Dark and Bright [Chapter XXIII]

Jan 01, 2011 20:24



-Hyemin POV-

Aku dan Jiyeon berdiri di depan kelas Hyukjae dan Donghae sepulang sekolah. Kelasku bubar sedikit lebih awal hingga kamu langsung bergegas menuju kelas mereka.

Donghae dan Hyukjae keluar paling akhir diantara teman-teman sekelasnya. Donghae yang melihat kami langsung tersenyum dan mendekati Jiyeon lalu berjalan sambil merangkulnya. Sementara Hyukjae berjalan menunduk sambil melamun. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Dia seolah menjadi tidak sadar pada sekelilingnya sejak kemarin pulang dari bekas rumah IU yang sudah rata dengan tanah.

“Hey,” tegurku pelan saat dia nyaris melewatiku begitu saja.


Hyukjae menoleh dan tersenyum melihatku, “Hey. Sejak kapan disini?”

“Sejak tadi,” jawabku. Kami sekarang berjalan sejajar, beberapa meter dibelakang Donghae dan Jiyeon.

“Ah, masa?” sahut Hyukjae sedikit kaget.

Aku tersenyum pahit. Disatu sisi aku senang mempunyai pacar yang amat perduli dengan orang yang disayangnya, tapi di sisi lain aku sakit melihat dia seperti ini.

“Belum ada kabar dari IU eonni?” tanyaku padahal sudah bisa menebak jawabannya.

Hyukjae menggeleng, “Tapi aku sudah menyuruh orang untuk mencarinya.”

“Aku harap cepat ada kabar darinya,” sahutku.

“Aku tak habis pikir, kenapa ada orang tega menggusur rumah orang yang tak punya rumah lain tanpa ganti rugi. Sekalipun dia pemilik asli tanah itu, seharusnya dia perduli dengan nasib penduduk disana. Kalau aku tahu orangnya, mungkin aku akan memberi peljaran untuk boss dari perusahaan itu,” lanjutnya.

Aku menelan ludah. Haruskah aku katakan padanya?

****

-Hyemin POV-

Aku melirik jam dinding di ruang tengah kemudian memandang ke pintu depan dengan gelisah untuk yang kesekian kalinya. Sudah jam 8, dan biasanya dia sudah datang ke rumahku.

“Kau menunggu siapa sih?” tanya Taemin, terganggu melihat kegelisahanku.

“Kyuhyun,” jawabku.

“Kyuhyun?” tanya Taemin dengan nada heran. “Tumben? Biasanya kau tidak suka Kyuhyun kesini? Katanya nanti Hyukjae cemburu lah, apa lah…”

“Diam kau,” tukasku. Memang dia benar. Tidak mungkin aku menunggu Kyuhyun seperti ini jika aku tidak punya maksud tertentu.

Tapi setelah setengah jam lagi aku menunggu Kyuhyun yang tak juga datang, aku memutuskan meneleponnya. Aku mengambil ponselku dari kantong jeansku dan menghubungi nomor Kyuhyun.

“Ya, Hyemin?”

“Oppa!” sahutku. “Kau dimana?”

“Di rumah,” jawabnya. “Kenapa?”

“Tidak kesini?” tanyaku lagi.

“Aku sedang sangat lelah. Kenapa? Kau kangen padaku?”

Tak menjawab pertanyaannya aku langsung berseru, “Aku kesitu sekarang!”

Aku benar-benar langsung setengah berlari keluar rumahku menuju rumah Kyuhyun, tidak memperdulikan Taemin yang memandangku dengan amat bingung. Aku berlari kerumah Kyuhyun dan langsung masuk ke dalam-petugas keamanannya sekarang sudah mengenalku dan ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya. Aku memperhatikan seisi rumah itu. Tak ada orang. Maka aku langsung bergegas menuju kamar Kyuhyun seperti yang biasa aku lakukan sejak kecil.

“Oppa!” seruku dan langsung membuka pintu kamar Kyuhyun.

Kyuhyun duduk menyilangkan kaki diatas tempat tidurnya dengan laptop di hadapannya. Ia mendongak memandangku dari balik kacamata minusnya yang justru membuat ketampanannya meningkat, “Hyemin?”

Aku duduk di pinggir tempat tidurnya, tak jauh dari dia duduk, “Kenapa justru saat aku menunggumu, kau malah tidak datang ke rumah?”

Kyuhyun tertawa, “Aku sedang banyak kerjaan. Sebegitunya kangennya kah kau padaku?”

Aku hanya merengut.

Kyuhyun tersenyum, “Sini,” ujarnya menyuruhku duduk di sampingnya.

Perlahan aku bergerak ke sampingnya.

“Ada apa?” tanyanya.

“X88 Co. itu perusahaan keluargamu kan?” tanyaku tanpa basa-basi.

Kyuhyun memandangku bingung, “Iya... Kenapa memangnya?”

“Lalu aku punya satu permintaan,” ujarku. Kyuhyun masih memandangku, menunggu kata-kataku selanjutnya. “Kau tahu ada proyek milik X88 yang baru akan dibangun di daerah Nowon?”

Kyuhyun mengangguk ragu.

“Ada temanku yang kehilangan tempat tinggalnya karena proyek itu. Dia tidak punya tempat tinggal lagi sama sekali. Aku mau kau memberikan ganti rugi untuknya,”

Kyuhyun mengernyit. Aku tahu kenapa. Aku berbicara dengan nada yang cukup kasar.

“Temanmu siapa?” tanyanya.

“Aku bilang pun kau tidak akan tahu,” jawabku.

***

-Kyuhyun POV-

“Kau tahu ada proyek milik X88 yang baru akan dibangun di daerah Nowon?”

Aku tersenyum dalam hati, sudah menebak kemana arah pembicaraan ini. Aku mengangguk pada Hyemin.

“Ada temanku yang kehilangan tempat tinggalnya karena proyek itu. Dia tidak punya tempat tinggal lagi sama sekali. Aku mau kau memberikan ganti rugi untuknya,”

Aku mengernyit memandang Hyemin. Dia bukan meminta, dia memerintah dan mengancam.

“Temanmu siapa?” tanyaku.

“Aku bilang pun kau tidak akan tahu,” jawabku.

Aku mendengus lalu kembali menyibukkan diri dengan laptopku, “Aku tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan kerjaan.”

“Tapi orang-orang sedang mempertaruhkan hidupnya karenamu! Kau tahu, mereka tidak punya uang, mereka tidak punya rumah dan kau menggusur rumah mereka begitu saja?” seru Hyemin marah.

“Bukan salahku karena mereka membangun rumah diatas tanah orang,” jawabku dingin.

Hyemin bangkit dari duduknya, “Oppa aku tidak mengenalmu sama sekali,” desisnya.

Akhirnya aku kembali memandangnya, “Apa?”

“Cho Kyuhyun yang dulu tidak akan membiarkan orang lain menderita. Cho Kyuhyun yang dulu selalu mengerti perasaan orang lain. Cho Kyuhyun yang dulu akan memenuhi permintaanku,” ujar Hyemin.

“Lee Hyemin,” tukasku. Aku tertawa sinis. “Kalau aku memenuhi permintaanmu, apa kau akan memenuhi permintaanku?”

Hyemin terdiam.

“Tidak, kan?” balasku. “Seumur hidup hanya satu kali aku meminta padamu, tapi kau tidak pernah bisa memenuhi permintaanku itu.”

Hyemin masih diam. Ia memandangku tak percaya dan selama beberapa saat ia diam saking kesalnya padaku, “Jadi masih soal itu?” tanyanya.

Aku mengalihkan pandanganku kembali ke laptop, “Kalaupun bukan soal itu, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Aku tidak bisa mencampurkan pekerjaan dengan urusan pribadi seperti ini.”

“Ini bukan urusan pribadi! Ini mengenai kepentingan orang banyak!” seru Hyemin.

“Tapi kau menuntutku untuk mengganti rugi hanya untuk satu orang, kan?” balasku. “Lagipula siapa suruh mereka membangun rumah diatas tanah perusahaan.”

Hyemin menghela nafasnya, seolah sudah kehabisan kesabaran.

“Siapa orang itu hingga kau melakukan hal ini?” tanyaku lagi.

Lagi-lagi Hyemin tidak menjawab.

Aku menghela nafas.”Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, lebih baik kau pergi, Hyemin-ah,” ujarku.

Tetapi bukannya pergi, Hyemin malah duduk kembali di sampingku.

“Oppa,”ujar Hyemin lirih. “Aku mohon… Demi Hyukjae.”

Aku menoleh kembali memandangnya. Aku sudah tahu ini adalah alasan utamanya, tapi aku berpura-pura terkejut, “Jadi masih soal dia?”

Hyemin memandangku. Matanya berkaca-kaca, tapi dia tidak bicara apa-apa. Sejujurnya aku sedikit khawatir karena aku belum pernah melihatnya sebingung ini.

“Pergilah, Hyemin,” usirku. Aku takut pendirianku akan goyah melihatnya. “Percuma kau disini, tidak akan ada yang terjadi. Aku tidak akan melakukan apa-apa, terutama jika berhubungan dengan dia.”

Hyemin masih tidak menjawab tapi juga tidak beranjak dari tempatnya. Aku malah melihat dia mengusap matanya dengan punggung tangannya. Dia menangis. Aku tertegun. Aku tidak bisa melihatnya menangis.

“Lee Hyemin,” ujarku pelan dengan nada yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.  Aku meraih tangannya dan menggengamnya. “Kau ingat janjiku bahwa aku tidak akan membiarkan siapapun membuatmu menangis?”

“Karena itu oppa, kabulkanlah permint-”

“Bukan aku yang membuatmu menangis,” potongku. Hyemin memandangku. “Kau menangis karena memikirkan orang itu kan? Lalu bagaimana kau berharap aku bisa menerima dia di hidupmu?”

“Sudahlah oppa,” Hyemin mendengus, “Aku menyesal bicara padamu.” Ia menepis tanganku dari tangannya dan ia meninggalkanku kembali sendiri di kamar.

Aku menarik nafasku setelah beberapa saat setelah Hyemin pergi kemudian menghubungi seseorang dari ponselku.

“Ya, Tuan Cho?”

“Jangan berhenti mengawasi Lee Jieun dan ibunya. Segera beritahu aku apapun yang terjadi pada mereka,”

*****

-IU POV-

“Ayo IU, bantu aku beres-beres,” ujar seorang wanita paruh baya sambil mengambil beberapa potong baju dari display dan membawanya ke dalam toko.

“Eh, iya,” jawabku kaget. Aku sudah hampir tertidur di meja kasir tadi. Aku bergerak membantu membereskan display-display baju diluar.

“Tadi malam kau tidak tidur lagi ya?” tanya nyonya Kang, wanita baik hati yang mengizinkanku bekerja di toko bajunya tanpa syarat apapu beberapa hari yang lalu.

Aku menoleh padanya dan tersenyum, “Ah, tidak, kok.”

“Aigoo, anak ini,” gumam nyonya Kang. “Lihat, kantung matamu sudah seperti panda.”

Aku hanya mengusap-usap mataku sambil cengengesan padanya, masih sambil membereskan baju-baju di display.

“Kau sudah punya tempat tinggal tetap?” tanya nyonya Kang lagi.

Aku terdiam sejenak, lalu menggeleng lemah, “Ibu masih aku titipkan di rumah teman lamanya sampai aku mempunyai uang cukup untuk menyewa rumah yang layak.”

“Dan kau sendiri selalu bermalam di bar itu?” tanya nyonya Kang. Ia terlihat sangat simpati padaku.

Aku tersenyum lemah, “Asal ada tempat tidur sedikit juga sudah cukup bagiku. Lagipula bapak satpam di bar itu juga baik padaku.”

“Astaga,” gumam nyonya Kang. “Pagi mengantar susu keliling kota, siang sampai sore menjaga toko ini, malam jadi waitress di bar, kapan kau istirahatnya?”

Aku merapikan tumpukan baju terakhir yang harus kurapikan, “Setelah aku mendapat uang sewa yang cukup, aku tidak akan bekerja sekeras ini.”

“Lalu sekolahmu bagaimana?” Nyonya Kang tahu aku sudah seminggu tidak masuk sekolah.

Aku menghela nafasku. Memikirkan sekolah otomatis membawaku memikirkan beasiswa yang baru kudapat tapi pasti sekarang sudah lepas dari genggamanku. Aku berusaha menahan airmataku, “Yang terpenting bagiku sekarang adalah ibuku mendapat tempat tinggal yang layak. Aku tidak bisa membiarkan dia tidur di tempat sewa murah yang asal-asalan. Dia masih sakit.”

“Seandainya saja aku belum menjual rumah kontrakanku, mungkin aku akan mengizinkanmu tinggal disana secara cuma-cuma. Tapi sekarang rumah itu sudah kujual dan rumahku sekarang tidak dapat menampung orang lagi,” ujar nyonya Kang.

Aku tersenyum padanya, “Tidak perlu, ajumma.Memberikan pekerjaan disini tanpa syarat padaku saja, aku sudah sangat berterimakasih sekali.”

Nyonya Kang terdiam memandangi aku yang sedang membereskan tasku. Aku akhirnya kembali menghadapnya, “Ajumma, aku pergi dulu.”

“Hati-hati di jalan,” balas nyonya Kang lalu aku meninggalkan toko itu.

Keluar dari gedung pertokoan itu, ternyata membawaku berpapasan dengan beberapa siswi Haneul golongan Bright setahun diatasku yang baru pulang sekolah sore itu. Aku segera menutupi kepalaku dengan hoodie ku lalu menyusuri trotoar dengan cepat dan menunduk. Bukannya aku malu dengan keadaanku, tapi melihat seragam mereka saja membuat aku ingin menangis. Aku ingin kembali memakainya.

Bruk!!!

Tak sengaja aku menabrak seorang gadis yang baru keluar dari coffee shop di sebelah kiriku.

“Aww!” jerit gadis itu.

Aku mendongak untuk meminta maaf tapi terhenti saat melihat wajah gadis itu. Dia pacar leader Bright. Astaga, kenapa aku justru harus menabrak anak Haneul?

*****

-Victoria POV-

Aku baru saja keluar dari coffee shop ketika seorang cewek mungil dengan hoodie menutupi kepalanya menabrakku.

“Aww!” jeritku.

Gadis itu mendongak tapi terhenti saat melihat wajahku.

Aku yang tadinya mau marah juga terhenti saat melihat wajahnya. Rasanya wajah ini familiar...

“M-maaf,” ujar gadis itu akhirnya dan ia langsung meninggalkan aku.

“Ada apa?” tanya Nichkhun dari belakangku. Ia baru keluar dari coffee shop dengan dua gelas coffee latte di tangannya.

Aku mengangkat bahuku, “Cewek itu menabrakku. Tapi aku merasa aku pernah melihatnya.”

Nichkhun memandang punggung gadis yang berjalan menjauh itu, “Sahabatnya Hyukjae bukan? Yang biasanya satu paket dengan dia dan Donghae?”

“Ah iya betul!” seruku sambil menjentikkan jari. “Tapi kenapa dia ada disini? Dan tidak memakai seragam? Ini kan baru bubar sekolah, tidak mungkin dia sudah mengganti bajunya begitu cepat kan? Dan kenapa dia datang dari arah sana? Dan kenapa wajahnya begitu kusut?”

Nichkhun menyerahkan satu gelas lattenya padaku, “Tumben kau perduli dengan orang,” ujarnya pelan lalu berjalan menjauhiku.

Aku diam memegang gelasku. Eh iya...kenapa aku harus mengurusinya?

*****

-Hyukjae POV-

Aku bersandar di kepala tempat tidurku, memandang Donghae yang duduk diujung dengan pandangan super jengkel. Sudah hampir 30 menit dia berdebat dengan Jiyeon di telfon. Dimulai hanya karena Jiyeon nyuekin Donghae di telfon. Jiyeon sedang serius menonton idolanya tampil di tv.

“...Aku pengen ngobrol sama kamu tapi kamu malah nonton tv,” kata Donghae.

Aku menghela nafas. Daritadi kata-kata mereka berdua hanya berputar-putar disitu saja.

“Lagian ngapain sih memuja-muja mereka, kayak mereka bakal sadar aja kamu muja-muji mereka,” kata Donghae lagi.

Aku mendengar Jiyeon membalas diseberang telfon.

“Ya beda,” tukas Donghae. “Kalau aku, cewek-cewek itu yang mau deket-deket sama aku. Kalau aku cuekin kan aku jahat. Tapi toh aku tetep sepenuhnya buat kamu. Kalau kamu, nyuekin aku cuma gara-gara boyband itu.”

Aku beranjak dari tempat tidurku. Kalau sudah soal ini Donghae dan Jiyeon bisa berdebat sampai lama sekali, aku malas mendengarnya. Apalagi otakku masih dipenuhi oleh Jieun. Aku mengambil jaketku seraya menoleh pada Donghae, “Ikut ngga?”

“Sebentar,” Donghae bicara pada Jiyeon lalu menjauhkan ponselnya. Ia memandangku, “Kemana?”

“Kemana saja lah, aku sedang suntuk” jawabku.

“Ikut!” seru Donghae. Ia lalu kembali bicara pada Jiyeon, “Berantemnya nanti lagi ya, sayang. Aku mau pergi sama Hyukjae dulu. Love you, muach.”

Aku memutar bola mataku. Pasangan aneh. Bahkan setelah berdebat, mereka bisa cium-ciuman seperti itu. Aku berjalan keluar kamar. Donghae mengikutiku.

*****

-IU POV-

“Meja 8A!” seru bartender seraya mendorong sebotol besar minuman keras kearahku.

“Baik,” jawabku. Aku menaruh botol itu diatas baki serta 4 gelas yang sudah kutaruh sebelumnya. Aku membawa baki itu menyusuri meja-meja pelanggan menuju meja 8A yang kutuju.

Aku menarik nafas ketika mengetahui meja yang akan kudatangi berisi empat orang lelaki paruh baya berhidung belang. Masing-masing dari mereka sudah memiliki satu gadis cantik di sampingnya. Oh, bahkan ada yang dua.

Tanpa banyak bicara aku hanya menaruh botol minuman keras itu di meja mereka. Salah satu dari lelaki itu memandangiku terus dan mencoba melongok ke balik seragam waitressku ketika aku membungkuk menata gelas untuk mereka. Aku merapatkan bajuku, kemudian membungkuk berpamitan.

“Hey, manis, siapa bilang kau boleh pergi?” ujar lelaki tadi tiba-tiba. Ia memegang pergelangan tanganku.

Aku menoleh. Bajingan ini padahal sudah memiliki gadis yang paling cantik diantara yang lainnya, “Ada yang bisa saya bantu?” balasku masih berusaha sopan.

“Duduklah dulu,” katanya dan ia menarikku saat aku tidak siap mempertahankan diri. Aku sudah pasti terjatuh di sampingnya kalau saja tidak ada tangan lain yang tiba-tiba menarik lenganku dan membawaku ke dekatnya. Aku terlepas dari tangan lelaki hidung belang itu.

Aku terdiam di rangkulan orang yang menarikku tadi. Parfum ini...

“Maaf,” ujar orang itu. Suaranya asing. “Tapi dia pegawai baru disini. Masih training.”

Aku menoleh cepat kearah suara itu dan mendapati hatiku kecewa. Dia adalah Kim Junghoon, teman waiterku di tempat ini. Astaga, parfumnya. Aku pikir dia adalah...

“Tapi aku mau dia,” balas lelaki tadi.

Junghoon perlahan mendorongku, “Pergilah, aku urus ini.”

Aku melangkah menjauhi Junghoon dan para pria berhidung belang itu. Tapi aku tidak kembali ke meja bar, melainkan keluar dari tempat itu. Aku berjalan terus menjauhi tempat itu dengan langkah lemah. Kalau saja bukan karena tuntutan mencari tempat tinggal layak untuk ibuku, aku tidak akan kerja disitu. Bar murah, penuh dengan perbuatan-perbuatan amoral dan hina. Tapi aku tidak menemukan pekerjaan lain.

Aku menghela nafas. Aku tahu kejadian macam tadi pada akhirnya akan menghampiri waitress seperti aku. Aku tahu kisah-kisah waitress di bar itu, dan  mereka juga sesungguhnya tidak mau melakukan hal itu jika tidak ada tuntutan hidup. Aku bergidik. Aku bersumpah tidak akan melakukan hal sekotor itu. Membayangkan kembali wajah-wajah pria berhidung belang tadi saja sudah membuatku jijik. Kalau saja Junghoon tidak datang...

Aku berhenti berjalan. Seketika aku mengingat saat Junghoon datang menyelamatkanku. Ketika sesaat aku mengira bukan Junghoon yang datang...

Aku berjongkok di pinggiran display kaca toko baju yang ada di dekat situ. Kepalaku kebenamkan diatas lututku. Halusinasiku terlalu tinggi jika mengharap dia yang datang.

'Hyukjae oppa,' batinku. Nafasku bergetar menahan tangis. 'Apakah kau sadar aku menghilang? Apakah kau berusaha mencariku? Apakah kau memikirkanku? Apa kau merindukanku...?'

“Astaga,” gumamku seraya berdiri kembali. “IU. Lee Jieun. Kau sedang berpikir apa, hah? Kau itu tidak penting di hidupnya, tau? Sudah, sudah. Kau harus kembali bekerja.”

Aku memukul-mukul kepalaku sendiri dan berbalik badan hingga aku menemukan sosok itu tepat di hadapku. Aku mematung dan entah sejak kapan tiba-tiba tubuhku sudah hangat di pelukannya.

“Lee Jieun,” bisiknya di telingaku. Ia memelukku erat.

Wangi ini... Suara ini...

“Jangan pernah menghilang dari hadapanku lagi,” lanjutnya.

Sebutir air mata meluncur di pipiku, “Oppa...”

*****

fanfiction, dark and bright

Previous post Next post
Up