[OneShot] My Girl

Aug 15, 2016 12:21

Hai semuanya~ Jadi author tidak tahu diri ini(?) mempersembahkan ff abal yang nggak jelas ini :") Bukan ff req, tapi aku bikin atas kemauanku sendiri /cie /apa buat mb akinyaa tersayang <3 semoga suka :)

Tittle               : My Girl
Genre             : Romance, Drama
Rated             : PG-15 -agak- NC kayanya /dibuang
Pairing           : KeiXAkinaXDaiki
Cast               : Itou Akina (Aki’s OC),  Arioka Daiki, Inoo Kei (Hey! Say! JUMP), & Hey! Say! BEST
WARNING! Abal, gaje, typos.

WUJUD(?) MEREKA ADALAH SEKITAR JAMAN JUMP WORLD YA SISTA-SISTA JADI JANGAN HERAN DENGAN DESKRIPSINYA NANTI wwwww


=========================================================================================================

“Aku berangkat dulu, Dai-chan” Ucap gadis mungil itu pada lelaki di hadapannya. Wajah mereka berdua terlihat sendu, namun sedetik kemudian lelaki di hadapan gadis itu tersenyum dengan lebar. Senyum yang dipaksakan, karena kedua alisnya tertaut ke atas. Tangannya mengelus puncak kepala sang gadis dengan lembut, “Hati-hati, aku akan mengunjungimu jika sedang libur kerja nanti. Berjanjilah untuk menjaga hubungan kita, Aki-chan.”
Gadis itu mengangguk, “Dai-chan juga…”
“Tentu,” Lelaki itu tersenyum dan menarik si gadis dalam pelukannya sebelum membiarkan kekasihnya pergi dari kampung halamannya ini menuju Tokyo untuk menimba ilmu. Melepaskan semua perasaan campur aduknya dalam pelukan erat. Hingga akhirnya lelaki itu melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum.
“Aku harus berangkat…” Ucap gadis itu lagi. Hatinya sebenarnya enggan untuk meninggalkan keluarga, teman, dan kekasihnya di kampung halaman tercintanya ini. Tapi keinginannya untuk menjadi seorang arsitek lebih dari kuat. Dan ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkannya karena ia telah diterima masuk di Jurusan Arsitektur Meiji University.
Lelaki itu mengangguk dan melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan sementara. Gadis itu mengangkat tas besarnya dan segera naik menuju kereta yang sebentar lagi akan berangkat.
.
.
Gadis itu terbangun dari tidur nyenyaknya. Wajah sayunya terlihat murung mengingat mimpi yang dialaminya barusan. Sebuah potongan kenangan di masa lalu dengan kekasihnya di kampung halamannya. Ia menghela napas berat, memijit pangkal hidungnya.
“Ada apa, Akina?” Suara baritone menyusup indera pendengar gadis itu, membuat lamunannya terpecah. Netranya melirik ke asal suara, seorang laki-laki jangkung sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk di depan pintu kamar mandi.
Akina menggeleng pelan, “Tidak ada apa-apa, Kei.”
Pemuda bersurai hitam itu hanya mengangkat sebelah alisnya melihat reaksi gadis itu yang terkesan berbeda akhir-akhir ini. Tapi ia terlihat tak terlalu ambil pusing dan segera bersiap.
Gadis mungil bersurai sebahu itu masih duduk terdiam di atas tempat tidur, pikirannya kembali melayang.
“Akina,”
Aki menoleh dan mendapati Kei sudah rapi dan menenteng tas ranselnya. “Ah, kau sudah mau berangkat?” Tanyanya sekenanya, pikirannya masih belum jernih. Kei diam dan memandangi Akina sejenak sebelum ia menjawab, “Ya, aku harus berangkat sekarang karena ada ujian. Kau yakin tidak apa-apa?” Akhirnya Kei menyuarakan kecemasannya pada Akina. Akina tersenyum geli, oh siapa yang mengira Kei yang -cukup- tsundere ini bisa menanyakan hal semacam itu padanya?
Kei mengangkat sebelah alisnya saat melihat reaksi Akina, “Ada yang lucu?”
Akina menggeleng, “Tidak. Aku tidak apa-apa, Kei. Tidak perlu khawatir. Segeralah berangkat. Aku bisa berangkat naik bis sendiri nanti.” Akina tersenyum.
“Baiklah,” Respon Kei seadanya. Ia segera menuju pintu keluar apartemennya, “Ittekimasu.”
“Itterasshai. Hati-hati.” Jawab Akina yang masih belum beranjak dari atas tempat tidur.
.
.
Itou Akina, mahasiswi tingkat pertama Jurusan Arsitektur Meiji University. Ia adalah gadis desa yang sedang mengejar mimpinya menjadi arsitek. Karena itu ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya di Chiba dan menimba ilmu di Tokyo.
Ia tak mempunyai kenalan atau bahkan kerabat yang tinggal di Tokyo. Ia benar-benar harus hidup mandiri di sini. Awalnya ia hanya menyewa apartemen biasa yang cukup jauh dari kampusnya dan bekerja paruh waktu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya di Tokyo. Karena terkadang uang yang dikirimkan oleh orang tuanya tak mencukupi, namun Akina tak pernah meminta uang tambahan dan memilih untuk bekerja paruh waktu saja. Karena hanya bekerja paruh waktu, Akina tak pernah bekerja tetap dan terus berganti-ganti pekerjaan. Paling sering adalah ia bekerja menjadi penjaga toko atau menjadi waitress café.
Kedekatannya dengan Inoo Kei, salah satu senpai-nya, adalah saat itu ia melamar untuk bekerja paruh waktu di salah satu café yang ternyata adalah milik Kei. Tentu Akina tahu siapa Inoo Kei. Bahkan mungkin seantero Meiji University mengenal atau paling tidak mengetahui siapa Inoo Kei.
Inoo Kei adalah mahasiswa tingkat tiga Jurusan Arsitektur Meiji University. Ia terkenal sebagai mahasiswa yang jenius, peraih nilai tertinggi di jurusannya selama 2 tahun berturut-turut, dan mungkin ia akan terus mempertahankan prestasinya hingga ia lulus nanti. Tentu selain itu, Kei adalah laki-laki yang tampan dengan postur yang tinggi.
Dengan tinggi 174cm, kulit putih tanpa cela, wajah yang tampan, otak yang encer, dan kaya. Ya, Kei merupakan anak dari pengusaha sukses di Jepang. Ditambah jemari lentiknya tak hanya sebatas pajangan Maha Karya Tuhan yang ia anugerahi, tapi jemari itu juga bisa menari di atas tuts piano dengan lihai. Kei juga merupakan keyboardist salah satu band indie yang cukup terkenal. Jadi tak heran jika Kei berulang kali berganti pasangan. Entah karena Kei yang tidak serius dan hanya bermain-main atau memang tidak cocok dengan mantan-mantan kekasihnya dulu. Bisa dibilang Kei adalah idola kampus layaknya dalam shoujo manga yang sempurna.
Oh paling tidak itulah yang dunia pikir mengenai Inoo Kei. Tak banyak orang yang tahu sifat asli Kei. Kei yang sering berganti pasangan adalah murni karena Kei yang tidak serius dan hanya ingin bermain-main saja. Toh baginya gadis-gadis itu mati satu tumbuh seribu. Ia cukup egois namun tak akan menunjukkannya pada sembarang orang. Menjaga reputasinya tentu saja. Hanya saja lidahnya yang tajam dan sembarangan bicara menjadi salah satu hal yang tidak bisa ia sembunyikan dari khalayak umum.
Tapi Kei selalu memperlakukan dengan baik gadis-gadis itu. Walau terkadang ia masih menggoda gadis lain saat sudah mempunyai kekasih, tapi ia tetap memperlakukan gadisnya dengan manis, sampai ia bosan dan membuangnya. Ya, serigala berbulu domba.
Tiga bulan terakhir ini Kei sedang menjalin hubungan dengan Akina. Berawal dari Akina yang melamar pekerjaan di café miliknya, Kei memutuskan untuk mendekati Akina dengan manis karena kebetulan Kei baru putus. Sering mengantarnya pulang, berkirim pesan, bahkan menawarkan bantuan saat Akina merasa kesulitan dengan tugasnya. Tentu bagi Kei itu mudah. Akina yang baru beberapa bulan menetap di kota besar Tokyo, dengan kepolosannya, berhasil terjebak dalam dekapan Kei dengan cukup mudah.
Tentu Akina juga tak mengetahui alasan Kei sering berganti pasangan. Ia pun enggan menanyakannya karena ia merasa itu adalah privasi seseorang yang tak pantas untuk ditanyakan. Dengan keluguannya, ia menerima Kei menjadi kekasihnya. Tanpa memperdulikan hubungannya dengan Arioka Daiki, -mantan- kekasihnya yang berada di Chiba. Akina berpikir mungkin Daiki telah melupakannya dan sibuk bekerja atau mungkin ia telah dijodohkan dengan gadis lain oleh orangtuanya, karena ia tak bisa mengontak Daiki sejak minggu keduanya di Tokyo hingga sebelum ia menjadi kekasih Kei. Sehingga ia memutuskan untuk melupakan Daiki dan menerima Kei menjadi kekasihnya. Namun beberapa hari ini ia terus bermimpi mengenai -mantan- kekasihnya itu. Membuatnya tidak tenang dan sering melamun.
Ia tak berniat sedikitpun untuk menghubungi Daiki lagi karena telah lelah mencoba dan mendapat hasil yang mengecewakan. Lagipula ia kehilangan nomor dan email Daiki karena ponsel lamanya rusak karena terjatuh dari tangga apartemennya. Kemudian Kei membelikan ponsel baru untuknya, dan hingga sekarang Akina merasa berhutang banyak pada Kei. Membuatnya semakin tidak enak jika membantah kata-kata Kei. Ia memutuskan untuk sebisa mungkin menuruti semua permintaan Kei. Karena itulah pagi ini ia terbangun di tempat tidur apartemen mewah Kei.
.
.
.
“Hoam~” Pemuda bersurai hitam itu menguap dan meregangkan ototnya saat duduk di kantin bersama tiga sahabatnya. Ia baru saja melewati ujiannya dan kini memutuskan untuk makan siang bersama sahabatnya di kantin kampusnya.
“Begadang mengerjakan tugas lagi?” Tanya pemuda bergingsul di hadapannya sambil menyeruput kopi susunya. Kei menggeleng acuh sambil mengecek ponsel pintarnya.
“Lalu?” Kini seorang pemuda dengan rambut kecokelatan di sebelahnya bertanya penasaran.
Kei menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeansnya. Kemudian seringai tipis tercipta di bibirnya. Melihatnya, kedua pemuda itu langsung paham dengan maksud Kei walau ia tak menjawab dengan kata-kata. Hanya ada 3 alasan Kei untuk begadang. Mengerjakan tugas, hang out dengan 3 sahabatnya itu, atau bermain dengan kekasihnya. Karena mereka berempat tak pergi kemanapun kemarin, dan Kei mengatakan bahwa tak mengerjakan tugas, maka jawabannya sudah pasti. Mereka hanya mendengus geli dan kembali fokus dengan makanan mereka.
Mereka berempat adalah sahabat sejak SMA dan berlanjut sampai sekarang. Walaupun mereka tidak satu fakultas, tapi mereka masih sering berkumpul dan hang out bersama. Mereka berempat juga tergabung dalam band yang disebut BEST!, band indie yang cukup terkenal. Sekelompok ikemen duduk berhadapan dalam satu meja yang sama, merupakan hal yang tidak bisa dilewatkan oleh mahasiswi Meiji University. Walau para mahasiswi itu tak mengganggu secara langsung, BEST! selalu menjadi sorotan utama dimanapun mereka berada.
“Dasar serigala,” Ejek seorang pemuda yang duduk di sebelah sahabat gingsulnya. Kei mengangkat sebelah alisnya, “Oh, terima kasih pujiannya, Yabu Kouta-san. Aku tersanjung. Tapi aku belum sehebat dirimu yang telah meraih rekor Penakluk Wanita itu.” Ia kembali mencemooh sahabatnya itu dengan kata-kata sarkastiknya. Khas seorang Inoo Kei yang berlidah tajam.
Kouta meringis, “Jadi, kau masih dengan perempuan itu? Siapa namanya?”
“Akina,” Jawabnya. “Ya, begitulah. Sudah 3 bulan terakhir ini. Kurasa aku mulai bosan.”
“Sudah tiga bulan dan kau baru merasa bosan?” Pemuda gingsul itu mengejek.
“Ada yang salah, Yaotome Hikaru-san?” Tanya Kei tanpa memandang Hikaru, sibuk menyantap nasi putih kesukaannya. “Aku bukan dirimu yang suka berganti pasangan 1 bulan sekali.” Di akhir kalimatnya Kei melirik Hikaru dengan senyum mengejeknya. Hikaru hanya terkekeh geli mendengarnya.
“Tak ingin mengejekku juga, Takaki Yuya-san?” Tanya Kei pada pemuda bersurai kecokelatan yang memandangnya sambil terkekeh geli.
“Berhenti memanggil kami dengan nama lengkap dan sufiks -san itu. Menggelikan.” Ucap Yuya sambil menunjuk Kei dengan sumpitnya.
Kei terkekeh geli sambil terus menyuapkan nasi putih ke dalam mulutnya dengan sumpitnya.
“Jadi, Akina itu masih bekerja di café-mu?” Tanya Hikaru penasaran. Kei mengangguk sekilas, “Ya, ia tak mau melepaskan pekerjaannya walau sudah menjadi kekasihku.”
“Baguslah,” Celetuk Kouta dan segera mendapat respon tatapan bertanya dari ketiga sahabatnya. “Jika ia melepaskan pekerjaannya, apa jadinya jika Kei meninggalkannya nanti?”
.
.
“Anoo, sumimasen. Apa aku boleh duduk di sini?” Seseorang mengintrupsi lamunan Akina. “Ah, tentu saja-” Akina mendongak.
“Aki-chan?!”
Akina terkejut bukan main melihat sosok seseorang yang kini duduk di sebelahnya. Mereka tengah berada di bis, Akina sedang dalam perjalanan menuju kampusnya.
“D-Dai-chan?...” Lirihnya.
Ya, orang itu adalah Daiki, mantan kekasihnya -yang entah kenapa bisa berada di Tokyo- itu.
“Kau kemana saja? Kenapa aku tak bisa menghubungimu? Aku takut terjadi sesuatu padamu! Syukurlah kita bertemu di sini!” Pemuda itu menghujani dirinya dengan berbagai pertanyaan dalam satu tarikan napas.
Oh, baiklah. Ini masalah besar. Akina masih berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Daiki. Tapi sedetik kemudian ia ingat jika dirinyalah yang seharusnya menghujani Daiki dengan pertanyaan serupa. Raut wajahnya berubah masam.
“Untuk apa kau kemari?” Tanya Akina ketus. Ia enggan menatap Daiki yang terus menatapnya penuh kecemasan. “Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu. Kemana saja kau sampai aku tidak bisa menghubungimu?”
Daiki terdiam. Merasa tak mendapat respon, Akina melirik dari ekor matanya, sejujurnya ia masih penasaran dengan alasan Daiki.
“Gomen ne,” Akhirnya Daiki bersuara. “Saat itu aku sedang ditugaskan ke luar desa oleh Ayah dan tidak ada sinyal selama itu. Aku baru kembali 2 hari yang lalu dan tadi pagi aku memutuskan untuk mencoba mencarimu di Tokyo.”
Akina diam, hatinya tidak puas dengan jawaban Daiki. Secara tak sadar ia mulai membandingkan Daiki dan Kei. Tentu Kei jauh lebih baik dari Daiki. Dari segi materi dan kehadiran di hari-harinya, Aki merasa Kei lebih unggul. Uh, entah kenapa Akina telah melupakan kebersamaannya bersama Daiki selama satu tahun lalu.
“Aki-chan…” Daiki kembali bersuara. Nadanya terdengar lembut dan penuh dengan penyesalan. “Gomen ne…”
Akina mulai bimbang, entah kenapa ia tak tahan mendengar nada bicara Daiki. Akina menghela napas besar dan hanya menggumam, “Hm.” Sebagai ganti jawaban ‘ya’ disertai anggukan kecil.
Daiki tersenyum lebar, namun Akina dengan cepat menambahkan, “Tapi kuputuskan hubungan kita sudah berakhir sejak 3 bulan yang lalu. Aku tidak bisa bersamamu lagi, Arioka-san. Maaf, aku harus turun sekarang.”
Tanpa membiarkan Daiki menyuarakan pikirannya, Akina langsung berdiri dan meninggalkan Daiki turun menuju halte dekat kampusnya. Setelah tersadar, Daiki segera mengambil ranselnya dan mengejar Akina turun dari bis.
“Aki-chan! Matte!” Teriak Daiki. Akina masih tetap berjalan dengan langkah cepat tanpa menggubris Daiki. Melihat -mantan- kekasihnya tak menggubris, ia berlari dan menarik tangan Akina, “Aki-chan!”
Refleks Akina berhenti dan menghadap Daiki, “Ada apa lagi, Arioka-san? Aku harus segera masuk kelas.” Bohong. Akina tidak ada kelas hari ini. Tapi ia harus ke kampus untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang menggunung.
Daiki diam, ia memandang Akina dengan bimbang. Tentu ia tak bisa menerima begitu saja kenapa gadisnya bisa memutuskan hubungannya tiba-tiba. Oh mungkin saja Akina tidak tahan dengan Daiki yang menghilang kurang lebih setengah tahun.
“Arioka-san?” Akina menegur Daiki dengan tegas. “Jika ada perlu, cepat katakan. Aku sudah terlambat.” Lagi-lagi bohong. Akina tidak bisa berlama-lama bersama Daiki, terutama di daerah kampus. Bisa-bisa Kei melihatnya dan itu sama sekali bukan hal bagus pikirnya.
“Baiklah, bolehkah kita bicarakan ini lagi nanti? Boleh kuminta nomor teleponmu?” Pemuda itu mengulurkan ponselnya.
Akina terlihat ragu. Ia takut Daiki akan meneleponnya saat ia bersama Kei nanti. Dan entah apa yang akan ia katakan pada Kei. Walaupun Kei sebenarnya mengetahui tentang hubungan rumit antara Akina dan Daiki. Namun mereka tak pernah membahas hal itu lagi karena memang Akina tak pernah menghubungi Daiki lagi. Sebenarnya hal itu juga menjadi alasan Kei bisa dengan mudah mendekati Akina. Memanfaatkan kekosongan hati Akina. Lagipula sebenarnya Kei tidak peduli Akina masih berhubungan dengan Daiki atau tidak. Toh cepat atau lambat, Kei akan bosan dan putus dengan Akina.
“Baiklah, alamat emailmu pun tak masalah.” Daiki membuat ini cepat.
Gadis mungil itu menimbang-nimbang lagi, namun ia mengiyakan dan memberinya alamat emailnya yang baru.
.
.
Pemuda bersurai cokelat itu memandangi layar ponselnya yang menampilkan foto-foto dirinya bersama dengan seorang gadis. Tak hanya satu atau dua foto, tapi ada ratusan foto di album berjudul ‘ore to Aki-chan’ itu.
Ibu jarinya terus mengusap layar ponselnya untuk mengenang momen-momen dalam foto-foto di album ponselnya. Memori otaknya terus bekerja membuka kepingan-kepingan masa lalunya. Wajahnya terlihat sendu. Hatinya berkecamuk, ingin marah. Tapi ia tak bisa menyalahkan Akina. Ini adalah kesalahannya karena ia tak sempat menghubungi Akina sebelum ia pergi. Ia tak terpikir jika di sana akan sulit untuk mendapatkan sinyal.
“Aki-chan, kapan kita bisa bertemu? Kau yang tentukan waktu dan tempatnya. Daiki.”
Daiki mencoba mengirim email pada Akina, walau ia sebenarnya tak yakin akan mendapatkan balasan. Belum 5 menit menunggu, ponselnya bergetar menandakan sebuah email masuk.
“Aku tunggu di café depan stasiun jam 5 sore hari ini. Akina.”
.
.
Kedua manusia berbeda gender itu duduk berhadapan dengan canggung. Sang gadis yang terus mengaduk-aduk milkshake-nya tanpa menatap pemuda di hadapannya, sedangkan sang pemuda terus menatap si gadis dengan penuh penyesalan.
“Aki-chan,”
Akina mengangkat pandangannya, menatap pemuda di hadapannya dengan canggung. Pemuda itu menggigit bibirnya sekilas, “Ini memang salahku, aku tidak memberimu kabar sebelum keberangkatanku. Aku minta maaf.  Tak bisakah kita kembali?”
Akina menggeleng cepat, “Tidak bisa, Arioka-san. Maafkan aku.” Lidahnya terasa aneh saat menyebut pemuda yang dikenalnya dengan baik itu menggunakan nama marga lengkap dengan sufiks -san.
“Kenapa? Apa kau sudah tidak sayang padaku?” Tanya Daiki mulai gusar. Ia tak ingin kehilangan gadis tersayangnya.
Akina terhenyak. Ia sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu. Sejujurnya ia tak yakin jika ia telah melupakan Daiki sepenuhnya. Walau selalu ada Kei yang mengisi hari-harinya, terkadang ia -sedikit- teringat Daiki. Bersama selama kurang lebih satu tahun memang bukan waktu yang singkat.
Daiki melihat keraguan pada wajah Akina. Oh Tuhan, bolehkah ia berharap lebih?
“Aki-chan?” Daiki menegur Akina dengan lembut.
Akina kembali tersadar dan menjawab, “Kita tidak bisa kembali lagi seperti dulu. Maaf Arioka-san.”
Daiki menghela napas berat, kecewa tentu saja. Ia memandang lekat-lekat gadis di hadapannya. “Boleh ku tahu alasan kau menolakku?”
Akina tidak menjawab, ia masih diam dan tak tahu pasti harus menjawab apa.
“Kau sudah bersama orang lain, ya?”
Akina menggigit bibirnya. Haruskah ia menjawab jika ia telah bersama Kei sekarang?  Daiki tersenyum getir. Daiki mengenal betul gadisnya, Akina bukan tipe gadis yang pandai berbohong. Kegugupannya saat menggigit bibirnya adalah tanda jika Akina sedang menyembunyikan sesuatu. Yappari, Daiki memang telah mengenal seluk-beluk Itou Akina.
“Siapa orang beruntung itu?” Tanya Daiki lagi. Menahan nyeri di dadanya yang menguar dengan cepat.
Akhirnya Akina mengumpulkan seluruh keyakinannya untuk menjawab, “Salah satu kakak kelasku di kampus sekaligus pemilik café tempatku baito sekarang.”
Entah bagaimana mendeskripsikan perasaan Daiki sekarang. Ia merasa sangat marah dan menyesal pada dirinya sendiri. Hatinya sangat hancur mendengar jawaban itu dari -mantan- kekasihnya itu. Ia jadi bertanya-tanya seperti apakah penggantinya sekarang? Apa benar laki-laki itu baik? Tidak hanya sedang bermain-main dengan Akina? Bagaimana rupanya? Ah, yang pasti laki-laki itu lebih dari dirinya mengingat Akina menyebut jika laki-laki itu adalah seorang pemilik café. Tentu dia jauh lebih baik dari dirinya. Ia hanyalah seorang petani buah pir di perkebunan milik ayahnya di Chiba.
“Begitu ya?” Terdengar jelas kekhawatiran Daiki di telinga Akina. “Baiklah, Itou-san.”
Entah kenapa hati gadis mungil ini terasa ngilu mendengarnya. Jadi begini rasanya mendengar seseorang yang paling dekat denganmu memanggil namamu dengan marga lengkap dengan sufiks -san itu? Sebisa mungkin Akina menahan air matanya.
Mereka mulai diam dan sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Akina berpikir apakah keputusannya tepat untuk meninggalkan Daiki? Apa ia harus kembali pada Daiki dan meninggalkan Kei? Memang selama ini Kei yang selalu membantunya, namun tak jarang pula Kei berlaku egois padanya. Tapi peran Kei yang selalu membantunya terus terbayang di benaknya bahkan ketika Kei marah padanya selama 1 minggu penuh.
“Anou… Bisakah kita tetap memanggil dengan sebutan biasanya? Sejujurnya lidahku terasa aneh saat memanggilmu begitu…” Cicit Akina.
Daiki tersenyum tipis, “Tentu, Aki-chan. Bisakah kita tetap berhubungan baik? Kita masih bisa berteman, kan?”
.
.
“Kita sudah sampai.” Daiki dan Akina berdiri di depan apartemen sederhana bercat cokelat muda itu. Daiki memandangi bangunan yang menjadi tempat tinggal Akina selama di Tokyo itu. “Terima kasih sudah mengantar.” Lirih Akina. Daiki tersenyum dan mengangguk singkat.
“Kamarku di lantai 3 nomor 14,” Lanjut Akina. Entah kenapa ia memberitahukan nomor apartemennya. “Mungkin kau ingin berkunjung kapan-kapan…” Tambah Akina canggung. Daiki masih tersenyum, ia enggan menyudahi pertemuan ini. Namun ia tak bisa berbuat banyak.
“Baiklah, aku harus kembali ke penginapan.” Kata Daiki dan undur diri.
Melihat punggung Daiki yang mulai menjauh, ia naik menuju kamarnya. Hari ini cukup melelahkan bagi pikiran dan hatinya. Ia ingin segera pergi tidur.
“Tadaima,” Ucapnya ketika masuk ke kamarnya. Ia terkejut ketika melihat Kei tengah duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. “Kei?”
Kei hanya menoleh sekilas, “Okaeri,”
“Kenapa kau di sini? Bukankah kau bilang akan latihan dengan BEST?” Tanya Akina sambil menempatkan dirinya di sebelah pemuda jangkung itu. Ya, Kei dan Akina memang mempunyai kunci apartemen satu sama lain. Jadi tak heran jika Kei bisa masuk.
“Siapa dia?” Tanya Kei santai, matanya masih tertuju pada layar televisi.
“Eh?”
“Laki-laki yang mengantarmu pulang.” Kei menoleh pada Akina.
“Hanya teman,” Jawab Akina cepat. Tak peduli Kei percaya atau tidak.
Kei mengangkat sebelah alisnya, “Maji? Bukannya dia mantan kekasihmu itu?”
Akina menelan ludahnya gugup. Oh Tuhan, ia lupa jika Kei pernah melihat foto Daiki secara tak sengaja di ponsel lamanya.  Bukan foto berdua dengan Akina, namun foto bersama dengan teman-temannya sekolahnya dulu. Namun Kei bisa menyimpulkan jika Daiki adalah kekasih Akina saat itu karena posisi berdiri mereka yang berdekatan dibanding dengan yang lain.
“Kau mengundangnya ke Tokyo?” Tanya Kei lagi. Sebenarnya Kei hanya sekedar bertanya. Toh ia tak marah sama sekali. Ia hanya ingin sedikit bermain-main karena ia sedang bosan. Ia hanya ingin menggoda Akina saja karena ia merasa sedang bosan dengan hubungannya.
“Tidak. Kami bertemu di bis saat perjalanan pulang tadi.”
“Dan kau membiarkannya mengantarmu pulang? Memberitahunya letak apartemenmu?”
Akina terdiam sejenak, ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Kei menyeringai licik, ia mendorong Akina hingga terbaring di lantai.
“Kei…” Akina mendorong bahu Kei saat ia mempersempit jarak diantara mereka. Kei masih terus mempersempit jarak mereka, ia menatap lurus pada mata Akina yang gugup. “Kau harus dihukum karena telah bermain di belakangku, Akina.” Bisik Kei tepat di telinga gadis mungil itu.
“Tapi aku tidak-”
Detik selanjutnya Kei mencium bibir Akina dengan menuntut. Mengecup berulang kali bibir tipis Akina, meminta Akina untuk membuka bibirnya. Akina memutuskan menuruti keinginan Kei, karena tak ada gunanya membantah Kei. Akina membuka bibirnya dan tanpa menunggu Kei segera melesakkan lidahnya. Walau sudah termasuk sering melakukannya, tetap saja Akina akan merasa sensasi yang tak bisa ia lupakan. Kei melepas pagutannya dan berpindah untuk menjelajahi leher Akina dengan lidahnya. Sedangkan sebelah tangannya mulai menyentuh Akina dengan tidak sabar.
.
.
TING TONG
“Kei, tolong bukakan pintunya,” Ucap Akina yang tengah menggoreng telur dadar pada Kei yang masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendeknya. Rambutnya masih basah karena baru saja selesai mandi.
“Mendokuse naa. Siapa bertamu pagi-pagi begini?” Keluh Kei masih tetap berdiri di depan kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
TING TONG
Kei berdecak kesal karena bunyi bel yang kedua kalinya. Akhirnya dengan ogah-ogahan, ia membuka pintunya.
.
.
Daiki terkejut karena yang membuka pintu adalah seorang laki-laki jangkung yang tengah bertelanjang dada. Kemudian dengan cepat ia melihat nomor kamar yang terletak di sebelah pintu.
Nomor 14.
Dan ini lantai 3.
Tidak mungkin dirinya salah kamar.
“Ah, kau mantan kekasih Akina semalam, kan?” Tanya pemuda jangkung di hadapannya sambil menyeringai tipis. Daiki mengerutkan alisnya, darimana laki-laki ini tahu? Atau jangan-jangan laki-laki di hadapannya ini adalah…
“Salam kenal. Namaku Inoo Kei, kekasih Akina.”
Bagai disambar petir, hati Daiki kembali sakit. Akina telah tinggal bersama dengan kekasih barunya? Oh Tuhan, Daiki tak sanggup memikirkan apa saja yang telah Akina lakukan dengan kekasih barunya ini.
“Siapa yang datang, Kei?” Terdengar suara gadis yang dikenalnya dari belakang pemuda jangkung di hadapannya. Dan benar saja, gadis mungil itu Akina. Ia berhenti di ambang pintu, tepat di sebelah kiri Kei.
“Daichan?...” Lirih Akina.
Daiki melihat penampilan Akina sekarang, Akina terlihat hanya mengenakan kemeja biru muda yang terlihat oversize di badannya yang mungil. Panjang kemeja itu mencapai setengah pahanya dan lengan kemeja yang dilipat hingga seperempat lengan mungilnya. Daiki berani bertaruh jika kemeja itu adalah kemeja Kei.
“A-ada perlu apa?” Tanya Akina canggung. Karena ia melirik Kei yang terus memandang Daiki dengan senyum tipis penuh kemenangan.
Daiki mengumpulkan segala kesadarannya dan menjawab pertanyaan Akina, “Aku hanya ingin pamit. Aku akan kembali ke Chiba.” Laki-laki itu memaksakan seulas senyum.
Kei mendengus geli sekilas, kemudian ia mundur dan memeluk Akina dari belakang dengan posesif. Meletakkan dagunya pada pundak kanan Akina, sambil terus menatap Daiki penuh kemenangan. Sepertinya ia menikmati ekspresi wajah marah dan kecewa Daiki yang sedang berusaha ditutupinya.
Akina pun tak bisa menolak dengan perlakuan Kei padanya. Ia cukup merasa bersalah pada Daiki membiarkannya melihat pemandangan yang tak mengenakkan pagi ini.
“Langsung pulang?” Tanya Akina canggung dengan posisinya sekarang dan pandangan Daiki yang tak bisa dijelaskan.
Daiki mengangguk, “Aku kemari untuk mencarimu. Karena kita sudah bertemu, jadi aku lebih baik pulang.”
“Maaf ya, tapi Akina sekarang sudah bersamaku jadi memang lebih baik kau pulang saja.” Kata Kei sambil menahan tawanya. Wajah Daiki yang memerah karena menahan perasaannya yang campur aduk membuatnya terlihat menggelikan di mata Kei.
“Baiklah, kalau begitu aku duluan. Inoo-san, tolong jaga Akina, ya.” Daiki membungkuk sekilas pada mereka berdua sebelum ia berbalik. Kei hanya terus tersenyum penuh kemenangan sebagai jawabannya.
“Hati-hati,” Teriak Akina akhirnya saat Daiki sudah di ujung lorong hendak menuruni tangga. Daiki hanya tersenyum sekilas dan menuruni tangga.
.
.
Dua minggu berlalu semenjak pertemuannya dengan Daiki, Akina dan Kei terus berhubungan seperti biasa. Walau Akina mulai merasa jika Kei menghindarinya. Mulai menolak jika Akina meminta bantuan mengerjakan tugas atau mengajarinya materi. Tak membalas email dan tak mengangkat telepon. Walau mereka masih sering bertemu di kampus, hanya sekedar menyapa dan melihat dari jauh. Karena Kei memang lebih sering berkumpul bersama BEST!, dan jadwal kelas kuliah mereka yang berbeda.
Malam ini Akina berjanji akan datang ke apartemen Kei untuk memaksakkan makan malam yang Kei minta. Kei berjanji akan menjemput Akina di apartemennya untuk berbelanja bahan yang dibutuhkan, namun sekarang sudah lebih 2 jam dari waktu yang dijanjikan Kei pada Akina. Akina mencoba mengirim email dan menelepon, namun tak ada jawaban.
Akina berpikir mungkin saja Kei mendadak ada tugas yang harus dikumpulkan atau kelas pengganti yang membuatnya terlambat. Jadi Akina berinisiatif untuk berbelanja dan pergi ke apartemen Kei sendiri.
.
.
Gadis mungil itu duduk dengan sabar. Di depannya sudah terhidang berbagai makanan yang sudah dingin. Tentu saja, ini sudah larut malam, tapi gadis itu masih duduk diam dan sesekali mengecek ponselnya.
“Kemana Kei? Ini sudah larut..” Pikir gadis itu cemas. Takut terjadi sesuatu dengan kekasihnya.
Ya, Akina telah berada di apartemen Kei. Lengkap dengan makanan yang diminta Kei malam ini. Tapi jam dinding sudah menujukkan pukul 11 malam tapi keyboardist BEST! itu belum kembali ke apartemennya.
.
.
“Oi, okite,”
Gendang telinga gadis bersurai pendek itu menangkap suara lelaki yang dikenalnya. Perlahan nyawanya kembali dan ia membuka matanya. Rupanya ia tertidur saat menunggu kekasihnya pulang.
Netra sayunya menangkap dua sosok berbeda gender di hadapannya. Matanya seketika membulat sempurna dan rasa kantuknya langsung lenyap, saat menyadari orang yang membangunkannya adalah Kei. Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut, Kei tengah merangkul pinggang seorang perempuan dengan posesif.
“Kei?” Walau nyawa dan kesadarannya telah kembali, Akina masih linglung. Siapa perempuan itu? Kenapa Kei merangkulnya?
“Siapa dia? Kenapa baru pulang?” Tanya Akina menyuarakan kebingungannya. Gadis itu bangkit dari kursinya. Menatap Kei dan perempuan itu bergantian. Otaknya bekerja cepat untuk menyimpulkan kejadian yang dialaminya sekarang.
“Akina, mulai sekarang kita putus. Aku sudah bosan denganmu.” Ucap Kei dingin tanpa basa-basi. “Jadi jangan ganggu aku lagi.” Kei menyeringai dan sedetik berikutnya Kei mencium bibir perempuan di sampingnya.
.
.
Akina berlari sekuat tenaga, ia tak mempunyai tujuan. Hanya berlari sekuat yang ia bisa. Air matanya mengalir deras. Dadanya terasa ngilu. Otaknya terus mengulang kejadian beberapa menit yang lalu, saat Kei memutuskan hubungannya dan dengan tanpa rasa bersalah Kei mencium *coret*selingkuhan*coret* kekasih barunya tepat di depan mata Akina.
Akina sampai di sebuah taman dan ia duduk pada salah satu bangku di sana. Ia menangis terisak, bahkan ia tak bisa memandang dengan jelas karena air matanya yang terus mengalir.
Akina telah melakukan apapun yang Kei mau. Ia menuruti semua perintah Kei. Kini Akina paham kenapa diam-diam Kei disebut sebagai serigala berbulu domba. Memperlakukan kekasihnya dengan manis dan akan membuangnya tanpa pikir panjang saat dirinya merasa bosan. Jadi apa artinya 3 bulan ini untuknya?
Hanya sebuah permainan kecil untuk Kei. Namun 3 bulan ini sangat berarti bagi Akina, ia bahkan melepaskan Daiki karena ia telah menjadi kekasih Kei saat itu. Apa artinya perkataan Kei pada Daiki saat itu? Bahwa ia telah menjadi miliknya dan menyuruh Daiki pergi.
Akina masih terus terisak dalam diam, seorang diri di taman pada dini hari yang dingin ini. Mungkin ia akan menumpahkan kesedihan dan kekesalannya malam ini saja. Cukup hari ini dan tak akan ada lagi air mata untuk serigala seperti Kei lagi esok hari. Hidupnya masih panjang, ia masih harus mengejar mimpinya menjadi arsitek.
Ia mengingat alasan pertama yang membuatnya pergi ke Tokyo. Untuk menimba ilmu dan mendapatkan pekerjaan sebagai arsitek. Disaat itu pula Akina mulai teringat dengan Daiki yang dengan bersemangat mendorongnya untuk pergi ke Tokyo.
Baiklah, kini Akina mulai membandingkan kepingan-kepingan kenangannya saat bersama Daiki dan Kei. Yappari, Akina merindukan Daiki.
.
.
“Omataseshimashita,”
Gadis pelayan itu meletakkan secangkir jus jeruk di meja sesuai pesanan pelangganan di meja nomor 9 itu.
“Arigatou,” Pemuda itu tersenyum pada si pelayan.
Bagai déjà vu.
“Aki-chan?”
Pelayan itu sama terkejutnya dengan pelanggannya, “Dai-chan?”
Mereka bertemu lagi. Tanpa ada kabar sebelumnya dan lagi-lagi bertemu tanpa sengaja. Sepertinya takdir memang sedang mempermainkan mereka.
“Kau bekerja di sini? Apa ini café milik Inoo-san?” Tanya Daiki pelan mengingat Akina pernah bercerita jika dirinya baito di café milik Kei.
Akina tersenyum lebar dengan manis, “Tidak. Aku baru bekerja di sini mulai kemarin.” Daiki mengangguk-angguk mengerti.
“Lagipula aku sudah putus dengan Kei.” Lanjut Akina sambil tersenyum. Seulas senyum yang Daiki rindukan.
Daiki hendak menanyakan banyak hal, namun itu tidak memungkinkan karena Akina sedang bekerja sekarang. Tentu tidak sopan mengganggu seseorang yang tengah bekerja.
“Aku akan menunggumu hingga selesai bekerja,” Kata Daiki saat Akina mulai menjauh beberapa langkah. “Jika kau tak keberatan.” Daiki menggigit bibirnya sekilas. Berhati-hati mengambil langkah, takut jika kejadian yang sama akan terulang kembali.
Akina hanya tersenyum dan mengangguk. Melihatna, Daiki juga tersenyum. Ia merindukan Akina. Empat bulan ini hatinya terasa sepi. Memang mereka masih berbalas pesan, namun hanya obrolan ringan saja. Yang membuat Daiki terkejut adalah Akina tak menceritakan apapun tentang hubungannya yang telah berakhir dengan Kei.
.
.
“Jadi, kenapa Dai-chan pergi ke Tokyo lagi?” Tanya Akina sambil merapatkan mantel panjangnya. Aki sudah mencapai ujungnya yang akan segera berganti menjadi fuyu. Suhu udara mulai terasa lebih dingin dari sebelumnya.
“Aku memutuskan untuk masuk ke universitas juga,” Jawab Daiki tersenyum.
“Heee~” Akina takjub. “Bagaimana dengan perkebunan ayahmu? Bukannya kau dipaksa untuk melanjutkan mengurusnya nanti?”
“Adikku yang akan meneruskannya,” Jawab Daiki cepat.
Akina hanya mengangguk-angguk, ia merasa sedikit canggung mengobrol berdua dengan Daiki. Sejak ia putus dengan Kei 4 bulan yang lalu, Akina memutuskan untuk pindah baito dari café milik Kei. Ia menghindari Kei saat di kampus dan menghapus semua foto saat bersama Kei. Ia memutuskan untuk fokus pada kuliah dan cita-citanya.
“Aki-chan,”
Akina memandang Daiki yang menghentikan langkahnya. “Ada apa?”
“Bisakah kita kembali lagi?” Tanya Daiki, terasa sekali jika ia masih menginginkan gadis mungil di depannya ini. Daiki meraih kedua tangan Akina dan menggenggamnya. Akina menatap mata bulat Daiki yang penuh dengan kesunguhan.
Akina masih diam. Ia mulai bergulat dengan pikirannya lagi.
“Mulai bulan depan aku sudah pindah ke Tokyo untuk berbagai persiapan…” Lanjut Daiki. “Kita akan sering bertemu.” Tambahnya.
“Dai-chan,” Akina menunduk.
Daiki mengerutkan keningnya, oh haruskah ia menelan kekecewaan lagi?
“Sejujurnya setelah putus dengan Kei, aku mulai lebih sering mengingatmu,” Akina berucap pelan. Ia terlalu malu untuk mengatakannya dengan gamblang. Daiki tersenyum tipis.
“Jadi?” Tanya Daiki. “Bisa kita kembali seperti dulu?”
Akina memandang pemuda bersurai cokelat itu dan terenyum lebar. Senyuman yang selalu ia berikan untuk Daiki, senyuman yang Daiki rindukan sama seperti saat dulu. Akina mengangguk kecil sebagai jawaban.
Tanpa menunggu Daiki langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia memeluk kekasihnya dengan penuh rindu. Akina membalas pelukan Daiki, “Tadaima, Dai-chan,”
“Okaeri, Aki-chan!”

[END]
.
.
Yeaaaayyy~ akhirnya kelar! Dan endingnya ga jelas~ Yeaaayyyy karena saya sudah buntu mau dibikin gimana lagi TTATT
AQUINA-SAMAAAAA~ /slap
Suimasen, Aquina-sama, saya menistakan OC dan bias-bias tercintamu.
Sejujurnya aku nulis ini terinspirasi dari FTV yang kebetulan kutonton minggu2 lalu -karena lagi nginep di rumah satunya dan di sana ngga ada wi-fi & koneksi buluk yang bisa buat aku lari dari TV- HAHAHAHA
Maaf pair nya bukan AkiXKei :( karena entah kenapa Kei terlihat lebih jahat di mataku, jadi beginilah /?
Maaf jika tak memuaskan ;;A;; tapi paling ngga di fandom ini aku udah nyelesein 1 ff *goleran*
Terima kasih sudah bersedia meluangkan waktu untuk baca >w<)

- Fuki deshita -

oneshot, fanfiction

Previous post Next post
Up