Bagian I : Anyelir

Jun 01, 2017 22:19

JDUARR!!
Petir membahana. Tubuhku telah basah kuyup. Kulihat bayangku pada genangan air di bawah temaram lampu taman kota. Kenapa  wajahku begitu mengerikan? Seulas wajah pucat, bibir kebiruan dipadu dengan tubuh kerempeng dibalut pakaian yang terkoyak. Kepalaku mendadak pening. Kakiku terasa lemas. Pandangan mataku memburam.
BUKK!
Tubuhku menghempas aspal, perih sakit tak terhingga. Kurasakan cairan merah berbau anyir mengaliri kening, perlahan menuruni kedua pipi, hingga kurasakan asinnya di bibirku. Kesadaranku perlahan menghilang. Sempat kulihat senyum mama sebelum semua pandanganku benar-benar gelap. Sentuhan hangat membuatku tersenyum.
...
PRANGGG!!
Piring malang hancur berkeping setelah menghempas lantai. Lelaki bertubuh kekar menghempaskan pantatnya di atas kursi. Sementara itu wanita berkebaya menyungingkan senyuman sinis. Seorang gadis lima belas tahunan meringkuk ketakutan di balik pintu dapur.
“Ini semua pasti turunan dari kamu!”
“Papa seenaknya ya?”
“Kalau bukan dari kamu atau keluargamu, dari siapa lagi?”
“Ya bisa saja dari Papa kan?”
“Jaga mulutmu Marni. Keluargaku yang terhormat tidak mungkin menurunkan penyakit memalukan seperti itu!”
“Siapa tahu?”
PLAKKK!! Tamparan keras. Si wanita masih tak mau kalah. Ditatapnya suaminya dengan mata nyalang sembari memegangi pipinya yang memerah. Sementara itu, dua buliran bening menuruni pipi si gadis di balik pintu. Lelaki itu menghembuskan napas berat berkali-kali untuk kemudian memalingkan mukanya kesal. Hening menguasai keadaan beberapa jenak hingga secara mendadak amarah merasuki hati si lelaki.
“Jangan-jangan mama selingkuh ya? Makanya anakmu begitu!”
“Apa? Papa benar-benar keterlaluan! Jelas-jelas mukanya itu mirip denganmu Pa!”
“Mirip darimananya?” Lelaki itu menjambak rambut istrinya. Teriakan histeris menggema di seluruh ruangan. “Katakan padaku apa miripnya Heh!”
“Ampun Pa!”
“Ampun katamu!”
BUKK!!
Tubuh sang istri menghempas lantai. Gadis dibalik pintu terisak. Dengan gontai dilangkahkannya kakinya ke kamar. Tangannya gemetar membuka pintu kamar mungilnya. Tubuh yang ringkih menghempas tempat tidur namun mata yang sembab menolak untuk tidur, hanya menatap langit suram dari tirai yang terbuka. Sebuah ide gila pun melintas....
Perih namun sudut bibir mungil itu membentuk lekukan proporsional, senyuman manis namun getir. Tetesan darah membasahi karpet bermotif beruang kecil. Pisau lipat berlumur darah terjatuh dari atas tempat tidur....
...
“TIDAAAAK!”         
Siluet cahaya mentari membawaku kembali ke alam nyata. Tubuhku bermandikan keringat. Kerongkonganku terasa kering. Napasku tersengal. Bibirku gemetaran. Bayangan mimpi buruk yang sudah lama tak mengangguku entah kenapa semalam kembali bermunculan.
Hening, hanya detak jam dinding.
Beberapa jenak kupejamkan mataku. Aroma khas menelusup rongga hidungku, menenangkan pikiran. Ketakutanku mendadak sirna. Keingitahuan skeetika menguasai pikiran. Bola mataku mulai mengitari ruangan tempatku berada kini. Sebuah kamar mungil namun nyaman. Dua buah jendela lebar sedikit terbuka membiarkan udara segar masuk, menyegarkan paru-paru yang kerontang. Tirai bermotif bunga-bunga kecil bergerak-gerak tertiup angin semilir. Sebuah tempat tidur nomor 3 di sudut kamar dan lemari kayu di sudut yang berlawanan. Beberapa perabotan tersusun rapi dan artistik. Pemilik kamar ini pastilah seseorang yang mencintai keindahan.
Mataku masih belum puas berpetualang. Kali ini sebuah meja di dekat jendela yang menjadi pusat perhatianku. Sebenarnya tak terlalu istimewa, hanya meja kayu tua berulir. Jambangan antik berisi beberapa kuntum bunga segar di atasnyalah yang menarik bagiku. Bibirku menyunggingkan seulas senyum. Aha! Benda ini yang kucari sedari tadi. Benda yang menguarkan aroma khas menenangkan.
Aku mencoba bangkit dari tempat tidur, berjalan perlahan menuju jambangan bunga. Kuhirup dalam-dalam. Ah... begitu menyegarkan.
KRIEETT
Decit pintu mengagetkanku. Seulas senyum lembut menyambutku dari balik pintu. Wanita bertubuh subur membawa senampan bubur yang membuat perutku berbunyi. Rambutnya tergelung rapi dan sedikit memutih. Aku hanya terpaku dengan tatapan hampa.
“Kamu sudah bangun, Nak.” Tak ada jawaban. “Kamu pasti lapar. Saya bawakan kamu makanan.”
Wanita itu mendekat masih dengan senyum lembutnya. Aku mundur secara refleks. Kakiku mendadak lemas. Tubuhku meringkuk gemetar di bawah jendela. Bibirku bergerak-gerak tak beraturan. Wajah yang lembut itu mendadak menjadi muram.
“Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit?” Tangan keriput menyentuh keningku, Hangat. Oh Tuhan tak pernah kurasakan sentuhan sehangat ini. Aku menatap wajah di hadapanku. “Tenang saja, saya bukan orang jahat.” Dengan lembut dibimbingnya aku berdiri. Anehnya, tubuhku tak lagi memberontak, dengan patuh duduk manis di atas sisi tempat tidur, berhadapan dengan wanita itu. “Sekarang makan ya?’ Aku mengangguk.
Satu sendok bubur panas mampir di depan bibirku. Kubuka mulutku perlahan. Aku meringis, panas membakar lidahku. Wanita berwajah lembut tersentak kaget. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan yang dalam.
“dimana aku?”
“Kamu di rumahku. Seorang wanita tua yang kesepian, Nak. Orang-orang biasa memanggilku Bunda Asih. Siapa namamu?”
“Mia.”
“Nama yang cantik. Nanti kalau Mia sudah agak baikan, saya antar pulang ke rumahmu.” Tanpa sadar tubuhku melingkar di atas tempat tidur. “Kamu kenapa Mia?” tatapan cemas. Tubuhku semakin gemetar. “Kalau kamu masih tidak bisa menceritakannya tak apa. Sekarang kamu istirahat saja.” Bunda Asih memnyelimuti tubuhku. Wanita itu beranjak dari tempat tidur. Tanganku memegangi lengannya. Bunda Asih mengerutkan kening,
“Jangan tinggalkan saya sendiri...”, serak kudengar suaraku sendiri, Bunda Asih kembali duduk di sisi tempat tidur. Kali ini tangannya membelai lembut rambutku. Sebuah de javu menyelesak,

Penerimaan raport dan perpisahan kelas tiga. Suasana hiruk pikuk mewarnai sekolahku. Aku tak terlalu menikamtinya. tubuhku agak demam hari ini. Beberapa kali tanganku melakukan gerakan tanpa sadar. Aku hanya meringkuk di kursi tamu undangan sementara teman-temanku sibuk menyanyi tak jelas di atas panggung. Rasa sakit hebat menyerang kepalaku. Gerakan tanpa sadar mulai terjadi dengan frekuensi lebih sering. Aku kehilangan kendali. Tubuhku terjatuh dari kursi, berguncang-guncang di lapangan sekolah...
...
Ketika membuka mata, ruangan putih beraroma karbol menyambutku. Selang infus membelit lenganku. Aku mencoba memadangi sekeliling. Tak ada siapapun di ruangan ini. Kucoba bangkit namun tubuhku masih terlalu lemah.
Pintu dibuka dari luar. Entah mengapa kurasakan suasana yang tak nyaman. Kuputusan untuk berpura-pura tidur. Papa dan mamaku memasuki ruangan. Kucoba mengintip. Wajah-wajah itu nampak lelah. Aku benar-benar merasa bersalah.
“Bagaimana ini Pa?”
“Entahlah.” mamaku mulai terisak.
“Dia masih terlalu muda Pa.”
“Dokter bilang tak bisa disembuhkan.” Aku terhenyak. Apakah aku menderita penyakit mematikan? Apakah waktuku takkan lama lagi. Aku benar-benar takut.
“Tapi dia tak harus menanggung malu seumur hidupnya kan?” Malu? Apa lagi ini?  Aku menggigit bibirku.
“Bukan hanya dia, kita sekeluarga juga harus menanggung aib ini.” Aku meringis.

Bunda Asih tersenyum lembut.
“Boleh saya tinggal di sini, Bu?”
“Saya senang sekali tetapi tentu orang tuamu akan cemas, Nak....”
“Mereka tidak akan cemas.” Bunda Asih mengerutkan kening, heran. “Maaf Bu saya tidak bisa menceritakannya sekarang.”
“Tak apa, Nak.”
“Tapi saya boleh tinggal di sini?”
“Selama yang kauinginkan.” Seulas senyum lembut tumbuhkan secercah harapan.
“Terima kasih, Bu.”
“Sama-sama, sekarang kamu tidur saja lagi. Kamu terlihat masih sangat lemah.” Telapak tangan hangat dan lembut itu kembali mengusap-usap kepalaku. Mataku semakin redup. Rasa kantuk mengantarkanku mengarungi samudra mimpi.
***
Adzan subuh berkumandang,
Sebuah sentuhan lembut membuatku membuka mata perlahan. Wajah bunda Asih yang basah guratkan seulas senyuman. Aku mengucek-ucek mataku. Kepalaku masih sedikit pusing.
“Sudah merasa enakan?”
“Iya, Bu.”
“Shalat subuh yuk!”
“Saya....” Aku merasa sedikit risih. Sudah lama aku tak melaksanakan kewajiban yang satu itu. Semacam aksi protes kepada-Nya karena penyakitku. Meski tidak ada penyakit inipun,  shalatku juga belang-belang.
“Kenapa Nak?”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya mau ambil wudhu dulu.”
“Saya tunggu di ruang keluarga.” Aku hanya mengangguk, permisi keluar kamar menuju kamar mandi.
...
Guyuran air pertama membasahi wajahku, dingin tetapi membawa kesegaran. Guyuran air berikutnya membasahi anggota wudhuku yang lain. Hidungku terasa sedikit perih dan tubuhku agak gemetar. Mungkin karena tak terbiasa bangun sepagi ini. Musim kemarau memang selalu mendatangkan dingin di subuh hari.
Usai berwudhu, aku segera ke ruang keluarga. Bunda Asih telah menungguku di sana. Sajadah bermotif ka’bah sudah terhampar lengkap dengan mukena yang terlipat rapi di atasnya. Sementara itu, Bunda Asih sudah siap di atas sajadahnya. Setelah menundukkan kepala sedikit, kukenakan mukena. Ah! terasa ada yang mengganjal. Aku tak tahu mengapa?
”Allahuakbar....” suara lantunan takbir yang merdu. Namun, pikiranku entah kenapa malah berkelana kemana-mana. Kuharap Dia mengampuni tingkahku ini....

Kumandang adzan,
Gadis berusia 5 tahun itu mengamati ibunya yang tertidur lelap. Bibir mungilnya menirukan kumandang adzan dengan nada cadel. Dia teringat almarhum kakeknya. Sang kakek selalu terbangun dini hari ketika mendengar lantunan bunyi itu. Kakek akan membasahi beberapa anggota tubuhnya untuk kemudian melakukan gerakan-gerakan tertentu. Gadis itu seringkali diajak oleh sang kakek. Dia hanya mengikuti gerakan kakeknya saja. Kakeknya berjanji akan mengajarinya namun Allah sudah menjemput sang kakek.
Gadis kecil teringat kembali penjelasan kakeknya mengenai dosa. Tangan mungilnya pun segera menarik-narik baju ibunya. Wanita muda yang terbaring di sampingnya mendengus dengan mata setengah terbuka.
“Kenapa Mia?”
“Mama kita shalat yuk!”
“Aduh Mia Mama masih mengantuk.” Wanita itu membalikkan tubuhnya.
“Pa.....”
“Huh?”
“Shalat Yuk Pa!”
“Papa semalam lembur, Papa masih capek.”
“Tapi Pa nanti kita berdosa.” Lelaki muda itu terpaksa bangkit, mengelus rambut putrinya. “Mia kan masih kecil tidak mungkin punya dosa.” Sang ayah kembali terlelap. Kedua orang tuaku mungkin sudah melupakan kata-kata mereka subuh itu. Tak pernah mereka sadari kata-kata itu membekas di memori gadis kecilku, membentuk suatu kebiasaan buruk, menanamkan kemalasan.
***

Udara pagi yang sejuk memanjakan paru-paruku. Aroma kebun bunga menimbulkan estetika sendiri, menenangkan pikiran, menyediakan kedamaian hati. Belasan jenis bunga bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri seolah tengah menari bersama angin semilir. Lima batang pohon akasia berdiri kokoh di antara keanggunan bunga berwarna-warni. Bunda Asih memang benar-benar pecinta  bunga. Rumahnya mungil namun memiliki kebun bunga yang begitu luas. Di pinggir jalanan, beliau mengelola sebuah toko bunga.
Kulihat sebuah bangku panjang di tengah kebun. Akhirnya kuputuskan duduk di sana untuk merenung. Sudah tiga hari aku menumpang di rumah bunda Asih. Aku mulai tak enak hati. Rasanya seperti benalu saja. Aku benar-benar ingin berguna bagi wanita berhati malaikat itu. Kuharap ada yang bisa kulakukan untuknya.
“Mia, kamu baik-baik saja?” sebuah sentuhan lembut membuatku terhenyak.
“Eh oh Ibu?”
“Maaf mengagetkanmu, Nak.”
“Tidak apa-apa, Bu.”
“Kamu baik-baik saja?” Aku menunduk. Bunda Asih duduk di sampingku, mengelus punggungku lembut. “Jika ada masalah kamu bisa cerita. Anggap saja saya orang tuamu.” Aku memainkan ujung bajuku. Gelisah mengangguku.
“Saya... merasa menjadi beban... tidak adakah yang bisa saya bantu?”
“Saya tidak pernah menganggapmu beban. Justru sebaliknya, sejak Nak Mia tinggal di sini saya jadi tidak kesepian lagi.”
“Tapi Bu saya masih....” Bunda Asih terlihat berpikir sejenak.
“Kamu ingin membantu?”
“Apa yang bisa saya bantu, Bu”, ucapku antusias.
“Hmm... bagaimana kalau Nak Mia bantu Ibu mengurus kebun bunga dan toko? Nak Mia mau?”
“Tentu saja, Bu. Siapa yang tidak mau mengurus tempat yang seindah kebun Ibu ini.”
“Wah terima kasih Nak Mia.”
“Sayalah yang harus berterima kasih.”
“Ingin mulai mencobanya?” Aku mengangguk dengan senyum sumringah. Bunda Asih bangkit dari kursi. “Mia boleh panggil saya Bunda.”
“Iya Bunda”, ucapku sedikit janggal. Aku mengikuti setiap langkah yang dilakukan Bunda Asih dengan telaten. Bunda Asih nampak senang dengan hasil kerjaku. Hari pertamaku berkenalan dengan para bunga dan kupu-kupu. Pertama kalinya kulakukan sesuatu atas kemauanku sendiri. Tak kusangka akan timbulkan kepuasaan tersendiri.
***
Mataku sembab. Suaraku masih sesenggukan. Tubuhku masih sedikit berguncang. Aku tak sengaja mendengar pertengkaran orang tuaku. Aku mendengar sesuatu yang tak seharusnya kudengar, penyakit sialan ini.             Pikiranku berkecamuk. Aku perlu seseorang untuk menenangkanku namun kutahu orang tuaku sendiri tak bisa diharapkan. Kuraih ponselku yang tergeletak lesu di atas meja belajar. Kupencet beberapa nomor,
“Halo... Tina.”
“Mia?”
“Tin aku mau curhat....”
“Aduh maaf sekali ya Mia. Sekarang aku gak bisa. Soalnya lagi bantu mamaku mau ada acara.”
“Oh begitu maaf....”
“gak papa. Sudah dulu ya?”
“Iya....”
Awalnya aku tak menganggap hal itu sebuah penolakan. Namun, ketika kuhubungi Lisa, Siska, Mariam kusadari keengganan mereka bicara denganku. Meski dengan alasan yang beraneka ragam, maksudnya hanya satu, menghindariku. Terlebih setelah besoknya dan besoknya lagi mereka semua benar-benar menjauhiku. Apakah penyakitku benar-benar suatu aib memalukan?

“TIDAAAAKKK!”
Keringat kembali membanjiri tubuhku. Ah! lagi-lagi aku bermimpi buruk. Bukan benar-benar mimpi buruk, lebih tepatnya cuplikan kelam masa lalu. Aku mengatur napasku yang tak beraturan. Tubuhku terasa amat lelah. Kutatap jam dinding yang tergantung lesu, 23.45 WIB.
Krieett!!
Pintu berdecit. Kutemukan raut wajah cemas Bunda Asih. Wanita bersahaja itu duduk di sisi tempat tidur. Tak sepatah kata keluar dari bibirnya, hanya belaian lembut di kepalaku. Aku menjatuhkan kepalaku di pangkuannya. Setelah kondisiku sedikit lebih tenang, Bunda Asih menatapku lembut.
“Mia, kenapa?”
“Mimpi buruk, Bunda.”
“Sstttt ssst... itu hanya mimpi buruk.”
“Bukan benar-benar mimpi buruk, Bunda. Mia teringat masa lalu yang menyedihkan.”
“ssstt sssttt Mia tidak usah takut. Mia punya Allah, Mia juga punya Bunda.” Aku mengeratkan pelukanku. “Oh ya tunggu sebentar.” Bunda Asih melepaskan pelukanku. Aku ketakutan melihat Bunda Asih keluar kamar. Namun, hatiku kembali tenang melihat beliau kembali duduk di sampingku. “Lihat ini!” Aku meraih dua buah buku yang disodorkan padaku.
“Ini apa Bunda?”
“Yang pertama buku favorit bunda. Buku tentang bunga-bunga. Kalau yang kedua adalah tulisan Bunda.” Aku membukanya dengan penasaran. “Jika Bunda sedih, sering menulis untuk meluapkan perasaan. Akhirnya menjadi sebuah buku. Mia juga bisa menuliskan perasaan Mia.” Aku mulai mengerti.
“Terima kasih Bunda.”
“Sama-sama. Nanti kalau sudah selesai Bunda mau membacanya, boleh kan?”
“tentu saja, Bunda.”
“Sekarang Mia tidur lagi saja.” Aku mengangguk. Kurebahkan tubiuhku di atas tempat tidur. Bunda Asih menyelimuti tubuhku dan mengusap rambutku lembut. Bunda Asih keluar kamar setelah mengira diriku telah tertidur. Aku tak bisa tidur, tak sabar ingin mulai menulis. Aku menatap langit-langit mencari inspirasi. Seebuah ide melintas. Aku akan menuliskan jalan hidupku, orang-orang yang kutemui dan bunga apa yang cocok dengan mereka. Bunda Asih yang melintas pertama kali di otakku. Tanganku bergerak-gerak perlahan di atas kertas, setangkai bunga anyelir terukir di kertas. Barisan-barisan huruf mulai berloncatan di atas kertas.
***

bunga, epilepsi, novel, fiksi

Previous post Next post
Up