Apr 29, 2012 19:18
Kulangkahkah kakiku perlahan. Kuhirup udara kebebasan. Kuucap syukur tak hingga ke hadirat-Nya. 3 bulan kulalui di balik terali besi. Tak perlu kuceritakan padamu kerasnya hidup di ruang persegi yang tak pernah kenal kata ramah itu. Ah! Aku hanya ingin merangkai hidup baru. Aku hanya ragu kemanakah langkahku harus kutuju. Adik-adikku tak jelas kini rimbanya. Mungkin aku harus mencari mereka dahulu?
Kroook! Cacing-cacing diperutku mulai tak sabar. Telah kutempuh 5 jam perjalanan tanpa sebutir nasipun masuk ke dalam perutku. Aroma sedap dari sebuah rumah makan membuat air liurku hampir menetes. Aku menghentikan langkahku dan mengamati suasana di rumah makan melalui kaca jendela. Hari ini akhir pekan, banyak keluarga yang tengah berlibur. Mereka bersenda gurau. Tak terasa cairan asin menuruni pipiku. Sebuah kenangan pahit menerpa otakku dengan bertubi-tubi, kenangan 3 bulan lalu saat aku berdiri di depan sebuah rumah makan,
Adik bungsuku sakit keras. Bagi gelandangan seperti kami membawa ke rumah sakit sangatlah mustahil. Namun, satu hal yang selalu di ucapkannya. Adikku ingin memakan ayam goreng yang lezat. Maka ketika langkahku terhenti di sebuah rumah makan, mengamati ayam-ayam goreng yang menggoyang lidah, syaitan memanipulasi nuraniku. Aku menjadi gelap mata. Aku mengendap-endap ke dapur dan memasukkan 3 potong paha ayam goreng ke dalam kantong plastik.
“MALING!!!” teriak pemilik rumah makan histeris. Aku berlari terbirit-birit sembari memeluk kantong plastik. Kau tentu tahulah nasib seseorang yang diteriaki maling, dihajar masa, diseret ke kantor polisi dan dijatuhi hukuman penjara…. Tak peduli kau adalah maling seekor ayam ataupun maling 3 potong paha ayam goreng….
Aku menghembuskan napas berat. Aku telah berjanji takkan melakukan perbuatan nista macam itu lagi tak peduli apapun yang terjadi. Aku menyeret langkahku . namun, baru beberapa meter mataku terasa berkunang-kunang, kakiku melemah, duniaku menjadi gelap dan aku tak sadarkan diri.
***
Aku membuka mataku perlahan ketika lamat-lamat kudengar suara-suara cadel melafalkan ayat-ayat-Nya. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur sembari memegangi kepalaku yang masih pusing. Kuamati sekelilingku, sebuah kamar sederhana dengan banyak poster ayat-ayat pendek di dinding kamar. Perlahan aku melangkah keluar kamar dan napasku seakan terhenti. Kulihat 2 adikku tercinta duduk rapi membaca Al-qur’an bersama belasan anak lainnya dibimbing seorang wanita paruh baya yang bersahaja. Tampaknya tempat ini adalah panti asuhan. Suara mereka mengalun lembut dan merasuk ke dalam jiwa meski dengan irama yang fals. Tanpa kusadari dua buliran bening menuruni pipiku. Lama aku terdiam hingga aku tak mampu menahan isak tangis bertepatan dengan selesainya acara mengaji itu. Aku mulai terisak-isak sembari tersimpuh di depan pintu. Adikku terperanjat melihatku telah sadar. Keduanya memelukku erat. Kamipun berpeluka sambil bertangis-tangisan.
“Kamu sudah sdar, Nak.” Si ibu paruh baya menghampiri kami. Aku mengangguk tak bisa berkata-kata. “Nama Ibu, Raudah. Kami ingin menjemputmu tadi tapi kamu sudah pergi kata mereka. Adik-adikmu sangat merindukanmu.” Aku memeluk kaki wanita itu dan mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“Bagaimana bisa adik-adik saya tinggal dengan, Ibu?”
“Kami tak sengaja menemukan mereka. Kami membawa Indah ke rumah sakit dan mengajak mereka tinggal di panti ini. Kami sangat terkejut ketika melihat mereka pandai mengaji. Mereka mengatakan kamu yang mengajari mereka. Kamu kakak yang benar-benar hebat.”
“tapi saya masuk…”
“Sudahlah kenapa mesti memikirkan kesalahan di masa lalu. setiap manusia pasti tak luput dari dosa. Tinggal bagaimana kita bertobat dan sungguh-sungguh ingin menebus kesalahan kita.”
“Ibu… saya hanya tak tahu bagaimana caranya…”
“Bagaimana kalau kamu tinggal di sini membantu saya mengurus anak-anak dan mengajari mereka mengaji.” Ibu Raudah tersenyum manis. Aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk dengan dua bulir airmata di pipi. Ibu Raudah memelukku senang. Kurasakan hangat menjalari hatiku. Mungkin inilah jalan yang telah ditunjukkan-Nya untukku setelah malam-malam panjang penuh penyesalan yang kulalui di balik terali besi….
cerpen