Sukabumi, 1995

Oct 10, 2016 02:23

Agustus,

Penghujung terakhir musim kemarau.

Saat itu cuaca kota Sukabumi memasuki masa pancaroba. Kita bisa menikmati kabut yang cukup tebal di pagi hari. Sementara di siang hari, walaupun matahari begitu teriknya tapi angin yang berhembus biasanya cukup dingin untuk menghangatkan panasnya cuaca.
Siang itu seperti biasa, jam istirahat siang menjadi kegiatan rutin saya keluar area sekolah. Tidak diam - diam. Tidak dengan aksi loncat pagar belakang sekolah. Belum pernah seumur hidup saya menikmati kegiatan loncat pagar belakang sekolah yang melegenda di kalangan siswa - siswa itu. Saya selalu keluar lewat pintu gerbang depan. Melewati ruang BP, lurus tanpa menoleh kiri kanan, langsung buka pagar. Tidakkah seorang guru pun mencegah ? pertanyaan yang cukup absurd. Mengingat tidak ada yang begitu familiar dengan wajah saya. Bukan salah seorang pejabat osis, bukan school idol, bukan aktivis kegiatan ekstra, bukan juga kriminal sekolah langganan ruang BP.

Tujuan saya cuma satu, "Gedung Joeang". Gedung berarsitektur Art Deco awal abad 20an, dengan jendela-jendela besarnya di lantai dua. Gedung Ini berdiri tepat menghadap Lapang Merdeka, yang setiap hari di bulan Agustus selalu riuh dengan teriakan anak - anak Paskibra yang sedang berlatih. Lantai dua gedung ini berfungsi sebagai Perpustakaan Daerah. Sangat lengkap untuk ukuran daerah. Koleksi nya cukup mendebarkan untuk anak SMU seperti saya. Justru pertama kali saya menemukan Das Kapital nya Karl Max itu disini. Winnetou nya Karl May, sampai The Adventure of Tom Sawyer nya Mark Twain yang legendaris itu.

Benar-benar tempat bersembunyi yang sempurna. Dan meja besar di sudut dekat jendela itu lah...surga saya. Menghadap jendela seukuran dua kali tinggi manusia dewasa, saya bisa menikmati pemandangan di bawah sana. Anak-anak Paskibra yang sedang berlatih. Dan...seraut wajah manis berkaca mata yang menjadi salah satu anggota nya.

Jujur saja, saya menemukan seraut wajah itu, ketika buku "Siapa menabur angin, menuai badai" yang saya pegang belum selesai dibaca. Diantara lamunan tentang isi buku yang membuat dahi berkerut, saya melemparkan pandangan jauh ke tengah Lapang Merdeka. Fokus kornea mata saya tiba-tiba menyempit, demi melihat sesosok wajah yang, setidaknya menurut saya, tidak cocok ada di tengah lapangan dengan keringat diantara helai-helai poni nya, tengah hari pula. Kulit putih nya sangat kontras dengan terik nya sinar matahari. Cocoknya, wajah itu ada di sini, di perpustakaan ini, mungkin memegang buku atau setidaknya majalah Kawanku, Gadis, atau Hai. Sudah hampir seminggu buku ini tidak pernah selesai saya baca. Selama itu pula saya belum berani turun ke tengah lapangan sana untuk sekedar tahu siapa namanya. Artinya, acara kabur setiap jam 10 pagi setiap hari, sepertinya akan lebih panjang lagi.

Kenapa harus kabur setiap hari ? Kenapa harus setiap jam 10 ?

Sejak duduk di kelas 2, saya menemukan dua hal luar biasa yang merubah hari-hari di sekolah. Pertama, mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi benar-benar membius saya. Tiba-tiba seolah menemukan idola baru, nama-nama seperti August Comte, Emile Durkheim, Max Webber, begitu melekat di kepala. Teori-teori Sosiologi seolah menjadi mantra-mantra baru yang begitu ingin saya hapal di luar kepala. Menggantikan tabel Unsur Kimia yang sebelumnya nampak menarik menjadi usang dan mengubur dalam-dalam keinginan saya untuk menjadi seorang Kimiawan. Bukankah Indiana Jones tokoh favorit saya juga seorang saintis dengan spesialisasi ilmu kimia, tapi ia lebih memilih jalan menjadi seorang Arkeolog ketimbang duduk melamun di lab nya ? Ia tidak memilih menghabiskan umur seperti Al Khawarizmi, Ibnu Sina, atau bahkan Al Farabi, berkutat hanya dengan eksperimen dan menulis buku. Indiana Jones lebih memilih menjadi seorang Avonturir yang mencoba menggali bukti-bukti Arkeologis di seluruh lokasi peradaban dunia. Dan saya percaya, Sosiologi Antropologi akan menuntun saya menjadi seorang Arkeolog.

Kedua, yang merubah perilaku saya secara drastis adalah, kejenuhan luar biasa yang tidak pernah saya alami sepanjang bersekolah sejak Sekolah Dasar. Rasa penat itu justru selalu muncul setiap jam mata pelajaran...Sosiologi dan Antropologi !

Lho ? Kok bisa ?

Adalah ibu Susi guru pengajar mata pelajaran itu, saya beri angka 8 untuk penilaian...tampilan fisik, gaya berkomunikasi, dan lirikan manja matanya yang cukup dahsyat meruntuhkan hati kami murid-murid nya sebagai remaja tanggung yang sudah akil baligh. Tapi beliau tidak berhasil menghidupkan ruh teori-teori Sosiologi yang begitu agung di mata saya. Beliau juga gagal mendeskripsikan Antropologi sebagai sebuah cabang ilmu yang mempelajari Manusia. Beliau tidak lebih dari sekedar membaca buku ketika mengajar di kelas. Saya khawatir, semakin lama memperhatikan Bu Susi dengan bentuk anatomi tubuh yang mendekati sempurna, malah bisa-bisa membuat saya jatuh cinta dengan...Biologi.

Perasaan bosan yang menyiksa membuat saya memutuskan kabur dari kelas setiap jam tayang mata pelajaran Bu Susi. Perpustakaan Daerah menjadi tujuan saya. Awalnya setiap hari rabu, lalu berlanjut hari berikutnya, lalu berikutnya, lalu menemukan si kaca mata berponi, tinggi, putih, langsing, dan akhirnya setiap hari.
Dan, disela-sela membaca itulah, saya menemukan sosok itu. Sudah seminggu saya perhatikan. Ingin rasanya menarik tangannya dan membawanya ke lantai dua Gedung ini. Menjauhkannya dari sinar panas yang menyengat. Biar Sang Surya sesekali cemburu.

Tapi, itu semua hanya sampai di khayalan saya saja. Sampai detik ini tidak selangkah pun kaki ini sanggup mendekatinya. Padahal apa susahnya ? Saya bisa berpura-pura membeli es susu yang hanya berjarak 10 meter dari anak-anak Paskibra itu. Atau dengan cara yang lebih elegan, mungkin dengan sedikit diplomasi ke ketua OSIS, sebagai anggota Musyawarah Perwakilan Kelas saya bisa saja mengusulkan acara kunjungan kelompok Paskibra kami ke sekolahnya. Seingat saya, Komisi I membidangi kerjasama kegiatan intra dengan sekolah lain. Tunggu dulu...seingat saya ?? Baru saja saya sadar, sejak nama saya dimasukkan menjadi wakil ketua Komisi I, belum pernah sekali pun saya ikut kegiatan para birokrat sekolah itu. Jadi, kemungkinan besar saya tidak ingat apa tugas Komisi itu.

Menjelang peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka

Beberapa hari lagi, peringatan puncak itu akan berlangsung. Sekolah sudah berhias. Mading pun dipenuhi aneka tawaran pendaftaran kegiatan menyambut peringatan itu. Jimmy, baru saja berteriak mengajak ikut upacara di daerah perkebunan teh goalpara. Lereng gunung gede itu memang tempat favorit anak-anak Dewan Ambalan untuk berkemah. Saya yang di teriaki, masih asik berdiri di pojok koridor, memandangi taman kecil di depan kelas kami, sibuk dengan lamunan...si kaca mata.

Rasanya tidak perlu dijawab pun, saya sudah pasti diculik jimmy untuk dijejalkan ke dalam kijang nya jika saat nya tiba. Anak itu, tidak pernah absen menculik saya di berbagai kegiatan dia. Alasannya, tidak tahan melihat saya sering melamun sendiri. Memangnya ada melamun massal ? Jelas saya pilih, melamun sendiri.
Dan si tambun jimmy ini, yang dengan sewenang-wenangnya, memasukkan nama saya di MPK dan DA. Walaupun dia cukup kecewa pada akhirnya, karena saya tidak terlalu aktif di kedua organ itu. Tidak heran, ketika terpilih menjadi ketua Remaja Masjid sekolah, dia kapok merekrut saya. Entah kapok, entah tidak yakin dengan keimanan saya. Entahlah..

Di samping saya, Tyo masih seru membicarakan final NBA yang sudah selesai 2 bulan lalu itu. Masih saja membandingkan Shaq O'Neal center Orlando Magic dengan Hakeem Olajuwon center Houston Rockets. Masih belum ikhlas juga harus mengakui bahwa Rockets lah jawara NBA tahun ini. Dia masih panjang lebar membahas final itu, sementara saya hanya beberapa kali menimpali dan memotong komentarnya. Sisanya, pikiran saya sudah entah ada dimana. Tyo memang cerdas, dia cari lawan bicara yang tidak begitu menguasai topik. Dengan begitu semua ulasannya tidak terbantahkan.

Abdullah Sandi baru saja lewat di belakang saya. Di iringi, seperti biasa, inner circle nya di lingkungan OSIS. Pak Ketua ini, punya hobi yang amat sangat bergaya retro. Bayangkan, ini pertengahan 90an, pengaruh Britpop sudah merajalela sampai ke kampung-kampung. Tapi, beliau tetap istiqomah dengan hobinya mengumpulkan lagu-lagu Beatles, Elvis Presley, Engelbert Humperdinck, dan musisi-musisi jaman ayah saya masih remaja. Dia baik, sering mengijinkan saya mengakses ruang OSIS, untuk sekedar tidur siang di atas velbed milik PMR. Walaupun, dia tidak pernah tahu kalau saya pernah memergokinya di ruang itu. Sewaktu mencium seseorang. Bukan cium kening. Cium bibir. French kiss. Dengan seorang gadis tentunya.

Kelas 2.1 memang kumpulan para PaKetu, kependekan dari Pak Ketua, julukan untuk para ketua organisasi intra maupun ekstra.

Bunyi bel membuyarkan lamunan saya. Pelajaran jam kedua sudah harus dimulai. Saya bergegas masuk kelas. Aswin, teman semeja saya, terlihat sudah duduk di bangkunya. Meja saya urutan kedua dari belakang. Awalnya memilih dibelakang karena berharap tidak menjadi pusat perhatian guru-guru ketika jam belajar. Biarlah para PaKetu yang di depan. Lagi pula mereka sering bolak balik keluar kelas saat pelajaran berlangsung kan ? Tetapi setelah beberapa waktu, justru deretan belakang ini selalu menjadi pusat perhatian. Dua baris meja dari belakang, dari sisi yang satu sampai sisi seberangnya, hampir semua dihuni mahluk-mahluk yang butuh diperhatikan. Jujur, saya terhibur. Baru kali ini saya duduk di deretan belakang. Dan ternyata tidak seseram yang di bayangkan. Mereka justru banyak mengajarkan saya bagaimana cara bergaul ala remaja. Maksudnya, bukan berarti selama ini saya bergaul ala opa-opa, tapi bergaul ala remaja umumnya yang santai, banyak joke, menghindari topik-topik berat.

"Kabur lagi ?" tanya Aswin sambil memperhatikan saya yang sedang membereskan tas.

Saya hanya tersenyum mendengar pertanyaan yang mulai sering terdengar di telinga. Ah Aswin, teman semeja sejak kelas 1, lulusan terbaik dari SMP nya, satu-satunya siswa yang lolos dari jeratan maut Pak Ayi guru matematika yang dengan kejamnya hanya memberi nilai tertinggi 6 untuk seluruh siswa kelas 1 waktu itu, dan hanya Aswin lah yang mendapat kehormatan meraih nilai sempurna itu. Sejak mengalami depresi berat akibat mengikuti pelantikan Saka Bhayangkara Pramuka, Aswin berubah. Hampir tidak pernah bicara, matanya kosong, sering tiba-tiba bertindak diluar kendalinya. Pengalaman 3 hari 3 malam mengikuti kegiatan ala militer itu mengakibatkan traumatik yang sangat mendalam. Mentalnya tidak sanggup menerima kenyataan diperlakukan sebegitu kerasnya oleh para pelatih dari SECAPA Polri, yang katanya, untuk membangunkan kita dari tidur saja, sampai menggunakan letusan senjata api. Belum lagi hukuman fisik yang kerap dialaminya. Sejak awal, saya lebih menyarankan Aswin ikut teater saja, tapi dia malah tersinggung.

"Salam ya win, buat Bu Susi.. " ujar saya sambil segera berdiri, sudah tidak sabar rasanya ingin segera menuju Gedung Joeang.

“Heh ! Kemana ?” Bentakan memey yang menghalangi jalan membuat saya meringis.
“Jangan cengar cengir ! liat tuh rekap absen..” Mata kecil memey berusaha melebar, untuk menunjukkan dia sedang memelototi saya.

Saya sesungguhnya mengagumi sekretaris kelas 2.1 ini, wajah oval nya mengerucut membentuk dagu lancip di bawah bibir. Mata kecil nya sering menari-nari seiring bibir mungil yang tidak kenal koma kalau bicara. Dan memey inilah malaikat pelindung saya yang paling baik. Absensi saya yang belepotan sering dia make up begitu mulusnya. Dia percaya, saya sering menghilang dari kelas bukan karena alasan aneh-aneh. Paling, kalau tidak di aula nonton basket, pasti di perpustakaan sedang bertapa. Pernah juga dia penasaran tidak menemukan saya di area sekolah. Tiba-tiba sudah menjewer telinga saya di Gedung Joeang. Kadang heran juga, saya malah segan kalau bertatapan mata dengannya.

“Cabut dulu mey...biasa...“ bisik saya sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Kebiasaan...main cabut...kapan jadinya dicabut terus ?” teriaknya.

Astaga...ingin sekali saya mencubit bibir kecil itu, yang kalau sudah teriak-teriak tidak peduli terdengar warga sekampung.

“Huuu...” teriakan anak-anak penghuni meja barisan belakang menyahuti teriakan memey, seiring saya yang secepat kilat berlari menjauhi kelas.

Sekarang atau tidak sama sekali..

Setengah berlari, saya mempercepat langkah keluar gerbang sekolah. Jarak ke Lapang Merdeka tidak sampai 1 km, tapi kalau Pak Memon guru BP itu keburu masuk ke ruangannya yang mirip pos satpam, karena terletak tepat di samping gerbang, maka waktu tempuh saya bisa lebih lama lagi.

Tanggal 17 tinggal dua hari lagi. Saya khawatir tidak bisa ikut perwakilan upacara di lapang merdeka. Atau setidaknya datang untuk jadi penonton. Ajakan jimmy sulit di tolak. Saya suka Gunung. Lebih dari pantai. Terakhir kesana sewaktu masa tamu pramuka untuk anak-anak kelas 1.

Ada kisah menarik ketika itu. Kegiatan selama dua hari satu malam waktu itu benar-benar membuat saya betah. Sama sekali saya tidak tertidur sepanjang kegiatan itu. Bahkan ketika malam tiba, dingin nya lereng gunung gede tidak sedikit pun membuat saya ingin memejamkan mata. Dan ada sedikit insiden terjadi.
Tengah malam, suhu dingin yang makin menggila menusuk flannel saya yang sudah di rangkap dengan seragam pramuka. Untuk menghangatkan badan, saya berkeliling. Di ujung camping ground terlihat cahaya senter. Tanpa perlu menebak saya sudah yakin itu Anne. Krani kami yang santun itu berkulit seputih kapur tulis. Gelapnya malam ditambah kabut yang mulai menebal tidak sanggup menutupi kulit putihnya.
Sengaja saya menghampirinya, selain malas gelap-gelapan sendiri, selintas terpikir sedikit keisengan.

"Anne..!!!" teriak saya.
Tidak lama wajah tirusnya sudah di depan mata.
"Ngapain gelap-gelapan ?"
"Siapa yang gelap-gelapan ? Semua juga gelap-gelapan. Kalo mau terang-terangan ya di rumah" jawabnya sambil mendelikkan mata.
Jawaban tadi membuat kami tertawa. Lumayan, sedikit menghangatkan wajah.
"Anne, sini deh, liat telapak tangannya" pinta saya.

Entah apa yang ada di pikiran Anne, atau dia tidak menyadari permintaan aneh saya, sekejap kemudian kedua telapak tangannya sudah terbuka di ujung dada.
Tanpa bermaksud apa-apa, hanya sekedar iseng saja, saya menggenggam tangannya dengan kedua tangan saya. Sedetik...dua detik...perubahan itu muncul. Wajah tirusnya memerah. Segera saya lepaskan telapak tangannya.
"Makasih ya, tadi dingin banget, sekarang udah lumayan.." sambil tersenyum saya tinggal kan Anne yang masih mematung di belakang saya.

Kalau bukan tengah malam ditengah gunung seperti ini, ingin rasanya saya tertawa lepas. Permainan seperti itu sudah dianggap basi oleh teman-teman yang lain. Dan biasanya reaksinya memunculkan berbagai komentar yang sangat lucu. Saya sudah pernah mencoba ke memey misalnya, kita malah akhir nya saling tidak melepaskan tangan sambil tertawa lepas. Tidak pernah ada yang sampai memerah wajahnya walaupun mata saling menatap.
Kejadian itu terlupakan begitu saja. Selain tidak sekelas dengan Anne, saya juga tidak pernah hadir di DA. Sesekali bertemu di kantin atau di aula sekolah, tetapi kami jarang saling sapa. Apalagi akhir-akhir ini saya hanya muncul di sekolah saat jam awal dan akhir saja.

Tepat 5 menit saya sudah tiba di tribun timur lapang merdeka. Gedung Joeang berdiri dengan gagah nya di belakang saya. Lapang merdeka yang bentuknya merupakan mini stadion, memudahkan untuk melihat sekeliling area. Di seberang utara, gedung Islamic Center yang baru begitu megahnya. Pernah sekali atau dua kali saya melihat-lihat koleksi bukunya. Sangat lengkap. Tetapi entah kenapa, belum ada yang menarik minat saya untuk membedahnya.
Pandangan lepas saya menyapu setiap area yang terlihat begitu sepi. Tidak ada satupun aktifitas anak-anak Paskibra yang biasanya meramaikan tempat ini. Saya heran. Tidak habis pikir. Ini masih dua hari menjelang hari puncak. Kemana mereka ??

Hari ini, saya dengan penuh keberanian dan semangat yang meluap, sudah memutuskan. Harus bisa berkenalan dengan sosok yang telah mengganggu angan dan pikiran selama ini. Baiklah, itu tadi mungkin tekad saya yang terdengar terlalu heroik. Sederhananya, saya ingin melihat nama yang tertera di dada kanan seragam Paskibranya, itu saja. Sekelebat ujung mata saya menangkap seseorang keluar dari gerbang GOR di seberang sana. Segera saya arahkan langkah kaki menuju orang itu.

“Pak, anak-anak Paskibra yang tiap hari latihan, kemana ya ?” setengah berteriak sambil mengatur nafas, saya bertanya.

“Lho, ini kan sudah tanggal 15” jawab si bapak sambil menstarter vespa nya.
Saya yang sama sekali tidak mengerti maksud jawaban si bapak, masih mematung menunggu kelanjutan penjelasannya.

“Mari dik, bapak pulang dulu” si bapak sudah hampir menjalankan vespanya, ketika suara gas motornya menyadarkan saya yang masih mematung menghalangi jalannya.

“Pak, maksudnya bagaimana ?” tanya saya sambil memegang stang motornya, menghalangi si bapak yang ingin segera pergi.

“Lho, kamu mau cari siapa ? anak-anak Paskibra ? dari sekolah mana ? kenapa sekarang di luar ? bukan di kelas ?” hardik si bapak yang malah makin membuat saya tambah bingung, pertanyaan di jawab pertanyaan, berkali lipat.

Saya masih mencari jawaban yang tepat, untuk sekedar alasan agar bapak ini tidak menjadi curiga dan menganggap saya kabur dari sekolah di saat jam belajar seperti ini.

“Mau jemput teman pak, anak Paskibra, tadi disuruh kesini katanya dia sakit” jawab saya sekenanya.

“Kok saya tidak tahu kalau ada yang sakit ? dari SMU mana ? tanya si bapak dengan tatapan menyelidik.

“Saya instruktur, kalau ada yang sakit itu tanggung jawab saya, kalau sampai ada apa-apa siapa yang tanggung jawab ?” kembali si bapak bertanya dengan intonasi makin tinggi.

Saya tersadar sekarang. Ini sebabnya bapak ini kurang bersahabat sejak awal. Tentara rupanya dia. Instruktur Paskibra pastilah seorang tentara.

“Hari ini tidak ada latihan, nanti malam ada acara jamuan makan malam dengan Walikota. Besok malam acara Pengukuhan. Jadi teman mu yang mana yang latihan Paskibra hari ini ? kamu dari SMU mana ? Kok malah diam ?” jari telunjuknya mulai menunjuk-nunjuk muka saya.

Sial, saya seperti orang bingung menghadapi berondongan pertanyaan si bapak. Sementara tangan mulai melepas pegangan dari stang motor, kaki sudah bersiap mengambil langkah seribu.
Dengan menganggukkan kepala, saya segera menjauhi si bapak yang masih terus mengikuti saya dengan tatapan tajamnya.

Sambil berlari saya mengutuk diri sendiri yang sampai sejauh ini bodohnya minta ampun. Kenapa sejak awal melihat si kaca mata tidak langsung mencari tahu siapa dia. Kenapa sampai tidak terpikir menanyakannya kepada Lia Nuraeni perwakilan Paskibra dari sekolah kami. Dan puncak kebodohan saya adalah kenapa sampai tidak tahu kalau hari ini sudah tidak ada lagi jadwal latihan. Semua sumpah serapah saya tumpahkan ke diri sendiri sambil berlari memasuki pintu gerbang Gedung Joeang.

(Saya berjanji akan meneruskan kisah ini apapun yang terjadi dalam keadaan malas atau bersemangat, dan saya tidak peduli apalagi cerita ini akan menjadi membosankan pada akhirnya, Salam ! )
Previous post Next post
Up