Kepada Redaksi/Pembaca yang budiman, baik dan terhormat,
saya berharap surat ini dapat disebarluaskan dan
diketahui oleh masyarakat luas agar kejadian yang menimpa
saya tidak terulang/terjadi lagi kepada orang/keluarga lain.
Perlu diketahui saya menulis surat ini bukan
bertujuan untuk menjelekkan atau merendahkan siapapun. Saya
menulis surat ini karena hati sayatergerak dan ingin membagi
pengalaman pahit yang saya dapatkan untuk para pembaca
agar dikemudian hari diharapkan tidak terjadi lagi
kejadian yang sama terhadap siapapun dimanapun yang akan
melakukan persalinan terutama di Medan (SUMUT). Saat
saya menulis surat ini, saya sedang berduka karena istri saya
tercinta sudah meninggal akibat pendarahan sewaktu melahirkan.
Sebagai informasi, istri saya selalu cek up rutin
dengan dokter bersalin dan mengikuti program senam hamil di RS Gleneagles.
Istri saya melahirkan secara normal dan dibantu
dengan alat Vacuum di RS Gleneagles, Medan. Anak saya
saat ini sehat-sehat saja. Menurut pihak rumah sakit,
dalam hal ini
adalah dokter, Pendarahan tersebut terjadi karena
darah istri
saya terlalu encer dan tidak bisa beku disebabkan
karena kadar trombosit didalam darah terlalu rendah.
Dugaan dokter, kadar Trombositnya rendah karena mengkonsumsi
Jamur
(Hio-ko) dan Io-som (Ginseng). Tetapi dokter tidak
menjelaskan seberapa besar konsumsi yang dapat
membahayakan kesehatan ibu hamil. Jujur saja,
saya tidak
bermaksud untuk menyalahkan siapapun
(Dokter/Rumah Sakit)
dan apapun (Prosedur persalinan atau Undang-
undang).
Akan tetapi, ada beberapa hal yang sangat
mengganjal dihati
saya yang perlu saya sampaikan kepada para
pembaca.
Pertama, istri saya harus menunggu waktu sampai
2 jam untuk
menerima transfusi darah dari RS. Waktu itu
pihak RS bilang
harus mengambil darah dari PMI. Saat itu saya
heran dan
bertanya kenapa kok RS yang terkenal di medan
ini tidak ada
stok darah sama sekali. Kemudian, pihak RS
mengatakan
kalau peraturan pemerintah sudah menerapkan
bahwa RS
tidak boleh ada stok darah. Apa benar? Sampai
sekarang,
hal ini masih menjadi tanda tanya besar bagi saya
karena kalau
harus mengambil darah lagi di PMI dan pasien
sedang sekarat,
waktu 2 jam itu sangat berarti. Saya rasa kita
sebagai orang
awam tahu kalau darah yang mengalir dalam
waktu 2 jam itu
sudah seberapa banya dan seberapa besar
efeknya terhadap
pasien. Sesaat sebelum istri saya menerima
transfusi darah,
dia masih dalam keadaan sadar dan
memberitahukan kepada
saya, "Kenapa darah belum datang? Kenapa darah
belum
datang? Kok lamasekali? Tuuubbuuuh ssaayaa
seemuanyaa
suudah keeebbaaas/mati rasa (lidah sudah kaku).
Kamu ada
dimana? Kok tidak kelihatan?". Saat itu
pandangan matanya
pun sudah gelap. Setelah itu dia menerima
transfusi darah,
akan tetapi istri saya memberitahukan kepada
saya bahwa
darah tersebut tidak masuk kedalam tubuh, karena
masuk dari
tangan keluar dari daerah persalinan/selangkangan
(alias
numpang lewat). Selanjutnya, istri saya tidak
sadarkan diri dan
dioperasi untuk diangkat rahimnya (atas saran
dokter).
Tiga hari kemudian istri saya meninggal karena
kondisinya tidak
stabil (tensi naik turun). Perlu anda ketahui bahwa
istri saya
total menerima lebih 40 bags/10 liter transfusi
darah (1 bag =
250 cc). Selama tiga hari itu, saya harus mati-
matian mencari
pendonor darah karena stok di PMI tidak banyak.
Kebetulan, banyak sanak keluarga dan teman-
teman yang
datang untuk menyumbangkan darah setelah
mendengar kasus
istri saya. Ada hal aneh lagi, para pendonor darah
harus ke
PMI dulu untuk mendonor karena pihak RS tidak
ada
tempat/kantong darah.
Kedua, jikalau darah istri saya saat itu memang
encer atau
trombositnya rendah, kenapa pihak RS tidak
mengecek darah
istri saya terlebih dahulu sebelum terjadinya
persalinan?
Apakah dianggap tidak penting atau tidak
adaprosedur
tetap/baku? Setahu saya, pendarahan ini tidak
hanya terjadi
pada istri saya alias tidak hanya terjadi kali ini
saja tetapi juga
sudah pernah terjadi terhadap pasien-pasien
sebelumnya.
Tetapi kenapa pihak RS tidakada ide inovatif untuk
mencegah
hal tersebut terjadi/tidak terulang kembali?
Ketiga, sewaktu saya mau mengambil jenazah
istri saya,
saya harus menyelesaikan dulu semua
administrasi yang
diwajibkan oleh pihak RS. Yang anehnya,
saya diwajibkan/diharuskan membayar lebih 10
juta rupiah
dari tagihan yang ada dengan alasan biaya dokter
belum masuk.
Total tagihan sementara 60 juta rupiah, saya
diharuskan
membayar 70 juta rupiah untuk menebus jenazah
istri saya.
Apakah memang pihak RS sudah tidak lagi
memiliki rasa
prikemanusiaan/rasa sosial? Bayangkan dimana
saya harus
mencari uang sebanyak itu pada waktu tengah
malam?
Kebetulan, saya masih dapat pinjaman dari
saudara,
kalau tidak saya rasa saya bakal di charge lagi
biaya inap
jenazah.Untuk itu, berdasarkan pengalaman yang
saya alami,
saya mengharapkan dan meminta kepada orang-
orang yang
bersangkutan dan bertanggung jawab untuk
merubah atau
memikirkan lagi peraturan pemerintah dalam hal
transfusi
darah maupun prosedur persalinan karena sangat
penting.
Alasannya sangat sederhana, pasien yang sekarat
tidak bisa
menunggu lama (terutama dalam hitungan jam),
perlu penanganan segera dan sangat penting.
Kemudian, saya sangat menganjurkan kepada
para Ibu hamil
agar segera mengecek darah pada saat diketahui
hamil dan
pada saat hari H persalinan. Begitu sampai di RS,
segera minta cek darah untuk memastikan kondisi
terakhir kita
fit atau tidak untuk melakukan persalinan.
Disamping itu,
siapkan makanan dan minuman tradisional yang
kita percaya
dapat membangkitkan tenaga dan tekanan darah
serta dapat
menghentikan pendarahan.Jangan terlalu percaya
100%
dengan tindakan dokter, kita juga harus ada
persiapan
tersendiri. Alangkah lebih baik, jika kita sudah bisa
mengantisipasi dari awal. Bukankah para dokter
selalu bilang
lebih baik mencegah dari pada mengobati! Saya
sangat
berharap agar kasus istri saya ini dapat
memberikan suatu
pelajaran yang berharga kepada semua yang
bersangkutan.
Saya juga berharap kejadian ini tidak akan
terulang kembali
terhadap siapapun dimanapun dan saya mohon
kepada
orang-orang yang bersangkutan (dalam hal ini
pihak RS dan
instansi terkait) dapat memikirkan suatu
solusi/prosedur
persalinan yang lebih baik agar resiko kematian
akibat
persalinan dapat dihindari karena nyawa
seseorang sangat
berharga. Apakah anda tahu bagaimana rasanya
seorang anak
begitu lahir hidup tanpa ibu? Dan apakah anda
tahu bagaimana
perasaan seorang suami yang menemani istrinya
dari dia
menangis bahagia waktu melihat bayinya lahir
hingga dia
sekarat (sekitar 3 jam) tanpa bisa memberikan
pertolongan
apapun?
Wajah istri saya masih membayang dipikiran
saya. Jika ada
yang merasa keberatan dengan
perkataan/penulisan saya ini,
saya siap untuk berdiskusi/berdebat. Demikianlah
pengalaman
ini saya beritahukan kepada semua pembaca
budiman dan
semoga pengalaman yang saya dapatkan ini dapat
berguna
bagi para pembaca semua, terutama untuk ibu-ibu
hamil.
Saya secara pribadi juga mau mengucapkan
terima kasih
kepada para dokter, para pendonor darah dan
saudara-saudara yang telah berusaha untuk
menyelamatkan
nyawa istri saya.Surat ini saya persembahkan
untuk istri saya
tercinta, semoga arwah istri saya tenang dan
hidup bahagia
dialam sana. Saya akan selalu mengingat semua
kenangan
manis yang kita lalui bersama. Amitabha.
Hormat Saya,
Edy PS:
I Love You
LIANG I LING / CHRISTIN SUYANTO (26 tahun)
(27 Oktober 1981 - 1 Februari 2006)
(Angkatan 99 TI-Universitas Kristen Maranatha,
Bandung)
Sampai saat ini belum ada penjelasan resmi dari
pihak rumah
sakit tentang kenapa, mengapa dan bagaimana
istri saya dapat
mengalami hal tersebut diatas. Jika pihak
dokter/rumah sakit
mempunyai itikad baik dan bertanggung jawab
bukan hanya
terhadap keluarga saya akan tetapi juga terhadap
keluarga/pasien yang lain, pihak dokter/rumah
sakit harus bisa
memberikan keterangan yang jelas agar kejadian
ini tidak
terulang kembali.
Kasus istri saya ini sudah dibicarakan beberapa
kali di Deli TV
News, TV Swasta Medan.
She is my friend`s friend ... may her RIP.