Tertanggal: 8 Juli 2012, malam . Sosok itu menghembuskan napas yang langsung membeku begitu bertemu rendahnya temperatur udara - di sini sedang musim dingin, tidak heran.
Ia memandang kejauhan yang tampak putih, terkaburkan oleh salju yang semakin lama semakin tidak ia rasakan dinginnya. Bahkan gemetar aneh yang semula mencubiti kulit wajahnya kini hanya tersisa sebagai sentuhan lembut, seperti usapan penuh kasih sayang dari seseorang yang lama ia rindukan. Entah berapa lama ia menatap jauh bayangan samar yang terpantul di jendela yang kabur karena salju itu, entah sampai kapan ia bisa bertahan duduk terpaku. Dia menghela nafas tapi dia tak beranjak dari tempatnya duduk.
Pikirannya pun melayang, kembali pada peristiwa beberapa tahun lalu.
Saat itu dia mengingat cinta pertamanya pergi meninggalkannya. Ia tersenyum kecut, mengumpat dalam hati -dan berjanji untuk mengurangi konsumsi menonton opera sabun-, kenapa meski sudah ribuan hari berganti ia tak bisa merelakan ia yang telah pergi? Namun apa daya yang bisa ia lakukan, ketika malam demi malam terus membayangi, ketika pagi demi pagi datang hanya untuk membiarkannya terluka kembali, ketika senja semi senja menggores memorinya lagi dan lagi -- kala itu, saat mentari yang telah melewati zenit menyaksikannya mengucapkan "selamat tinggal" pada yang terkasih, sekaligus menoreh luka besar di hati yang entah kapan akan sembuh. Sampai kapan memori itu akan terus membekas?
Derai tawanya, senyum sinisnya, sentuh tak sengajanya, peluk eratnya... Tuhan, ia merindukannya. Ia melingkarkan kedua tangannya ke badan sendiri, meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan, gemetaran tapi bukan karena dingin, sementara mata mulai berkaca-kaca - mengingat apa yang sekarang tersisa; hanya bayangan dirinya yang lama ditinggalkan; ia merasa tak nyata...
"Ivan..." Bibir merah pemuda kelahiran tanah Tiongkok itu menggumamkan nama yang sudah bertahun-tahun ia tabukan keluar dari mulutnya.
Ivan, ya, itulah nama orang yang sangat dirindukannya itu. Sayang sekarang orang itu telah tiada dikarenakan dia dibunuh oleh seorang perampok tepat didepan matanya. Penyesalan; nama perasaan yang merabuk dari luka itu - ketika ia terlambat datang untuk menyelamatkan sang terkasih dan membiarkan nyawanya melayang begitu saja dari genggaman tangannya. Penyesalan, bentuk tak berwujud dari tiap perih, sakit, nyeri dan semua luka yang meraga itu setiap salju pertama terjatuh dari lazuardi kelabu yang menaungi kampung halamannya.
Sayangnya waktu tak bisa diputar kembali. Melawan alam dan kembali ke masa lampau itu mustahil; menerima dan terus berjalan tanpa sosok itu hanya akan menyakitinya tanpa henti - huh, apalah arti keberadaan dirinya sekarang. Namun tetap saja dalam hatinya yang paling dalam dia ingin sekali bertemu dengannya, bercerita banyak hal kepadanya, menjalani pahit-manisnya kehidupan dengannya... ah, betapa menyenangkannya waktu itu. Meski begitu, pria itu menyadari kalau dia harus berhenti memikirkan orang itu. Dia harus menemukan orang lain agar tidak tenggelam dalam khayalannya yang tinggi dan tidak disangka abnormal karena terus-terusan memikirkan orang yang sudah mati.
"Onii-san, daijoubu desu ka?" Sebuah sapaan membuat sosok itu bangkit dari ketenggelamannya dalam simulakrumnya, menoleh pada sesosok pemuda Jepang, adik beda ibunya, yang ia yakini memilih menjemputnya setelah ia tak kunjung kembali dari ritual jalan-jalan paginya.
"Daijoubu, aru" Ia menoleh, menjawab singkat, dan mengembangkan sebuah senyum yang jelas terlihat dipaksakan.