.
.
.
.. tes..
Dua buliran bening itu terjatuh bebas dari matanya. Dan Ryosuke merasa lega... pada akhirnya ia kembali bisa menangis.
“Pembohong..” Ryosuke balas tersenyum geli, mengusap sisa buliran bening itu dengan cepat seiring dengan satu lembaran memori yang terkuak pada saat itu juga. “Kau pergi..”
Yuto tertawa tipis, jemarinya turut mengusap sisa-sisa sungai kecil di pipinya itu, “Ryo-chan jangan jadi anak kecil lagi, Ryo-chan kan sudah besar sekarang.”
Ryosuke menelungkupkan telapak tangannya pada punggung telapak tangan mungil dan dingin itu, tetap mempertahankannya di pipinya. “Ryo-chan.. selamanya tetap membutuhkan Yuto-kun.. Ryo-chan.. selamanya tetap... menjadi anak kecil.. bersama Yuto-kun..”
Kurva lengkungan Yuto perlahan memudar.
“... hanya di depan Yuto-kun.. Ryo-chan-“
Ryosuke bahkan tidak sempat menghabiskan kalimatnya, Yuto pun tetap terpaku pada tempatnya ketika Ryosuke kemudian mulai mengeluarkan isakan lemah. Namun pelan dan pasti, isakan tersebut mengencang dan air-air bening itu kembali berjatuhan dari kelopak matanya membasahi nyaris seluruh wajahnya.
Yuto kembali berusaha untuk tersenyum, menempelkan satu telapak tangannya pada bahu pemuda itu,. “Ssh, sudahlah, Ryo-chan.”
Namun Ryosuke hanya menggelengkan erat kepalanya, masih belum bisa menyusun satu kalimat pun. Yuto hanya merasakan genggaman di bahunya mengencang, getaran tubuhnya yang meningkat. Ia tahu, ia senang Ryosuke masih mengingatnya, tanda Ryosuke sedih adalah tanda yang membahagiakan. Namun untuk terus-terusan seperti ini... ia bahkan merasa tidak begitu berharga untuk ditangisi.
Kenapa... kenapa semuanya sedaritadi selalu menjatuhkan air mata? Kenapa segala sesuatu yang berhubungan dengannya selalu menjatuhkan air mata?
Sebegitu jahatnya kah dia?
“Ryo-chan.. sudah.. jangan...” suaranya sedikit tersedak, melihat wajah Ryosuke yang masih saja diguliri oleh jatuhan-jatuhan air mata itu. “... menangis lagi...”
Ryosuke tetap menggelengkan kepalanya, tidak sempat untuk menyapu buliran bening tersebut, kepalanya terangkat perlahan, “Tidak.. Yuto-kun.. kau.. pasti akan pergi lagi kan? Kau tidak akan selamanya.. di sini. Kau akan meninggalkan aku lagi.. sendiri.. kan?”
Yuto terpaku.
“Yuto-kun...” genggaman itu mengerat seolah mendesak jawaban, kepalanya kemudian terbenam pada bahu mungil itu, terisak di sana. “... Yuto-kun..”
“Ryo-chan.. aku sakit.. melihat Ryo-chan menangis. Kumohon... bisa berhenti?” Yuto, sebisa mungkin dengan nada yang sama sekali tidak memerdengarkan rintihan, karena ia memang sesak lama kelamaan.. seolah seluruh dunia sedang dan selalu menyalahkannya.
“Pertanyaanku, Yuto-kun...”
Yuto kembali terdiam, segetirnya mencoba tersenyum menenangkan ketika kepala Ryosuke terangkat dan menatap intens lurus padanya.
“Aku selalu akan ada di samping Ryo-chan, dari dulu aku berjanji kan.. meskipun kalimatku tadi.. bisa dalam berbagai arti..”
Kali ini ganti Ryosuke yang terdiam, menyadari ia sudah membuat Yuto terjebak dalam kebingungan dan janji yang dibumbui dengan ketidakpastian. Perlahan ia mengusap kembali dan mengeringkan air matanya dengan cepat sebelum bangkit berdiri, mencoba membuang kembali sisa-sisa kelemahan yang baru saja ia tunjukkan. Ditatapnya sejenak sosok itu sebelum akhirnya ia kembali membungkuk singkat, mendaratnya bibirnya pada puncak kepala anak kecil itu, bertahan di sana selama beberapa lama.
“Yuto-kun. Sebaiknya kita pulang..”
Sementara Yuto yang masih belum bisa bergerak dari posisinya perlahan sedikit merasakan kehangatan yang menjalar, membuat senyuman lebar terpoles apik di wajahnya.
“Un!”
Rumah?
Mungkin, saat ini ia sudah menemukannya. Meskipun hanya untuk saat ini.
tsuzuku
aimlessly deshou?
geje emang ini chapter u,u belum meningkat konfliknya, emang kok emang. xD
ya sudahlah x9