One Summer Of Cindy & Micky - Ch 09 & 10

Jul 24, 2009 23:30


Title: One Summer Of Cindy & Micky
Author: Ratri - ChibiChick
Cast: DBSG Boys, Cindy, Ryan, Sassy, etc
Genre: Romance, Comedy
Rating: GENERAL
Language: Indonesian
Warning: CRACK!Fic ♥

Scene - 9

“Hmm... so now.. Where do you want us to go?” tanya gue.

YooChun mengedikkan bahunya sambil tersenyum.

“Up to you. You’re the one who knew interesting places.”

“Do you mind if we go to another flea market?” tanya gue iseng. “I mean, better one, at least. Not as hot as in that place. But there are lots of stuffs like, clothes, watches, fake bags, fancies... And you can bargain and get good quality stuffs.”

“Cool,” jawab YooChun sambil meringis. “Let’s go there. Maybe I can buy stuffs for the members.”

Gue ketawa. Serius nih? Well, Mangga Dua udah deket banget sih...

“Okay then, we’ll go to Mangga Dua,” cetus gue memutuskan.

“Mang-ga Du-a,” ulang YooChun mengiyakan. “How can I bargain?”

“Oh, you don’t have to. I’ll bargain the price, you just have to show me the stuff you want.” Ya iya lah, masa gue suruh YooChun yang nawar?

“You’re so much fun than my PA from Embassy, that Mr. Bump,” cetus YooChun riang.

Gue nyengir. “Bambang,” ralat gue.

“Oh yeah. Bang-Bang?”

Gue melengos. “Whatever, lah.” Cape deeh.

Gue membelokkan mobil gue ke area parkir Mangga Dua. “Okay,” cetus gue. “Since you said you’re okay with flea market, I’m gonna take you here, the biggest shopping market in Jakarta. But like I said, we still have to be careful with fans who might recognise you. And it will be very crowdy inside, and the risk is bigger than before.”

YooChun mengangguk. Wajahnya tampak serius, tapi semangat. “I got it. I’ll be very careful. If anyone recognise me, I’ll be your brother, Koh Joni.”

Gue ketawa. Masih inget rupanya. “Okay good.”

Setelah memakai kembali topi dan kacamatanya, YooChun keluar dari mobil dan bersama-sama kami memasuki gedung ITC Mangga Dua. Anjreet, rame aja. Yah, namanya juga MangDu. Walaupun hari ini hari Senin, tapi tetep aja rame.

Gue menggandeng tangan YooChun dan menggeretnya menuju tempat penjual-penjual tas. Kebetulan gue butuh tas baru buat kuliah. Para penjual sudah mulai berteriak-teriak menawarkan dagangannya, lengkap dengan harganya. Gue dan YooChun mulai menelusuri tiap lapak, mencari-cari dan memilih-milih tas.

“Bang, itu berapa?” tanya gue ke seorang abang penjual tas sambil menunjuk sebuah tas Louis Vuitton (yang nggak mungkin asli).

Si abang penjual langsung mengambil barang yang gue tunjuk.

“Oh barang bagus nih, dek. Model baru. Abang kasih dua ratus lima puluh, dah.”

Gue memeriksa tas itu. “Mahal amat. Biasa juga goban.” Lima puluh ribu, maksud gue.

“Ini kualitas bagus, dek. Hong Kong punya. Kalau mau yang gobanan, itu tuh,” kata si abang berlogat Batak ini sambil menunjuk sederet tas di dekat gue.

“Ah nggak mau! Saya maunya ini. Kurangin dong.”

“Adek maunya berapa?”

Gue berpikir sebentar. “Delapan puluh deh.”

“Tambahin lagi, lah ya. Seratus lima puluh saja lah.”

“Nggak mau. Cepek deh, pas.”

“Aduh, nggak dapat lah dek..” si abang Batak mulai menunjukkan tampang putus asa.

Gue pura-pura ngeloyor.

“Tambahin sepuluh lagi lah, ya,” tahan si abang.

Gue menoleh. “Nggak. Cepek, kalo nggak boleh ya udah.”

“Ah si adek ini, cantik-cantik pintar pula menawar,” si abang batak mulai pasrah. “Ya sudahlah, mau beli berapa?”

“Satu aja, kali.” Jawab gue. Yes, menang.

Si abang membungkus tas LV itu ke dalam kantong plastik hitam dan menyerahkannya ke gue. Cepat-cepat gue serahkan selembar uang seratus ribuan kepadanya.

“Tengkyu, bang!”

“Ya sering-sering kemari ya, dek!” ujar si abang sambil mengipas-ngipaskan uangnya ke barang-barang dagangannya.

Hihihi. Misi gue mendapatkan tas, berhasil.

YooChun tersenyum ke arahku.

“Wow, you got a nice bag,” cetusnya.

Gue meringis senang. “Yep! And I got this for only a hundred thousand rupiah. That is.. about 11 dollars.”

YooChun terbelalak.

“Whoa! I’m gonna find some bag too.”

Terus YooChun jadi semangat ngubek-ngubek lapak tas. Gue jadi geli.

Di lantai atas, gue dan YooChun mulai berburu kaos. Banyak t-shirt murah yang lucu-lucu, lumayan buat kuliah dan jalan-jalan. Buat tidur juga adem. Gue dan YooChun membeli dua buah t-shirt yang sama, karena gue pikir toh gue nggak akan pernah make barengan, gitu. Tapi kan seru aja punya kaos yang sama kaya Micky YooChun, hehe.

Lama-lama, kayanya YooChun mulai terbiasa melihat gue menawar. Pas di tempat baju-baju cowok, dia malah sempat nanya ke enci-enci (baca : cewek) penjualnya.

“Berapa?” tanya YooChun sambil menunjuk sebuah kemeja warna putih garis-garis.

Gue sampe melotot saking syoknya. Ini anak kok tiba-tiba biasa bahasa Indonesia???

“Seratus lima puluh ribu,” jawab si enci.

“Mahal,” cetus YooChun.

Wuuaaaahhhh ajaib!!

Tapi terus YooChun ngasih isyarat supaya gue menawar, jadi deh gue berhasil mendapatkan kemeja itu seharga delapan puluh lima ribu. YooChun tampak girang pas gue kasih tau harganya.

“How come you know Indonesian?” tanya gue penasaran setelah kita meninggalkan toko itu.

YooChun meringis. “I heard you said that word all the time when you ask, so I just said that.” YooChun tertawa. “I don’t know the meaning.”

Gue ngakak. Anak ini sotoy banget!

“What’s the meaning, anyway?” tanya YooChun.

Gue mendelik. “You should ask that before you said it.” Gue ketawa. “’Berapa’ means ‘how much’ and ‘mahal’ means ‘expensive’.”

YooChun tertawa. “See! I was right! That’s what I thought so!”

Gue agak lega sih melihat suasana di MangDu ini. Kayanya nggak banyak orang yang nyadar kalau gue jalan bareng ama seorang Micky YooChun. Well, mungkin karena banyak artis Indonesia juga yang suka belanja di sini, jadi orang juga udah pada nggak peduli, yang penting belanja. Paling banter orang mengira dia jebolan lomba Idol-idolan di TV yang nggak jadi ngetop. Atau mungkin karena tongkrongan YooChun yang putih dan ‘biasa’ banget (didukung oleh kacamata dan topinya), membuat dia kelihatan nggak beda dari para engkoh-engkoh juragan handphone di gedung sebelah.

Kalaupun ada enci-enci penjaga yang kelihatan agak mengamati atau terlihat curiga, gue langsung ngoceh asal pura-pura ngobrol ama Yoochun dengan bahasa Indonesia campur logat ajaib.

Misalnya, “Koh Joni, baju daster yang tadi bagus kan yah? Di Cianjur teh nggak ada yang kaya gitu. Ntar kita beliin buat oleh-oleh si mamih yah.” Dengan logat Sunda biar meyakinkan kaya orang Cianjur beneran. Dan YooChun cukup kooperatif dengan tersenyum dan mengangguk-angguk sok tahu. Hahaha.

Gue dan YooChun akhirnya melepas lelah sambil makan siomay di sebuah counter makanan kecil di lantai atas gedung itu. Kita udah dapet banyak barang, yang lebih banyak dibeli oleh YooChun sih. Secara dia kayanya agak kalap, gitu, semua barang ditunjuk ama dia. Gue jadi berasa kaya personal shopper, karena gue yang menawar dan membeli semua barang itu buat dia. Mulai dari tas, kaos, kacamata item, ikat pinggang, sampe gantungan handphone. Untung kali ini yang bayar bukan gue, karena YooChun menyerahkan dompetnya ke gue untuk belanja barang-barangnya. Dan dia cukup takjub karena isinya nggak berkurang begitu banyak (lagian siapa suruh bawa duit banyak bener). Sementara gue, dengan kantong mahasiswa gue, cukup belanja sekadarnya, karena duit gue lebih banyak habis di DVD dan bensin.

Pas lagi menyeruput teh botol, tiba-tiba handphone gue bunyi. Di caller ID-nya tertulis “RYAN”.

“Halo?”

“Halo, jeng, lagi di mana yey?”

Terdengar suara agak cempreng dengan taraf kegenitan melebihi batas normal. Itu suara Ryan, sahabat gue yang notabene juga pecinta artis-artis Korea. Terutama TVXQ. Gue spontan menoleh ke YooChun.

“Eh, bo... Eennng, gue di MangDu nih.”

“Ama siapa?”

Aduh, masa gue bilang ama YooChun.

“Ama... temen gue. Anak apartemen,’ jawab gue bohong.

“Ooh. Eh tadi si bang Iyus SMS gue, katanya elo udah ngambil pesenan DVD gue ya? Gue skarang on the way ke apartemen lu ya, ceu!”

Waduh! Bahaya nih!

“Eh, gue kan masih di MangDu..”

“Ya nggak apa-apa, gue tunggu aja di lobby. Emang abis ini lu mau kemana?”

Gawat nih. Kalau gue bohong lagi, si Ryan pasti bakal curiga. Temen gue yang satu ini punya sixth sense yang lumayan tajam, soalnya. Dia bisa langsung tahu kalau ada yang nggak biasa.

“Ennnggg....” Gue bingung. Beneran. Gue lihat jam tangan gue, masih jam empat kurang. Berarti paling nggak masih ada waktu sejam sebelum gue musti balikin YooChun ke hotelnya. Aduh gimana ya?

“Cindy? Heh, kenapa sih?” Ryan udah mulai curiga.

“Eh, nggak papa. Engg, ya udah deh, gue abis ini balik deh,” jawab gue akhirnya.

Yah, mungkin emang sebaiknya gue jujur aja deh daripada dikutuk seumur hidup ama dukun banci satu itu.

“Okaiii. Gue jalan ke sana ya bo. Baai.”

Gue menutup telepon dengan galau. Bakalan heboh nih ntar.

“Come on,” kata gue ke YooChun yang sedang menyeruput habis minuman sodanya.

***


Scene - 10

Gue berpikir keras selama perjalanan dari tukang siomay sampai parkiran.

Kalau mau aman, gue musti balikin YooChun ke hotel dulu, baru nemuin si Ryan di apartemen gue. Tapi si YooChun mau nggak ya? Ah, harus mau lah. Kan gue supirnya, terserah gue donk mau gue ‘buang’ di mana penumpang gue. Hahaha. Tapi penumpang gue satu ini cakep sih.. agak sayang juga kalau musti cepet-cepet balikin dia ke hotelnya.

“Hey,” YooChun menowelku. “What’s up? Is something happened?” tanyanya.

Gue menoleh. “Huh? Oh, nggak papa.” Eh salah. “No, I mean, nothing.” Gue meringis sambil terus menyetir ke arah Kota. Untung nggak begitu macet. Jadi nggak nambah stres gue deh.

“Uhmmm, listen,” cetus gue. “I think I will have to drop you back to the hotel now.”

YooChun menoleh dan menggeser duduknya menghadap gue.

“Huh? Why?”

Gue menelan ludah sebentar. “Because... My friend Ryan called me and he said he wants to see me at my apartment.”

YooChun manggut-manggut. “Oh... Is that Ryan who you asked me the autograph for?”

Gue mengangguk. Orang ini ingatannya bagus juga. “Yeap.”

“Well, that’s good. Why don’t you let him meet me?”

Gue melotot. Ini anak kok nyari mati sih?

“Well, uhmm... Ryan is a TVXQ fan. A huuuge fan, if you know what I mean. And, and, your Tae Jun-ssi and Young Hee-ssi told us to be careful to avoid fans, remember?” Aduh, gue kok jadi panik.

YooChun tampak berpikir. “Weeell..., but Ryan is your friend.”

Ya emang siiihhh.... Tapiiiii....

“I think if it’s your friend, then it will be okay. You’re not gonna let anything bad happen, right.” YooChun tersenyum (maniiiiissss bangett!) ke arah gue.

Hampir aja gue nabrak mobil di depan gue saking syoknya. Aduh beneran deh, gue tau kenapa nggak bagus kalo nyetir didampingi seorang cowok ganteng. Bisa ilang konsentrasi dan rawan kecelakaan.

Gue nggak bisa ngomong lagi deh.

Bukannya gue jahat atau nggak sayang temen, ya. Gue tau kalau Ryan itu temen deket gue, sejak SMA malah. Tapi dia itu fans berat TVXQ yang punya kadar kegilaan diatas rata-rata.

“Is Ryan your boyfriend?” tanya YooChun tiba-tiba.

Gue hampir nabrak lagi!

“No!” jawab gue sambil melotot. Ini orang kok hobi banget sih ngagetin!

YooChun kelihatannya agak kaget juga, tapi trus malah ketawa-ketawa. “Oookaay, just guessing.”

Idih nggak penting deeehh.

Gue menghela nafas sejenak, menghilangkan syok yang barusan.

“No, Ryan is not my boyfriend. He’s my bestfriend since we’re entering high school. And although he’s a male species, but he has this fetish for teen idols, especially cute boys. And you can’t deny, that TVXQ at first were cute teen idols. So that’s why he became a huge fan of TVXQ,” kata gue menjelaskan.

YooChun manggut-manggut. “Hmm. So you think I’m cute?” tanyanya sambil meringis.

YA ELAAAHH BUKAN ITU INTINYAAA...

Gue sampai musti menonjok lengan orang di sebelah gue ini. Boro-boro gue jelasin, malah nyadar diri kalo imut.

“Eooww! Hahahaha, but you said TVXQ are cute teen idols. I’m TVXQ,” ujar YooChun masih sambil ketawa-tawa.

“I said ‘were’, that’s past tense,” samber gue setengah kesel.

“Oh, so TVXQ was cute. And now we’re not? Or are we cuter?” goda YooChun semakin menjadi-jadi.

“Aaaaaghh cape deeehh!” jerit gue setengah sebel setengah geli.

YooChun masih cekikikan. “What are you saying?”

Giliran gue yang ketawa. “Nothiingg... Just shut uuupp!”

YooChun sih tetep aja ketawa-ketawa nggak jelas.

“So,” YooChun mengecilkan volume CD player mobil gue setelah dia menemukan satu lagu lama Seo Taiji. “Why you don’t want me to meet your friend Ryan? Is he a bad fan, or something?”

Gue melirik ke arah YooChun yang ternyata belum merubah posisi duduknya, tetap menghadap ke arah gue.

“Well, I’m not saying he’s a bad fan or whatever.” Gue berpikir sebentar. “A freak fanatic! Yes, he’s a freak-o.” Gue tertawa tanpa sadar.

YooChun ikut terkikik. “What do you mean?”

“I mean,” gue tersenyum, “He’s a very emotional guy. He gets excited easily, and if something swings his mood, he could weeps for days. I know him for years, and I think, if he ever meet you, his idol, he could collapsed in ecstasy.”

“Wow. Interesting guy,” cetus YooChun sambil tersenyum. “He sounds very sensitive, but sensitive guys are mostly nice. And I’m sure he’s a nice guy since you’ve been a good friends for years.”

“Well, he is a nice guy. He’s one of my best friends.”

“But you don’t want your best friend to meet his idol?”

Gue terdiam. Bingung deh, sumpah.

“I don’t know.”

Kami terdiam selama beberapa saat.

YooChun mengganti lagu lagi di CD player gue, dan mulai menggumam mengikuti lagu.

“Hey, by the way... Thank you for taking me around this city.” YooChun menyandarkan kepalanya di jok mobil gue sambil memandang ke arah gue. “I had a real great time.”

Gue tersenyum.

“I had great time too,” jawab gue. “I never thought I could hang out with a superstar like you here.”

“Superstar?” YooChun tertawa. “I’m not superstar. In here, I’m Koh Joni, right?”

Gue tertawa.

“If any TVXQ fans knew that, they will kill me for sure.”

“TVXQ fans usually gave me presents like clothes, watches, CDs... But this time, I can pick and buy my own! I got lots of DVDs... clothes for me, hyungs, and my friends... Whahh. I wish I can do this more often in Korea or Japan.”

Gue tersenyum. Yah, nikmatilah selagi bisa. Kapan lagi seorang superstar bisa jalan-jalan ditemenin rakyat jelata kaya gue gini.

Ketika masuk Sudirman, gue mulai panik lagi. Hotel tempat YooChun menginap dan apartemen gue udah di depan mata. Aduh, gimana nih?

“Uhhmmm... So that’s the hotel and that’s my apartment...” Gue nggak bisa ambil keputusan. YooChun mau nggak ya?

“Hmm... Do you mind if I go with you to your apartment?” tanya YooChun.

Gue menoleh cepat. Ini anak, bukannya gue udah bilang musti gue balikin ke hotel, kok malah pengen ikut ke apartemen gue sih?

Yang diliatin malah menatap balik dengan tampang nggak berdosa.

“I want to meet Ryan, if you don’t mind.”

.... MUKANYA ITU LHOOO.

Gue jadi frustasi. Nggak mampu bilang ‘nggak’, tapi khawatir juga.

Apartemen gue tinggal lima meter di depan.

Ah sudah lah ya.

“Fine. We’ll go to my apartment,” kata gue akhirnya. Gue membelokkan mobil gue dengan pasrah. Dari sudut mata gue, gue bisa ngeliat tampang YooChun yang senyum-senyum penuh kemenangan. Ih.

Ketika gue sampai di depan tower apartemen gue dan menurunkan barang belanjaan gue dan YooChun, gue menelepon Ryan.

“Hallo, bo, dimana lu?”

“Hai hai. Gue di Citywalk seberang, lagi ngantri beli Joko,” shaut Ryan di telepon. “Lu udah nyampe?”

“Iya udah,” jawab gue. “Eh gue nitip beliin Joko juga yah, gue mau yang almond ama coklat donk, selusin.”

Joko yang gue dan Ryan maksudkan adalah sebuah merek donat yang lumayan ngetop. Kebetulan di seberang apartemen gue ada sebuah pusat jalan-jalan (alias Citywalk) yang juga punya gerai donat Joko itu.

“Ha? Tumben lu minta dibeliin Joko. Bukannya lu nggak doyan?” tanya Ryan keheranan.

“Aduh nggak usah banyak tanya deh. Bukan buat gue, buat temen gue nih lagi di sini,” jawab gue setengah ribet, soalnya sembari ngangkut plastik-plastik belanjaan gue dan YooChun, sambil megangin handphone, dan sambil mencet lift menuju apartemen gue.

“Gue jadi curiga deh ama lu. Temen lu itu cewek apa cowok sih?”

“Ryan sayaaang, udah nggak usah berisik, ntar juga gue kasih tau. Udah yah, gue ribet nih bawa barang. Lu cepet kesini aja. Oke? Yiuuk bai.”

Gue mematikan handphone gue tepat ketika pintu lift tertutup.

Gue menghela nafas dan memencet nomor 23, lantai kamar apartemen gue.

YooChun menaikkan alisnya.

“Is your friend Ryan here?” tanyanya.

“Yeah,” jawab gue. “He’s coming in a minute. He’s buying some donuts at the building nearby.”

YooChun manggut-manggut. Gue memandangi tumpukan kantong plastik belanjaan gue dan YooChun yang berserakan di lantai lift.

“Wow, we did a lot of shopping,” cetus gue setengah ketawa. YooChun ikut tertawa.

Ting! Pintu lift terbuka begitu mencapai lantai 23.

“Here we go.”

Gue dan YooChun segera keluar menuju pintu apartemen gue yang Cuma sejengkal dari lift barusan. Gue mengambil kunci dari kantong tas gue dan membuka pintu apartemen gue.

“Okay.. this is my apartment. Please come in,” cetus gue mempersilakan YooChun masuk setelah membuka pintu.

YooChun melangkah masuk sambil sedikit membungkuk. “Annyeonghaseyo...”

Gue tertawa kecil. “No one’s here.” Gue meletakkan kantong-kantong belanjaan kami di atas meja makan yang berseberangan dengan sofa tamu.

YooChun tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen gue.

“Wow, you have a very nice apartment here... Did you buy it from your work as a reporter?”

Ya elah. Kalau jadi reporter freelance gue bisa dapetin duit buat beli apartemen kaya gini, kayanya gue memilih untuk drop out kuliah dari dulu deh.

“No,” gue memutar mata gue. “My dad bought this apartment. I probably could never afford to buy this kind of suite even though I work as a freelance reporter for thousand years.”

YooChun tertawa kecil.

“Please have a seat,” ujar gue sambil menunjuk ke arah sofa. “Would you like anything to drink?” Gue membuka kulkas dan mencari minuman. “Uhmm..., I guess I only have Cola, orange juice, mineral water, and... beer?” Yap, gue menemukan beberapa kaleng bir di kulkas gue. Ini pasti punya kakak gue.

YooChun menoleh sambil tersenyum.

“Oh that’s fine, I’ll have cola, thanks.” Bukannya duduk, YooChun malah melihat-lihat sekitar ruang tamu gue. Ia tampak asyik di rak koleksi CD dan home theater gue.

“So, where are your parents?”

Gue mengambil sekaleng cola buat YooChun dan sebotol air mineral buat gue sendiri dan menghampiri YooChun di ruang tamu. “Uhmmm, my parents? They are... somewhere.” Gue berpikir sebentar sambil menghempaskan pantat ke sofa. “My mom is living out of town with her new family, and my dad is... somewhere across pacific ocean, I think. He’s a captain on a cruise ship.”

YooChun menaikkan alisnya dan ikutan duduk di sofa sebelah gue.

“Oh. I’m sorry to hear that...”

Gue mengedikkan bahu. “Don’t be. I’m not. Although we’re separated, but we’re okay.”

Raut wajah YooChun jadi lebih serius. “So you’re living alone here?”

Gue menenggak air mineral gue. Ahh, seger banget deh. “Not actually alone. I live with my step brother here if he’s around.”

“I see. And where’s your step brother now?”

“Dunno. Somewhere. He’s a musician, so he’s doing some tour across the country with his band lately.”

YooChun manggut-manggut sambil menenggak colanya. Tapi matanya nggak lepas menatap gue.

“You must be very lonely.”

“Not really,” tukas gue. “I have my friends.”

YooChun tersenyum. “Yeah, it’s a good thing you have lots of friends. I know how hard is when your parents separated, but lucky I have people around me who cares about me. And I’m glad you do too.”

Oh iya. Kalo nggak salah gue pernah baca di internet kalau orangtua YooChun juga pisah kaya ortu gue. Pantesan dia agak concern tadi. Gue tersenyum.

YooChun mengambil sebuah frame foto yang terpajang di meja kecil sebelah sofa.

“Is this your brother?” tanya YooChun sambil menunjuk foto kakak gue yang bersebelahan sama gue.

Gue mengangguk. “Yeap. Step brother. Name’s Yuki.”

YooChun mengamati foto itu. “He looks cool. Is he a boyband member too?”

Gue nyaris ngakak. “No, he’s not. He’s a bass player, and now he’s an additional bassist for a band called PanPetir. It’s a well-known band in this country, you know. Like Buzz or FTI in Korea. Although, not all the members are cute like FTI. Hahaha.”

Kalau Yuki tau dia disangka boyben oleh seorang anggota boyben, kira-kira dia bakal syok nggak ya. Hahaha. Nggak kebayang deh Yuki dan temen-temennya jadi boyben yang joget-joget gitu.

YooChun tampak sumringah. “Cool! A bass player.“ YooChun manggut-manggut. “I think I heard that band name somewhere, PanPetir.”

“They went to Korea last year for a music festival.”

“Aah, that’s right. I must’ve met them at that time, but didn’t really notice.” Ia meringis. “You must be got used to famous musicians, huh. No wonder you don’t get nervous to meet a TVXQ member.” YooChun menunjuk-nunjuk dirinya sendiri.

“Idih! Narsis,” gue ketawa dan melempar bantal sofa ke arahnya. YooChun tertawa.

“But you know how musician life is. We’re hardly ever home. You must have missed your brother, right.”

Hmmm. Apa gue kangen ama Yuki? Kalau dipikir-pikir, mungkin iya. Tapi secara ya, dulu dia adalah senior gue di kampus yang paling keren sampai gue naksir setengah mati. Dan sejak nyokap gue tiba-tiba memutuskan untuk menikah ama bokapnya, pupuslah harapan gue untuk pacaran ama dia. Apalagi sekarang kita tinggal satu apartemen. Jadi kayanya gue mending nggak usah sering-sering ketemu dia deh, daripada sakit ati.

“Not really,” jawab gue pendek. Aduh, gue males ngebahas itu deh. Jadi gue memutuskan untuk bangkit dari sofa dan mengambil plastik-plastik belanjaan kami tadi.

“Hey, let’s see our shopping stuffs,” gue menggelar plastik-plastik itu di karpet sofa dan mulai duduk menggelosor.

“Oh.” YooChun ikutan duduk di karpet. Wajahnya tampak sumringah melihat kantong-kantong belanjaan yang bujubuneng banyak aje. “Whaahh we did a lot of shopping, huh!”

Kita? Elu, kali. Dari sekian banyak kantong, punya gue cuma sepertiganya. Sisanya barang belanjaan YooChun yang diborong buat anak-anak TVXQ yang lain.
Kita lagi asyik memilah-milah DVD dan baju-baju hasil ngeborong tadi ketika tiba-tiba bel apartemen gue bunyi.

TING TONG!

Gue bangkit. Ini pasti Ryan. “It’s must be Ryan,” cetus gue setengah cemas ke arah YooChun.

YooChun hanya tersenyum, lalu ikutan bangkit. “Then open it.”

Gue menghampiri pintu dengan perasaan agak deg-degan.

Gue melihat di layar security access, ada tampang cowok bule yang lagi ngerapi-rapiin rambut dengan centilnya. Ih. Nggak salah dan nggak bukan, itu memang Ryan.

“Nyari siapa, mister?” tanya gue iseng sambil memencet tombol spiker.

Yang di layar keliatan merengut. “Bukain donk, bo... Eike kepanasan nih tadi jalan kaki dari gedung seberang. Nih, tar Joko lu meleleh.” Ryan menunjukkan kantor donat Joko di tangannya.

Ya elah, jalan kaki cuma lima meter aja pake acara meleleh kepanasan. Gue terkikik geli.

Gue segera membuka pintu apartemen gue.

“Haaaaiii!”

Tampang sumringah Ryan langsung terpampang di depan pintu.

Nggak pake gue persilakan masuk, Ryan udah masuk dengan sendirinya sambil menyerahkan kantong-kantong donat Joko ke gue.

“Nih pesenan lu. Aduh, gue tadi ngantri lama bener... Udah gitu gue jalan kaki dari seberang! Mobil gue gue tinggal di Citywalk, daripada repot. Keringetan deh gue.” Ryan mengipas-ngipaskan tangannya ke wajahnya. Si cowok bule satu ini emang lebih cewek daripada cewek kebanyakan, paling nggak suka kalau keringatan.

Gue meringis dan menuju sofa ruang tamu. YooChun masih berdiri di situ. Ryan belum nyadar.

“Eh, Ry... Gue lagi ada tamu nih, tapi lu jangan kaget yah...”

Ryan yang berjalan mengikuti di belakang gue, mendadak menghentikan langkahnya. Wajahnya tampak syok memandang YooChun.

“Itu... Itu..” Suara Ryan tergagap.

Gue menggigit bibir. Sumpah, gue khawatir banget nih sama reaksi Ryan.

“Ry, jangan kaget yah. Ini Micky YooChun. Tau kan, personel TVXQ...” kata gue hati-hati.

YooChun tersenyum ke arah Ryan dan mengulurkan tangannya.

“Hi. I’m YooChun. Nice to meet you,” kata YooChun sopan.

Ryan tampak ragu-ragu mengulurkan tangannya.

“O mai gat.. O mai gat... Micky YooChun...” Asli, tampang Ryan udah kaya ngeliat hantu.

Belum sampai tangan Ryan menjabat tangan YooChun, tiba-tiba...

GUBRAAAKKKK.

YAAAHHH PINGSAN DEH DIA!

“Ryan!!!”

Gue langsung meletakkan kantong donat Joko ke sebelah gue dan menghampiri badan Ryan yang tersungkur di depan YooChun. YooChun tampak kaget melihat Ryan yang tiba-tiba tumbang.

“Tuh kan apa gue bilang! Pasti heboh deh!” gue berusaha mengangkat badan Ryan. “YooChun, bantuin donk! Gue kan nggak kuat!”

Gue yakin YooChun nggak ngerti apa yang gue omongin barusan, karena gue juga baru nyadar kalau gue ngoceh pake bahasa Indonesia. Tapi YooChun cepat tanggap dan langsung membantu gue mengangkat tubuh Ryan.

“Put him on the couch,” ujar gue ke YooChun sambil berusaha mengangkat lengannya. Duh, ni bule satu badannya sih emang ceking, tapi kok berat yah.

YooChun mengangkat Ryan dari lengannya dan berhasil kita seret sampai ke sofa.

“Ry? Ry? Hoi, bangun donk, Ry,” cetus gue sambil menepuk-nepuk pipi Ryan. Udah bule, wajah Ryan kan putih banget, apalagi kalo pingsan, mukanya jadi pucat banget kaya kapas.

“I’ll get some water,” kata YooChun sambil berinisiatif menuju dapur.

Gue masih menepuk-nepuk pipi Ryan berusaha untuk menyadarkannya. Duh, gue udah menduga pasti pertemuan Ryan dengan YooChun bakal dramatis deh. Orang dulu pas dia pertama kali ketemu langsung ama Arlie (vokalis PanPetir, band kakak gue) aja sampe sesenggukan.

“Ry, bangun doonk. Norak deh luu,” cetus gue cemas dan setengah sebel.

YooChun datang dengan semangkok air dingin dan kain serbet yang dicelupkan di dalamnya. Gue memeras kain itu lalu mengelapkannya ke dahi Ryan yang masih pingsan dengan suksesnya.

Mungkin karena berasa dingin, Ryan tampak mulai sadar. Kepalanya bergerak-gerak.

“Nnngg..”

“Ry? Ry? Sadar, Ry, ini gue,” ujar gue sambil terus menepuk-nepuk dahi dan pipinya dengan serbet dingin itu.

Mata Ryan mulai terbuka dan bulu matanya yang coklat dan panjang itu berkerjap-kerjap.

“Cin...”

Ryan menatap gue dengan sorot mata masih lemah. Lalu mata coklatnya itu melihat YooChun, dan kembali terbelalak.

“Ya ampyun... Itu Micky YooChun...” Dengan agak lemas, Ryan berusaha untuk mengangkat kepalanya dan duduk tegak di sofa.

YooChun menghampiri dan duduk di sebelahnya.

“Are you okay?” YooChun menyodorkan segelas air putih ke Ryan (ngomong-ngomong, tu anak ngambil air di mana? Jangan -jangan dari keran wastafel juga...)

Dengan tangan gemetar, Ryan menerima gelas itu dan meneguknya dengan bantuan YooChun.

“Ya ampyuuunn... beneran Micky YooChun...”

Mata Ryan tampak berbinar-binar dan mulai berkaca-kaca. YooChun tersenyum dan meletakkan gelas itu di meja, lalu menepuk-nepuk pundak Ryan.

“Hi. Are you okay? You look very surprised, huh.”

Ryan mulai menangis sumringah, tapi kekuatannya sudah berangsur-angsur pulih.

“O mai gaaat... Micky! Tengkyuuuh...” YooChun menggenggam tangan YooChun erat-erat. “Annyeonghaseyo, nais tu mit yu!”

YooChun tertawa dan memeluk Ryan sebentar dan menepuk-nepuk punggungnya.

“Annyeong, nice to meet you too.”

Ryan kelihatan girang setengah mati sampai mingsep-mingsep. Gue menyodorkan tissue kepadanya.

“Ry, udah jangan nangis donk, malu-maluin aja ah...,” ujar gue sambil menggamit lengan Ryan.

Ryan menggenggam tangan gue dengan tangan satunya dan mengelap airmata di wajahnya dengan tangan yang lain.

“Ya ampyuun, Cin.. Kok lu bisa-bisanya sih ngedatengin Micky YooChun ke sini?” Ryan menatap YooChun dengan sumringah. “Micky, I am Ryan! I am your fan... TVXQ fan! So hepi..”

Oh, ada yang lupa gue jelasin tentang Ryan.

Walaupun bokapnya bule, dan tampangnya juga bule banget, tapi kemampuan bahasa Inggris Ryan lebih kacrut daripada anak SD. Serius. Kalau menurut pembelaan dia sih, karena sejak lahir di Bandung, maminya yang orang Sunda itu nggak pernah ngajarin dia bahasa Inggris. Lagipula orang Kanada (papinya orang sana) kebanyakan ngomong pake bahasa Prancis, katanya. Tapi kasus Ryan ini sih bahasa Inggris nggak becus, bahasa Prancis juga sama miskinnya. Dia lebih jago berbahasa AGJ (anak gaul Jakarta).

YooChun tampak tersenyum-senyum - nggak tau seneng atau grogi karena ketemu fans agak dogol macam Ryan ini.

Ryan sudah menghapus airmatanya dan mulai terlihat over excited.

“Eeehhmmm... why you in Jakarta?”

“Me?” YooChun menunjuk ke dirinya sendiri. “Oh, TVXQ is having a photoshot in Bali tomorrow. Today we just go to embassy to take care things.”

Ryan semakin berbinar. “TVXQ ke Bali??? Ya ampyuuunnn, asik beneeerrr! Berarti semua anak TVXQ skarang ada di Jakarta donk? Nggak Cuma Micky doang?” Ryan membabi buta bertanya ke gue dan YooChun.

Berhubung YooChun tampaknya kebingungan dengan bahasa Indo centil versi Ryan, jadi gue berusaha menenangkan Ryan.

“Iya, Ry, mereka lagi pada di Jakarta. Tapi inget ya, Ry, ini rahasia. Totally secret! Lu nggak boleh ngasih tau siapapun kalau TVXQ lagi ada di Indonesia. Lu bisa ditembak mati ama orang-orang manajemen mereka.”

Ryan memegang dadanya secara dramatis.

“Oh ya nggak mungkin dong, bo! Eike nggak bakalan crita ke syapa-syapah. Ahh, eike juga nggak rela kali, kalo ada yang berani towel TVXQ selama berada di Jakarta ini!” Ryan menghadap ke arah YooChun dan berkata dengan serius. “Don wori, Micky. Ryan is here, no one can touch TVXQ, oke? I will be your satpam, I injek-injek nanti siapa yang berani gangguin you. Okeh?”

YooChun tampak agak bingung tapi tetep meringis. Gue udah sakit perut nahan ketawa.

“Uhhmm, okay? What is satpam?”

“He means that he will be your bodyguard,” jawab gue seadanya. YooChun manggut-manggut ngerti.

“Oooh, yes! Yes! Bodiguard!” sambung Ryan semangat. Anak ini agak telmi sih. YooChun sampe katawa geli.

“Adyuuhh, kalo tau bakalan ketemu Micky YooChun kan eike bisa dandan lebih ganteng lagi, bo...,” Ryan mulai merapikan rambutnya lagi. “Where is your pren? TVXQ? Jaejoong? Changmin?”

“Uhm, they are at the hotel,” jawab YooChun masih dengan ramahnya. Hebat, dia nggak keliatan keder berhadapan sama bule bencong.

“Oh! Not here?” Ryan tampak agak kecewa. Tapi lalu ia menoleh ke arah gue. “Tapi ntar eike boleh ketemu ama anak TVXQ yang lain, kan ya bo?”

Gue memutar mata. “Duh, nggak tau ya, Ry. Ntar jam 5 gue musti balikin YooChun ke hotelnya. Kalo lu ikut, ntar lu pingsan lagi di depan anak-anak TVXQ. Kan gue yang repot.”

Ryan mencekal lengan gue. “Cindy, plis doonk Ciiin... Gue janji nggak bakal pingsan lagi, Cin! Syumpeh! Gue tadi cuma kepanasan dan syok aja, tapi kan skarang gue udah seger lagi, liat... Suer! Gue pengen liat mereka sebentaaarrr ajah!” Ryan mulai menghiba-hiba.

Gue meringis dan memandang ke arah YooChun yang masih senyum-senyum.

“He wants to see your other friends,” jelas gue.

YooChun manggut-manggut. “That’s okay.”

Ryan tambah sumringah.”Tuh kan! Micky aja bilang ‘oke’! Yesss, gitu donk Cin, aduh gue ngimpi apaaa semalem bisa ketemu ama cowok-cowok ganteng hari ini!”

Gue tertawa.

Selanjutnya Ryan sukses membajak YooChun dengan pertanyaan-pertanyaan ‘kenapa bisa ketemu Cindy’ dan sebagainya. Ryan syok banget pas gue ceritain kalau gue ‘nemu’ YooChun di Starbucks.

“Boong ah! Gue ampir tiap hari ke Senayan Situ, tapi nggak pernah nemu barang bagus beginian! Curang!” kata Ryan. Yee, emang gue juga tau?

Dan Ryan tambah syok pas tau kalau YooChun baru gue ajak jalan-jalan ke Monas, Glodok dan Mangga Dua. Dia mulai mencaci maki gue sebagai cewek nggak berperasaan, nggak berjiwa romantis dan kenapa nggak ajak-ajak dari awal. Hahaha.

Sambil ngobrol dan memilah-milah DVD hasil jarahan YooChun, nggak kerasa udah hampir jam lima. Semua baru nyadar pas handphone YooChun bunyi. Lalu ia mulai berbicara dalam bahasa Korea di telepon.

“That was Tae Jun hyung,” cetus YooChun setelah ia menutup teleponnya. “He said I have to come back to the hotel now. All the members are already back.”

“Oh,” gue mengangguk. “Okay then, let’s wrap these things up and I’ll take you back to the hotel.” Gue melihat jam dinding, jam lima kurang seperempat. Sempet lah lima belas menit ke hotel YooChun yang cuma beda seratus meteran.

Setelah semuanya beres (gue ganti baju dulu, secara males aja abis keringetan seharian jalan dari Monas sampe MangDu), gue menawarkan YooChun untuk gue anter pake mobil. Tapi YooChun malah pengen jalan kaki aja, secara emang tinggal selemparan kolor doang. Sewaktu keluar dari gedung apartemen, berkali-kali gue ingetin ke Ryan.

“Pokoknya janji ya, Ry. Elu nggak boleh norak, nggak boleh histeris kalo nanti ketemu ama anak-anak TVXQ,” kata gue serius.

Ryan mengangguk penuh semangat. “Iyah, gue janji.”

“Nggak boleh pingsan!”

“Nggak akan pingsan, jeng.”

“Nggak boleh nangis!”

“Yo oloh, nggak bakal nangis, deeh.”

“Nggak boleh jejeritan!”

“Nggaaakk, nggak bakal jejeritan.”

“Nggak boleh pegang-pegang badannya Jaejoong.”

“Idih! Emangnya gue cowok apaan.” Ryan merengut. “Tapi kalo badannya Changmin boleh, kan.”

“Ryan!”

“Iyaa, mamih! Ih kamu lebih bawel deh daripada manajernya TVXQ.”

“Emangnya lu kenal manajernya TVXQ?”

“Nggak! Emang penting ya?”

Gue beneran pengen menendang bule kadut ini jauh-jauh.

“What are you guys talking about?” Tiba-tiba YooChun nimbrung dengan senyum lebar di wajahnya.

Ini lagi artis nyasar yang hobi cari masalah. Udah bagus gue anterin balik ke hotelnya. Kalo gue jahat kan gue simpen aja di kamar, biar diperkosa ama Ryan (aduh, kesannya Ryan kok kaya penjahat yang di TV itu yah. Bukan kok, cuma becanda. Ryan yang satu ini emang agak sinting, tapi dia sebenernya bule yang manis dan nggak berbahaya kok. Cuma nyebelin aja kadang-kadang, kalo pas kumat centilnya).

“Nothing. I just warn Ryan if ever he makes trouble, I’ll pack him with missiles to North Korea,” jawab gue asal.

YooChun tertawa. “You guys are very funny. I like hanging around with you.”

Gue nyengir doang.

Nggak nyampe lima menit, kita udah nyampe di lobby hotel Intercontinental. Seperti tadi, Tau Jun, Yeon Hee dan beberapa orang manajemen TVXQ juga berada di lobby hotel itu. YooChun langsung menghampiri dan menyapa mereka.

Setelah berbincang sejenak dengan mereka (dalam bahasa Korea tentunya, yang gue nggak ngerti apaan), YooChun memperkenalkan Ryan ke mereka.

Ryan tampak agak grogi tapi tetep girang.

“Cin, gue ga tau cara ngenalin diri pake bahasa Korea,” bisik Ryan ke gue.

“Pake bahasa Inggris aja, kali,” jawab gue sambil berbisik juga.

“Halo, I am Ryan Walsh. Nais tu mit yu. Annyeonghaseyo,” ujar Ryan semangat sambil membungkuk.

Orang-orang manajemen itu tampak ramah dan agak heran melihat tongkrongan Ryan yang bule aja.

“Annyeong haseyo,” balas mereka sambil membungkuk.

Mereka tampak menanyakan sesuatu pada YooChun, dan Yoochun mengucapkan sesuatu seperti ‘Kanada’ dan ‘Cindy’ dan ‘chingu’. Nggak tau deh. Daripada nebak-nebak.

Lalu YooChun menggamit lengan gue. “Hey, let’s take these shopping bags to my room upstairs. All the boys are there too.”

Gue menaikkan alis. Dia ngajak gue ke kamarnya? Uuuw, kok gue jadi deg-degan ya.

Cindy! Ini bukan saatnya mikir macem-macem! Gue berusaha menghilangkan pikiran aneh-aneh dari otak gue. Lagian ada Ryan pula.

“Uhm, how about Ryan?” tanya gue.

“Ya ya, Ryan come too! He said he wants to see the other boys, right? Let’s go,” ujar YooChun santai.

“Kenapa, bo?” tanya Ryan ingin tahu.

Gue menoleh ke arah Ryan. “Si YooChun ngajakin kita ke atas, ke kamarnya nemuin anak-anak TVXQ.”

Mata Ryan langsung berbinar-binar. “Assiiikk! Yuk yuk ke atas yuk! Aduh Cin gue jadi grogi banget niih!”

Gue langsung melotot. “Eh awas ya, Ry. Lu udah janji pokoknya nggak ada pingsan-pingsan, jerit-jerit atau hal-hal norak lainnya!”

Ryan balas mencibir gue. “Iya, ih! Yey kok nggak percayaan banget sih ama eike! Iya eike janjii, booo!”

Gue melengos pasrah dan membawa beberapa kantong belanjaan YooChun. “Okay, let’s go to your room.”

Setelah berpamitan dengan Tae Jun dan teman-temannya, YooChun membawa gue dan Ryan naik ke lantai tempat kamarnya dan para anggota TVXQ berada.

***

fanfic, one summer of cindy & micky

Previous post Next post
Up