Katarsis Kegelisahan the S-thing (4) - Menjadi Anak Sastra Sejenak

Oct 15, 2013 11:26

Ilmu perpustakaan adalah ilmu interdisipliner. Artinya, ilmu perpustakaan tidak bisa lepas dari peranan ilmu-ilmu lain dalam pembentukan keilmuan utuhnya. Ilmu-ilmu lain yang kerap disebut-sebut menunjang ilmu perpustakaan di antaranya psikologi, komunikasi, sosiologi, antropologi, teknologi informasi, dan lain-lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mata kuliah bermuatan "ilmu-ilmu lain" tersebut di silabus kurikulum--sesuatu yang sebetulnya menyenangkan, meskipun tugas-tugasnya sering kali merepotkan.

Begitu juga dalam penggarapan skripsi. Dari pengalaman mengobrol dengan teman-teman, saya merasa bahwa ranah skripsi ini tidak bisa terlepas dari ilmu-ilmu lain yang terkait dengan judul skripsi yang bersangkutan. Masih mending kalau ilmu lain yang dipilih itu sudah pernah dipelajari sebelumnya selama kuliah, seperti manajemen, PR (humas), atau desain. Nah, yang belum pernah? Harus benar-benar mencemplungkan diri ke dalam bidang ilmu tersebut.

Saya salut sekali sama beberapa teman saya yang seperti itu. Ada teman saya yang skripsinya terkait informasi di pasar modal, jadi otomatis dia harus berusaha menjelma menjadi anak Ekonomi atau Akuntansi sesaat yang belajar tentang saham dsb. Teman saya yang lain skripsinya menyangkut lembaga pers, jadi dia harus paham pengetahuan tentang jurnalistik. Ada pula yang mengambil skripsi tentang psikologi anak. Mau tak mau, dia juga harus mempelajari dunia itu.

Saya sendiri mengambil skripsi yang ada kaitannya dengan kesusastraan. Mungkin banyak orang bilang, kesusastraan adalah dunia saya, jadi bagi saya mudah saja merangkul topik skripsi ini dan berteman dengannya. Tapi, sebetulnya tidak demikian. Saya sendiri harus jungkir balik membaca banyak referensi yang mengupas kesusastraan untuk bisa memahaminya secara mendalam.

Kalau mau jujur, saya tidak begitu dekat dengan dunia kesusastraan--bahkan saya cenderung nggak jodoh sama novel sastra karena jarang sekali bisa menamatkannya. Oke, saya memang banyak membaca dan menulis fiksi, tapi--tolong garis bawahi ini--fiksi tidak sama dengan sastra. Begitu banyak hal tentang kesusastraan, khususnya sastra Indonesia, yang baru saya ketahui setelah membaca buku-buku referensi. Sebelumnya saya hanya tahu sepintas-sepintas saja; saya sering kebalik antara Layar Terkembang dengan Salah Asuhan, Harimau Harimau dengan Merahnya Merah, Belenggu dengan Ziarah. Saya nggak tahu banyak tentang Iwan Simatupang, Mochtar Lubis, bahkan baru pertama kali dengar nama Budi Darma dan Danarto. Saya nggak tahu pernah ada periode ketika novel cabul Motinggo Busye dan peniru-penirunya begitu populer di Indonesia. Saya baru kenal Karmila-nya Marga T setelah belajar dari buku-buku referensi.

Segalanya itu hal baru bagi saya, benar-benar baru.

Dan tentu saja, tidak semua pengetahuan itu saya masukkan ke dalam skripsi. Bagaimanapun juga--saya harus selalu mengingatkan diri--penelitian saya adalah penelitian perpustakaan, bukan penelitian sastra. Saya harus pintar-pintar memilah, mana yang mau saya masukkan ke Tinjauan Literatur dan mana yang saya simpan sendiri saja di kepala. Dan sebenarnya, kegiatan memilah itu yang paling sulit; menghabiskan banyak waktu dan energi untuk berpikir.

Mereguk ilmu-ilmu baru itu tidak mudah. Meskipun kita--saya--punya dasarnya (yaitu pengetahuan yang sepintas-sepintas tadi), saya harus berusaha memosisikan diri sebagai kanvas kosong untuk siap menyerap semuanya; mempelajari dari awal. Saya harus bisa menyingkirkan ego yang menganggap "ilmu baru" ini hanya sampingan, hanya perlu saya pelajari sekadarnya untuk memenuhi kewajiban saya menggarap bab II skripsi. Tidak, tidak bisa begitu. Saya harus tahu, saya harus paham, dan saya harus mengendalikan diri agar tidak tampak sok tahu dengan menumpahkan semuanya ke dalam skripsi.

Tapi sungguh, meskipun sulit, saya menikmati proses "menjadi anak sastra sejenak" ini .... Sangat menikmatinya.

like, me

Previous post Next post
Up