title: BB series 2: Malam Jumat
rate: PG-13, atau T
warning: jowoan-abuse, horor-gak-niat, (dan maaf Budi, saya harus nyari seseorang untuk berbagi penderitaan dengan kasus saya yang uhuk, uhuk, masuk angin ;w; #kejementele)
character(s): OC! Indonesia-milik-bersama Budi, OC! Indonesia Undies!verse; Eka, mention of other Undies
.
Malam Jumat tanggal 15 bulan Jawa, atau tanggal tua bulan Masehi. Sekalipun kalendernya mengatakan seperti itu, tak ada purnama bulat nan terang yang bertengger di tengah lapangnya langit malam. Sebaliknya, merah dari awan tebal mendominasi tanpa sedikitpun cela. Musim hujan sudah tiba. Dan ia benci musim hujan-jika hari biasa ia langganan masuk angin tiap pagi dan berakhir kentut-kentut sebelum ia sarapan, maka hujan berarti langganan dengan bonus plus; kentut dan sendawa sampai sekitar jam buka museum. Dan setelah satu kejadian yang berakhir senyum sangat lebar dari Tuan Sanjoyo, ia tak lagi berani menghadap sang kurator utama sebelum angin di perutnya habis keluar.
Ia melirik jam tangan bututnya-18.00-dan tiba-tiba kilat menyambar dari luar jendela yang tengah ia tutup. Diikuti petir. Sekejap mata-dan jutaan tetesan air menghambur turun. Ia menghela napas. Lupa membawa payungnya; yang artinya ia terjebak di museum sampai hujan selesai.
Saat itulah listrik memutuskan untuk padam. Ia mengumpat pelan, sementara kaki menghambur ke ruang kerjanya-sebelumnya hanya gudang kecil tapi ia bersihkan, namun masih terlalu banyak barang dan masih cocok disebut gudang-untuk mencari senter. Beruntung senternya masih berfungsi. Ia kembali lagi untuk menutup jendela sepanjang koridor utama, dengan harapan tak banyak air yang membasahi etalase. Ia tak ingin beban kerja-yang ia sebagai cleaning service, bukan sebagai asisten-miliknya bertambah lagi.
Jendela terakhir dan yang paling dekat dengan pintu masuk baru saja ia tutup saat ia mendengar sebuah mobil masuk ke halaman depan museum. Seorang lelaki muda turun dengan membawa payung. Ia mengernyit melihat gerakannya yang aneh. Kaku. Seperti... robot?
Ia tertawa kecil. Itu mustahil.
“Saudara Budi?” lelaki itu bertanya padanya.
“Iya,” jawabnya. Ia memandangi lagi lelaki muda itu, merasa ganjil tapi tak bisa menebak apa itu.
“Joni meminta saudara mengamankan ini.” Sang lelaki muda menyerahkan sebuah koper hitam berukuran cukup besar dan berat.
“Kau iki sapa? Dan apa isine iki?” Dahinya mengernyit.
“Nama saya Eka. Saya android milik Joni.”
Rahangnya jatuh. Tapi belum sempat kagetnya selesai, Eka sudah melanjutkan, tak peduli dengan reaksinya. Toh, ia tak punya komentar-atau tak bisa berkomentar. Pemuda ini gila, kah, menganggap dirinya sendiri bukan manusia?
“Isi koper itu tengkorak pemuda anggota RUF,” jelasnya.
“RUF? Apa itu?”
“Mencari data.” Eka diam sejenak, lalu mengerjap dan melanjutkan dengan nada bak membaca teks dari buku. “Data didapat. RUF atau Front Nasional Liberia adalah sebuah organisasi revolusioner berbasis di Sierra Leone di Afrika Barat. Pada akhir 1990 mereka telah melakukan banyak pembunuhan dalam kampanye untuk menjatuhkan pemerintah pusat. Pemberontakan dilakukan dengan meneror pedesaan Sierra Leone tempat pertambangan berlian. RUF juga memaksa anak-anak untuk menjadi tentara. Mereka tidak segan membunuh siapa saja yang menghalangi; juru damai, personil PBB - dengan cara mengamputasi dan menyantap tubuh mereka. Selain untuk mengintimidasi, hal ini dilakukan untuk menambah kekuatan mereka. Hingga kini tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah korban yang telah disantap oleh RUF-”
“Cukup! Cukup! Kau benar-benar android!” serunya. Android, demi gada Rujakwesi. Milik Tuan Sanjoyo-dan ia pikir lelaki itu tak bisa lebih irasional lagi. Siapa orang waras yang punya android di rumahnya?
Sejenak kemudian ia tersadar. Matanya membesar memandang koper di tangannya dengan horor. “Tentara kanibal-”
“Dan pesan dari Joni-” Suara sang pemuda android berubah jadi menyerupai Tuan Sanjoyo. Bahkan ia bisa membayangkan senyum yang menyertainya. “Jangan sampai Irawan tahu, Budi. Atau... kau tahu sendiri akibatnya.”
Ia merinding. Matanya membesar lagi-jika itu mungkin.
“Selamat malam, Budi.”
Dan sang android meninggalkan sang asisten berdiri di depan pintu masuk museum, masih membeku hingga mobil yang dinaiki Eka menghilang di balik rimbun tirai hujan. Demi panah Kuntawijaya, ia tak pernah suka malam Jumat, tak peduli itu Kliwon, Pon, atau Pahing.