The beginning of my post-grad journey

Dec 26, 2016 16:54

It's almost three months since I arrived in Australia and started my post-grad in University of Western Australia. For this post I'll write it in Bahasa Indonesia, since there are too many emotions that I can't properly pour in English. This will be the longest post ever because I want to remember each and every detail of it, so bear me.

1 Oktober 2016
Akhirnya hari ini datang juga. Di satu sisi hari ini sudah lama ditunggu-tunggu, di sisi lain rasanya tidak ingin hari ini datang. Dulu aku pikir, sudah 7 tahun aku merantau di Tangerang dan jauh dari orang tua dan keluarga, ini "hanya" 2 tahun jadi aku pasti ngerasa biasa aja. Ternyata ga gitu. Rasanya sedih, berat, ga pengen pergi. Berulang kali berandai-andai ada pintu kemana saja, jadi aku bisa kuliah di Ausie tapi tetap tinggal di rumah sama papa mama. Tapi nyatanya kan ga ada...
Pagi itu aku selesaiin packing sementara mama cuci seprai yang bakal aku bawa. Sempat bongkar ulang koper dan ngeluarin beberapa pakaian karena khawatir overweight. Beberapa barang yang tadinya pengen dibawa pun akhirnya ga bisa dibawa, seperti boneka dan bantal.

Makan siang di bandara sama papa mama, aku makan Paket Hemat Hoka-Hoka Bento. Alasanku ke papa mama karena biar nanti masih bisa makan snack yg dapet di pesawat, biar ga repot bawa-bawa snack. Padahal sebenarnya? Aku ga napsu makan.
Mungkin papa mama berpikir aku seneng pergi jauh. Mungkin juga mereka pikir anaknya yang satu ini koq ga berperasaan banget, diajak foto pun ga mau. Tapi itu karena aku sedih dan aku ga mau papa mama sampe tau. Setiap kali ingat kalau aku sekarang jauh dr papa mama, air mata selalu mengalir.

Masih cukup jelas dalam ingatan, lambaian tangan perpisahan seiring aku naik eskalator ke ruang tunggu di lantai 2. Sakit rasanya. Sampai di ruang tunggu, aku nge-charge HP supaya jangan sampai kehabisan batre dan ga bisa kasi kabar. Lalu akupun terbang ke Bali. Pesawatnya aneh, aku sudah online check in dan milih tempat duduk. Seperti biasa aku pilih duduk daerah tengah dekat jendela, tapi justru persis di bagian itu dinding pesawat polos tanpa jendela. Kursi persis di sebelah kananku kosong. Pesawat Garuda Indonesia dengan tampilan jadul, warna merah putih dan bukannya biru putih.

Mendarat di Bali, aku harus pindah dari terminal domestik ke terminal internasional. Rutenya aneh, ga ada orang yang searah sama aku. Beberapa kali berpapasan dengan bule yang baru mendarat, jadi bertanya-tanya apa arahku udah bener walaupun memang rute ini yang ditunjukin petugas keamanan. Kaya'nya Bali baru aja hujan deras, bandara yang banyak ruang terbukanya jadi banjir dan aku jadi harus jalan ekstra pelan supaya ga kepleset. Syukur imigrasi ga terlalu ramai dan ga ngantri. Tapi aku ga tau gerbang yang aku tuju karena belum tertera di boarding pass. TV yang menampilkan jadwal pun ga ada keterangan gate untuk penerbanganku. Akhirnya aku duduk di dekat TV, berharap gerbangku ga jauh dari situ soalnya bandara Ngurah Rai cukup gede. Syukurlah karena akhirnya dapat di gerbang deket tempat aku nunggu. Pesawat sempet delay 20 menit karena alasan operasional. Setting jam tangan udah aku ubah ke jam Perth, 1 jam lebih cepet dari Jakarta.

Aku naik pesawat, duduk persis di belakang kelas bisnis jadi ruang kakinya lega. Sama sekali ga direncanain karena waktu pilih kursi ga ada keterangan itu jadi aku cuma pilih posisi tengah dan dekat jendela. Makan malam di pesawat aku pilih makanan ala Indonesia, dengan nasi. Rasanya setiap kali melihat tulisan "Indonesia" hatiku terasa kacau. Saat makan malam aku nangis. Sungguh rasanya sedih dan berat sekali.

Akhirnya pesawat mulai landing. Aku merasa Perth aneh. Antisipasiku, Perth akan lebih gemerlap dibanding Jakarta. Tapi Perth gelap. Hanya ada sekumpulan cahaya di suatu tempat, ada lagi di tempat lain yang jaraknya jauh, sementara sebagian besarnya gelap. Aku jadi bertanya-tanya apakah bandara Perth jauh dari kota.

Akhirnya akupun mendarat di Perth. Bandaranya kecil dan lagi ga banyak orang. Lewat deklarasi barang, sayang ga ada anjing yang bertugas mengendus koper padahal penasaran juga. Akhrinya ketemu ci Jeni dan ci Merry. Aku langsung beli nomor Aussie karena nomor IM3 ku ga bisa dipake. Tulisannya ga ada jaringan... Aku beli Vodafone, lumayan murah soalnya lagi promo. Sebenarnya mau beli Optus karena kata ci Jeni sinyalnya lebih bagus, tapi Optus antri dan waktu itu udah tengah malam. Ga masalah yang penting bisa kontak keluarga. Aku kirim kabar dan foto di bandara dengan wifi bandara. Dingin, 10°C dan anginnya kenceng banget. Ga lama kemudian mobil ci Jeni datang, yang nyetir ci Viena. Ci Viena dan ci Merry orang Indonesia juga. Ci Viena dan ci Jeni udah jadi PR di Aussie, sementara ci Merry pernah kuliah di Perth. Ci Merry orang Surabaya, kerja di Surabaya dan waktu itu lagi liburan di Perth. Kamipun jalan pulang ke rumah ci Jeni di Kardinya.

Ternyata orang Aussie memang pelit listrik, lampu depan rumah gak ada yang nyala, jadi kaya kota mati . Pantes aja dari pesawat gelap doang...
Rumah ci Jeni besar, 2 lantai. Well, memang rumah di Ausie besar-besar dibanding di Indo. Di lantai 1 nya ada 3 kamar tidur, ruang tamu yang lega banget lengkap pake sofa dan bahkan ada kasurnya, ruang makan dan dapur, kamar mandi dan WC yang terpisah. Garasinya bisa muat paling nggak 3 mobil. Halaman depan pun bisa ada 1 mobil lagi. Luas banget. Aku tidur di kamar di sebelah kamar yang dipakai ci Merry, dekat WC. Ci Jeni minjemin aku selimut dan heater. Kamarnya cukup luas, lemari pakaiannya gede dan nempel di dinding. Aku mandi terus tidur. Kamarnya dingin banget sekalipun heater nyala. Aku ngerasa ada hembusan angin yang terus meniup sekitar kaki, aku jadi ga bisa tidur nyenyak sampe mulai pagi dan udara mulai anget...

2 Oktober 2016
Aku kebangun lumayan pagi, sekitar jam 8 pagi. Pagi untuk ukuran orang yang baru tidur jam setengah 2 pagi dan ga bisa tidur nyenyak. Aku lalu siap-siap mandi. Aku liat ke arah jendela, di luar ada lahan kosong dengan pohon jeruk yang berbunga dan berbuah. Setelah diamat-amatin lagi, ternyata jendela kamarku kebuka. Pantesan aja dingin banget dan ada hembusan angin. Jadi aku tutup jendelanya terus aku mandi dan siap-siap ke gereja.

Aku sarapan sedikit, croissant cokelat dan kopi hitam (boleh dibagi ci Jeni) lalu kami berangkat ke gereja. Gerejanya Covenant Baptist Church, gerejanya kecil, jemaatnya ga sampe 100 orang, gedungnya pun sewa. Kebetulan hari itu ada perjamuan kudus, udah lama banget sejak terakhir ikut perjamuan kudus (kecuali perjamuan kudus di Tiberias minggu lalu dihitung, tapi aku ga hitung itu karena Tiberias memang tiap minggu perjamuan kudus). Perjamuan kudusnya unik, karena rotinya berupa 1 roti besar yang lalu dipecah jadi 2 dan diedarkan ke jemaat. Masing-masing jemaat mencomot dari potongan besar itu lalu langsung dimakan, bukan dimakan serentak seperti kalau di Indonesia. Tapi kalau anggurnya sudah di cawan kecil lalu minumnya serentak. Pastornya sudah tua, sudah 70 tahun lebih, tapi masih kelihatan sehat dan segar. Beliau hobi main badminton. Orangnya ramah banget. Setelah ibadah ada semacam fellowship, disediain snack dan kopi/teh untuk sambil ngobrol. Setelah itu kami lalu makan siang dimsum sama mamanya ci Viena dan 1 keluarga diaken gereja. Setelah makan siang, kami belanja di Supermarket dekat rumah, terus aku, ci Jeni, ci Viena, dan ci Merry nyoba naik bus Transperth buat ke UWA dari rumah sambil pake aplikasi Transperth di HP. Cukup gampang ternyata, syukurlah. Walaupun kami kelewatan 1 pemberhentian dari UWA, paling nggak aku udah tau perkiraan turun dimana kalau berangkat sendiri. Lalu kami pulang dan berangkat lagi ke gereja untuk ibadah malam.

Ibadah malam sedikit beda sama ibadah pagi. Hymne yang dinyanyiin lebih dikit dan ga ada offering. Yang datang juga lebih dikit, cuma separo dibanding yang pagi, dan setelah ibadah ga ada fellowship. Setelah ibadah kami pergi makan malam sama pastor dan istrinya ke Mc Donald. Ci Viena pengen nunjukin bedanya Mc Donald sini sama di Indo. Di sini Mc Donald pengen mengusung tema healthy food. Jadi burger yang dipesen, kita bisa pilih jenis bun-nya, sayurnya, proteinnya, sausnya, dan ada keterangan kalori dari setiap komponen di touch screen segede TV. Aku iseng dan nyoba bikin kombinasi bahan yang aku ga familiar. Kita bisa bayar langsung pake kartu di touch screen tempat kita pesen, atau bayar cash ke kasir. Karena ga punya kartu, aku ke kasir buat bayar. Saat sampe di kasir aku baru sadar kalo ini kan Mc Donald!! Ada fille' o fish dan apple pie kesukaanku yang di Indonesia udah ga ada. Tau gitu aku pesen itu aja. Hahaha... but there will be next time kan? Setelah makan kami pulang. Di rumah kami ngobrol sambil nemenin ci Merry packing karena besoknya dia bakal pulang ke Surabaya. Dia ga pengen pulang, aku pengen tukeran sama dia supaya bisa pulang... tapi ya pastinya I don't say it out loud ya. Dan karena udah cukup malam, kamipun tidur.

3 Oktober 2016
Maka datanglah hari pertama kuliah. Pagi itu aku ga naik bus tapi dianter ci Jeni yang kebetulan ada urusan ke daerah yang searah sama kampus. Jadi setelah sarapan roti rye dan pisang, kami berangkat. Kampusnya besaaaar, ci Jeni drop aku di tempat parkir dekat student guild, terus aku baca peta buat cari Bayliss Building yang adalah gedung tempatnya Prof. Alice, dan yang ternyata juga adalah gedung fakultasku, labku, hahaha... Syukurlah ga terlalu susah dicari. Aku masuk, bicara sama resepsionis kalau aku mau ketemu Prof. Alice. Resepsionisnya telepon kantor Prof. Alice tetapi ga diangkat, jadi aku disuruh nunggu. Ga lama kemudian aku lihat Prof. Alice, ternyata beliau baru sampe, kami lalu ke kantor beliau. Disana aku kasi oleh-oleh berupa tas pesta dari batik dan juga kain tradisional yang jenis persisnya aku kurang tahu. Setelah itu lalu Prof. Alice ajak aku keliling lab-lab yang bakal aku pake juga ketemu orang-orang lab-nya. Dan saat itulah aku sadar kalo aku dalam masalah besar soalnya 95% alat yang ada aku bahkan baru pernah lihat, dan alat-alat itu semuanya hightech jadi serem kalau sampe ga sengaja ngerusakin. Alat yang aku familiar cuma SDS PAGE. PCR yah pernah liat tapi ga pernah ngerjain. Sama yang paling pengalaman ya numbuhin bakteri. Tapi numbuhin bakteri itu kurang dari 20% dari apa yang nantinya bakal aku lakuin.

Setelah itu aku pergi ngurusin pembuatan student card. Aku pergi ke Student central bagian Student Card, nunjukin CoE tapi katanya aku belum terdaftar jadi terus ke bagian International Student, nunjukin dokumen2, tapi tetep katanya aku belum terdaftar dan harus nunjukin ijazah dan transkrip asli. Aku ga bawa dokumen asli, aku tinggal di rumah jadi harus balik besok. Itu udah syukur aku bawa dokumen asli ke Aussie, tadinya udah ga mau aku bawa. Setelah itu aku balik ke kantor Prof. Alice.

Prof. Alice jelasin tentang proyekku, ngenalin aku ke Genevieve, post doc yang nanti bakal ngajarin aku macem-macem. Setelah itu aku cuma ngikutin Gen lagi ngolom pake AKTA, which is katanya Rolls Royce nya kromatografi kolom (I'm so dead, pake ojeknya aja belum ini uda Rolls Royce aja). Setelah itu pergi makan siang. Makanannya alamak mahal, ga ada yang menarik pula. Muncul lagi rasa pengen pulang, akhirnya aku cuma beli semacam kebab. Kebabnya dingin karena ditaro di kulkas, mau manasin di microwave tapi antrinya bujug, akhirnya makan dingin-dingin. Ga napsu, dari 2 potong cuma dimakan satu. Habis itu balik ke Bayliss, search tentang Commonwealth Bank, ternyata ga buka sampe malem, akhirnya ijin ke Prof. Alice untuk pulang dan ngurus bank account.

Dengan memanfaatkan google maps aku jalan ke bank, ngelewatin salah satu gedung yang merupakan ciri khas UWA, gedung dengan semacam tower yang ada jamnya, di depannya ada kolam gede (no, bukan kolam renang unless kamu bebek). Jalan teruuuus jauh, lewatin by pass yang letaknya di kolong jalan dan akhirnya sampailah. Fyuh. Syukur ngurus account lancar, walaupun anehnya kartu debit baru jadi dalam 4-7 hari kerja, jadi bakal dikirim ke rumah. Di Indo kalo buka account langsung dapet kartu. Anyway, habis itu aku pulang dengan bus untuk pertama kalinya. Syukur ga nyasar. Sampe rumah dengan selamat. Niatnya mau baca jurnal, dikasi jurnal seabrek sama Prof. Alice tentang proyek yang bakal aku lakuin. Tapi as usual, niat hanyalah niat... lalala... trus malah diajak pergi sama ci Viena ke Asian Market, which makes me feel at home karena menemukan berbagai makanan Indo disana. Beli nescafe instant (God knows I do need black coffee), beras, ham ma-ling, bumbu tabur Jepang buat di nasi, kimchi, dan dapatlah makanan untuk saat darurat. Aku juga beli luwak white coffee yang harganya najis mahal bingits, karena gimanapun aku suka banget sama tu kopi.

Setelah itu kami pergi makan di rumah ci Viena. Mamanya masak macem2, ada rendang, sop bakso, semacam babi kecap, nasi ya Tuhan! Nasi!!! Aku bukannya ga bisa ga makan nasi, tapi ngenyanginnya nasi dibanding roti atau pasta itu beda you know? Sambil makan kita ngobrol. Ci Viena cerita kalau mamanya suka banget masak, dan masaknya selalu banyak sampe makannya bingung. Setelah ngobrol kesana kemari akhirnya diputuskan kalau aku sama ci Jeni beli makanan dari tante Sulie (mamanya ci Viena), tapi sifatnya fleksibel. Jadi kalau misalnya tante Sulie lagi repot dan ga sempet masak ya gapapa. Dan hari pertama kuliahpun berakhirlah.

4 Oktober 2016
Pertama kali berangkat ke kampus sendiri,naik bus. Semua lancar, tidak ada masalah. Tapi aku perhatiin, koq anak2 yang ke UWA ga turun di pemberhentian yang sama ama aku yah? Apa kemaren sebenernya kelewatan 2 stop instead of 1 stop? Apapun itu, gapapa sekalian liat sekitar kampus, jadi aku jalan aja sambil selfie-selfie dikit. Agak malu sih kayak udik tapi biarin deh, klo ga kan jadi ga bisa cerita ke papa mama. Aku langsung ke student central lagi, dateng ke departemen yang sama kaya kemaren. Omong punya omong, aku disuru ke Graduate Research School Office yang letaknya di ujung kampus. Yodah jalan kesana sambil liat-liat lagi, sambil ngurus beli laptop via website, sambil ngeliatin website simonev yang koq masi aja down kan jadi ga bisa minta duit niiih. Sampe ke GRS office, ngomong sama staffnya, cek punya cek, katanya aku kudu balik ke Student Central. Gubrak. Jadi aku pun jalan balik pelan-pelan. Jalannya sih ga capek, tapi dinginnya aku ga kuat. Tapi syukurlah akhirnya beres, mereka cuma verifikasi ijazah sama transkrip asliku, dan aku harus balik lagi ke GRS office. Maaci yah... Singkat cerita aku isi form di GRS office, resmi ter-enroll (yg jadinya aku ter-enroll tanggal 4 instead of tanggal 3 tapi yodahlah ya), bisa urus student card yang katanya diurus online. Buka web ini, buka web itu, bingung mau upload foto gagal mulu, tapi akhirnya berhasil. Dan katanya 2 hari kerja baru jadi. Buset dah. Berhubung uda jam makan siang, akhirnya beli makan. Uda mulai bete karena ngurus beginian aja lama, batre HP uda sekarat, rasanya mau pulang aja. Tengah-tengah makan dapet email kalo student card uda dicetak. Yes!! Ambil student card, daftar student guild (biar dpt diskon kalo beli makan), beli kartu Transperth (biar dapet harga student buat naik bus krn harga normalnya 7.6$ sekali jalan), terus ke kantor. Oh ya, sementara aku ditempatin di kantornya post doc, karena ruang buat student mejanya lagi kepake semua, jadi sampe dengan anak honours uda beres dengan kerjaannya aku ga bisa disana. Habis itu lanjut baca jurnal, dengan hati yang lebih happy karena beberapa urusan kelar, pas uda mau siap-siap pulang eh disuru tinggal dulu sama Prof. Alice soalnya lagi ada beam time yang sebulan/dua bulan cuma sekali. Meh... Bukan apa-apa, tapi aku berasa super bodoh disini. Aku ga tau apa-apa, aku pengen pulang dan baca teori dulu. Tapi apa boleh buat. And you know what? Beam time bikin aku makin sutrisno karena sangat mengintimidasi. Kerjanya overnight (halo nginep di lab!! Kirain ga bakal perlu karena ga bakal ada bikin kurva tumbuh), bendanya dan alatnya ada di Melbourne tapi dikendaliin dari Perth on line. Good. Mati aja dah eke. Singkat cerita, pulang dengan langkah gontai, pala makin pusing, kepercayaan diri makin rendah. Sampe rumah, sibuk ngurus minta duit ke LPDP dan bayar beli laptop (which is minjem duitnya Eric dulu, makasi my bro sayang *huek*). Dan di hari itu baru tau kalau ada template buat form data pendukung pengajuan dana, baru tau kalo harusnya ada lurah LPDP di UWA (yuhuuu pak/bu lurah, siapa dikau dan dimana dikau? Saya buta dan diocehin koko sayang niiihh... help me please). Tapi setidaknya koko Eric nan baik hati (berhubung ada perlu) bersedia membantu bikinin form nya (mengingat ga mungkin eke bikin form pake HP, ya keles). Singkat cerita, laptop sudah dibeli, duit sudah diminta, student card dan transperth card sudah di tangan. Couldn't be happier. And my second day ended.

5 Oktober 2016
Hari ketiga kuliah. Pagi itu ada health and safety induction, siangnya ada seminar. Prof. Alice mau ngenalin aku ke PhD student yang namanya Luke, katanya nanti dia yang bakal ngajarin aku, tapi manusianya belum dateng. Jadi akhirnya aku lanjut baca jurnal sampe jam induction dimulai. Ada 3 orang yang ikut induction bareng aku, basically dijelasin mengenai aturan keselamatan: dimana pintu keluar darurat, dimana assembly point, apa yang harus dilakukan di saat darurat, nomor penting yang bisa dihubungi, dan lain-lain. Di antara semua penjelasan, yang paling menarik perhatianku adalah bahwa di Bayliss Building ada 3 lift, 2 lift untuk orang dan 1 lift khusus untuk chemicals. Jadi kalo harus bawa chemicals ke lantai yang berbeda, ga boleh pake lift untuk orang. Chemicals nya harus masuk ke lift khusus itu, lalu kitanya pake lift orang. Orang ga boleh masuk dan pake lift itu, karena selain ukurannya relatif kecil (1x1m), lift itu juga tidak dilengkapi tombol darurat. Jadi kalau sampe kejebak dalam lift itu ya nasib. Mengapa buatku menarik? Karena lab Biologi di UPH terletak di 2 lantai yang berbeda dan antara kedua lantai tersebut tidak dihubungkan oleh lift, jadi kami harus gotong2 barang melewati ramp (no, tidak ada tangga di gedung B kecuali tangga darurat). Menyenangkan sekali kalau barangnya bisa travel dengan lift sendiri, kan ga capek gotong-gotong. Haha. Setelah itu ada seminar, aku pergi ke ruang seminar. Sebelum seminar dimulai, disediain light lunch (finger foods). Di situ lalu aku dikenalin ke Luke (yang ternyata lumayan cute juga). Seminarpun dimulai, topiknya menarik juga, tentang chip yang bisa digunakan untuk mengukur interaksi antar senyawa dan hasil pengukuran ditunjukkan dalam bentuk grafik asosiasi-disosiasi. Itu seminar pertama, aku ngantuk banget, bukan karena pembicaranya ga bagus tapi karena aku belum terlalu bisa membayangkan akan dipake untuk apa alat itu dalam penelitian yang akan aku lakukan. Seminar kedua aku sudah agak lupa tentang apa, tapi yang pasti aku ga terlalu ngantuk di topik itu. Setelah itu aku lanjut baca jurnal sampai jamnya pulang karena Genevieve ga masuk, kecapekan setelah begadang sampe jam 7 pagi untuk beamtime.

Setiap pagi baru datang dan setiap sore pulang aku selalu berusaha mencari rute baru dengan maksud mengenal daerah kampus. Menarik juga karena kampusku sangat besar, rimbun, beberapa gedung terlihat modern, beberapa gedung lain terlihat antik seperti Hogwarts. Sekalian foto-foto kaya turis norak, tapi kan aku memang turis? Haha. Itu hari ketiga kuliah.

6 Oktober 2016
Seperti biasa, aku dateng "kepagian". Kepagian dalam arti, Prof. Alice dan Genevieve belum datang sehingga aku ga bisa masuk ke kantor dan duduk di meja (sementara)ku. Jadi aku duduk di satu meja yang memungkinkan aku lihat ke arah lift, jadi aku tau kalo Prof. Alice atau Gen sudah datang dan aku bisa masuk ke kantor. Biasanya disitu aku baca-baca atau chattingan sama papa. Aku sebenernya agak ga enak sama Prof. Alice karena dia harus selalu ke resepsionis di lantai 1 untuk pinjem master key sehingga aku bisa masuk kantor post-doc, jadi kadang aku sengaja agak berlama-lama duduk disitu walaupun aku lihat Prof. Alice sudah datang. Hari itu lumayan, ada cukup banyak kegiatan setelah makan siang. Aku ikut anak undergrad tahun ke 3 yang lagi semacam magang di lab, namanya Michelle. Michelle dan Gen hari itu mau menganalisa protein sampel mereka dengan CD dan DFS, apapun itu, aku baru pernah denger nama alat itu. CD aku sama sekali ga paham, tapi DFS lumayan ngerti setelah baca protokol yang dikasih Gen. Tapi sayang, hari itu kami akhirnya tidak sempat melakukan DFS karena preparasi sampelnya memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Tapi kami berhasil menjalankan CD. Jadilah bacaanku semakin bertambah, yaitu untuk tahu apa itu DFS dan CD. Hiks...

Pada dasarnya CD mengukur absorbansi, jadi mirip sama spektrofotometer. Fungsinya untuk mengetahui secondary structure protein berdasarkan grafik yang dihasilkan. Tapi aku ga paham cara baca grafiknya, aku cuma tau kalau sepertinya hasilnya kurang bagus. Sampelnya dimasukkin ke dalam botol kaca quartz kecil (cuvette), dan berhubung cuvette-nya super tipis jadi ngeringiinya agak susah. Tapi di dalam lab itu ada keran yang mengeluarkan aliran udara yang kuat khusus untuk "meniup" isi botol sehingga cepat kering. Kegiatan hari itu selesai, kami janjian akan kerjain DFS besok pagi.

Hari itu akhirnya aku pulang lebih malam dari biasanya, tapi tidak apa karena memang hari itu di kampus ada international day dan mahasiswa Indo di UWA ada buka booth. Aku kebetulan pengen mampir, bukan buat beli jajanannya secara aku belum lama nyampe dan belum kangen makanan Indo, tapi buat cari tau siapa lurah awardee LPDP Perth. Jadi setelah pulang, aku muter-muter dan nyari boothnya Indoss UWA. Setelah ketemu, aku ngobrol sama satu mahasiswa Indo disana sekalian mendaftar keanggotaan PPIA. Setelah itu barulah aku pulang. Oh, aku belum berhasil menemukan siapakah sang lurah.

7 Oktober 2016
TGIF!! Bukan apa-apa, tapi bacaaaaa doang itu bikin bosan, dikombinasi dengan kenyataan bahwa aku ga tahu apa-apa. Rasanya ga enak banget dan bikin ga betah. Tapi namanya juga belajar. Belajar itu sesuatu yang kita belum tahu kan? Kalau udah tau kan jadi ga belajar lagi bukan? Jadi hari itu kami ngerjain DFS, yang hasil kurvanya aku ga paham juga bacanya gimana padahal konsepnya udah lebih kebayang dibanding CD. Pada dasarnya metode itu mengukur melting tenperature nya protein untuk mengkarakterisasi ketahanannya terhadap panas. Alatnya yang dipakai RT-PCR. Thank God setidaknya aku pernah lihat RT-PCR dan tahu itu alat buat apa. Tapi itu kenapa kurvanya acak adut dan ada banyak... and they seems fine, berarti emang kurvanya begitu bentukkannya kan? Hiks... yodah ah ga tau, tar juga diajarin cara bacanya... huhu... Syukurnya hari itu ngerjain DFS doang, abis itu lanjut baca. Saya lelah... Uda pengen wiken...

Jadi... begitulah minggu pertama as postgrad. Hopefuly everything will be better (it has to be better). Segitu dulu sodara2... Ini postingan uda jauh lebih banyak dan panjang dibanding biasanya, I just want to remember every detail of it. Next time if there are any major progress (i.e. I got a boyfriend LoL) I'll post it.

campus life, post-grad journey

Previous post
Up