Dark and Bright [Chapter XVI]

Sep 19, 2010 15:18

-Hyemin POV-

Aku menarik nafasku, dan menghentikan langkahku di tengah panjangnya koridor kelas XII. Di tanganku ada setumpuk buku tugas milik anak-anak kelasku. Aku harus menyerahkan ini ke ruang guru sekarang. Tapi masalahnya adalah rute ke ruang guru mau tidak mau harus melewati tempat tongkrongan Hyukjae dan anggota Darknya disaat istirahat sepert ini.

Seharusnya aku bisa secara wajar melewati tempat ini jika kejadian 2 hari lalu belum terjadi. Acara Hyukjae memepersembahkan lagu untukku di ulangtahun Yoona sudah tersebar luas di kalangan anak Dark hari itu juga dan di kalangan anak Bright keesokan harinya. Itulah sebabnya mengapa sejak tadi pagi hampir seluruh pasang mata di sekolah ini memperhatikanku. Entag dalam pandangan positif maupun negatif.

Aku menggigit bibirku dan menarik nafas sekali lagi, kemudian memberanikan diri untuk melanjutkan berjalan. Benar saja, baru 5 langkah aku berjalan, Jonghyun tiba-tiba sudah bertemu pandang denganku dan tiba-tiba ia berseru.

“Yah, Hyukjae! Itu pacarmu!” Jonghyun menunjukku sambil nyengir lebar.

Aku membuang muka, terus berjalan dan bersikap seolah tak perduli dengan Hyukjae dan gengnya yang mulai ramai menggodaku dan Hyukjae.


“Ayo dong Hyukjae. Pacarmu lewat masa tidak kau dekati,” seru suara lain. Aku tidak melihatnya, tapi aku tahu itu suara Yesung.

“Bantuin tuh, dia bawa buku banyak,”suara cowok lain menambahkan. Kali ini aku tidak kenal suara siapa.

“Diam kau,” aku mendengar Hyukjae menyahut pelan. Aku mencuri pandang ke arahnya. Dan ternyata ia juga sedang mencuri pandang ke arahku. Kami berdua langsung salah tingkah saat mata kami bertemu. Hyukjae membuang wajahnya dengan tampang angkuhnya yang biasa.

‘Dulu aku sangat muak dengan ekspresi itu, tapi kenapa sekarang aku menganggap ekspresi itu sangat menggemaskan? Astaga, aku sudah gila,’ aku menggerutu dalam hati.

Aku terus berjalan tanpa memperdulikan Hyukjae dengan gengnya yang terus menyuruhnya menghampiriku. Sebenarnya aku ingin dia menghampiriku. Aku kembali mencuri pandang kearah Hyukjae dan menemukan Donghae sedang berbisik-bisik serius padanya. Ah sudahlah, tidak mungkin dia menghampiriku sekarang.

Tapi ternyata aku salah. Beberapa saat kemudian, seseorang mengambil alih tumpukan buku yang aku bawa dan jalan disebelahku.


“Hey!” seruku kaget. “Untuk apa kau datang?”

“Membantumu,” jawab Hyukjae ringan.

“Aku tidak butuh bantuanmu,” balasku.

“Kau memang tidak butuh, tapi kau ingin bantuanku,”

Aku meliriknya tajam. Sejujurnya dia benar sih, tapi masa aku harus mengakuinya?

Hyukjae hanya menyeringai. Aku dan dia berjalan terus menuju ruang guru. Beberapa langkah berikutnya, kami melewati kelas Nichkhun dan Victoria. Dan secara kebetulan mereka memang sedang berdiri mengobrol di depan kelas. Aku mengangguk sekilas pada mereka. Nichkhun membalas dengan anggukan yang lebih singkat sedangkan Victoria hanya diam memandangku lewat. Keduanya seolah tiba-tiba diam ketika aku lewat.

“Halo Khunnie~,” sapa Hyukjae tiba-tiba. Suaranya terdengar terlalu manis diucapkan oleh seorang Hyukjae.

Aku mau tidak mau langsung melempar pandangan memperingatkan padanya. Tapi Hyukjae malah tersenyum lebar dan tiba-tiba satu tangannya menggenggam tanganku sambil tetap berjalan melewari Nichkhun dan Victoria. Aku menangkap ekspresi kesal di wajah Nichkhun. Ia mengalihkan pandangannya dari aku dan Hyukjae.

“Jadi itu tujuanmu kan?” tuduhku saat kami sudah melewati jarak pendengaran Nichkhun dan Victoria.

Masih dengan senyum puas Hyukjae menjawab dengan nada tengil, “Tujuan apa?”

“Tujuanmu datang membantuku,” tukasku. “Kau mau memanas-manasi Nichkhun.”

“Memanas-manasi apa?” balas Hyukjae.

“Kau tahu apa maksudku,” tekanku.

Hyukjae tertawa, “Aku kan hanya bersikap seperti biasa. Bukan salahku jika dia panas melihat kau dengan aku. Karena kita kan memang bersama.”

Aku tak bisa menjawab.

Aish, Hyukjae. Sepertinya dia tahu sekali cara mematahkan argumenku. Dan lagi-lagi aku tersipu karena kata-katanya.

Hyukjae memandangku sambil tersenyum. Ia mempererat pegangan tangannya dan terus melangkah menemaniku ke ruang guru.

*****

-Nichkhun POV-

Aku menarik Victoria yang sedang mengobrol dengan teman-temannya ketika aku lihat dari kejauhan Hyemin berjalan dengan tumpukan buku di tangannya. Aku tahu dia akan ke ruang guru dan itu pasti akan melewati kelasku.

“Ada apa, Khunnie-yah?” tanya Victoria kaget.

“Tidak apa-apa,” aku tersenyum simpul sambil menariknya perlahan ke dekatku dan yang berdiri di ambang pintu. “Kesini saja.”

Victoria membalas dengan senyum manisnya, “Kangen ya?”

“Iya,” jawabku sekenanya. Aku sesekali mencuri pandang ke arah Hyemin.

Victoria menyilangkan tangannya di depan dadanya, “Hmm. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi.”

Aku tertawa ringan, “Lalu kau mau aku merubah jawabanku?”

“Tidak!” tukas Victoria. “Aku suka jawabanmu.”

“Kalau begitu jangan banyak protes dan mendekatlah padaku,” ujarku sambil menarik pinggul Victoria dan mendekatkannya padaku.

Aku merasa Victoria memandangku dengan kaget dan penuh tanya. Aku juga merasa ia sekarang menunduk tersipu. Tapi bukan dia yang aku perdulikan. Sekali lagi aku mencuri pandang kearah Hyemin yang semakin mendekat. Sepertinya ia sudah hampir melewati tempat tongkrongan anak Dark yang tak jauh dari kelasku.

“Nichkhun, kan kita tidak perlu seperti ini. Kau tahu maksudku, kita punya banyak waktu di rumah. Di sekolah kan banyak orang,” ujar Victoria pelan.

Aku menoleh memandang Victoria di sebelahku. Tak menjawab apapun selain tersenyum dan memandangnya dalam-dalam. Aku tahu Victoria lemah dengan senyum dan tatapanku yang seperti ini. Dan benar dugaanku, dia tak banyak bicara lagi.

Aku kembali mencuri pandang ke arah Hyemin dan kali ini aku terkejut setengah mati. Hyukjae bersamanya. Aku melepas tanganku dari pinggang Victoria dan tak bisa menyembunyikan rasa kagetku. Sepertinya rencana yang aku siapkan justru berbalik menyerangku.

Victoria menyadari perubahan ekspresi di wajahku yang shock, “Ada apa?”

Aku menggeleng pelan, “Tidak ada apa-apa.”

Victoria menggeser tubuhnya kedepanku dan mengernyit, “Jangan bohong.”

“Aku tidak bohong,” balasku bohong, tentu saja.

Aku membuang pandanganku dari Victoria tapi justru kea ah yang salah. Aku melihat Hyemin dan ia mengangguk sopan kepadaku. Victoria mengikuti arah pandangku dan ia memandang Hyemin tanpa berbuat dan berkata apa-apa.

“Halo, Khunnie~,” sapa Hyukjae yang ada di sebelah Hyemin. Ia memegang tangan Hyemin dan sesuatu di dalam dadaku rasanya mau meledak.

Mereka berjalan terus ke arah ruang guru melewati aku dan Victoria. Aku masih memandang punggung mereka sampai akhirnya Victoria menghela nafas. Aku menoleh ke arahnya dan mendapati ia sedang memandangku dengan pandangan putus asa. Aku memalingkan wajahku.

“Katamu kau sudah melepasnya,” keluh Victoria.

Aku memang ingin melepasnya. Sesaat tadi aku pikir jika aku terlihat mesra dengan Victoria di depan Hyemin, maka Hyemin akan benar-benar membenciku dan aku bisa benar-benar melepasnya. Tapi bahkan sebelum rencanaku dijalankan, Hyukjae tiba-tiba bergabung di samping Hyemin dan aku lah yang berubah menjadi lemah dan cemburu, “Maaf, Victoria.”

Victoria memegang kedua pipiku dengan tangannya lalu tersenyum, “Sudahlah. Semua butuh proses kok. Aku akan membantumu.”

Aku tersenyum pahit. Sekejam-kejamnya Victoria dalam memaksaku untuk mencintainya dan bahkan menikahinya, tapi aku tahu dia tulus mencintaiku. Dan aku sedikit menyesali kenapa aku belum bisa mencintai gadis ini.

*****

-Jiyeon POV-

Aku berdiri bersandar di pagar balkon depan kelasku sambil menopang dagu. Beberapa saat yang lalu Hyemin berpamitan padaku untuk mengantar buku tugas anak-anak kelas ke meja guru Biologi kami. Dan aku baru saja melihat dari jauh bahwa Hyukjae sudah menghampirinya serta membantunya membawa buku-buku itu.

Aku menghela nafas. Jika Hyemin dan Hyukjae sudah bersama, berarti tugasku dan Donghae sudah selesai. Dan itu juga berarti aku dan Donghae tidak akan lagi sedekat sekarang ini. Aku tidak punya kesempatan dan alasan lagi untuk dekat dengannya.

Lee Donghae. Cowok populer di sekolah, bahkan hingga keluar sekolah karena ketampanan dan kemudahannya dalam bergaul. Dia memang selalu bersikap ramah dan baik dengan siapa saja. Dia bahkan terkenal menjadi satu-satunya anak Dark yang bersikap ramah pada anak Bright (di Chapter I Part 2 Nichkhun pernah menyebut dia percaya pada Donghae -red.). Cowok yang memiliki fans cewek dimana-mana dan ia selalu baik kepada semuanya. Cowok yang menjadi salah satu alasanku masuk ke SMA Haneul karena aku sudah jatuh cinta padanya sejak 2 tahun lalu aku pernah menjemput kakakku yang adalah alumni SMA Haneul.

-FLASHBACK-

Aku berdiri di gerbang SMA Haneul masih lengkap dengan seragam SMPku sambil melongok mencari keberadaan kakakku ke dalam sekolah. Aku segan untuk masuk kedalam tapi aku juga sudah tidak sabar. Sudah 30 menit aku disini dan kakakku belum juga muncul.

Saat itulah seorang cowok keluar sendirian dari dalam sekolah. Dia sangat tampan dan aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Sadar bahwa aku memperhatikannya, dia mengangguk dan tersenyum. Aku balas mengangguk dengan salah tingkah dan mengalihkan pandanganku darinya.

Sialnya, dia sepertinya juga menunggu seseorang. Ia berdiri tidak jauh dariku sambil memainkan ponselnya. Aku berusaha menahan diriku untuk mencuri pandang darinya, tapi tidak berhasil. Berkali-kali aku mencuri pandang, untung saja ia tidak menyadarinya.

“Donghae,” panggil seseorang dari dalam sekolah.

Cowok tadi menoleh dan tanpa sadar aku ikut menoleh. Seorang cowok berambut merah dengan wajah angkuh langsung menghampiri cowok tadi dan merangkul bahunya, mengajaknya pergi dari situ.

Aku masih memperhatikan cowok yang dipanggil Donghae itu, hingga akhirnya ia menoleh padaku.

“Duluan ya,” ujarnya sambil tersenyum padaku. Lalu ia pergi berjalan dengan temannya itu.

Aku diam, mematung.

-END OF FLASHBACK-

Aku tersadar dari lamunanku karena ponselku bergetar di saku rokku. Aku mengambilnya dan jantungku sedikit anjlok ketika membacanya.

Pengirim: Lee Donghae

“Nanti pulang sekolah jangan pulang sama Seungho ya. Aku tunggu di gerbang.”

Tak sadar, aku tersenyum sambil memandang ponselku.

*****

-Hyemin POV-

Aku sudah beberapa langkah meninggalkan gerbang sekolah menuju halte bus terdekat ketika tiba-tiba seseorang memegang tanganku. Aku sudah akan mengibaskan tanganku untuk melepaskan diri tapi langsung berhenti ketika melihat siapa yang sudah ada di sampingku sekarang.

“Oh, kau,” ujarku datar.

Hyukjae cemberut dan melepaskan tanganku, “Kenapa ngga semangat gitu ngeliat aku?”

“Memangnya harus semangat?”

“Iya dong, kau kan...” Hyukjae menghentikan kalimatnya.

Aku menelan ludah. Aku tahu dia akan menyebut kata 'pacarku'. Tapi aku tahu perasaannya. Hal itu masih terlalu asing di mulut dan telinga kami. Lagipula dia sebenarnya tidak pernah memintaku jadi pacarnya secara langsung. Apa aku memang pacarnya?

“Lupakan,” lanjut Hyukjae pelan. Ia memalingkan pandangannya dariku.

Selama beberapa saat kami berdua terdiam canggung. Aku berusaha mencari bahan pembicaraan. Lalu,

“Kau...”

“Kau...”

Sial. Begitu aku menemukan bahan pembicaraan, dia juga memulai pembicaraan. Kami bertatapan dan kembali tersenyum canggung.

“Kau dulu,” kata Hyukjae.

“Uhmmm...” aku buka suara. “Kau bukannya bawa mobil?”

Hyukjae menggeleng, “Hari ini aku sudah berencana akan pulang denganmu naik bus. Lagipula aku ingin mencoba rasanya naik bus.”

“Kau belum pernah naik bus?” aku bertanya kaget, sejenak lupa apa status sosial Hyukjae. “Oh iya lupa. Kau anak Perdana Menteri.”

Hyukjae mencebil, “Tak perlu disebut bisa kan?”

Aku menyeringai, “Memang benar kan?”

“Iya,” jawab Hyukjae. “Tapi tak perlu dibahas. Kupikir malah sebenarnya aku tak punya orangtua.”

Seketika seringai-anku menghilang. Aku merasa bersalah, “Kau tidak boleh bicara seperti itu.”

“Sejak aku berumur 6 tahun, aku merasa hanya seperti diurus oleh para pengasuhku. Ayahku hanya perduli dengan urusannya dan partai politiknya. Dan ibuku tak pernah mau meninggalkannya. Karena itu selama ini di hidupku aku hanya merasa memiliki Donghae dan Jieun...”

Aku tertegun. Mengetahui cerita ini dari mulutnya sendiri membuatku menyadari betapa berarti IU di hidupnya. Dan aku kagum pada dirku sendiri karena kali ini aku tidak cemburu.

“...sebelum akhirnya kamu datang dihidupku dan aku merasa tak ada lagi yang aku perlukan di dunia ini selain kamu,” lanjut Hyukjae.

Wajahku memanas dan Hyukjae langsung tertawa. Aku menoleh cepat padanya, “Kenapa tertawa?”

“Aku pinter ngegombal ya,” kata Hyukjae, masih terbahak.

Aku meliriknya tajam sambil mengerucutkan bibirku, “Memang.”

Hyukjae menghentikan tawanya dan mengubahnya dengan sebuah senyuman tulus. Ia kembali menggenggam telapak tanganku, “Tapi aku serius.”

Aku memandang mata Hyukjae, yang sedang memandangku dalam-dalam, lalu tersenyum, “Aku percaya.”

*****

-Jiyeon POV-

“Ini bukannya mobilnya Hyukjae ya?” tanyaku pada Donghae yang duduk di kursi pengemudi di sampingku. Aku sedikit bingung ketika Donghae tadi membawaku masuk ke sebuah mobil Audi putih yang setahuku adalah milik Hyukjae. Kupikir mungkin Donghae memiliki mobil yang sama. Tapi setelah beberapa menit aku duduk di dalamnya dan kami sudah cukup jauh dari sekolah, aku menemukan satu barang diatas dasbor yang pasti hanya milik Hyukjae. Syal hitam dengan sablon bintang berwarna emas, syal Leader.

Donghae tertawa sambil menganguk, “Iya.”

“Loh?” tanyaku bingung. “Yang punya kemana?”

“Nganter Hyemin pulang,” jawab Donghae lagi. “Dia bilang lebih romantis kalo naik bus.”

“Hah?”

Donghae kembali tertawa melihatku kebingungan, “Entah apa maksud orang itu. Yang jelas dia sekarang sudah jauh berkembang. Dia sudah mulai bisa berinisiatif sendiri.”

Aku tertawa kecil. Aku senang mendengarnya. Tapi, mau tidak mau, jawaban Donghae membawaku kembali memikirkan sesuatu yang aku takutkan. Semakin dekat Hyukjae dengan Hyemin, semakin jauh aku dengan Donghae.

“Ada apa?” tanya Donghae setelah beberapa menit aku diam. Ia sepertinya menyadari pikiranku sedang terblokir oleh sesuatu.

“Ah tidak,” jawabku. Aku berusaha mengukir senyum di bibirku.

Tidak ada yang kami bicarakan setelah itu. Pikiranku tersangkut pada hal yang aku takutkan sejak Hyukjae mempersembahkan lagu untuk Hyemin di ulangtahun Yoona kemarin. Dan sepertinya Donghae segan untuk mengganggu pikiranku lagi.

“Sudah sampai, Jiyeon-ah,” tegur Donghae seraya menghentikan mobilnya.

Aku tersadar dari lamunanku dan memandang keluar jendela. Kami memang sudah sampai di depan rumahku. Astaga, sudah berapa lama aku melamun?

“Eh... Terimakasih sudah mengantarku, oppa,” ujarku. Aku sudah bersiap untuk turun dan sudah memegang pegangan pintu mobil itu ketika tangan Donghae tiba-tiba menahan bahuku.

“Kau yakin tidak ingin ada yang dibicarakan? Kelihatannya ada yang amat mengganggu pikiranmu. Aku siap kok mendengarkan ,” kata Donghae.

Aku diam sejenak. Bagaimana ini? Haruskah aku bicara padanya? Aku sudah memendamnya selama 2 tahun dan kalau aku melewatkan kesempatan seperti ini aku tahu pasti aku akan menyesalinya seumur hidupku. Tapi bagaimana jika hasilnya tidak sesuai yang aku harapkan dan aku akan sakit?

“Sebenarnya ada...,” gumamku ragu-ragu.

“Bicaralah,” kata Donghae lembut.

“Aku menyukaimu.”

*****

-Donghae POV-

Aku meletakkan tanganku pada bahu Jiyeon, “Kau yakin tidak ingin ada yang dibicarakan? Kelihatannya ada yang amat mengganggu pikiranmu. Aku siap kok mendengarkan.”

Jiyeon terlihat sedang mempertimbangkannya masak-masak.

‘Serumit apa masalahmu, Jiyeon? Aku tidak ingin melihatmu murung seperti ini,’ keluhku dalam hati.

“Sebenarnya ada...,” Jiyeon berkata ragu-ragu.

“Bicaralah,” ujarku meyakinkannya.

“Aku menyukaimu.”

Aku terdiam. Perlahan aku melepas tanganku dari bahu Jiyeon.

“Kau ingat kita pernah bertemu 2 tahun lalu?” lanjut Jiyeon. “Saat itu aku akan menjemput kakakku dari sekolah dan kita bertemu di gerbang. Sejak saat itu aku menyukaimu.”

Jujur aku tidak ingat. Tapi yang aku tahu 2 tahun adalah waktu yang lama, dan jika Jiyeon sudah menyukaiku selama 2 tahun, jelas itu artinya bukan hanya sekedar ‘suka’. Aku mengalihkan pandanganku dari Jiyeon.

“Donghae oppa, aku...”

“Jiyeon,” potongku. Aku kembali memandangnya. “Aku juga menyukaimu. Tapi apa kau tahu? Hubungan kita sekarang ini adalah hubungan yang terbaik yang kita punya.”

Jiyeon tak menyahut. Ia memandangku, menunggu kalimat berikutnya dariku.

Aku tersenyum kecut, “Jangan menyalah persepsikan sikapku selama ini padamu. Aku begini terhadap semua wanita.”

Jiyeon membeku memandangku. Aku dapat merasakan keperihan hatinya dengan jelas karena aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku benar-benar tidak bisa membiarkan Jiyeon jatuh untukku lebih dalam.

Jiyeon balas tersenyum tipis, “Aku tahu. Terima kasih sudah mengantarku, oppa.”

Lalu Jiyeon turun dari mobil. Sekilas aku melihat matanya sudah berair. Aku memperhatikannya sampai masuk ke dalam rumahnya.

Aku menghela nafas dan menelungkupkan kepalaku diatas kemudi. Aku merasakan hatiku perih. Benarkah jalan yang kupilih ini?

*****

fanfiction, dark and bright

Previous post Next post
Up