Oct 15, 2016 21:34
Beberapa tahun lalu, saya menonton salah satu drama DAAI TV--kalau tidak salah judulnya "Seputih Cahaya Rembulan"--yang mengisahkan si tokoh utamanya, A Chua, harus bekerja banting tulang membiayai hidup dua orang freeloader, yaitu suaminya dan istri muda suaminya, yang kerjanya cuma mabuk-mabukan.
Waktu menonton itu saya berpikir, kok tegar banget si A Chua ini. Kok mau-maunya dia tetap membiayai kedua manusia tak tahu diri itu, padahal anak-anak A Chua sendiri setengah mati membenci ayahnya yang telah memperlakukan ibunya dengan semena-mena.
Sekarang, berada di posisi yang mirip, saya tetap tak bisa setegar A Chua. Kebencian masih menggelayuti, membayangi setiap langkah. Kemarahan masih membebani dan memberatkan. Namun, untuk melepaskannya pun saya belum bisa. Rasa sakit hati saya terlampau dalam, dan hanya karena perintah Tuhan-lah saya berusaha bertahan meski berat setengah mati.
Malam ini, lagi-lagi topik ini terangkat ke permukaan. Lagi-lagi kami pertengkarkan. Lagi-lagi saya menelan dosa dengan meninggikan suara dan mengeraskan intonasi. Memang lebih baik saya diam saja, menahan segala kejengkelan sendirian agar mulut ini bisa direm dari lontaran segala kata tak bijak.
Saya tak tahu kapan saya bisa menang melawan diri sendiri.
me,
dislike