Dark and Bright [Chapter XVII Part 2]

Sep 19, 2010 16:28


-Donghae POV-

Aku mencengkeram kepalaku. Mengingat hal itu membuat kepalaku sakit dan hatiku kembali perih.

Aku masih beruntung karena Jessica sadar dari komanya setelah 2 hari. Jika tidak, mungkin aku sudah akan ikut bunuh diri bersamanya. Tapi sejak itu, aku tidak lagi berani masuk ke dalam kehidupan Jessica. Selain karena semua orang di sekitar Jessica melarangku, aku juga takut akan menyakiti Jessica lagi. Sejak saat itu, sekalipun Jessica masih memohon-mohon padaku, aku tidak mau kembali padanya.

Dan sekarang, hampir 1 tahun setelahnya, muncullah seorang Park Jiyeon yang perlahan membuatku jatuh cinta dengan dirinya yang apa adanya. Mengetahui bahwa dia juga menyukaiku adalah suatu kebahagiaan untukku. Tapi aku masih trauma. Aku tidak bisa membiarkan hal yang terjadi pada Jessica terjadi pada Jiyeon. Aku takut aku gagal menjaga Jiyeon seperti aku gagal menjaga Jessica.

Tiba-tiba bel unit apartemenku berbunyi. Sambil berusaha mengembalikan moodku yang berantakan, aku berjalan ke pintu dan mengintip siapa yang datang lewat layar kamera CCTV di sebelah pintu. Hyukjae dan Hyemin?

Aku membuka pintu dan menemukan Hyemin yang sedang menatap kosong padaku. Ekspresinya agak kaget.

“Apa yang...”

“Hyemin, sudah kubilang ini tidak akan berguna,” Hyukjae tiba-tiba memotong omonganku.

Dan seperti orang yang tesadar dari lamunannya tiba-tiba Hyemin berkata, “Aku tidak bisa membiarkan Jiyeon diperlakukan seperti ini.”

“Jiyeon?” tanyaku bingung. “Ada apa ini?”



“Kau,” Hyemin menunjukku. Aku tidak sadar kapan ia merubah ekspresinya menjadi marah seperti ini. “Kau selama ini memperlakukan Jiyeon dengan sangat baik. Tapi kenapa kau menolaknya???”

Sesaat aku ingin menjawab bahwa aku bersikap begitu karena aku memang menyukainya, tapi otakku mengalahkan hatiku. Aku mendengus, “Aku memang begini terhadap semuanya. Bukan salahku kalau Jiyeon menganggapnya lain.”

“Aku sudah bilang kan,” tukas Hyukjae. Ia mengangkat bahunya.

“Kau jahat, Lee Donghae,” sergah Hyemin tajam.

“Hey, jangan mengatakan sahabatku jahat seenaknya,” Hyukjae langsung menjawab.

Hyemin menoleh padanya, “Kau membelanya? Ya sudah, terserah. Asal kau tahu, Donghae,” Hyemin kembali menoleh padaku. “Jika terjadi apa-apa pada Jiyeon, kau adalah orang pertama yang kuburu.”

Aku tertegun. Kata-kata itu lagi...

“Aku pulang,” kata Hyemin kemudian tanpa basa-basi ia meninggalkan aku dan Hyukjae begitu saja.

“Hey,” Hyukjae menyadarkanku dari kata-kata Hyemin yang masih terngiang di telingaku. Ia merangkulku. “Sudahlah, ayo masuk.”

*****

-Hyemin POV-

Aku mencari nomor Hyukjae dan menghubunginya beberapa menit setelah aku berada di taksi.

“Berhasil tidak?” tanyaku.

“Cepat sekali meneleponnya,” balas Hyukjae, tidak menggubris pertanyaanku. Suaranya terdengar sedikit berbisik.

“Berhasil tidak??” desakku.

“Lumayan,” balas Hyukjae. “Dia sepertinya masih tertusuk dengan kata-katamu.”

“Baguslah,” jawabku sambil tersenyum.

“Bagus apanya?” gerutu Hyukjae. “Aktingmu tadi jelek sekali. Kalau tidak aku tegur di awal tadi pasti tadi kau lupa apa kata-kata yang kita siapkan,”

“Yang penting kan sekarang sudah berhasil,” balasku tak mau kalah.

“Iya, iya,” kata Hyukjae tak sabar. “Sekarang rencana kedua ya.”

“Siap,” jawabku.

*****

-Donghae POV-

Hyukjae duduk di sebelahku setelah dia keluar dari toilet. Aku diam saja sambil memandang kosong televisi yang menyala.

“Sudah jangan terlalu dipikirkan,” kata Hyukjae setelah beberapa saat. Ia terlalu baik mengenalku sehingga ia bisa tahu apa yang aku pikirkan. “Hyemin cuma sedang emosi.”

Aku menoleh pada Hyukjae, tidak bisa menyembunyikan rasa cemasku, “Kau yakin Jiyeon tidak akan apa-apa?”

Hyukjae mengangguk. Aku kembali mengalihkan pandanganku.

“Kalau kau begini cemasnya memikirkan dia, kenapa kau tidak menerima cintanya?” tanya Hyukjae setelah beberapa saat hanya ada suara TV diantara kami.

“Kau tahu masalahku...” gumamku.

“Jessica?”

Aku mengangguk, “Aku tidak mau ada korban berikutnya setelah Jessica.”

“Berhenti menyalahkan dirimu soal Jessica. Dia tidak bicara bahwa dia keberatan melihatmu dengan teman-teman wanitamu, itu masalahnya,” kata Hyukjae.

“Iya itu memang masalahnya,” balasku tajam. Terkadang Hyukjae terlalu pintar memberi nasihat. “Aku tidak bisa mengerti perasaan pacarku sendiri. Itu masalahnya.”

Hyukjae nyengir, menyadari dia salah bicara, “Paling tidak kau harus maju dan membuka hidup baru, Lee Donghae.”

“Bagaimana kalau hidup baru itu akan berakhir sama?” tanyaku.

“Kuncinya hanya satu, jangan lakukan kesalahan yang sama. Kali ini kau harus bisa menghargai perasaan pacarmu. Lagipula kupikir, ketika kau memulai sesuatu dengan orang yang baru, kau akan menghadapi masalah yang baru pula kan? Tinggal bagaimana kau menjadikan kesalahan lamamu menjadi pedoman di kehidupan barumu,” ujar Hyukjae.

Kalimat Hyukjae kali ini berhasil meresap di dadaku. Aku tersenyum tipis menanggapinya.

“Aku tahu kau mencintai Jiyeon,” kata Hyukjae lagi. “Caramu memandangnya sama seperti saat kau memandang Jessica dulu.”

Aku diam. Aku memang mencintai Jiyeon, aku tahu pasti itu. Tapi...

Tiba-tiba ponsel Hyukjae berbunyi. Ia pamit menjauh dariku sebentar untuk mengangkat telfonnya. Aku mengangguk seraya memainkan remote TV di tanganku. Sayup-sayup aku mendengar Hyukjae bicara dengan nada tinggi di balkon apartmentku. Mau tidak mau aku meolh memperhatikannya dari jauh.

Tak lama Hyukjae kembali ke ruang tengah dengan wajah kusut.

“Ada apa?” tanyaku ingin tahu.

Hyukjae terlihat sedikit berpikir sebelum akhirnya ia berbicara pelan, “Jiyeon…tidak ada di rumahnya.”

Aku menegakkan tubuhku dengan cepat, “Apa???”

*****

-Jiyeon POV-

Aku menggosok kedua tanganku dan merapatkan mantel yang kupakai. Aku melirik arloji. Sudah 10 menit lebih Hyemin pergi meninggalkanku duduk di bangku taman ini. Ia berkata dia hanya akan membeli minuman untuk kami berdua.

‘Haish. Anak itu. Mengajakku keluar semalam ini hanya karena ia bosan di rumah dan sekarang ia meninggalkan aku lama sekali,’ gerutuku dalam hati.

Tiba-tiba ponselku berbunyi dan sebuah pesan masuk. Aku membacanya. Dari Hyemin.

“Tetap disitu ya. Maaf agak lama.”

Aku menghela nafasku. Ya sudahlah, apa maunya anak itu saja. Aku bangkit dari dudukku dan mulai berjalan bolak-balik untuk menghangatkan tubuhku. Tanganku kumasukkan ke dalam mantelku. Aku sedikit tersenyum ketika mengingat ini adalah taman yang sama saat dulu aku dan Donghae tak sengaja bertemu dan membicarakan tentang hubungan Hyemin dan Hyukjae. Bagaimana ia memberikan es krim sore itu dan bagaimana ekspresinya saat aku mengira dialah yang menyukai Hyemin.

Dan aku langsung terjatuh kembali ke tanah begitu mengingat bahwa Donghae sudah menolakku.

“Jangan menyalah persepsikan sikapku selama ini padamu. Aku begini terhadap semua wanita.”

Aku menggigit bibirku lalu menendang tanah yang kupijak. Aku kelewat bodoh. Aku tahu dia memang seperti itu, lalu kenapa aku berharap banyak padanya?

Dan entah datang darimana, tiba-tiba seseorang mendekap ku erat dari belakang. Aku nyaris saja berteriak minta tolong jika dia tidak berbicara dengan suara yang amat aku kenal.

“Maafkan aku, Jiyeon,”

Aku terdiam tak mempercayai pendengaranku. Eh…? Lee Donghae???

*****

-Donghae POV-

Aku, dan Hyukjae bertemu dengan Hyemin yang kelihatan terengah-engah di pinggir jalan raya sekitar rumah Jiyeon.

“Bagaimana dia bisa pergi dari rumah?” tanyaku panik.

“Aku tidak tahu,” Hyemin juga menjawab dengan panik. “Aku tadi ingin ke rumahnya, tapi ternyata dia tidak ada disana.”

Aku mengacak rambutku dengan stress, “Lalu dia ada dimana?”

“Entahlah,” sahut Hyemin sambil menghela nafasnya.

“Kita berpencar,” kata Hyukjae. “Donghae, kau ke arah sana. Aku dan Hyemin kesini.”

Aku mengangguk dan langsung berlari ke arah yang ditunjuk Hyukjae. Aku terlalu kalut. Dan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada Jiyeon. Aku tidak bisa membiarkannya. Aku tidak mau semua kembali terulang.

Aku berlari menyusuri trotoar di pinggir jalan itu. Sekarang sudah lebih dari jam 10 malam dan beberapa toko sudah mulai tutup. Aku melongok sekilas ke dalam toko-toko mencari keberadaan Jiyeon tapi nihil. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah taman, aku berhenti memperhatikan sesosok yang sepertinya aku kenal. Aku menghela nafas lega. Tanpa berpikir aku langsung lari dan memeluknya dari belakang. Aku tak mau kehilangan dia.

“Maafkan aku, Jiyeon,” bisikku.

Jiyeon terlihat kaget dan ia berusaha melepaskan dirinya dari pelukanku. Ia menoleh dan menemukan wajahku yang aku tenggelamkan di bahunya, “Do-donghae oppa?”

“Maaf,” bisikku lagi. “Aku mohon jangan melakukan sesuatu yang membuatku khawatir lagi.”

Jiyeon sekuat tenaga melepaskan diri dari pelukanku dan akhirnya aku melepasnya. Ia memandangku bingung, “Membuatmu khawatir?”

Aku mengangguk, “Jangan pergi dari rumah seperti ini…”

Mata Jiyeon membulat dengan heran, “Pergi dari rumah? Siapa yang pergi dari rumah?”

Aku juga memandangnya sama bingungnya. Aku memegang tengkukku dengan canggung, “…Tadi Hyemin bilang kau kabur dari rumah.”

Sesaat mulut Jiyeon akan membentuk kata ‘Apa?’ tapi seakan sudah mengerti sesuatu ia langsung tertawa.

“Kenapa tertawa?” tanyaku gusar. Aku baru selesai panik dan ia menertawakanku begitu saja.

“Kita dijebak oleh Hyemin,” jawab Jiyeon, ia berusaha menghentikan tawanya untuk menghormatiku. “Aku tadi diajak keluar oleh Hyemin. Dia bilang dia bosan dan ingin keluar rumah. Lalu dia minta izin padaku untuk beli minum, tapi justru kau yang datang.”

Aku menggaruk kepalaku, “Begitukah?”

Jiyeon tersenyum lebar, masih geli mengingat kami sudah jatuh ke dalam perangkap Hyemin. Perlahan aku ikut tertawa setelah aku pulih dari sindrom kepanikanku.

“Umm…” gumam Jiyeon. “Karena kita berdua dijebak dan sekarang kita tidak ada urusan apa-apa lagi disini, jadi aku…”

“Jangan pergi dulu, Jiyeon,” tahanku. Aku meraih lengannya.

“Eh...?” sahut Jiyeon sedikit kaget.

“Tentang hubungan kita…”

Jiyeon tersenyum pahit, “Sudahlah, oppa. Sudah cukup jelas. Aku tahu kau memperlakukan semua wanita seperti ini…”

“Ya, aku memang seperti itu terhadap semua wanita.” tukas Donghae. “Tapi aku tidak seperti ini terhadap wanita lain.”

Aku menarik Jiyeon mendekat padaku dan aku mengecup bibirnya. Jiyeon mematung. Aku melepasnya ciumanku tapi tetap memegang tangannya.

“Aku pernah punya kesalahan di masa lalu. Aku mengecewakan orang yang berharga di hidupku dan aku nyaris kehilangan dia. Aku tidak bisa menjaga dia. Itulah mengapa aku sempat takut menjagamu,” jelasku. Aku memandang mata Jiyeon dalam-dalam.

“Tapi di detik aku mendengar kamu kabur dari rumah, sekalipun itu palsu,” lanjutku lagi. “Aku langsung menyadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu. Izinkan aku untuk berubah untukmu… Izinkan aku menjagamu dan mencoba membuka hidup baru denganmu.”

Aku menyadari Jiyeon sepertinya masih kaget dengan ciumanku yang tiba-tiba tadi. Ia terlihat agak bingung sebelum akhirnya merespon, “Maksudmu…?”

“Aku tidak akan menjadi Lee Donghae yang-kata orang-playboy lagi. Aku hanya akan jadi milikmu. Berikan aku waktu untuk menunjukkan semuanya,”

Perlu beberapa detik bagi Jiyeon untuk akhirnya ia tersenyum dan berkata, “Tetaplah jadi Lee Donghae apa adanya. Karena aku mencintai Lee Donghae yang itu.”

“Tapi,” potongku cemas, teringat kasus Jessica. “Aku tidak mau kau berbicara seperti itu diluar padahal hatimu sakit.”

Jiyeon menggeleng, senyum masih mengembang di wajahnya, “Tidak akan. Karena aku mengerti kamu. Sekalipun aku melihatmu dengan wanita lain, aku tahu hatimu hanya untukku.”

Aku tersenyum. Aku menarik Jiyeon kedalam pelukanku dan ia membalas pelukanku.

‘Sekalipun kau mengizinkanku, aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi, Jiyeon,’ tekadku dalam hati. 'Aku tidak mau kehilangan kamu.'

*****

-Hyemin POV-

“Sial, dia mendahuluiku,” gumam Hyukjae yang ada di sampingku. Kami sedang mengawasi Jiyeon dan Donghae dari balik pagar taman itu.

“Apa?” tanyaku.

“Tidak,” balas Hyukjae.

Aku menahan senyumku. Aku tahu ia sedang menyesalkan mengapa Donghae secepat itu mendapat ciuman dan pelukan dari Jiyeon.

“Tapi itu kan dia nyuri. Kalo seperti itu aku juga bisa,” gumam Hyukjae menggerutu, tidak sadar bahwa aku mendengarnya dengan jelas

Aku tidak bisa lagi menahan tawaku, “Makanya jadi playboy dulu.”

“Dia kan bukan playboy,” sahut Hyukjae.

Aku memandangnya, “Tumben. Biasanya kau selalu bilang dia playboy?”

“Dia hanya pencinta wanita,” balas Hyukjae. Matanya masih tetap mengawasi Jiyeon dan Donghae.

“Beda tipis kan,” ujarku sambil terbahak.

Hyukjae hanya tertawa sambil menjulurkan lidahnya. Entah mendapat keberanian dari mana, aku tiba-tiba mendekati Hyukjae dan mencium pipinya. Hyukjae terkejut. Ia memegang pipinya, “Itu…untuk apa?”

“Untuk tanda terimakasih karena membantu menolong sahabatku mendapatkan cintanya,” jawabku. Aku memalingkan wajahku yang mulai memanas.

Selama beberapa saat Hyukjae masih nyengir dan memegang-megang pipinya. Kemudian tiba-tiba ia berkata, “Kau kan juga menolong sahabatku. Kalau begitu aku juga mau memberikan tanda terima kasih…tapi disini,” Hyukjae menunjuk bibirnya.

Aku memandangnya tajam sambil mendorong bahunya, “Pergi kau.”

*****

fanfiction, dark and bright

Previous post Next post
Up